Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C

BLOK 19

Disusun Oleh :
Kelompok B10
Tutor : dr. Rusdianto, SpM(K)

Dicky Hartono (04011281320016)


Sinta Nida Fadillah (04011281320028)
Retrisia Rachmadina (04011281320034)
M Sasini Rohideta (04011381320010)
Monica Trifitriana (04011381320042)
Klara Sinta (04011181320002)
Mukhlasinia Aprilita (04011181210026)
Muhammad Wasistha A. (04011181320050)
Nadya Ayu Saraswati (04011181320060)
Mela Roza (04011181320064)
.Muhammad Fajar AS-Sidiq (04011181320080)
Octiara Estya Hikmah (04011181320108)
Siti Evi Marissa (04011181320114)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
tutorial yang berjudul Laporan Tutorial Skenario C Blok 19 sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada
kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan YME, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. dr. Rusdianto, SpM(K) selaku tutor kelompok B10
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD B 2013
Semoga Tuhan YME memberikan balasan atas segala amal yang diberikan kepada semua
orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan
perkembangan ilmu pengetahuan.

Palembang, 11 September 2015

Kelompok B10

ii Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.. ii
Daftar Isi 3
Kegiatan Diskusi... 4
Skenario. 5
I. Klarifikasi Isitlah. 6
II. Identifikasi Masalah. 6
III. Analisis Masalah.. 7
IV. Learning Issue.. 30
V. Kerangka Konsep 43
VI. Kesimpulan 43
Daftar Pustaka... 44

3 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Rusdianto, SpM(K)


Moderator : Muhammad Wasistha A.
Sekretaris 1 : Dicky Hartono
: Siti Evi Marissa

Pelaksanaan : 7 dan 9 September 2015


10.00 12.00 WIB

Peraturan selama tutorial :


- Diperbolehkan untuk minum
- Meminta izin kepada moderator untuk meninggalkan ruangan di tengah tutorial
- Alat komunikasi mode silent
- Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin
moderator baru bicara
- Saling menghargai dan tidak saling menggurui

4 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


SKENARIO C BLOK 19 TAHUN 2015

Nn Sinta (20 thn), seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan utama kelopak
mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara
perlahan-lahan makin hari bertambah berat. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan
tidak ada keluhan, namun ketika sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat
dibuka, lama kelamaan seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Setelah beristirahat agak
lama kondisi penderita terasa membaik kembali. Kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap
hari, penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang menderita
penyakit sejenis.

Pemeriksaan Fisik Umum


Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,
RR : 20x/mnit, S : 37 C

Pemeriksaan Fisik Khusus:


Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mata
Thorax: dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal

Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:


Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun
Refleks Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)

Sensoris : Tidak ada Kelainan

5 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


I. Klarifikasi Istilah :

1. Ptosis bilateral : turunnya kelopak mata atas akibat kelumpuhan yang terjadi
pada kedua kelopak mata dimana terdapat kelemahan pada
muskulus levator palpebral superior yang dipersarafi oleh
N.III.
2. Babinski : ditimbulkan dengan stimulus gesekan pada telapak kaki yang
menghasilkan dorsofleksi jari besar dan pengembangan jari-
jari yang lebih kecil, reflex ini merupakan indikasi kelainan
pada jalur control motorik utama dari korteks cerebral dan
untuk diagnostic pada gangguan sistem saraf pusat .
3. Chaddock : dilakukan goresan dengan ujung palu, reflex pada kulit
dibawah malleolus eksternus. Positif jika ada respon
dorsofleksi pada ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-
jari lain.
4. Refleks fisiologis menurun : adanya penurunan rangkaian gerakan yang
dilakukan secara cepat bersifat involunter sebagai respon
terhadap suatu stimulus .
5. Kelopak mata : (palpebral) adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan
fibrosa yang berfungsi melindungi struktur struktur mata
yang rentan.

II. Identifikasi Masalah


1. Nn Sinta (20 thn) seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan
utama kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu.
Keluhan ini dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat.
(Main Problem)

2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika
sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan
seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan
setiap hari.

3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang
menderita penyakit sejenis.

4. Pemeriksaan Fisik Umum

Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,

RR : 20x/mnit, S : 37 C

6 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Pemeriksaan Fisik Khusus:

Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mata

Thorax: dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

5. Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:


Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun
Refleks Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)
Sensoris : Tidak ada Kelainan

III. Analisis Masalah


1. Nn Sinta (20 thn) seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan utama
kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini
dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat.
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari neurooftalmologi (kelopak mata)?
Terlampir di Learning Issue

b. Apa etologi dan bagaimana mekanisme dari keluhan Nn. Sinta?


