Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

KESEMUTAN
NEUROPSIKIATRI

Oleh:
Kelompok III
KETUA KELOMPOK : Andi Iffah Cahyaniputri Rezki
: Nurul Aisyah Sudirman (Scriber)
: Khairunnisa
: Yaumil Nurul Safira
: Shanun Shari Sakunti
: A. Nurul Khaerizza Safitri
ANGGOTA KELOMPOK
: Tiara Putri Ramli
: Nurul Jannah
: Siti Aisyah Nurramadhani Amran
: Auliyah Nurul Rahmi
: Muthiaturrahmah Syafiuddin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syurkur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan
nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan pleno
modul “KESEMUTAN”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan kita sebagai penerus hingga akhir zaman.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada fasilitator dan teman-teman
yang telah membimbing dan membantu kami dalam mempelajari, memahami, dan
menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari masih bahwa laporan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki kesalahan dikemudian hari.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih
dan semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 16 November 2019

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 2
1.1 Skenario .......................................................................................................... 2
1.2 Kata Sulit dan Kata Kunci .............................................................................. 2
1.3 Daftar Pertanyaan............................................................................................ 2
1.4 Learning Outcome .......................................................................................... 3
1.5 Problem Tree ................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 5
2.1 Neuroanatomi Terkait Skenario ...................................................................... 5
2.2 Definisi Kesemutan ....................................................................................... 10
2.3 Etiologi Kesemutan ....................................................................................... 10
2.4 Klasifikasi Kesemutan .................................................................................. 12
2.5 Patofisiologi kesemutan ................................................................................ 14
2.6 Faktor Resiko Kesemutan ............................................................................. 14
2.7 Jenis Nyeri Terkait Skenario ......................................................................... 18
2.8 Mekanisme Nyeri .......................................................................................... 20
2.9 Hubungan Keluhan Utama dengan Epidemiologinya................................... 25
2.10 Hubungan Keluhan Utama dengan Keluhan Penyerta.................................. 25
2.11 Diferential Diagnosis .................................................................................... 27
2.12 Integrasi Keislaman ...................................................................................... 45
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 47
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 48

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke poliklinik dengan
keluhan nyeri pada siku kanan menjalar ke lengan bawah sampai ke jari manis
dan kelingking yang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu dan memberat pada
pagi hari. Nyeri juga dirasakan di punggung sebelah kanan. Keluhan ini
semakin bertambah berat terutama bila penderita memfleksikan siku
kanannya. Pekerjaan supir angkutan.
1.2 Kata Sulit dan Kata Kunci
1. Kata Sulit
-

2. Kata Kunci

a. Laki-laki.

b. Usia 35 tahun.

c. Nyeri pada siku kanan

d. Nyeri menjalar ke lengan bawah sampai ke jari manis dan kelingking.

e. Dirasakan sejak 6 bulan yang lalu

f. Memberat pada pagi hari

g. Nyeri dipunggung sebelah kanan

h. Keluhan bertambah berat bila penderita memfleksikan siku kanannya.

i. Pekerjaan supir angkutan

1.3 Daftar Pertanyaan


1. Bagaimana struktur neuroanatomi terkait skenario?

2
2. Apa definisi dari kesemutan?
3. Apa etiologi dari kesemutan?
4. Apa saja klasifikasi dari kesemutan?

5. Bagaimana patofisiologi dari kesemutan?

6. Apa saja faktor resiko dari kesemutan?

7. Apa saja jenis nyeri yang terkait scenario?

8. Bagaimana mekanisme dari nyeri?

9. Bagaimana hubungan keluhan dengan epidemiologinya?

10. Bagaimana hubungan keluhan utama dengan keluhan penyerta?


11. Apa diagnosis banding terkait skenario?
12. Bagaimana integrasi keislaman terkait skenario?

1.4 Learning Outcome


1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan neuroanatomi terkait
skenario.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dari kesemutan.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi kesemutan.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi kesemutan.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi kesemutan.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor resiko kesemutan.

7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan jenis nyeri terkait


skenario.
8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme nyeri.

9. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan keluhan utama


dengan epidemiologinya.

10. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hubungan keluhan utama


dengan keluhan penyerta.

3
11. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding dari
scenario

12. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrase keislaman


terkait scenario.
1.5 Problem Tree

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Neuroanatomi Terkait Skenario

A. Pada daerah punggung

A. M. Trapezius

Persarafan motorium trapezius adalah oleh nervus accesorius (XI),


yang berjalan turun dari leher menuju permukaan bagian dalam musculus.
Serat-serat propioseptif dari trapezius berjalan melalui percabangan
plexus cervicalis dan memasuki medulla spinalis pada setinggi level C3
dan C4. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

B. M. Latissimus dorsi

5
Persarafan m. Latissimus dorsi adalah oleh nervus thoracodorsalis.
Nervus thoracodorsalis memasuki medulla spinalis pada setinggi C6-C8.
(Drake, Vogl, & dkk, 2014)

C. M. Levator scapulae

Levator scapulae dipersarafi oleh cabang-cabang rami anteriores nervi


spinale C3-C4 serta nervus dorsalis scapulae C4 dan C5. (Drake, Vogl, &
dkk, 2014)

D. M. Rhomboideus major dan minor

Nervus dorsalis scapulae, salah satu cabang plexus brachialis


mempersarafi kedua musculi rhomboidea setinggi C4 dan C5. (Drake,
Vogl, & dkk, 2014)

B. Plexus brachialis

Plexus brachialis adalah plexus somaticae yang dibentuk oleh rami


anteriores C5-C8, dan sebagian besar ramus anterior T1. Plexus Brachialis
Injury adalah salah satu plexus saraf somatik yang mengatur persarafan
motoris kehampir semua otot-otot ekstremits atas dan sebagaian besar kulit
yang membungkus ekstremitas atas. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

1. Nervus musculocutaneus

Nervus musculocutaneus menembus musculus coracobrachialis


dan berjalan diantara musculus biceps brachii dan musculus brachialis
turun menuju ke siku. Nervus ini memberi cabang untuk melayani
otot-otot fleksor dari 4regio brachium seperti musculus
coracobrachialis, musculus biceps brachii caput longum dan brevis,
dan musculus brachialis. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

2. Nervus medianus

6
Nervus medianus memasuki regio brachium mulai dari axilla
pada margo inferior dari musculus teres major. Kemudian berjalan
secara vertikal menuju ke bawah bersama dengan arteri brachialis pada
sisi medial dari regio brachium, diantara musculus biceps brachii dan
brachialis. Awalnya berada di leteral dari arteri ini kemudian berada di
anterior dari articulus cubiti. Saraf ini menyilang di ke anterior untuk
berjalan di medialdari arteri brachialis di bagian distal dari brachium
dan memasuki fossa cubiti.Di dalam fossa cubiti nervus medianus
berjalan di medial dari arteri brachialis, di depan titikinsertio dari
musculus brachialis dan profundus dan musculus biceps. Nervus
medianus memberikan cabang untuk regio brachium saat melewati
articulus cubiti ke musculus pronator teres. Di regio antebrachium, dari
fosaa cubiti saraf ini berjalan diantara kedua caput musculus pronator
teres. Kemudian berlanjut diantara musculus flexordigitorum
superficialis dan flexor digitorum profundus sebelum muncul diantara
musculus flexor digittorum superficialis dan flexor pollicis longus.
Nervus medianus yang berasal dari fossa cubiti menginnervasi
kelompok otot-otot flexor dari regio antebrachium baik yang terletak
di superficial dan intermedius kecuali musculus flexor carpi ulnaris
(Drake, Vogl, & dkk, 2014).

Saat berjalan menuju ke regio antebrachium, nervus medianus


memberikan dua cabang yaitu :

a. Rami interosseous anterior yang berjalan bersama-sama dengan


arteri interosseous anterior untuk menginnervasi semua otot-otot flexor
dari kompartemen anterior dari regio antebrachiumyang letaknya
profundus kecuali bagian medial dari musculus flexor digitorum
profundus dan flexor carpi ulnaris. Innervasi akhir dari saraf ini adalah
untuk musculus pronator quadratus. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

7
b. Rami cutaneuspalmaris menginnervasi aspek lateraldari kulit (tapi
bukan untuk jari-jari tangan), cabang ini berasal dari bagian distal dari
regio antebrachium. Nervus medianus memasuki manus melalui carpal
tunnel profundus dari musculus flexor retinaculumsepanjang tendon
dari flexordigitorum superficialis, flexor digitorum, dan flexor poillicis
longus. Dari sini saraf ini memberikan beberapa cabang yaitu:

1) Rami recurrent untuk otot-otot kompartemen thenar untuk


innervasi motorik pada otot-otot opponens pollicis, abductor
pollicis brevis dan bagian superficial dari plexor pollicis brevis.

2) Rami digitalis palmaris commonis dan rami digitalis palmaris


propria yang akan melayani.

