BLOK 19
Disusun Oleh :
Kelompok B10
Tutor : dr. Rusdianto, SpM(K)
Dicky Hartono
(04011281320016)
(04011281320028)
Retrisia Rachmadina
(04011281320034)
M Sasini Rohideta
(04011381320010)
Monica Trifitriana
(04011381320042)
Klara Sinta
(04011181320002)
Mukhlasinia Aprilita
(04011181210026)
Muhammad Wasistha A.
(04011181320050)
(04011181320060)
Mela Roza
(04011181320064)
(04011181320080)
(04011181320108)
(04011181320114)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
tutorial yang berjudul Laporan Tutorial Skenario C Blok 19 sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada
kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan YME, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. dr. Rusdianto, SpM(K) selaku tutor kelompok B10
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD B 2013
Semoga Tuhan YME memberikan balasan atas segala amal yang diberikan kepada semua
orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Kelompok B10
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..
ii
Daftar Isi
Kegiatan Diskusi...
Skenario.
I.
Klarifikasi Isitlah.
30
V. Kerangka Konsep
43
VI. Kesimpulan
43
Daftar Pustaka...
44
KEGIATAN DISKUSI
Tutor
Moderator
: Muhammad Wasistha A.
Sekretaris 1
: Dicky Hartono
: Siti Evi Marissa
Pelaksanaan
Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin
moderator baru bicara
I. Klarifikasi Istilah :
1. Ptosis bilateral
2. Babinski
N.III.
: ditimbulkan dengan stimulus gesekan pada telapak kaki yang
menghasilkan dorsofleksi jari besar dan pengembangan jarijari yang lebih kecil, reflex ini merupakan indikasi kelainan
pada jalur control motorik utama dari korteks cerebral dan
3. Chaddock
jari lain.
4. Refleks fisiologis menurun : adanya penurunan rangkaian gerakan yang
dilakukan secara cepat bersifat involunter sebagai respon
5. Kelopak mata
II.
Identifikasi Masalah
1. Nn Sinta (20 thn) seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan
utama kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu.
Keluhan ini dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat.
(Main Problem)
2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika
sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan
seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan
setiap hari.
3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang
menderita penyakit sejenis.
4. Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,
RR : 20x/mnit, S : 37 C
6
reseptor
asetilkolin
akan
mengakibatkan
terhalangnya
transmisi
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah
40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu
diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Apapun pekerjaan
penderita miastenia gravis, ketika melakukan pekerjaan terus menerus maka
akan mengalami kelemahan otot.
d. Mengapa keluhan Nn. Sinta dirasakan makin hari makin berat secara perlahanlahan?
Hal ini terjadi karena proses autoimun dalam tubuh terus berlangsung tanpa
adanya pengobatan, sehingga keluhan dirasakan semakin berat.
2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika
sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan
seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan
setiap hari.
a. Bagaimana anatomi neuromuscularjunction?
Terlampir di learning issue
b.
c.
d.
Apa makna klinis kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari?
Miastenia yang diderita oleh Nn. Sinta bersifat tidak hilang timbul dan
semakin progresif. Dan kondisi tersebut hampir terjadi setiap hari dikarenakan
setiap harinya Nn. Sinta melakukan aktivitas sehingga kelemahan yang
dirasakan setiap hari.
3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang
menderita penyakit sejenis.
a. Apa makna klinis penyakit yang diderita pertama kali dan tidak ada riwayat
dalam keluarga?
Makna klinis tidak ada riwayat di dalam keluarga yaitu dimana penyakit bukan
disebabkan adanya factor genetic. Karena perlu diketahui bahwa penyebab
dari Miastenia gravis:
1.
Faktor genetic (yang diturunkan dari orang tua yang mengidap
penyakit miastenia gravis)
2.
Autoimun (Akibat dari Sistem kekebalan tubuh yang membuat
antibody tubuh (IgG) yang menyerang reseptor Ach di endplate motoric dari
otot sehingga menyebabkan penurunan reseptor Ach).
Hal ini menandakan bahwa penyakit yang diderita Nn. Sinta diakibatkan oleh
proses autoimun.
4. Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,
RR : 20x/mnit, S : 37 C
Pemeriksaan Fisik Khusus:
Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mata
Thorax: dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus?