Etiologi dari keluhan Nn. Sinta kemungkinan akibrat proses autoimun dan
thymus yang membuat antibodi terhadap end plate protein otot levator.
Antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot kelopak mata pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs). Miastenia gravis dapat dikatakan
sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari
sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.

c. Apakah hubungan antara jenis kelamin, usia dan pekerjaan terhadap keluhan
yang dialami Nn. Sinta?

7 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah
40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu
diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Apapun pekerjaan
penderita miastenia gravis, ketika melakukan pekerjaan terus menerus maka
akan mengalami kelemahan otot.

d. Mengapa keluhan Nn. Sinta dirasakan makin hari makin berat secara perlahan-
lahan?
Hal ini terjadi karena proses autoimun dalam tubuh terus berlangsung tanpa
adanya pengobatan, sehingga keluhan dirasakan semakin berat.

2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika
sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan
seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan
setiap hari.
a. Bagaimana anatomi neuromuscularjunction?
Terlampir di learning issue

b. Apa hubungan aktivitas dan seluruh anggota tubuh terasa berat?


Ketika beraktifitas tubuh melakukan kontraksi otot, dalam kondisi normal di
neuromuscular junction, asetilkolin (ACh) disintesis di terminal saraf motoric
dan disimpan dalam vesikel-vesikel. Ketika potensial aksi merambat sepanjang
saraf motoric dan mencapai terminal saraf tersebut, ACh dari 150-200 vesikel
dilepaskan dan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada postsynaptic
folds membuka berbagai kation terutama Na sehingga menimbulkan
depolarisasi endplate serabut otot dan yang pada akhirnya menimbulkan
kontraksi otot. Pada keadaan myasthenia gravis seperti pada kasus, jumlah
AChR menurun dan postsynaptic folds nya menjadi lebih rata sehingga
transmisi neuromuscular junction menjadi dan tidak efisien sehingga ketika
beraktifitas seluruh anggota tubuh terasa berat karena kontraksi otot yang
melemah.

c. Mengapa setelah beristirahat keadaannya semakin membaik?


Kelemahan otot karena kelainan autoimun + sibuknya aktivitas makin
terganggunya transmisi neuromuscular kelemahan otot semakin berat
isirahat dalam waktu yang lama transmisi neuromuscular kembali normal
kondisi Nn.Sinta semakin membaik.

d. Apa makna klinis kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari?

8 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Miastenia yang diderita oleh Nn. Sinta bersifat tidak hilang timbul dan
semakin progresif. Dan kondisi tersebut hampir terjadi setiap hari dikarenakan
setiap harinya Nn. Sinta melakukan aktivitas sehingga kelemahan yang
dirasakan setiap hari.

3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang
menderita penyakit sejenis.
a. Apa makna klinis penyakit yang diderita pertama kali dan tidak ada riwayat
dalam keluarga?
Makna klinis tidak ada riwayat di dalam keluarga yaitu dimana penyakit bukan
disebabkan adanya factor genetic. Karena perlu diketahui bahwa penyebab
dari Miastenia gravis:
1. Faktor genetic (yang diturunkan dari orang tua yang mengidap
penyakit miastenia gravis)
2. Autoimun (Akibat dari Sistem kekebalan tubuh yang membuat
antibody tubuh (IgG) yang menyerang reseptor Ach di endplate motoric dari
otot sehingga menyebabkan penurunan reseptor Ach).
Hal ini menandakan bahwa penyakit yang diderita Nn. Sinta diakibatkan oleh
proses autoimun.

4. Pemeriksaan Fisik Umum


Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,
RR : 20x/mnit, S : 37 C
Pemeriksaan Fisik Khusus:
Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mata
Thorax: dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus?

Pemeriksaan Nn. Sinta Normal Interpretasi

Compos
Kesadaran Compos mentis Normal
mentis

Tekanan darah 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal


Umum
Nadi 80x/menit 60-100x per menit Normal

RR 20x/menit 16-24x/menit Normal

Suhu 37 oC 36,5-37,5 oC Normal

9 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Kelopak mata
Kepala Ptosis bilateral dapat dibuka Abnormal

Khusus sempurna

Thorax Batas normal Batas normal Normal

Abdomen Batas normal Batas normal Normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik umu dan pemeriksaan


fisik khusus pada kasus?
Ptosis terjadi karena kelemahan otot disekitar kelopak mata, hal ini terjadi
sebagai akibat dari proses autoimun dimana antibodi reseptor acethylcolin
menghalangi acetilcolin berikatan sehingga depolarisasi otot pun terganggu.

c. Bagaimana cara pemeriksaan serta tujuan pemeriksaan ptosis?