3) Tiga setengahbagian lateral dari telapak tanganb.Bagian dorsum


dari jari telunjuk, jari tengah dan ibu jaric.Cabang yang melayani
otot-otot intrinsik dari jari-jari tangan 1 dan 2. (Drake, Vogl, &
dkk, 2014)

3. Nervus ulnaris

Nervus ulnaris (C8-T1). Awalnya saraf ini berjalan di regio


brachium pada bagian medial dari sulcus bicipitalis tanpa memberikan
cabang. Pada sisi medial dari regio brachium, saraf ini turun berada di
belakang septum intermuscular medialis dan dibungkus oleh caput
medialis dari musculus triceps. Saraf ini menyilang articulus cubiti
yaitu pada sulcus dari epycondilus medialis os humerus. Disini saraf
ini bisa dipalpasi, dan penekananpada daerah ini akan menyebabkan
nyeri yang menjalar pada regio ulnadari tangan. Pada regio
antebrachium, saraf ini kemudian berjalan diantara caput humerus dan

8
caput ulnaris dari musculus flexor carpi ulnaris, dibawah apeneurosis
musculus flexor carpi ulnaris pada sisi os ulna. Di regio antebrachium
saraf ini menginervasi musculus flexor carpi ulnaris dan setengah
bagian medial dari musculus flexor digitorum profundus dan berjalan
turun bersama arteri ulnaris di bawah musculus flexor carpi ulnaris.
Pada regio antebrachium saraf ini bercabang menjadi rami muscularis,
rami palmaris, dan rami dorsalis nervus ulnaris. Pada regio manus
saraf masuk melalui Guyon’s canal. Nervus ulnaris dan arteri ulnaris
berjalan di superficial dari flexor retinaculum melalui canalis ulnaris.
Di regio manus nervus ini bercabang menjadi rami superficialis dan
profundus nervus ulnaris. Perjanalanan nervus ulnaris menuju ke
articulus radiocalparis berbeda dengan nervus medianus yang berjalan
di bawah flexor retinaculum dari manus. Nervus ulnaris memberikan
innervasi sensoris pada jari tangan kelima dan setengah bagian medial
dari jari keempat. Rami palmaris memberikan innervasi bagi kulit
anterior dan kuku, sedangkan rami cutaneus dorsalis melayanibagian
dorsomedial dari jari kelima dan setengah bagian dorsomedial dari jari
keempat.Nervus ulnaris dan cabang-cabangnya memberikan innervasi
pada otot-otot di regio antebrachium dan manus. Pada regio
antebrachium menginnervasi musculii flexor carpi ulnaris dan bagian
medial dari flexor digitorum profundus. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

4. Nervus radialis

Nervus Radialis (C5-C8). Merupakan saraf utama dari


fasciculus posterior yang melayani otot-otot ekstensor dari regio
brachium dan antebrachium.Truncus dari saraf ini terbentang dari
axilla menuju ke sepertiga proksimal dari sulcus biciptalis medialis
dan mengelilingi permukaan dorsal dari os humerus, dimana lokasinya
berdekatan dengan sulcus dari nervus radialis. Pada sepertiga distal

9
regio brachium, saraf ini berjalan pada bagian fleksor dari regio
brachium diantara musculus brachialis dan brachioradialis. Pada sulcus
nervus radialis, saraf ini sangat mudah mengalami cedera akibat
tekanan atau patah tulang karena posisinya sangat dekat dengan tulang.
Saraf inikemudian menyilang articulus cubiti pada sisi flexor dan
bercabang setinggi caput os radius menjadi dua yaitu rami superficialis
danrami profundus. N.radialis dapat mengalami kerusakan pada
bagiannya yang melintasi tuberositas humeri atau sedikit di bawahnya
di sekitar siku. Pola gangguan sensorik negatifnya terdapat pada
separuh bagian radial dorsum manus dan bagian posterior lengan atas
dan bawah. (Drake, Vogl, & dkk, 2014)

2.2 Definisi Kesemutan


Menurut National Institute of Neurogical Disorders and Stroke,
Paresthesia mengacu pada sensasi terbakar atau tusukan yang biasanya
dirasakan di tangan, lengan, kaki, atau kaki, tetapi juga dapat terjadi di bagian
tubuh lain. Sensasi, yang terjadi tanpa peringatan, biasanya tidak menyakitkan
dan digambarkan sebagai kesemutan atau mati rasa, kulit merangkak, atau
gatal. Kebanyakan orang pernah mengalami paresthesia sementara - perasaan
"jepit dan jarum" - pada suatu waktu dalam hidup mereka ketika mereka
duduk terlalu lama dengan kaki bersilang, atau tertidur dengan tangan yang
bengkok di bawah kepala mereka. Itu terjadi ketika tekanan yang
berkelanjutan ditempatkan pada saraf. Perasaan cepat hilang begitu tekanan
dilepaskan (Koroshetz, 2019). Paresthesia adalah kondisi abnormal yang
menyebabkan seorang individu untuk merasakan sensasi terbakar, mati rasa,
kesemutan, gatal atau tusukan. (Alhoseini, 2014)

2.3 Etiologi Kesemutan


Terbagi atas 2 macam :

10
A. Paresthesia transient

subtipe paresthesia ini melibatkan mati rasa sementara atau kesemutan


yang menghilang secepat dapat terjadi dari duduk dengan kaki
disilangkan untuk waktu yang lama atau tidur di lengan Anda dalam
posisi membungkuk. Ini adalah jenis yang sangat umum dari paresthesia.
(Mahdi & Vafa, 2014)

B. Paresthesia kronis

Paresthesia kronis atau paresthesia intermiten selama periode


waktu yang panjang umumnya merupakan tanda penyakit saraf atau
kerusakan saraf traumatis. Paresthesia biasanya timbul dari kerusakan
saraf akibat infeksi, inflamasi, trauma, atau proses abnormal lainnya.
Paresthesia jarang karena gangguan yang mengancam jiwa, tetapi bisa
terjadi sebagai akibat dari stroke dan tumor. Sedangkan paresthesia
adalah hilangnya sensasi, kelumpuhan biasanya melibatkan kedua
hilangnya gerakan dan sensasi. (Mahdi & Vafa, 2014)

1. Stroke

2. Paresthesia mungkin disebabkan oleh infark lakunar selektif di


daerah diencephalic dan mesencephalic atau di diaschisis di korteks
parietal.

3. Perdarahan intra-serebral

4. Tumor otak

5. Trauma kepala

6. Ensefalitis dan meningitis

7. Abses

11
8. Lumbar spinal stenosis

9. Multiple sclerosis

10. Transverse myelitis

11. Neuropati

12. Carpal tunnel syndrome

13. Tarsal tunnel syndrome

14. Herniasi

15. Gerakan berulang atau berkepanjangan getaran

16. Neuralgia

17. Gangguan metabolism (Diabetes, Hipoglikemia, Hypothyroidism,


Hipoparatiroidisme, Hiperaldosteronisme, Menopause, Uremia)

18. Penyakit autoimun

19. Kekurangan gizi

2.4 Klasifikasi Kesemutan


A. Kesemutan yang sebentar

Biasa terjadi karena posisi tubuh, tungkai, kaki, lengan, atau tangan
sedemikian rupa sehingga terjadi penekanan pada daerah tertentu.
Kesemutan akan hilang bila posisi tubuh diperbaiki. Dapat juga terjadi
kesemutan di sekitar bibir saat hiperventilasi, yang akan hilang bila nafas
kembali normal. (Prianto, 2015)

B. Kesemutan yang lama

1. Terjadi pada kasus jepitan syaraf pada ruas tulang punggung karena
masalah pada tulang punggung. Kesemutan akan terasa distal dari

12
jepitan. Misal jepitan di daerah leher, maka kesemutan dapat terjadi di
leher, bahu, lengan tangan sampai dengan jari.

2. Sciatica. Tungkai dan kaki dipersyarafi oleh syaraf sciatica yang keluar
dari ruas tulang punggung. Bila terjadi jepitan akan menyebabkan
kesemutan dari pantat, paha, sampai ke ujung jari kaki.

3. Carpal tunnel syndrome. Jepitan syaraf pada terowongan carpal di


pergelangan tangan. Kesemutan dapat terjadi dari pergelangan tangan
hingga ke ujung jari.

4. Kencing Manis. DM dapat merusak pembuluh darah kapiler yang


mensuplai darah ke syaraf pada jari tangan atau kaki. Maka kesemutan
dapat terjadi pada jari-jari tersebut yang disebut dengan peripheral
neuropathy.

5. Penyakit syaraf. Termasuk di dalamnya stroke, multiple sclerosis, dan


tumor otak. Kondisi ini dapat merusak syaraf dan menimbulkan
kesemutan.

6. Pengaruh obat-obatan. Termasuk di dalamnya obat-obat


chemotherapy, antiretroviral (obat HIV) dan metronidazole.