Pemeriksaan
Kesadaran
Umum
Khusus
9
Nn. Sinta
Compos
mentis
Normal
Interpretasi
Compos mentis
Normal
Tekanan darah
120/80 mmHg
120/80 mmHg
Normal
Nadi
80x/menit
Normal
RR
20x/menit
16-24x/menit
Normal
Suhu
37 oC
36,5-37,5 oC
Normal
Kepala
Ptosis bilateral
Kelopak mata
Abnormal
dapat dibuka
sempurna
Thorax
Batas normal
Batas normal
Normal
Abdomen
Batas normal
Batas normal
Normal
2.
Margin-reflex distance
3.
4.
Levator function
5.
Bells Phenomenon
1.
limbus).
pemeriksa
Jika
harus
ptosis
unilateral,
membedakan
dengan
10
kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata
lain
2.
Margin-Reflex Distance
Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan kelopak atas
sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital.
4.
Levator Function
Untuk
mengevaluasi
levator,
fungsi
pemeriksa
otot
mengukur
alis
mencegah
11
mata
kerja
pasien
otot
untuk
frontalis.
Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak
refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas
diukur.
5.
Bells Phenomenon
Penderita
disuruh
menutup
Sedang : 5-8 mm
Interpretasi
Mekanisme Abnormal
Normal (tidak
ada
sampe ke tipe II
Motorik:
Kekuatan 5 pada ekstremitas
kelumpuhan)
Refleks fisiologis menurun
Tidak normal
12
Normal
Normal
Sensorik:
Tidak ada kelainan
Normal
Refleks Fisiologis
Skala
4+ = Hiperaktif (dengan klonus)
3+ = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal
2+ = Rata-rata, normal
1+ = Berkurang, normal rendah
0 = Tidak ada respon
REFLEK BISEP
Fleksikan siku klien, letakkan lengan bawah klien diatas paha dengan posisi
telapak tangan menghadap keatas
Letakkan ibu jari tangan kiri, diatas tendon bisep klien
Perkusi ibu jari pemeriksa dengan reflek hummer
Amati adanya fleksi ringan yang normal pada siku klien, rasakan kontraksi otot
bisep
REFLEK TRISEP
Fleksikan siku klien, sangga lengan klien dengan tangan nondominan
Palpasi tendon trisep sekitar 2-5 cm diatas siku
Perkusi reflek hummer pada tendon trisep
Amati adanya ekstensi ringan yang normal pada siku
REFLEK BRAKIORADIALIS
Letakkan lengan klien dalam posisi istirahat (pronasi).
Ketukkan reflek hummer secara langsung pada radius 2-5 cm diatas pergelangan
tangan atau processus stiloid.
Amati adanya fleksi dan supinasi normal pada lengan klien, jari-jari tangan
sedikit ekstensi.
14
REFLEK PATELA
Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan
bebas tidak menginjak lantai.
Tentukan lokasi tendon patella yang berada tepat dibawah patella (tempurung
lutut).
Ketukkan reflek hummer langsung pada tendon patela.
Amati adanya ektensi kaki atau tendangan kaki yang normal.
REFLEK ACHILLES
Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan
bebas tidak menginjak lantai.
Dorsofleksikan sedikit pergelangan kaki klien dengan menopangkan kaki klien
pada tangan pemeriksa.
Ketukkan reflek hummer pada tendon Achilles tepat diatas tumit.
Amati dan rasakan plantar fleksi (sentakan kebawah) yang normal pada kaki
klien.
REFLEK ABDOMINAL
Posisikan klien supinasi dan buka area abdomen.
Lakukan pemeriksaan dengan cara menggoreskan sikat pemeriksa secara
vertical, horizontal dan diagonal pada daerah epigastrik sampai umbilicus.
Normalnya dinding abdomen akan kontraksi.
Refleks Patologis
-Refleks Babinski
Goreskan ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan dimulai pada
tumit
menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, kemudian setelah
sampai
pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan ke medial sampai akhir pada
pangkal jempol
kaki. Refleks Babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai
pemekaran
jari-jari yang lain.
15
-Refleks Chaddock
Dilakukan goresan dengan ujung palu refleks pada kulit dibawah maleolus
eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari proksimal ke distal).
Refleks Chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai
pemekaran jari-jari
yang lain.
Kuduk: Pasien
tidur telentang
tanpa bantal.
Tangan
pemeriksa
kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat
bersifat ringan atau berat.