Pemeriksaan fisis pada pasien ptosis dimulai dengan
1. Palpebra Fissure Height
2. Margin-reflex distance
3. Upper lid crease
4. Levator function
5. Bells Phenomenon

1. Palpebra Fissure Height


Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar
antara kelopak bawah dan kelopak atas
pada saat pasien melihat benda jauh dengan
pandangan primer.
Fissura pada palpebra diukur pada posisi
utama (orang dewasa biasanya 10-12 mm
dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm
dari limbus). Jika ptosis unilateral,
pemeriksa harus membedakan dengan
artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau retraksi kelopak mata kontralateral.
Kelopak mata harus dieversi untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis
misalnya konjungtivitis papilar raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila
kelopak mata atas mengalami retraksi dokter harus secara manual mengangkat

10 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata
lain

2. Margin-Reflex Distance
Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak
mata dengan reflek cahaya kornea
pada posisi primer, normalnya 4 mm.
Refleks cahaya dapat terhalang pada
kelopak mata pada kasus ptosis berat
dimana nilainya nol atau negatif. Bila
pasien mengeluh terganggu pada saat
membaca maka jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.

3. Upper Lid Crease


Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan kelopak atas
sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital.

4. Levator Function
Untuk mengevaluasi fungsi otot
levator, pemeriksa mengukur
penyimpangan total tepi kelopak
mata, dari penglihatan ke bawah dan
ke atas, sambil menekan dengan kuat
pada alis mata pasien untuk
mencegah kerja otot frontalis.

11 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak
refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas
diukur.

5. Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup
/memejamkan mata dengan kuat,
pemeriksa membuka kelopak mata
atas, kalau bola mata bergulir ke atas
berarti Bells Phenomenon (+).
Jarak penyimpangan fungsi kelopak mata :
Baik : lebih dari 8 mm
Sedang : 5-8 mm

Buruk : kurang dari 5 mm

Tujuannya untuk membedakan klasifikasi dari ptosis yang di dapat (acquired)


atau ptosis kongenital

d. Apa tujuan dilakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada kasus?
Untuk membantu dalam penegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis
banding.

6. Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:


Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun
Reflex Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)
Sensoris : Tidak ada Kelainan
a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik
neurologi ?

Pemeriksaan Neurologi Interpretasi Mekanisme Abnormal

Motorik:

Kekuatan 5 pada ekstremitas Normal (tidak Progresifitas penyakitnya belum


ada sampe ke tipe II
kelumpuhan)

Refleks fisiologis menurun Tidak normal Akibat dari penurunan reseptor Ach
di endplate otot skeletal

12 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


menyebabkan asetilkolin yang
tercapai di otot untuk terjadinya
proses potensial aksi menurun. Hal
inilah yang menyebabkan saat
dilakukan reflex fisiologis terjadi
penurunan.

Refleks Patologis Babinski (-) Normal Menandakan tidak ada gangguan di


upper motor neuron

Reflekas Patologis Chaddock (-) Normal Menandakan tidak ada gangguan di


upper motor neuron

Sensorik:

Tidak ada kelainan Normal Pada kasus, yang terganggu di jaras


motoriknya terutama di
neuromuscular junction akibat
penurunan reseptor Ach sehingga
jaras sensorik masih memberi impuls
yang normal.

b. Apa tujuan dilakukan pemeriksaan fisik neurologi dan bagaimana caranya ?


Tujuan dilakukan pemeriksaan fisik neurologi untuk mengevaluasi keadaan
fisik klien secara umum, menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain
kelainan neurologis dan juga menilai bagaimana fungsi motik dan sensorik
seseorang tersebut.

Kekuatan Ekstremitas
Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan
pemeriksa menahan gerakan ini.
Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh
menahan.

Skala
0 = Paralisis total
1 = Tidak ada gerakan, teraba/terlihat adanya kontraksi otot
2 = Ada gerakan pd sendi tetapi tdk dpt melawan gravitasi (hanya bergeser)

13 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


3 = Bisa melawan gravitasi tetapi tdk dpt menahan /melawan tahanan
pemeriksa.
4 = Bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa tetapi kekuatannya berkurang
5 = Dpt melawan tahanan pemeriksa dgn kekuatan maksimal.