7. Trauma. Bila trauma menyebabkan kerusakan pada ujung syaraf, maka


akan dirasakan kesemutan di daerah yang terkena.

8. Neuritis. Peradangan yang terjadi pada syaraf yang biasanya


disebabkan oleh konsumsi alkohol, zat-zat berbahaya dalam asap
rokok, infeksi oleh virus atau bakteri, dan anemia defisiensi vitamin
B12. (Prianto, 2015)

13
2.5 Patofisiologi kesemutan
Patofisiologi parestesia yakni adanya perubahan fungsi saraf atau jalur
saraf. Parestesi dianggap mewakili pancaran impuls abnormal yang dihasilkan
dari ectopic focus dan dapat timbul dari kelainan di mana saja di sepanjang
jalur sensorik, dari saraf perifer ke korteks sensorik. Parestesi dapat
disebabkan oleh sistem saraf pusat atau kelainan sistem saraf tepi. Penyebab
sistem saraf pusat termasuk iskemia, obstruksi, kompresi, infeksi, peradangan
dan kondisi degeneratif. (M Painter, 2017)

Penyebab parestesia yang diinduksi perifer paling umum adalah


neuropati. Neuropati perifer dapat disebabkan oleh gangguan metabolik,
sindrom jebakan, trauma, kondisi inflamasi, gangguan jaringan ikat, cedera
toksik, kondisi keturunan, keganasan, defisiensi nutrisi, infeksi, dan penyebab
lain-lain. Beberapa neuropati perifer yang umum termasuk yang sekunder
terhadap diabetes, hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12, alkoholisme dan
sindrom penjeratan saraf. (M Painter, 2017)

2.6 Faktor Resiko Kesemutan


1. Faktor biomekanik

a) Postur tubuh saat bekerja

Berdasarkan posisi tubuh, postur tubuh saat bekerja dalam ergonomic


terdiri:

1) Posisi netral adalah postur tubuh dimana setiap anggota tubuh


berada pada posisi yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga
tidak terjadi kontraksi otot yang berlebihan serta pergeseran atau
penekanan pada bagian tubuh. (Ariska, 2018)

2) Posisi jangkal adalah potur dimana posisi tubuh menyimpan


secara signifikan dari posisi netral saat melakukan aktivitas yang

14
disebabkan oleh keterbatasan tubuh dalam menghadapi beban
dalam waktu lama. (Ariska, 2018)

3) Berdasarkan pergerakan, postur kerja dapat dibedakan menjadi :

4) Postur statis adalah postur dimana sebagian besar tubuh tidak aktif
atau hanya sedikit terjadi pergerakan. Postur statis dalam waktu
lama dapat menyebabkan kontraksi otot terus menerus dan
tekanan pada anggota tubuh. (Ariska, 2018)

5) -Postur dinamis adalah postur yang terjadi dimana sebagian besar


anggota tubuh bergerak. Bila pergerakan tubuh wajar, hal ini dapat
membantu mencegah masalah yang ditimbulkan postur statis,
namun bila terjadi pergerakan berlebihan, hal ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan. (Ariska, 2018)

b) Force/beban

Pada pekerjaan mengangkat atau mengangkut, efisiensi kerja


dan pencegahan terhadap masalah tulang belakang harus mendapatkan
perhatian cukup. (Ariska, 2018)

1. Frekuensi

Frekuensi merupakan banyaknya gerakan yang dilakukan


dalam satu peride waktu. Jika aktivitas pekerja dilakukan secara
berulang, maka disebut sebagai gerakan repetitive. Keluhan
musculoskeletal terjadi karena otot menerima tekanan akibat kerja
terus menerus tanpa ada kesempatan untuk berelaksi. (Ariska,
2018)

15
2. Durasi

Durasi adalah lamanya waktu pajanan terhadap faktor resiko.


Asumsinya bahwa semakin lama durasi paparan semakin besar
resiko cedera yang terjadi. Durasi disklasifikasikan menjadi :

- Durasi singkat : < 1 jam/hari

- Durasi sedang : < 1-2 jam/hari

- Durasi lama : > 2 jam/hari (Ariska, 2018)

3. Paparan pada getatran

Getaran akan menyebabkan bertambahnya kontraksi otot. Hal ini


akan menyebabkan tidak lancarnya aliran darah, meningkatnya
penimbunan asam laktat dan akhirnya timbul nyeri otot. (Ariska,
2018)

2. Faktor individu

a) Usia

Usia mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengalami


MSDs. Otot memiliki kekuatan maksimal pada saat mencapai usia 20-
29 tahun, lalu setelah usia mencapai 60 tahun kekuatan otot akan
menurun hingga 20%. (Ariska, 2018)

b) Jenis kelamin

Pada semua kelompok pekerjaan, angka prevelansi masalah


musculoskeletal lebih besar pada perempuan dibandingkan pada laki-
laki. Dominasi tertinggi pada wanita ditemukan untuk pinggul dan
pergelangan tangan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor fisiologis

16
kekuatan otot pada perempuan yang berkisar 2/3 kekuatan otot dari
pria. (Ariska, 2018)

c) Indeks masa tubuh (IMT)

Pada individu yang overwight ataupun obesitas ditemukan


terdapat kerusakan pada system musculoskeletal yang bermanifestasi
sebagai nyeri dan discomfort. Keluhan tersebut dapat menghalangi dan
menganggu aktivitas fisik. Keluhan musculoskeletal yang terjadi
disebabkan oleh pengaruh ukuran atropometri terkait pada
keseimbangan dari stuktur rangka dalam menerima beban baik berat
tubuh maupun beban dari pekerjaan. (Ariska, 2018)

d) Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok menjadi faktor risiko MSDs, karena


nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke
jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya
kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat
terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang. (Ariska, 2018)

e) Kebiasaan olahraga

Tingkat kesegaran jasmani yang rendah akan meningkatkan


risiko terjadinya keluhan otot. (Ariska, 2018)

f) Masa kerja

Masa kerja merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan


risiko terjadinya MSDs, terutama untuk jenis pekerjaan yang
menggunakan kekuatan kerja yang tinggi. (Ariska, 2018)

17
3. Faktor psikososial

Faktor faktor ini merupakan interaksi yang terjadi diantara lingkungan


kerja, pekerjaan, kondisi organisasi, kapisitas serta pemenuhan pekerja,
budaya serta pertimbangan pribadi dengan pekerjaan yang berlebih,
melalui persepsi dan pengalaman serta berpengaruh pada kesehatan, kinerja
dan kepuasan kerja. (Ariska, 2018)

2.7 Jenis Nyeri Terkait Skenario


A. Berdasarkan Durasi Nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),
nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau
kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan
suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa
nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat penyakit atau
trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara, kemudian akan
mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada nosiseptor
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Contoh nyeri akut ialah
nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca bedah (Price & Wilson,
2012).
2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan
fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah,
berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari
suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan patologis
yang telah berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi
penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir
dengan jelas (Price & Wilson, 2012).

18
B. Berdasarkan Patofisiologi
1. Nyeri nosiseptif
Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang
artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma.
Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada
traumatik atau stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh
aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus
yang mentransduksi stimulus noksius disebabkan aktivasi dari
serabut saraf tipe A- δ dan tipe C yang berespon terhadap stimulus
nyeri (seperti trauma, penyakit, dan inflamasi). Rasa nyeri berasal
dari organ viseral dinamakan nyeri viseral, sebaliknya nyeri yang
berasal dari jaringan seperti kulit, otot, kapsul sendi, dan tulang
dinamakan nyeri somatik. Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri
somatik superfisial dan nyeri somatik dalam (Price & Wilson, 2012).

2. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau


abnormalitas yang di dapat pada struktur saraf perifer maupun
sentral, nyeri ini lebih sulit diobati (Price & Wilson, 2012).

19
C. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

1. Supervicial atau kutaneus

Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus kulit.


Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri
biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam (Price & Wilson, 2012).

2. Viseral Dalam

Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-


organ internal. Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar
kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan
dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Contohnya
sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar
seperti pada ulkus lambung (Price & Wilson, 2012).