Hasil pemeriksaan:
- Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum,atau
fleksi leher normal
- Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk
Arti klinis:
Meningitis, meningoensefalitis, SAH, Karsinoma meningeal
17
pada persendian
sudut 90
derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan
dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan
kernig sign positif.
18
5. Reflex Hoffman dan Tromner: dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien.
Reflex Hoffman diperiksa dengan cara melakukan petikan pada kuku jari
tengah. Reflex tromner dilakukan dengan cara mencolek ujung jari tengah.
Reflex Hoffman-Tromner pofitif jika timbul gerakan fleksi pada ibu jari, jari
telunjuk, dan jari-jari lainnya.
6. Reflex babinski: goreskan ujung palu reflex pada telapak kaki pasien. Goresan
dimulai pada tumit menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak
kaki, kemudian setelah sampai pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan
ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Reflex babinski positif jika
ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.
7. Reflex Chaddock: dilakukan goresan dengan ujung palu reflex pada kulit
dibawah malelolus eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari
proksimal ke distal). Reflex chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu
jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari lain.
Analisa Aspek Klinis
a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus?
Anamnesis
19
interkostal
serta
diafragma
dapat
menyebabkan
retensi
satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh
satu nervus kranialis.Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi
secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah
satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras.
Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita
ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk
memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain:
Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg
tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon
disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji
ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
21
Kelas II
Kelas IIa
Kelas IIb
Kelas III
Kelas IIIa
Kelas IIIb
sedang.
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh , otot-otot aksial atau
keduanya
secara
predominan.
Terdapat
kelemahan
otot
Kelas IVa
Kelas IVb
23
Kelas V
dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin.
Sehingga
pada
pasien
miastenia
gravis,
antibodi
IgG
25
kekuatan
otot.
Obat-obatan
Kadang
yang
diberikan
digunakan
untuk
mengurangi
piridostigmin
bromida
pengobatan
miastenia
gravis.
Respon
terhadap
pengobatan
kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis
maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan
tapering pada pemberiannya.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga
dosis optimal tercapai.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T-helper. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis.
26
utama
pada
miastenia
gravis
dapat diobati
dengan
seperti
diare,
kram
abdominal,
hipersalivasi,
lakrimasi,
28
Terdapat
Lapisan
Palpebra, yaitu:
1.
Kulit & jaringan subkutan.
Sangat tipis dan elastis.
Tidak mempunyai lapisan lemak subkutan
Lapisan dermis: jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin,pemb
darah,limfe dan saraf.
Lapisan subkutan: folikel rambut & kelenjar sebacea.
2. Otot protraktor.
M.Orbikularis okuli yang melingkari fisura
orbita yang dipersyarafi oleh N. VII
Terdiri dari Tiga bagian :
b. Orbikularis orbital,
c. Orbikularis preseptal,
d. Orbikularis pretarsal.
3. Septum orbita.
29
Jaringan ikat berlapis berasal dari periosteum pada rima orbita superior-inferior di
daerah arkus marginalis.
Fungsi: sebagai barier antara orbita dan palpebra.
4. Lemak orbita.
Normal: letak di posterior septum orbita dan anterior dari aponeurosis levator.
Dapat mengalami herniasi ke palpebra.
Bantalan lemak sentral penting untuk operasi palpebra elektif dan repair laserasi
palpebra.
5. Otot retraktor.
Otot rektraktor palpebra superior: m. levator dan aponeurosisnya dan
m.tarsalis superior (muller).
Otot retraktor palpebra inferior: fasia kampsulopalpebral dan m.tarsalis
inferior.
M.Levator palpebra : otot utama dan berfungsi mengangkat palpebra superior
sekitar 15 mm.
M.Muller : fungsi memberi tambahan tonus dan hilang bila kelelahan atau
paralisis dan palpebra turun 2 mm.
6. Tarsus.
Terdiri dari jaringan padat.
Berfungsi sebagai rangka palpebra.
Ukuran tarsus superior: lebar 10 mm di sentral,panjang 25-29mm dan tebal 1 mm.
Ukuran tarsus inferior: lebar 3.5-4
mm di sentral,panjang 25-29 mm
dan tebal 1 mm.
Mengandung kelenjar Meibom: 3040 di palpebra superior ,20-30 di
palpebra inferior
30
7. Konjungtiva
Terdiri dari:
Konjungtiva palpebra.