- Refleks Fisiologis
Skala
4+ = Hiperaktif (dengan klonus)
3+ = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal
2+ = Rata-rata, normal
1+ = Berkurang, normal rendah
0 = Tidak ada respon

REFLEK BISEP
Fleksikan siku klien, letakkan lengan bawah klien diatas paha dengan posisi
telapak tangan menghadap keatas
Letakkan ibu jari tangan kiri, diatas tendon bisep klien
Perkusi ibu jari pemeriksa dengan reflek hummer
Amati adanya fleksi ringan yang normal pada siku klien, rasakan kontraksi otot
bisep

REFLEK TRISEP
Fleksikan siku klien, sangga lengan klien dengan tangan nondominan
Palpasi tendon trisep sekitar 2-5 cm diatas siku
Perkusi reflek hummer pada tendon trisep
Amati adanya ekstensi ringan yang normal pada siku

REFLEK BRAKIORADIALIS
Letakkan lengan klien dalam posisi istirahat (pronasi).
Ketukkan reflek hummer secara langsung pada radius 2-5 cm diatas pergelangan
tangan atau processus stiloid.
Amati adanya fleksi dan supinasi normal pada lengan klien, jari-jari tangan
sedikit ekstensi.

14 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


REFLEK PATELA
Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan
bebas tidak menginjak lantai.
Tentukan lokasi tendon patella yang berada tepat dibawah patella (tempurung
lutut).
Ketukkan reflek hummer langsung pada tendon patela.
Amati adanya ektensi kaki atau tendangan kaki yang normal.

REFLEK ACHILLES
Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan
bebas tidak menginjak lantai.
Dorsofleksikan sedikit pergelangan kaki klien dengan menopangkan kaki klien
pada tangan pemeriksa.
Ketukkan reflek hummer pada tendon Achilles tepat diatas tumit.
Amati dan rasakan plantar fleksi (sentakan kebawah) yang normal pada kaki
klien.

REFLEK ABDOMINAL
Posisikan klien supinasi dan buka area abdomen.
Lakukan pemeriksaan dengan cara menggoreskan sikat pemeriksa secara
vertical, horizontal dan diagonal pada daerah epigastrik sampai umbilicus.
Normalnya dinding abdomen akan kontraksi.

Refleks Patologis
-Refleks Babinski
Goreskan ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan dimulai pada
tumit
menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, kemudian setelah
sampai
pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan ke medial sampai akhir pada
pangkal jempol
kaki. Refleks Babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai
pemekaran
jari-jari yang lain.

15 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


-Refleks Chaddock
Dilakukan goresan dengan ujung palu refleks pada kulit dibawah maleolus
eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari proksimal ke distal).
Refleks Chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai
pemekaran jari-jari
yang lain.

Pemeriksaan fungsi sensoris

Pemeriksaan Sensasi Taktil


Langkah-Langkah Pemeriksaan
Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Meminta penderita untuk menutup matanya
Dengan menggunakan ujung kapas tempelkan/ sentuhan secara ringan pada
satu titik pada kulit tanpa memberi tekanan jaringan subkutan
Meminta penderita untuk menyatakan YA atau TIDAK pada setiap
perangsangan
Meminta pasien untuk menyebutkan daerah yang dirangsang
Meminta pasien untuk membedakan dua titik yang dirangsang

Pemeriksaan Sensasi Nyeri Superfisial


Langkah-Langkah Pemeriksaan
Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan neuro-tip
(berujung tajam) dan hindari menggunakan jarum suntik)
Meminta penderita untuk menutup matanya
Mencoba jarum terhadap dirinya sendiri
Melakukan rangsangan dengan intensitas minimal tanpa menimbulkan
luka/perdarahan
Melakukan rangsangan dengan ujung tajam dan tumpul secara bergantian
Meminta penderita untuk menyebutkan apakah rangsangannya tajam atau
tumpul
Menanyakan apakah ada perbedaan intensitas ketajaman rangsangan

Pemeriksaan Sensasi Suhu


Langkah-Langkah Pemeriksaan
Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

16 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan 2 tabung
reaksi yang diisi dengan air panas dan air dingin)
Sentuhkan pada kulit pasien dan mintalah pada pasien untuk menyebutkan
panas atau dingin

c. Apa saja pemeriksaan-pemeriksaan neurologis yang lain? (tujuan dan cara


pemeriksaan)

1. Kaku Kuduk: Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa


ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian
kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat
bersifat ringan atau berat.
Hasil pemeriksaan:
- Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum,atau
fleksi leher normal
- Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk
Arti klinis:
Meningitis, meningoensefalitis, SAH, Karsinoma meningeal

A. Sewaktu mengangkat kepala, badan ikut terangkat.

17 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


B. Gerakan leher ke kanan atau kiri tidak ada gangguan.
C. Gerakan dorsofleksi tidak ada tahanan

2. Kernig Sign: Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90
derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan
dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan
kernig sign positif.