3. Nyeri Alih (Referred pain)


Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karna
banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik nyeri dapat
terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat
terasa dengan berbagai karakteristik Contohnya nyeri yang terjadi
pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan
kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke selangkangan (Price &
Wilson, 2012)

2.8 Mekanisme Nyeri


1. Tranduksi
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi
stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang

20
terjadi pada jaringan yang meradang, stimulus panas di atas 420C, atau
kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik
yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi
stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat
depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak
melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase,
sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat
enzim COX-2. (Guyton & Hall, 2014).
Neurontransduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A-
δ dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. Serabut
A-δ merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan diliputi oleh
selaput mielin yang tipis. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A-
δ merupakan perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh
selnya berlokasi pada akar ganglion dorsal. Sedangkan serabut C
merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm dan tidak memiliki
mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak memiliki mielin
yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah. Serabut
A-δ dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan kecepatan
transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A-δ mentransimsisikan nyeri
tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa
sentuhan, getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya
perbedaan ini, kedua tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam
menghantarkan stimulus yang terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini
biasanya disebut dengan ”jalur nyeri” (Guyton & Hall, 2014).
Selain dari peran serabut A-δ dan serabut C, disebutkan juga terdapat
peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang
memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini
ditemukan pada nosiseptor yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla

21
spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik.
Neuroregulator ada dua macam, yaitu neurotransmitter dan
neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati
celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator berfungsi
memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa
mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps (Guyton & Hall,
2014).
2. Transmisi
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke
neuron di kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan
meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam
amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia P yang
bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaptic. Selanjutnya ini
akan memungkinkan transfer yang cepat dari input mengenai intensitas,
durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.Secara umum, ada
dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf
pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ”nyeri cepat –
spontan” dan traktus paleospinothalamic untuk ”nyeri lambat” (Guyton &
Hall, 2014).
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui
serabut A-δ dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla
spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik
melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke
otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik
keatas dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini
kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal pada thalamus dan
bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri cepat-
spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri
tajam, tusuk, dan gores. Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat

22
dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang
dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh
serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis,
bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat,
menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke
aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam
batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang
lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum
mesencephalon (Guyton & Hall, 2014).
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari
kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat
memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu
berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic,
spinocervical, dan spinothalamic. Traktus spinoreticular membawa jalur
aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang berakhir pada
tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik
mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda
dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian
spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari
hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke
nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti
spinothalamik membawa sinyal ke thalamus (Guyton & Hall, 2014).
3. Modulasi
Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi
dari transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari
system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi
dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan
nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke
medulla spinalis (Guyton & Hall, 2014).

23
Analgesik endogen meliputi :
A. Opiat endogen
B. Serotonergik
C. Noradrenergik (Norepinephric) Sistem analgesik endogen
ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan
proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior
diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka
dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh
kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional & kultur
seseorang.

4. Persepsi

Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri,


pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan
terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu
dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat
bereaksi (Guyton & Hall, 2014).

Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah


mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi
nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian
dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa
mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap
suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu
stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi. (Guyton & Hall,
2014)

24
2.9 Hubungan Keluhan Utama dengan Epidemiologinya
Pada scenario dikatakan bahwa pasien tersebut berjenis kelamin laki
laki dan berusia 35 tahun, hal ini sesuai dengan faktor risiko seorang laki laki
yang lebih banyak melakukan mobilisasi dalam artian untuk mencari nafkah
dan faktor risiko usia yang masih dalam usia produktif untuk mencari nafkah.
Dalam scenario pasien berprofesi sebagai supir angkutan, profesi sebagai
supir angkutan merupakan salah satu dari pekerjaan yang bersifat repetatif
yang mana merupakan pekerjaan yang dilakukan secara berulang ulang atau
terus menerus tanpa adanya variasi gerakan yang apabila dilakukan dalam
intensitas waktu yang sering dan dalam waktu yang lama maka akan
menyebabkan suatu efek tertentu atas kualitas tenaga kerjanya. (Linda,
Amanda, & dkk, 2019)

2.10 Hubungan Keluhan Utama dengan Keluhan Penyerta


A. Nyeri siku kanan yang menjalar ke lengan bawah sampai ke jari manis
dan kelingking dengan nyeri punggung sebelah kanan.

Nervus ulnaris menyilang di articulus cubiti yaitu pada sulcus dari


epycondilus medialis os humerus. Disini saraf ini bisa dipalpasi, dan
penekanan pada daerah ini akan menyebabkan nyeri yang menjalar pada
regio ulna dari tangan. Nervus ulnaris memberikan innervasi sensoris
pada jari tangan kelima dan setengah bagian medial dari jari keempat.
Sehingga apa bila ada penekanan pada nervus ulnar di cubiti maka nyeri
akan menjalar hingga ke jari manis dan jari kelingking (Drake, Vogl, &
dkk, 2014).

Faktor resiko yang terdapat dalam nyeri punggung termasuk di


antaranya pekerjaan dan kejiwaan. Pada scenario, terdapat kata kunci
bahwa pekerjaan penderita adalah seorang sopir angkutan. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Nelwan (2014) mengenai hubungan

25
antara umur dan posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung pada
pengemudi angkutan kota di kota bitung, di dapatkan hasil bahwa ada
hubungan antara umur dengan keluhan nyeri punggung bawah pada
pengemudi angkutan kota di kota Bitung. Semakin umur responden
bertambah maka keluhan nyeri punggung akan semakin dirasakan.
Seorang sopir angkutan biasanya akan duduk berjam-jam dengan posisi
atau postur tubuh yang bungkuk. Postur tubuh yang tidak bagus,
merupakan penyebab terjadinya nyeri punggung, postur tubuh buruk yang
berlangsung selama bertahun-tahun dapat menyebabkan otot ligament
punggung regang atau robek. Penyakit ketegangan pada otot dan ligamen
(sindroma muskuloligamentosa) merupakan gejala penyakit nyeri
punggung (Saputra, Kandou, & Kawatu, 2017).

B. Nyeri diperberat apabila memfleksikan siku dan saat bangun tidur

Saat tertidur, biasanya


seseorang secara tidak sadar
menggerakkan tubuhnya, salah
satunya memfleksikan siku. Di
siku atau cubitus, nervus ulnaris
melewati struktur terowongan
(tunnel) cubital yang dibentuk
oleh ligament Osborne (Andrews,
Andrea, & dkk, 2018). Ketika
fleksi siku maka ligament
Osborne dan ligament collateral
medial akan tertarik dan menekan
nervus ulnaris yang lewat
didalamnya (Khalid, Carlton, & dkk, 2019). Penekanan serabut saraf
menyebabkan gangguan pendarahan saraf (vasa vasorum) sehingga dapat

26
menyebabkan iskemia local dan penurunan kemampuan akson untuk
menjabarkan potensial aksi sehingga dapat menimbulkan gejala nyeri,
kesemutan local, dan kelemahan otot. (Sudoyo, Setyohadi, & dkk, 2017)

2.11 Diferential Diagnosis


A. Guyon Tunnel Syndrom

1) Definisi

Sindrom kanal Guyon adalah suatu kompleks dari gejala gangguan


progresif pada fungsi saraf ulnaris sekunder hingga kronis, lesi
mekanis saraf di dalam kanal dari Guyon . Bergantung pada lokasi lesi
di dalam kanal Guyon, gejalanya dapat menunjukkan bentuk yang
berbeda. Mereka mirip dengan gejala alur untuk saraf ulnaris, tidak
termasuk gangguan pada persarafan kulit dorsum tangan. Ini Fitur
terkait dengan asal ramus dorsalis manus, sekitar 5-8 cm proksimal
dari kanal Guyon. Secara tradisional lesi yang terlihat pada sindrom
kanal. (Bachoura & Jacoby, 2012)

2) Epidemiologi

Sindrom kanal Guyon umumnya dialami oleh pesepeda dikarenakan


tekanan berkepanjangan di handlebars/setang sepeda. Terutama
berkendara downhill, sebagian besar dari berat badan ditahan oleh
tangan pada stang menyebabkan tekanan meningkat pada kanal Guyon
sehingga mengakibatkan kompresi nerves ulnar. (Bachoura & Jacoby,
2012)

Ada beberapa variasi anatomi dari canal guyon. Dua penelitian


menemukan anomali otot di kanal Guyon masing-masing 53% dan
22% pada pergelangan tangan dan satu dari penelitian ini juga

27
menemukan hamulus hipoplasia, beberapa cabang saraf ulnaris dan
peningkatan jumlah jaringan lemak di dalam kanal Guyon masing-
masing 2%, 30% dan 12%. Akibatnya, pengetahuan yang tepat dari
anatomi pergelangan tangan, serta tempat-tempat di mana jepitan dari
saraf ulnaris dapat terjadi, perlu untuk mengenali gambar klinis yang
berbeda. (Depukat & dkk, 2015)

3) Etiologi

a) Gerakan berulang pada pergelangan tangan

Aktivitas atau pekerjaan yang menuntut penggunaan


pergelangan tangan secara aktif berisiko membuat tekanan pada
saraf ulnaris. Contoh aktivitas tersebut antara lain, mengulek
bumbu, mengoperasikan alat tertentu, hingga menggunakan
komputer secara berlebihan. Apabila Anda memiliki faktor risiko
tersebut, ada baiknya mengistirahatkan pergelangan tangan setiap
jangka waktu tertentu. Pada saat tidur, usahakan juga agar kepala
tidak sampai menindih atau menumpu pergelangan tangan.
(Bachoura & Jacoby, 2012)

b) Tekanan eksternal

Tekanan dari luar tubuh manusia juga berhubungan dengan


aktivitas maupun pekerjaan tertentu yang terus-menerus sehingga
menekan daerah perjalanan saraf ulnaris dan menimbulkan
berbagai gejala sindrom ini. (Bachoura & Jacoby, 2012)

c) Tumor

Tumor bisa tumbuh pada area sekitar saraf ulnaris di


pergelangan tangan. Tumor yang sering muncul pada daerah
tersebut, antara lain ganglion (tumor pada persendian), lipoma