Konjungtiva forniks.
Konjungtiva bulbi.
Persarafan Palpebra:
2 saraf motorik untuk gerakan palpebra.
N.III: mempersarafi m.levator palpebra untuk mengangkat palpebra superior
dan m.rektus inferior.
N.VII mempersarafi m.orbikularis okuli.
Visual pathway consists of:
Retina
Optic nerve
Optic chiasm
Optic tract
Lateral
geniculate
nucleus
(body)
Optic radiation ( geniculo
calcarina tract )
Visual cortex
31
B. Fisiologi
Mekanisme Menutup dan membuka mata
Diawali dari adanya rangsangan dari saraf simpatis pengeluaran adrenalin
Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan
muskulus levator palpebra.
Menutup mata:
Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu mempertemukan
kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata.
Membuka mata:
Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan kontraksi
dari muskulus levator palpebra di palpebra superior
2.
32
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor asetilkolin yang baru disintesis.
GEJALA KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi
pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini
akan berkurang apabila penderita beristirahat . Gejala klinis miastenia gravis
antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang
merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.Walaupun
pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya
otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan 6
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis2 .
Sewaktu- waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah,
pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari pallatum molle yang
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin
air itu dapat keluar dari hidungnya.
34
pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara
celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.
36
38
yang terdapat pada lamina basalis, dan yang sebagian lagi berdifusi keluar dari
membrane sinaps.
Potensial aksi disebarkan melalui tubulus transverses yang menembus
seluruh serabut otot. Potensial aksi di tubulus transviersus menyebabkan
reticulum sarcoplasma mengeluarkan ion Ca2+ di tempat dekat dengan
myofibril dan akan menyebabkan
Sel B kontraksi. Ca2+ berdifusi ke myofibril
Memproduksi
terdekat dan berikatan dengan
troponin C dan terjadilah kontraksi.
Anti Ca2+ dikembalikan ke kantong lateral
Jika aktivitas listrikAntibodi
local berhenti,
AcH R
Menurunnya
asetilokolin dari
presinaps ke postsinaps
Menurunnya
potensial aksi
Menurunnya
kontraksi
otot
Menurunnya
reseptor ACH
di M. levator
palpebra
Adanya
aktivitas yang
berat
Kerja otot
semakin
lemah
Refleks fisiologis
menurun
Kedua kelopak
mata sulit
dibuka
Ptosis
Anti AcH R
bilateral reseptor
menyerang
39 Laporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10
AcH di endplate
Faktor
Miastenia
Faktor jenis
Lemah
saat
beraktivit
as
Kelemahan
otot
VI. Kesimpulan
Nn. Sinta mengalami ptosis bilateral karena menderita miastenia gravis grade 2
Daftar Pustaka
Aashit K Shah ,MD, Myasthenia Gravis,Emedicine, diunduh dari http://emedicine.
medscape.com, diunduh 8 September 2015
Amra,AA.2009.Koreksi Ptosis dengan Teknik Eksisi Levator Eksternal.[online].Cited:8
eptember
2015
Available
from
http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/1/09E01373.pdf
Adnyana Made Oka, dkk. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Miastenia Gravis. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16:
Page: 519-534. 1984.
Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
KelemahanEdisi 9. Penerbit EGC. Jakarta
Harsono.2011.Buku Ajar Neurologi Klinis.Gadjahotot
Mada University Press:Jakarta
40
Kelemahan
Howard,
J.
F.
Myasthenia
Gravis,
Summary.
Available
at
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.
htm. Accessed : March 22, 2008.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. h:1-12.
Johns
Hopkins
Medicine.
(n.d).
Myasthenia
Gravis.
Retrieved
from
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disord
ers/myasthenia_gravis_85,P07785/.07-09-2015
Krucik,
George.What
causes
droopy
eyelid.Retrieved
from
http://www.healthline.com /symptom/droopy-eyelid.08-09-2015
Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and
Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.
Mardjono, Mahar. 2013. Neurologi Klinis Dasar Ed 16. Jakarta : Dian Rakyat. Halaman
1 12
National institute of neurological disorder and stroke (NINDS). (2010). Myasthenia
Gravis
Fact
Sheet.
Retrieved
from
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myastheniagravis/
detail_myasthenia_gravis.htm.07-09-2015
41
42