3. Brudzinski I (Tanda Leher Menurut Brudzinski): Pasien berbaring dalam


sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan
didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.Test ini adalah positif bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua
tungkai secara reflektorik.

4. Brudzinski II (Tanda Tungkai Kontra Lateral Menurut Brudzinski):


Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada
sendi lutut,kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila

18 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada
sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

5. Reflex Hoffman dan Tromner: dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien.
Reflex Hoffman diperiksa dengan cara melakukan petikan pada kuku jari
tengah. Reflex tromner dilakukan dengan cara mencolek ujung jari tengah.
Reflex Hoffman-Tromner pofitif jika timbul gerakan fleksi pada ibu jari, jari
telunjuk, dan jari-jari lainnya.

6. Reflex babinski: goreskan ujung palu reflex pada telapak kaki pasien. Goresan
dimulai pada tumit menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak
kaki, kemudian setelah sampai pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan
ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Reflex babinski positif jika
ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.

7. Reflex Chaddock: dilakukan goresan dengan ujung palu reflex pada kulit
dibawah malelolus eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari
proksimal ke distal). Reflex chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu
jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari lain.

Analisa Aspek Klinis


a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus?
Anamnesis

19 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Manifestasi klinis berupa gejala kelemahan otot okuler, anggota gerak,
pernapasan, dan bulbar yang berfl uktuasi dan bervariasi, membaik dengan
istirahat. Pasien tampak normal pada pagi hari dan mengeluh diplopia, sulit
bicara atau paresis pada sore hari.

Pemeriksaan fisik
Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal .
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic
sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis
biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah .
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the
voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidun,
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan
otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan
pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Otot-otot anggota tubuh atas lebih
sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta
jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering
terpengaruh dibandingkan otot bisep.
Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi
jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan
saat melakukan fleksi panggul .
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan
gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-
otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan
otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga
pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari

20 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh
satu nervus kranialis.Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi
secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah
satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan


dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras.
Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita
ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk
memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain:
Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg
tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak

21 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.

Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody Tes ini menunjukkan hasil positif pada
sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40
tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada penderita
miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita
miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor
protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien
timoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam serum 10
beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil
yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-
AChR antibody.

Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular.

b. Apa diagnosis banding pada kasus?


- Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain miasenia gravis, antara lain :
- Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
- Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
- Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
- Paralisis pasca difteri
- Pseudoptosis pada trachoma

22 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


- Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
- Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

c. Apa diagnosis kerja pada kasus?


Miastenia Gravis

d. Apa saja klasifikasi dari diagnosis kerja pada kasus?

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot ocular , kelemahan pada saat menutup


mata dan kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas II Terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada saat otot-otot lain selain otot ocular.
Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial , anggota tubuh atau keduanya.
Kelas IIb Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal , otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIa.

Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular. Sedangkan
otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat
Kelas IIIa sedang.
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh , otot-otot aksial atau
Kelas IIIb
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal , otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh , otot-otot aksial atau keduanya dalam derajat ringan

Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam


derajat yang berat , sedangkan otot-otot ocular mengalami
Kelas IVa kelemahan dalam berbagai derajat
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
Kelas IVb
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal , otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi

23 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

e. Apa etiologi pada kasus?


Etiologi : belum diketahui, kemungkinan suatu penyakit autoimun dan thymus
mungkin membuat antibodi terhadap end plate protein otot.
Penyebab lain diantaranya : aktivitas cholinesterase yang berlebihan, hambatan
depolarisasi oleh choline dan kompetitif blok dari reseptor protein oleh suatu
zat yang mirip curare.

f. Apa faktor resiko pada kasus?


a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus?


Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis
rheumatoid, dan lain-lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang
peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan
miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs),
telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait
sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol.
Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik
terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum
sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral terhadap
imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien

24 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi
secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain :
ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan
cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

h. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus?


a. Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
b. Penglihatan ganda
c. Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi
tidak disertai gejala stroke lainnya)
d. Gangguan menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
e. Gangguan bicara
f. Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis)
g. Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami
kesulitan dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi
kelumpuhan.

i. Bagaimana pencegahan dan penatalaksaan pada kasus?


Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani thymektomi .
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Dosis standar
IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis

25 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10
hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
3. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih
juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10
dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan
IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.
4. Agens-agens antikolinesterase
Obat-obatan ini beraksi dengan meningkatkan kosentrasi asetilkolin yang
relatif tersedia pada prsimpangan neuromuskular. Mereka diberikan untuk
meningkatkan kekuatan otot. Kadang diberikan untuk mengurangi
simpomatik. Obat-obatan yang digunakan piridostigmin bromida
(Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin bromida
(Prostigmin).

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang


1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan
kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga
dosis optimal tercapai.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T-helper. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis.

26 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


5. Thymectomy (Surgical Care)
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari
pasien (Anonim, 2008). \Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami
perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-
obatan).

Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati dengan


antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi
yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi,
mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi
yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki
onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan

Pencegahan Myasthenia Gravis


Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh
sesuatu yang bisa kita hindari.

j. Bagaimana komplikasi pada kasus?


Komplikasi yang dapat terjadi pada miastenia gravis, yaitu krisis miastenik
dan krisis kolinergik. Krisis miastenik terjadi akibat perburukan penyakit,
ditandai dengan gejala memberat dan sering disertai distres dan kegagalan
napas.
Krisis kolinergik terjadi akibat dosis penghambat kolinesterase berlebihan
seperti neostigmin, piridostigmin, dan physostigmine. Gejala berupa gejala
kolinergik, seperti diare, kram abdominal, hipersalivasi, lakrimasi,
inkontinensia urin, hipermotilitas saluran gastrointestinal, emesis, miosis.
Krisis kolinergik dapat menyebabkan bronkospasme, seperti wheezing,
bronchorrhea, kegagalan napas, diaforesis, dan sianosis.

27 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


k. Bagaimana prognosis pada kasus?
Prognosis bonam karena miastenia yang diderita masih dalam tahap awal.

l. Apa SKDI pada kasus?


3B : Mampu mendiagnosis, tatalaksana kedawatdaruratan, dan merujuk.

IV. Learning Issue


1. Anatomi dan Fisiologi Palpebra
A. Anatomi

Palpebra atau kelopak mata mempunyai fungsi


melindungi bola mata serta mengeluarkan
sekresi kelenjarnya yang membentuk film air
mata didepan kornea.palpebra merupakan alat
menutup mata yang berguna melindungi bola
mata terhadap trauma sinar dan pengeringan
bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan.
kedipan bola mata dapat menyingkirkan debu
yang masuk.

Fungsi Palpebra:

Pelindung mekanik bola mata.

Menghasilkan komponen lipid untuk air mata.

Membantu membasahi kornea.

Batas-batas palpebral:

Batas superior : daerah alis dan rima orbita superior.

Batas inferior : dari rima orbita inferior sampai ke kulit nasojugal dan lipatan
malar.

Lebar horizontal fisura =30 mm vertikal 8-10 mm.

28 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Terdapat 7 Lapisan
Palpebra, yaitu:

1. Kulit & jaringan subkutan.


Sangat tipis dan elastis.
Tidak mempunyai lapisan lemak subkutan
Lapisan dermis: jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin,pemb
darah,limfe dan saraf.
Lapisan subkutan: folikel rambut & kelenjar sebacea.

2. Otot protraktor.
M.Orbikularis okuli yang melingkari fisura
orbita yang dipersyarafi oleh N. VII
Terdiri dari Tiga bagian :
b. Orbikularis orbital,
c. Orbikularis preseptal,
d. Orbikularis pretarsal.

3. Septum orbita.

29 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Jaringan ikat berlapis berasal dari periosteum pada rima orbita superior-inferior di
daerah arkus marginalis.
Fungsi: sebagai barier antara orbita dan palpebra.

4. Lemak orbita.
Normal: letak di posterior septum orbita dan anterior dari aponeurosis levator.
Dapat mengalami herniasi ke palpebra.
Bantalan lemak sentral penting untuk operasi palpebra elektif dan repair laserasi
palpebra.

5. Otot retraktor.
Otot rektraktor palpebra superior: m. levator dan aponeurosisnya dan
m.tarsalis superior (muller).
Otot retraktor palpebra inferior: fasia kampsulopalpebral dan m.tarsalis
inferior.

M.Levator palpebra : otot utama dan berfungsi mengangkat palpebra superior


sekitar 15 mm.

M.Muller : fungsi memberi tambahan tonus dan hilang bila kelelahan atau
paralisis dan palpebra turun 2 mm.