28
(tumor jaringan lemak), neuroma (tumor jaringan saraf), dan lain-
lain. Apabila ukurannya semakin membesar, maka tumor tersebut
akan menekan saraf ulnaris. Beberapa studi memperkirakan bahwa
30% hingga 40% dari sindrom kanal Guyon dihasilkan dari kista
ganglion. Studi lain memperkirakan 45% kasus bersifat idiopatik.
(Bachoura & Jacoby, 2012)

4) Gejala Klinis

Gejala biasanya dimulai dengan perasaan kesemutan pada jari


manis dan jari kelingking, yang sering terjadi di pagi hari saat bangun
tidur. kemudian dapat berkembang menjadi rasa sakit seperti terbakar
di pergelangan dan telapak tangan yang diikuti oleh penurunan sensasi
pada jari manis dan kelingking. Tangan terasa janggal ketika otot-otot
yang dikendalikan oleh saraf ulnaris menjadi lemah. Kelemahan dapat
mempengaruhi otot-otot kecil di telapak tangan dan otot yang menarik
ibu jari ke telapak tangan. Kelemahan bertahap dalam otot-otot ini
membuat sulit untuk melebarkan jari-jari dan mencubit dengan ibu jari.
Kompresi saraf ulnaris pada sindrom kanal Guyon biasanya
menyebabkan mati rasa di jari kelingking dan setengah dari jari manis.
(Depukat & dkk, 2015)

5) Komplikasi

Pasca operasi setelah revisi kanal Guyon secara statistik jarang


terjadi. Seseorang dapat tinguish berikut ini: cedera pada saraf selama
operasi

a. infeksi pada lokasi operasi


b. Gangguan dalam proses penyembuhan tromboflebitis vena local
c. kelainan bentuk situs operasi pembentukan keloid

29
d. Dalam kegagalan tertentu dari perawatan operatif tidak mungkin
untuk menentukan penyebabnya.

Terkadang kurangnya efek positif dapat dicapai dengan rilis tidak


lengkap dari semua cabang saraf, yang tidak terdiagnosis "double
crush syndrome", terkait dengan symutaneous kompresi di dua lokasi:
alur untuk saraf ulnaris dan kanal Guyon. (Depukat & dkk, 2015)

Diagnostik digunakan:

a. Tanda Tinel - yang didasarkan pada adanya rasa sakit dengan


perkusi pergelangan tangan selama perjalanan saraf ulnaris
b. Tanda Froment - di mana pasien memegang selembar kertas di
antara ibu jari dan carpus dan pemeriksa mencoba menariknya -
fungsi ibu jari,
c. Tergantung pada kontraksi otot adduktor pollicis, dipasok oleh
saraf ulnaris, diganti oleh fleksi sendi interphalangeal ibu jari,
tergantung pada kontraksi dari fleksor pollicis longus, dipasok
oleh saraf median.
d. Tanda palmaris brevis - kontraksi otot palmaris brevis selama
abduksi aktif dari digit kecil (perbedaan antara sindrom sulkus
saraf ulnaris - kurangnya kontraksi, dan kompresi dalam hiatus
piso-hamate - kontraksi ent).
e. Tanda Wartenberg - posisi jari kelingking saat penculikan
mencakar tangan
f. Tes electroneurophysiological (pengujian kecepatan transduksi
saraf, electromy- ography).
g. Radiologi klasik (RTG) dari pergelangan tangan - yaitu proyeksi
yang ditargetkan ke terowongan karpal pemindaian ultranosografis
pergelangan tangan (USG)

30
h. Resonansi magnetik (MRI)

Pergelangan tangan diindikasikan secara khusus dalam kasus gejala


samar-samar buku tebal, suspek proliferasi, dan tanda bertahan
meskipun pengobatan operatif telah dilakukan. (Depukat & dkk, 2015)

6) Penatalaksanaan
Perawatan konservatif berdasarkan penghindaran trauma,
imobilisasi sementara, iklan lokal pemberian kortikosteroid, jarang
berkhasiat. Kurangnya efek perawatan konservatif atau penyebab
organik dari kompresi dalam pencitraan adalah indikasi untuk
penatalaksana operatif. (Depukat & dkk, 2015)

7) Terapi Non Bedah


Kegiatan yang bisa menimbulkan gejala perlu diubah atau
dihentikan jika memungkinkan. Hindari gerakan tangan yang berulang,
menggenggam erat, mengistirahatkan telapak tangan terhadap
permukaan keras.Sebuah wrist brace kadang-kadang akan mengurangi
gejala pada tahap awal dari sindrom kanal Guyon. Wrist brace
menjaga pergelangan tangan pada kondisi istirahat (tidak menekuk
kembali atau menekukkuk terlalu jauh). Hal ini membantu untuk
mengurangi rasa kebas dan rasa sakit yang timbul pada malam hari.
Wrist brace juga bisa dikenakan selama seharian untuk meminimalkan
gejala dan mengistirahatkan jaringan dalam kanal guyon.Obat anti-
inflamasi juga dapat membantu mengendalikan gejala sindrom kanal
Guyon. Obat-obat ini termasuk seperti ibuprofen dan aspirin.Fokus
utama dari pengobatan adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
penyebab tekanan pada saraf ulnaris. (Aquiar, 2001)

31
8) Terapi Bedah

Jika upaya untuk mengontrol gejala gagal, disarankan tindakan


bedah untuk mengurangi tekanan pada saraf ulnaris. Operasi dapat
dilakukan dengan menggunakan anestesi umum (yang menempatkan
Anda untuk tidur) atau anestesi regional. Pada operasi dilakukan
sayatan kecil pada telapak tangan di atas tempat di mana saraf melalui
kanal guyon. Sayatan memungkinkan untuk melihat ligamentum yang
melintasi dari atas saraf ulnaris. Ligamentum ini membentuk atap dari
atas kanal Guyon. Setelah di lihat, ligamen ini dirilis dengan
menggunakan pisau bedah atau gunting, pengambilan secara hati-hati
untuk memastikan bahwa saraf ulnaris telah bebas dan terlindungi.
Dengan memotong ligamentum, tekanan dari saraf ulnaris dihilangkan.
(Aquiar, 2001)

Setelah dilakukan tindakan pembedahan dilakukan rehabilitasi


dengan melakukan gerakan tangan aktif dan latihan gerakan
merentangkan. Terapis juga menggunakan ice packs, soft tissue
massage, dan peregangan tangan untuk membantu rentang gerak.
Ketika jahitan sudah diambil, mulai hati-hati memperkuat tangan
dengan meremas dan peregangan memakai alat khusus. (Aquiar, 2001)

B. Carpal Tunnel Syndrome

1) Definisi

Kumpulan gejala akibat penyempitan pada terowongan karpal, baik


akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun akibat kelainan
tulang tulang kecil tangan yang menyebabkan penekanan pada nervus
medianus dipergelangan tangan. (Munir, 2017)

32
2) Epidemiologi

Carpal tunnel syndrome terjadi paling banyak pada wanita, jumlah


kejadian kurang lebih 1,5 dari 1000 pada wanita dan 0,5 dari 1000 pada
pria. Jenis kelamin menjadi salah satu faktor yang memengaruhi angka
kejadian CTS, biasanya wanita dengan gejala CTS muncul pada usia rentan
yaitu 45 sampai 54 tahun. Wanita yang tidak terkena gejala CTS pada usia
rentan maka kemungkinan terkena CTS diusia yang lebih tua sangat
sedikit. Pekerjaan diyakini menjadi salah satu faktor paling efektif pada
kualitas hidup perempuan, faktanya adalah bahwa tingkat pendidikan
wanita dan status pekerjaannya didapatkan secara positif terkait dengan
pemberdayaan perempuan dan dengan demikian mempengaruhi kualitas
hidupnya. Wanita sering bertanggung jawab untuk tugas-tugas seperti
membersihkan, mencuci kamar mandi dan toilet, membersihkan jendela
dan cermin dan tempat tidur yang dapat menyebabkan kontak dengan
berbagai stres kontak fisik yang menyebabkan penyakit muskuloskeletal
dan tetapi tentu saja mengurus semua kebutuhan keluarga. (Salma, 2019)

3) Etiologi

Terbagi dua yaitu etiologi primer yang tidak diketahui penyebabnya


dan etiologi sekunder yang memiliki penyebab antara lain RA, amyloidosis
atau pasca trauma pergelangan tangan misalnya fraktur colles, kehamilan,
akromegali, miksudema, mielma multiple. (Sudoyo, Setyohadi, & dkk,
2017)

4) Manifestasi Klinis

a) Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari jari dan telapak tangan
terutama pada malam hari.

