Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JANUARI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

LAPORAN KASUS

GAGAL NAPAS

OLEH :
Masriana Mursaling
(10542056314)

PEMBIMBING KLINIK :
dr. Zulfikar Djafar, M.kes, Sp.An

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Subhanu wa ta’ala
karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan
kasus dengan judul Gagal Napas ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat
senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang
memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. Zulfikar
Djafar, M.Kes, Sp.An yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang
sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan demi penyempurnaan laporan kasus ini.
Demikian, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara
umum dan penulis secara khususnya.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Januari 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Masriana Mursaling, S.Ked

NIM : 10542056314

Judul Lapsus : Gagal Napas

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Januari 2021

Pembimbing

dr. Zulfikar Djafar, M.kes, Sp.An

ii
A. KASUS

Seorang laki-laki usia 65 tahun dibawa oleh keluarganya ke Unit Gawat


Darurat RS dengan keluhan sesak napas dialami sejak 1 hari lalu. Riwayat
batuk lama dan tidak berobat teratur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tampak sianosis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 110 x/menit,
frekuensi napas 30 x/menit, suhu 39oC.

B. KALIMAT / KATA KUNCI

Keluhan Utama : Sesak napas sejak 1 hari yang lalu.


 Laki-laki 65 tahun
 Sianosis
 TD : 140/90 mmHg
 Denyut Nadi 110 x/menit
 Frekuensi Nafas 30x/menit
 Suhu 39oC
 Riwayat batuk lama dan tidak berobat teratur.

C. DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan skenario
2. Jelaskan penyebab gagal napas
3. Jelaskan patomekanisme sesak napas
4. Jelaskan patomekanisme batuk
5. Jelaskan patomekanisme sianosis
6. Jelaskan penatalaksanaan sesuai skenario
7. Jelaskan differential diagnosis pada skenario

1
D. PEMBAHASAN

1. Anatomi dan fisiologi terkait skenario


Anatomi Sistem Respirasi
Sistem pernapasan terdiri dari struktur yang terlibat dalam pertukaran
oksigen dan karbon dioksida antara darah dan atmosfer, yang disebut pernapasan
eksternal. Pertukaran gas antara darah dalam kapiler dari sirkulasi sistemik dan
jaringan di mana lokasi kapiler ini berada disebut sebagai pernapasan internal.1
Sistem pernapasan terdiri dari hidung eksternal, hidung internal, dan sinus
paranasal; faring, yang merupakan bagian umum untuk udara dan makanan;
laring, di mana suara diproduksi; dan trakea, bronkus, dan paru-paru. Struktur
aksesori yang diperlukan untuk pengoperasian sistem pernapasan adalah pleura,
diafragma, dinding toraks, dan otot yang mengangkat dan menurunkan tulang
rusuk saat inspirasi dan ekspirasi. Otot-otot dinding perut anterolateral juga
merupakan aksesori untuk ekspirasi yang kuat (kontraksinya memaksa diafragma
ke atas dengan menekan isi rongga perut dari bawah) dan digunakan dalam
pernapasan "perut". Otot-otot tertentu dari leher dapat mengangkat tulang rusuk,
sehingga memperbesar diameter anteroposterior toraks, dan dalam beberapa
keadaan, otot-otot yang menempelkan lengan ke dinding toraks juga dapat
membantu mengubah kapasitas thorax.1
Konsep penting dan bernilai klinis yang patut ditekankan pada saat ini
adalah membagi setiap paru-paru menjadi lobus dan segmen pada dasar
percabangan bronkial. Dari sudut pandang perkembangan embriologisnya, serta
fungsinya sebagai organ pernapasan yang sepenuhnya mapan, paru-paru memang
merupakan percabangan utama bronkus utama yang mengarah ke dalamnya.
Pengetahuan tentang subdivisi paru-paru atas dasar ini sangat penting bagi
anatomi, fisiologis, ahli patologi, ahli radiologi, ahli bedah, dan dokter dada
karena tanpa kunci tiga dimensi ini, tidak ada cara yang tepat untuk melokalisasi
lesi secara tepat dalam sistem pernapasan.1