6. Tarsus.
Terdiri dari jaringan padat.
Berfungsi sebagai rangka palpebra.
Ukuran tarsus superior: lebar 10 mm di sentral,panjang 25-29mm dan tebal 1 mm.
Ukuran tarsus inferior: lebar 3.5-4
mm di sentral,panjang 25-29 mm
dan tebal 1 mm.
Mengandung kelenjar Meibom: 30-
40 di palpebra superior ,20-30 di
palpebra inferior

30 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


7. Konjungtiva
Terdiri dari:
Konjungtiva palpebra.
Konjungtiva forniks.
Konjungtiva bulbi.

Persarafan Palpebra:

2 saraf motorik untuk gerakan palpebra.

N.III: mempersarafi m.levator palpebra untuk mengangkat palpebra superior


dan m.rektus inferior.

N.VII mempersarafi m.orbikularis okuli.

Visual pathway consists of:

Retina

Optic nerve

Optic chiasm

Optic tract

Lateral geniculate nucleus


(body)

Optic radiation ( geniculo


calcarina tract )

Visual cortex

31 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


B. Fisiologi
Mekanisme Menutup dan membuka mata
Diawali dari adanya rangsangan dari saraf simpatis pengeluaran adrenalin
Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan
muskulus levator palpebra.
Menutup mata:
Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu mempertemukan
kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata.

Membuka mata:
Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan kontraksi
dari muskulus levator palpebra di palpebra superior

2. Penyakit dengan ptosis (Miastenia gravis)


Miastenia gravis

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali

EPIDEMIOLOGI

32 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya
20 dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
umurdiatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada
usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini
sering terjadi pada usia 60 tahun.

PATOFISIOLOGI

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan


autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-
lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis. Hal inilah yang memegang peranan penting
pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.Tidak diragukan lagi,
bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana
abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul
lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan
binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi
IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi
secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan
silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan
cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga

33 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

GEJALA KLINIS

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi


pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini
akan berkurang apabila penderita beristirahat . Gejala klinis miastenia gravis
antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang
merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.Walaupun
pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya
otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan 6
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis2 .
Sewaktu- waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah,
pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari pallatum molle yang
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin
air itu dapat keluar dari hidungnya.

3. Anatomi Neuromuscular Junction


a. Anatomi

Pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular


junction sangatlah penting sebelum memahami tentang miastenia gravis. Tiap-
tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga
hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau
sambungan neuromuscular. Membran presinaptik (membran saraf), membran
post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar

34 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara
celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.

Anatomi suatu Neuromuscular Junction

Anatomi suatu Neuromuscular Junction

e. Fisiologi Neuromuscular Junction

35 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Fisiologi Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran


post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nano meter dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis
dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan
ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung
vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam
sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah
vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian
terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Howard, 2008;
Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-
ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel
akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah
sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan
dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik (Howard,
2008; Newton, 2008).
Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses pada
neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu :

36 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut
ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-


membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan
tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel
sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial
endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi
akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+
yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk
Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan
yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih
125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi
celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),
merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung
reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat
dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran
dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.
Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme
transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar

37 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-
masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin
memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut,
sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa
ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot
(Howard, 2008; Newton, 2008).

f. Kontraksi Otot Rangka


Mekanisme terjadinya kontraksi otot rangka mulai dari dilepaskannya
neurotransmitter ke motor-end-plate sampai pada relaksasi otot rangka. Saat
impuls saraf mencapai neuromuscular junction, sekitar 300 vesikel asetilkolin
dilepaskan dari membrane presinaps ke membrane sel otot yang mempunyai
reseptor asetilkolin. Protein-protein membrane di membrane presinaps diduga
merupakan voltage-gated calcium channel karena apabila potensial aksi telah
mencapai terminal akson, celah ini akan terbuka dan Ca2+ berdifusi ke
membrane presinaps yang akan menyebabkan vesikel asetilkolin tergerak
menuju membrane presinaps dan selanjutnya akan dikeluarkan melalui
mekanisme eksositosis.
Asetilkolin yang telah dilepaskan terikat di reseptor asetilkolin pada
membrane sel otot. Membrane ini merupakan acetylcholine-gated ion channel
yang akan terbuka bila ada asetilkolin yang melekat. Ach-gated ion channel
akan terbuka sehingga memungkinkan ion-ion positif untuk masuk, seperti Na+,
K+, dan Ca2+. Ion negative tidak bisa memasuki membrane karena didalam
membrane terdapat muatan negative yang kuat sehingga terjadi reaksi tolak
menolak. Influx Na+ yang massif membuat potensial aksi local di serat otot
yang segera menginisiasi potensial aksi pada membrane sel otot dan akhirnya
terjadi kontraksi otot.
Asetilkolin yang dilepaskan ke sinaps akan terus mengaktivasi reseptor
asetilkolin selama keberadaanya di sinaps tersebut. Akan tetapi, asetilkolin cepat
dipindahkan karena sebagian besar di degradasi oleh enzim asetilkolinesterase