33
b) Nyeri di telapak tangan, pergelangan tangan, atau lengan bawah,
khususnya saat digunakan.

c) Penurunan cengkraman dalam ibu jari

d) Sensasi jari bengkak (ada atau tidak terlihat bengkak)

e) Kesulitan membedakan antara panas dan dingin. (Munir, 2017)

5) Penegakan Diagnosis

Diagnosa Carpal Tunnel syndrome ditegakkan selain berdasarkan


gejala klinis seperti di atas dan diperkuat dengan pemeriksaan:

a) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan lengkap dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik,


sensorik dan otonom tangan

1.Phalen’s test : Penderita melakukan fleksi tangan maksimal. Bila


dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosa.

2.Tinel’s Test : perkusi pada dinding karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi. Bila ada kesulitan menjalar atau parestesia tes positif.

3.Flick’s Sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau


menggerakkan-gerakkan jari-jarinya jika bila keluhan berkurang atau
menghilang.

4.Thenar Wasting : Pada Inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adalah


atrofi otot-otot thenar.

5.Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot manual serta


dengan alat dynamometer

34
6.Preassure Test : Nervus medianus dipasang di instalasi karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
karena seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.

7.Luthy Test : Penderita jari melingkar ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Ketika kulit tangan penderita tidak dapat
menghubungi dindingnya dengan rapat, tes positif dan mendukung
diagnose

8.Pemeriksaan sensibilitas: adanya paresthesia dan hiperse. Bila


penderita tidak dapat membedakan dua titik (diskriminasi dua titik)
pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes positif dan
menyokong diagnose

b) Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)

1. Pemeriksaan EMG : Kecepatan saraf akan meningkat dan masa


laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya
pemantauan pada konduksi saraf di tangan yang bergerak. Sensor
laten lebih sensitif dari masa laten motorik.

2. Pemeriksaan Radiologi X ray ditangani tangan (untuk


menyelesaikan fraktur, kelainan sendi dan lain-lain) USG, CT-scan
dan MRI.

3. Pemeriksaan Laboratorium

4. Gula darah, darah lengkap, atau kadar hormon tiroid. (Munir, 2017)

6) Tatalaksana

a) Terapi konservatif

1. Istirahatkan terapi tangan.

35
2. Obat anti inflamasi non steroid. Obat neuropatik

3. Pemasangan bidai pada posisi netral

4. Injeksi steroid dengan triamcisolon atau deksametason

5. Vitamin B6 (piridoksin) 100-300 mg / hari

6. Fisioterapi, Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi perbaikan


tangan. (Munir, 2017)

b) Terapi operatif

Indikasi operasi:

1) Terapi konservatif dengan semua modalitas terapi gagal

2) Atrofi otot-otot thenar

3) Gangguan sensorik yang berat. (Munir, 2017)

7) Prognosis

Pada CTS ringan dengan terapi konservatif umumnya prognosa baik.


Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindaakan
operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik. (Munir,
2017)

C. Lesi Plexus Braachialis

1. Pengertian

Lesi plexus brachialis adalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-Th1.
Plexus brachialis adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axial yang
dibentuk ramus ventral saraf ventral syaraf vertebra C5-Th1. Lesi pada plexus
brachialis dapat mempengaruhi fungsi saraf motorik dan sensorik pada
membrum superium. (Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

36
2. Epidemiologi

Studi epidemiologis pada trauma pleksus brakialis sulit diketahui


dengan pasti dan epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara. Menurut
penelitian yang dilakukan di India Pusat tahun 2012 menyebutkan bahwa
kecelakaan lalu lintas menyumbang 94% pasien dan kecelakaan lalu lintas
90% melibatkan roda dua. (Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab trauma pleksus brakhialis pada


kebanyakan kasus (80,7%). Dari kecelakaan lalu lintas, dibagi lagi yaitu
kecelakaan sepeda motor (63,2%) diikuti oleh kecelakaan mobil (23,5%),
kecelakaan sepeda (10,7%) dan tabrakan pejalan kaki (3,1%). Menurut
penelitian yang dilakukan di Inggris tahun 2012, dilaporkan 450-500 kasus
cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun. Kejadian trauma pleksus
brakhialis juga sering terjadi pada bayi makrosomia dengan shoulder dystocia.
Bayi makrosomia dengan berat badan antara 4000 gram dan 4500 gram
kejadiannya 86,25% kasus dan antara 4.500 gram dan 5000 gram kejadiannya
12,25% kasus. Semua kasus ini terjadi saat persalinan per vaginam.
(Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

3. Etiologi

Sebagian besar traction injury akibat dislokasi terjadi pada kecelakaan


lalu lintas. Dari data yang terkumpul, 1173 pasien lesi plexus brachialis
dewasa, 82 % disebabkan karena kecelakaan saat mengendarai sepeda
motor.Korban jatuh saat mengendarai sepeda motor dengan kepala dan bahu
membentur tanah. Benturan yang terjadi dengan posisi bahu depresi dan
kepala fleksi ke arah yang berlawanan. (Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

Gerakan yang sangat tiba – tiba tersebut juga menyebabkan cedera


tarikan pada clavicula dan struktur di bawahnya termasuk plexus brachialis
dan vena subclavia. Apabila clavicula sebagai penghubung paling kuat antara

37
bahu dengan kepala patah, maka semua gaya tarikan berpindah ke serabut
neurovascular. Mekanisme cedera semacam ini menyebabkan kerusakan yang
parah pada serabut saraf bagian atas. Hiperabduksi shoulder atau tarikan yang
kuat yang menyebabkan melebarnya sudut scapulohumeral kebanyakan
mempengaruhi akar saraf C8 dan T1, cedera traksi dengan kecepatan tinggi
bisa menyebabkan avulsi (robek) akar saraf dari medulla spinalis.
(Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

4. Patofisiologi

Pada kasus ini lesi plexus brachialis terjadi akibat benturan keras sendi
bahu yang mengakibatkan terminal plexus robek.Terjadi karena tarikan yang
kuat antara leher dengan bahu atau antara ekstremitas atas dengan trunk.
Patologi saraf muncul diantara dua titik. Pada titik proksimal di medulla
spinalis dan akar saraf (nerve root junction), sedangan pada titik distal ada di
neuromuscular junction. Processus coracoideus sebagai pengungkit saat hiper
abduksi yang kuat pada bahu. Selain arah gerakan yang kuat pada plexus
brachialis , kecepatan tarikan menentukan terjadinya kerusakan saraf.
Sehingga terjadilah cedera pada akar saraf C5-Th1. (Sakellariou, Badilas, &
dkk, 2014)

5. Gejala Klinis

Pada kondisi cidera plexus injury akan terlihat dan dirasakan, gejala-
gejala yang timbul berupa;

a. nyeri, terutama pada leher dan bahu. Nyeri pada lokasi suatu saraf sering
ada bila telah terjadi ruptur, sedangkan pada cidera evulsi ciri khasnya
adalah hilangnya kelunakan perkusi pada area itu,

b. paresthesia dan disesthesia,

c. lemahnya tubuh atau terasa berat menggerakkan ekstremitas,

38
d. benyut nadinya menurun, karena cedera vaskuler mungkin terjadi
bersamaan dengan cidera traksi. (Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

6. Penegakan Diagnosis

Untuk membuat diagnosis cidera plexus brachialis, perlu dilakukan


anamnesis dan beberapa pemeriksaan, seperti:

a. Anamnesis

b. pemeriksaan fisik

c. pemeriksaan penunjang seperti halnya MRI, X-ray, CT scan dan lain-lain.


(Sakellariou, Badilas, & dkk, 2014)

7. Penatalaksanaan

1) Terapi Konservatif Tujuan perawatan

Tujuan perawatan konservatif adalah mempertahankan jangkauan


gerak ekstremitas, untuk memperkuat otot fungsional, yang tersisa, untuk
melindungi denervasi dermatom, dan untuk managemen nyeri. (Putra N,
2015)

Edema kronis mungkin muncul sebagai akibat dari hipokinesia,


kehilangan tonus vaskular akibat denervasi simpatik, dan luka jaringan
lunak lainnya. Menjaga ekstremitas terangkat dapat menurunkan edema.
(Putra N, 2015)

Manajemen nyeri mungkin merupakan prosedur yang sulit. Rasa sakit


yang signifikan diamati pada complete palsy of the brachial terutama pada
radiks avulsi. NSAIDs dan opioid dapat membantu selama tahap pertama
tapi tidak untuk membantu pasien dengan nyeri neuropatik, yang
membutuhkan penggunaan obat antiepilepsi (gabapentin dan
karbamazepin) atau antidepresan seperti amitriptilin secara hati-hati.