38 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


yang terdapat pada lamina basalis, dan yang sebagian lagi berdifusi keluar dari
membrane sinaps.
Potensial aksi disebarkan melalui tubulus transverses yang menembus
seluruh serabut otot. Potensial aksi di tubulus transviersus menyebabkan
reticulum sarcoplasma mengeluarkan ion Ca2+ di tempat dekat dengan
myofibril dan akan menyebabkan kontraksi. Ca2+ berdifusi ke myofibril
Sel B Memproduksi
Antiboditroponin
terdekat dan berikatan dengan Anti AcH C
R dan terjadilah kontraksi.
Jika aktivitas listrik local berhenti, Ca2+ dikembalikan ke kantong lateral
reticulum sarcoplasma melalui mekanisme pompa Ca2+-ATPase. Aktivitas
listrik terhenti jika asetilkolinesterase yang menyingkirkan asetilkolin dari
neuromuscular junction. Jika tidak ada Ca2+ ditempat myofibril, troponin-
Antibody memblokade jalan
tropomiosin bergeser ke sisi aktif aktin sehinggaasetilkolin
tidak dapat melekat pada
ke reseptor
kepalajumlah
Menurunnya myosin (aktin kembali ke posisi semula) dan terjadilah relaksasi otot.
reseptor AcH di endplate
V. Kerangka Konsep

Menurunnya asetilokolin dari


presinaps ke postsinaps

Menurunnya
potensial aksi
Adanya aktivitas
yang berat

Menurunnya Kerja otot Lemah saat


kontraksi otot semakin lemah beraktivitas

Menurunnya
reseptor ACH di M. Refleks fisiologis menurun
levator palpebra

Kedua kelopak
mata sulit dibuka

Ptosis
Anti AcHbilateral
R menyerang
reseptor AcH di endplate
39 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10

Faktor usia Miastenia gravis Faktor jenis kelamin


Kelemahan otot

VI. Kesimpulan
Nn. Sinta mengalami ptosis bilateral karena menderita miastenia gravis grade 2
Daftar Pustaka

Aashit K Shah ,MD, Myasthenia Gravis,Emedicine, diunduh dari http://emedicine.


medscape.com, diunduh 8 September 2015
Amra,AA.2009.Koreksi Ptosis dengan Teknik Eksisi Levator Eksternal.[online].Cited:8
eptember 2015 . Available from
http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/1/09E01373.pdf

Adnyana Made Oka, dkk. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Miastenia Gravis. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana

Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:
Page: 519-534. 1984.

Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit EGC. Jakarta
Kelemahan otot
Harsono.2011.Buku Ajar Neurologi Klinis.Gadjah Mada University Press:Jakarta

40 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10

Kelemahan otot
Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.
htm. Accessed : March 22, 2008.

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. h:1-12.

Johns Hopkins Medicine. (n.d). Myasthenia Gravis. Retrieved from


http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disord
ers/myasthenia_gravis_85,P07785/.07-09-2015

Krucik, George.What causes droopy eyelid.Retrieved from


http://www.healthline.com /symptom/droopy-eyelid.08-09-2015

Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and
Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

Mardjono, Mahar. 2013. Neurologi Klinis Dasar Ed 16. Jakarta : Dian Rakyat. Halaman
1 12
National institute of neurological disorder and stroke (NINDS). (2010). Myasthenia
Gravis Fact Sheet. Retrieved from
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myastheniagravis/
detail_myasthenia_gravis.htm.07-09-2015

Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page:


301-305. 1991.

Snell, S Richard.2000.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Jakarta:Buku


Kedokteran EGC
Sylvia A Price, dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC

Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Airlangga, Surabaya, 1984. h:1-8.

Vaughan,dkk.2007.Oftalmologi Umum.Jakarta:Buku Kedokteran EGC

41 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10


Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia, sejarah Myasthenia Gravis,diunduh dari
http://www.Miastenia Gravisindonesia.org/ pada tanggal 8 September 2015

42 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10

Anda mungkin juga menyukai