39
Operasi Dorsal Root Entry Zone (DREZ) dilakukan pada pasien dengan
nyeri terus-menerus, operasi ini didasarkan pada usaha untuk menghambat
transmisi sinyal saraf dari pusat sensorik sekunder. (Putra N, 2015)

2) Terapi Pembedahan

a) Neurolisis

Terapi ini digunakan pada lesi saraf kontinuitas. Teknik ini


penting untuk memelihara struktur interfascikular dan selubung saraf.
Karena memiliki risiko rusaknya vaskular, tidak disarankan
menggunakan neurolisis interfascikular, sebagai gantinya dapat
digunakan epineurorektomi untuk menghilangkan jaringan fibrous.
Penggunaan stimulasi saraf sebelum dan sesudah neurolisis dapat
memperlihatkan peningkatan konduksi saraf. Hasil klinis neurolisis
tidak mudah untuk diidentifikasi, banyak faktor yang mempengaruhi
peningkatan funsgsional, selain neurolisis. (Putra N, 2015)

b) Nerve grafting

Teknik memotong area yang trauma kemudian menyambungkan


dengan area yang lebih proksimal. Hasilnya akan dipengaruhi oleh
panjang saraf yang akan disambung/ dicangkok, munculnya jaringan
skar pada daerah luka. Pembedahan Saraf menggunakan graft dibagi
menjadi:

1) Perbaikan Intra pleksus

2) Perbaikan Ekstra pleksus

3) Transfer saraf distal

c) Transfer kontralateral C7

40
Tranfer kontralteral C7 digunakan pada kelemahan global atau ketika
pilihan transfer lokal tidak dapat digunakan, namun untuk mengurangi
jarak ke saraf target, graft yang terhubung dengan kontralateral radiks
saraf, telah ditempatkan dibawah otot anterior skalenus dan otot longus
colli dan kemudian melewati ruang retroesofagus untuk memberikan
sinya pada saraf resipien. Rata-rata panjang graft yang digunakan
adalah 6.8 ± 1.9 cm. (Putra N, 2015)

8. Prognosis

Prognosis sangat berfariasi karena bergantung tidak hanya pada sifat


cideranya itu sendiri.Tetapi juga pada umur pasien dan jenis prosedur yang
dilakukan. Pada beberapa kasus didapatkan kembalinya fungsi genggaman
tangan dan control volunteer bahu dan siku setelah cidera avulsi pada plexus
brachialis yang dikalukan dengan menggunakan teknik transfer otot bebas
ganda. Dilaporkan juga pada pasienpasien lain terjadi perbaikan pada tingkat
kekutan motorik otot sampai hampir setengahnya setelah dilakukan suatu
prosedur operasi. (Putra N, 2015)

9. Komplikasi

Kontraktur yang berhubungan dengan beberapa jenis insisi kadang


terjadi.Pada beberapa pemaparan, nervus aksesoruis spinalis memiliki resiko
trauma dan harus dilindungi.Komplikasi yang lebih spesifik bernariasi dan
tergantung pada tipe pasti dari prosedur yang dilakukan.Nyeri deaferensiasi
bisa menjadi masalah yang paling sulit ditangani setelah terjadinya didera
plexus brachalis. (Putra N, 2015)

D. Cubital Tunnel Syndrome

1. Definisi

41
Cubital tunnel syndrome, sindrom kedua terbanyak kompresi
neuropati dari ekstremitas atas. Pasien sering datang dengan rasa sakit,
parestesia dan / atau kelemahan jika tidak diobati dapat menyebabkan
gangguan kecatatan yang signifikan (Samir K, John R, & Edward, 2012).

2. Epidemiologi
Cubital tunnel syndrome adalah neuropati jebakan kedua yang paling
umum dari ekstremitas atas di Amerika Serikat. Insiden per 100.000 orang-
tahun sindrom ini adalah 25 kasus pada pria dan 19 kasus pada wanita
(Khalid, Carlton, & Citow, 2019)

3. Etiologi
Selama fleksi siku, saraf ulnaris membentang 4,5 sampai 8 mm
(karena terletak pos lebih rendah dari sumbu gerak siku) dan luas penampang
terowongan cubital mempersempit hingga 55% sebagai tekanan intraneural
meningkat hingga 20 kali lipat.2, 3 Akibatnya, fleksi siku berulang dan
berkelanjutan mengiritasi saraf ulnaris dan akhirnya mengarah untuk sindrom
terowongan cubiti (Samir K, John R, & Edward, 2012).
Dilaporkan pada pasien yang terbiasa tidur dalam posisi janin atau
tidur di tengkurap posisi dengan tangan terselip di bawah bantal. Baru-baru
ini, hubungan ini telah dilaporkan pada pasien dengan cukup lama
menggunakan ponsel (misalnya. “flexi siku selama bertelepon”). Sindrom
Tunnel Cubiti juga dapat berkembang pada pasien bertahun-tahun setelahnya
trauma siku yang mengarah ke cubitus varus kelainan bentuk, seperti
supracondylar humerus fraktur (misalnya, "kelumpuhan saraf ulnaris yang
lambat"). Penyebab lain sindrom Tunnel Cubiti termasuk kompresi eksternal
yang kronis (misalnya, pasien yang terikat kursi roda dan pengemudi truk),
ligamentum jaminan ulnaris yang longgar (misalnya, pitcher bisbol), edema
lokal atau peradangan, lesi yang menempati ruang (misalnya, tumor) dan

42
subluksasi berulang atau dislokasi saraf ulnaris (Samir K, John R, & Edward,
2012).

4. Gejela Klinis
Kompresi saraf ulnaris dapat melibatkan defisit sensorik dan motorik,
mulai dari penurunan fungsi intermiten hingga konstan. Hal ini dapat dimulai
sebagai paresthesia dalam distribusi sensorik saraf ulnaris, termasuk ulnaris
keempat dan seluruh jari kelima, dan pada akhirnya dapat mengakibatkan
melemahnya otot dan atrofi otot dari waktu ke waktu jika kiri tidak
diobati. Pasien mungkin merasakan nyeri tekan dan nyeri di atas saraf pada
aspek medial siku akibat peradangan. Saat fleksi siku menekan area
terowongan cubiti dan menekan saraf siku karena ligamentum Osborne ditarik
kencang sehingga menyebabkan kompresi lebih lanjut terhadap ligamen
kolateral medial yang dalam, parestesia sering diperburuk oleh aktivitas fleksi
siku seperti penggunaan telepon atau aktivitas atletik yang membutuhkan
gerakan siku berulang-ulang. Gejala malam yang cukup parah hingga
menyebabkan terbangun adalah keluhan umum karena banyak orang tidur
dengan siku dalam posisi tertekuk. Gejala yang lebih parah dari sindrom
terowongan cubiti kronis termasuk tangan yang lemah atau canggung. Pasien
mungkin mengalami kesulitan dengan kegiatan sehari-hari seperti membuka
botol atau memegang pensil. Akhirnya, tangan dapat mulai mengalami
deformitas claw hand karena kelemahan otot intrinsik (Andrews, Andrea, &
dkk, 2018)

5. Penegakan diagnosis
Selama pemeriksaan, ekstremitas pasien yang terkena harus terlebih
dahulu diperiksa dan dipalpasi untuk mendeteksi atrofi otot, atau subluksasi
saraf ulnaris di atas epikondilus medial saat siku dilakukan melalui berbagai
gerakan. Sensorik juga harus diperiksa dalam distribusi saraf ulnaris, yaitu sisi

43
ulnaris tangan dan jari keempat dan kelima. Deformitas tangan cakar ulnaris
adalah gejala lanjutan dari jebakan saraf ulnaris di bawah siku dan biasanya
menyebabkan fleksi (Andrews, Andrea, & dkk, 2018).
Ada beberapa pemeriksaan klinis yang biasa digunakan untuk menguji
fungsi motorik dan integritas saraf ulnaris. Saat dilakukan pemeriksaan untuk
otot Flexor Carpi Ulnaris, otot Flexor Digitorium Profunda, Abduktor Digiti
Minimi terdapat kelemahan pada otot. Untuk Froment Sign dan Wartenberg
juga positif (Andrews, Andrea, & dkk, 2018).
Langkah-langkah provokatif terdiri dari tanda Tinel dan uji fleksi
siku. Tanda Tinel dilakukan dengan mengetuk saraf di terowongan cubital
untuk menghasilkan sensasi seperti sengatan listrik, kesemutan, atau mati rasa
dalam distribusi sensor saraf ulnaris. Dengan tes fleksi siku, pasien diminta
untuk sepenuhnya melenturkan siku dengan bahu dalam abduksi ringan. Saat
siku menekuk, area terowongan cubiti menjadi sempit dan menekan
saraf. Memegang posisi ini dapat menyebabkan kesemutan atau parestesia
pada distribusi saraf ulnaris lengan bawah atau tangan. Selain fleksi siku,
menambahkan fleksi pergelangan tangan ke arah ulnaris akan memperburuk
gejala sindrom terowongan cubiti, dan menginduksi parestesia karena
kontraksi otot Flexor Carpi Ulnaris (Andrews, Andrea, & dkk, 2018).
Pemeriksaan penunjang berupa radiografi lengan yang terkena untuk
menyingkirkan diagnosis deformitas tulang, kalsifikasi jaringan lunak, atau
perubahan artritis yang menyebabkan neuropati ulnaris. Radiografi tulang
belakang leher dan dada dianjurkan masing-masing untuk membantu
menyingkirkan diagnosis radikulopati serviks dan tumor Pancoast (Andrews,
Andrea, & dkk, 2018).
Untuk membantu melokalkan lokasi kompresi saraf, studi
elektromiografi (EMG) dan konduksi saraf dapat bermanfaat. Studi
elektrodiagnostik membantu menegakkan diagnosis, melokalisasi tempat
kompresi, dan menyelidiki tingkat kerusakan saraf ulnaris yang telah

44
terjadi. Membedakan patologi saraf antara degenerasi aksonal, demielinasi
segmental, dan iritabilitas saraf abnormal dapat memberikan hubungan
dengan etiologinya dan protokol perawatan langsung. Banyak faktor
metabolik yang dapat mempengaruhi seseorang terhadap kompresi saraf
ulnaris, oleh karena itu, pasien harus diskrining untuk kondisi sistemik dan
metabolisme (Andrews, Andrea, & dkk, 2018).

6. Penatalaksanaan
Langkah-langkah perawatan konservatif fokus pada penghilang rasa
sakit, pengurangan peradangan, dan rehabilitasi. Ini termasuk pendidikan
pasien dan modifikasi perilaku, anti-inflamasi non-steroid (NSAID), splints
malam hari, bantalan siku, terapi fisik, ultrasound, terapi sinyal berdenyut, dan
suntikan kortikosteroid. Pasien harus diinstruksikan untuk menghindari
aktivitas yang memberatkan, seperti gerakan sendi yang berlebihan atau
mengistirahatkan saraf pada permukaan yang keras. Suntikan NSAID dan
kortikosteroid tetap kontroversial dalam manfaat terapeutiknya. Manajemen
konservatif berhasil sekitar 50% (Andrews, Andrea, & dkk, 2018).
Jika manajemen konservatif tidak berhasil dalam mencegah
perkembangan gangguan setelah beberapa bulan, operasi mungkin
diperlukan. Manajemen bedah dapat terdiri dari dekompresi saraf sederhana,
dekompresi dengan transposisi anterior saraf ulnaris (subkutan, submuskular,
atau intramuskuler), atau epikondilektomi medial (Andrews, Andrea, & dkk,
2018).

2.12 Integrasi Keislaman

Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari al-Haitsam bin Hanasy,
dia berkata,

45
"Pernah kami berada di samping Abdullah bin Umar radiyallahu 'anhu, lalu
kakinya terasa kaku (kesemutan), maka seseorang berkata kepadanya,
'Sebutlah manusia yang paling kamu cintai,' maka dia berkata, 'Wahai
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,' maka dia seolah-olah telah
dilonggarkan dari ikatan tali kekang."

Dari hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika umat muslim mengalami
sakit, nyeri, kebas (Kesemutan, kejang otot) maka senantiasa memperbanyak
shalawat, Istighfar, ataupun juga dapat bertawasul (menyebut Asmaul Husna),
yang dapat memberikan banyak kemashlahatan kepada umat muslim, bukan
hanya sebagai bentuk Ibadah namun juga dapat bermanfaat bagi kesehatan
fisik kita.

46
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nervus ulnaris memberikan innervasi sensoris pada jari tangan kelima
dan setengah bagian medial dari jari keempat. Sehingga apa bila ada
penekanan pada nervus ulnar di cubiti maka nyeri akan menjalar hingga ke
jari manis dan jari kelingking. Seorang sopir angkutan biasanya akan
duduk berjam-jam dengan posisi atau postur tubuh yang bungkuk. Postur
tubuh yang tidak bagus, merupakan penyebab terjadinya nyeri punggung,
postur tubuh buruk yang berlangsung selama bertahun-tahun dapat
menyebabkan otot ligament punggung regang atau robek.

Ketika fleksi siku maka ligament Osborne dan ligament collateral


medial akan tertarik dan menekan nervus ulnaris yang lewat didalamnya.
Penekanan serabut saraf menyebabkan gangguan pendarahan saraf (vasa
vasorum) sehingga dapat menyebabkan iskemia local dan penurunan
kemampuan akson untuk menjabarkan potensial aksi sehingga dapat
menimbulkan gejala nyeri, kesemutan local, dan kelemahan otot.

Pada scenario dikatakan bahwa pasien tersebut berjenis kelamin laki


laki dan berusia 35 tahun, hal ini sesuai dengan faktor risiko seorang laki
laki yang lebih banyak melakukan mobilisasi dalam artian untuk mencari
nafkah dan faktor risiko usia yang masih dalam usia produktif untuk
mencari nafkah. Dalam scenario pasien berprofesi sebagai supir angkutan,
profesi sebagai supir angkutan merupakan salah satu dari pekerjaan yang
bersifat repetatif yang mana merupakan pekerjaan yang dilakukan secara
berulang ulang atau terus menerus tanpa adanya variasi gerakan yang
apabila dilakukan dalam intensitas waktu yang sering dan dalam waktu
yang lama maka akan menyebabkan suatu efek tertentu atas kualitas tenaga
kerjanya.

47
DAFTAR PUSTAKA

Alhoseini, M. S. (2014). Underlying Causes of Parasthesia. Journal of Medical


Science.
Andrews, K., Andrea, R., & dkk. (2018). Cubital tunnel syndrome: Anatomy, clinical
presentation, and management. Journal of Orthopaedics, 15, 832–836.
Aquiar, H. (2001). Surgical Management of Guyon’s Canal Syndrome An Ulnar
Nerve Entrapment At Wrist. Arq Neuropsiquiatr, 106-111.
Ariska. (2018). Pengaruh Latihan Peregangan Terhadap Penurunan Keluhan Pada
Pekerja batik. Univ Muhammadiyah purwokerto.
Bachoura, A., & Jacoby, S. (2012). Ulnar tunnel syndrome. Orthop Clin North Am.
Depukat, P., & dkk. (2015). Syndrom of Canal of Guyon. Departemen of Anatomy,
Jangiellonian University Medical College.
Drake, R. L., Vogl, W., & dkk. (2014). Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human
Body. Singapore: Elsevier.
Guyton, C. A., & Hall, E. J. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapure:
Elsevier.
Khalid, S. I., Carlton, A., & Citow, J. (2019). Novel minimally invasive technique in
the treatment of cubital tunnel syndrome. Journal of Spine Surgery.
Khalid, S., Carlton, A., & dkk. (2019). Novel minimally invasive technique in the
treatment of cubital. Journal of Spine Surgery, 5(1), 88-96.
Koroshetz, W. (2019). Paresthesia. National Institute of Neurological disorders and
Stroke (NINDS).
Linda, Amanda, V., & dkk. (2019). Profil Carpal dan Cubital Tunnel Syndrome pada
nelayan Pesisir Pantai Manado Di Masing. Jurnal Kedokteran Klinik.
M Painter, F. (2017). Paresthesias: A Practical Diagnostic Approach. Jurnal of
University of Alabama School of Medicine.
Mahdi, S.-A., & Vafa, R.-M. (2014). Penyebab yang mendasari parestesia. Pusat
Penelitian Neural Repair, Universitas Teheran.
Munir, b. (2017). Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto.

48
Prianto, B. A. (2015). (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Carpal Tunnel
Syndrome Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Putra N, S. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury. Jurnal
RS Orthopedi Prof Dr Soeharso.
Sakellariou, Badilas, N., & dkk. (2014). Brachial Plexus Injuries in Adults :
Evaluation and Diagnostic Approach. Hindawi Publishing Corporation.
Salma, D. S. (2019). Analisis Faktor Penyebab Carpal Tunnel Syndrome Pada Ibu
Rumah Tangga Dipoli Saraf RSUD Soedone Madiun. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas sebelas Maret.
Samir K, T., John R, P., & Edward, A. (2012). Cubital Tunnel Syndrome: Diagnosis
and Management. Medicine & Health/Rhode Island.
Saputra, A. A., Kandou, G. D., & Kawatu, P. A. (2017). HUBUNGAN ANTARA
UMUR, MASA KERJA DAN LAMA KERJA. Jurnal Kesmas Universitas
Sam Ratulangi.
Sudoyo, A., Setyohadi, B., & dkk. (2017). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi VI. Diponegoro: Interna Publishing.

49

Anda mungkin juga menyukai