2
Gambar 1. Anatomi trakea dan bronkus.1
Trakea dimulai di batas bawah laring (tepat di bawah tulang rawan
krikoid) di sekitar tingkat vertebra servikal keenam dan berakhir di sekitar
vertebra torakal kelima, di mana ia terbagi menjadi dua bronkus utama. Trakea
melewati laring ke tingkat batas atas dari vertebra torakal kelima, di mana ia
terbagi menjadi dua bronkus utama yang masuk ke paru-paru kanan dan kiri.
Sekitar 20 cincin tulang rawan berbentuk C menopang dinding anterior dan lateral
trakea dan bronkus utama. Dinding posterior, atau trakea membranosa, bebas dari
tulang rawan tetapi memiliki ikatan serat otot yang menyisipkan ke ujung
posterior cincin tulang rawan. Diameter luar trakea kira-kira 2,0 cm pada pria dan
1,5 cm pada wanita. Panjang trakea kira-kira 10-11 cm. Kelenjar mukosa sangat
banyak di aspek posterior mukosa trakea. Tepat di atas titik di mana bronkus
utama memasuki paru-paru, cincin tulang rawan berkumpul untuk mengelilingi
jalan napas sepenuhnya. Di posterior, ujung cincin bertemu, dan daerah membran
menghilang. cincin tidak lagi berbentuk C tetapi lebih kecil, lebih tidak beraturan,

3
dan tersusun di sekeliling dinding bronkus. Di hilus paru-paru, bronkus utama
terbagi menjadi bronkus lobar, di mana lempengan tulang rawan lebih besar dan
berbentuk pelana untuk menopang daerah percabangan ini. Pada tingkat di mana
tulang rawan benar-benar mengelilingi lingkar jalan napas, lapisan otot
mengalami penataan ulang. Ini tidak lagi menyisipkan ke dalam tulang rawan
(seperti di trakea) tetapi membentuk lapisan terpisah dari bundel yang saling
terkait di dalamnya. Dari titik ini dan yang lebih distal, saluran udara dapat
sepenuhnya tersumbat oleh kontraksi otot; namun, trakea tidak pernah mengalami
tindakan sphincteric lengkap seperti itu. Bronkus utama kanan lebih pendek dan
tidak terlalu tajam menjauhi trakea dibandingkan dengan kiri. Karena alasan ini,
benda asing mungkin lebih sering masuk ke bronkus utama kanan daripada di kiri
saat aspirasi yang terjadi saat duduk atau berdiri. 1

Gambar 2. Anatomi paru kanan dan paru kiri.1

4
Secara anatomis, paru-paru memiliki apeks, tiga batas, dan tiga
permukaan. Puncaknya terletak di atas tulang rusuk pertama. Tiga batas tersebut
meliputi batas anterior, posterior, dan inferior.2 Anatomi paru kanan dan kiri mirip
tetapi asimetris. Paru kanan terdiri dari tiga lobus: Right Upper Lobus (RUL),
Right Medial Lobus (RML), dan Right Lower Lobus (RLL). Paru-paru kiri terdiri
dari dua lobus: Left Upper Lobus (LUL) dan Left Lower Lobus (LLL).2
Permukaan medial (mediastinal) paru-paru kanan dan kiri menyajikan gambar
cermin cekung dari sisi kanan dan kiri mediastinum sehingga selain struktur yang
membentuk akar paru, permukaan paru medial menunjukkan kesan berbeda yang
dibuat oleh struktur yang membentuk mediastinum. 1 Batas anterior paru-paru
berhubungan dengan refleksi pleura, dan ini menciptakan lekukan jantung di paru
kiri. Batas inferior tipis dan memisahkan dasar paru dari permukaan kosta.
Perbatasan posterior tebal dan memanjang dari vertebra C7 ke vertebra T10, yang
juga dari puncak paru sampai batas inferior.2 Segmen bronkopulmonalis adalah
bagian paru yang disuplai oleh cabang primer bronkus lobar. Setiap segmen
dikelilingi oleh jaringan ikat yang berlanjut dengan pleura viseral dan membentuk
unit pernapasan yang terpisah dan independen secara fungsional.1
Menurut distribusi tulang rawan, saluran napas dibagi menjadi bronkus
dan bronkiolus. Bronkus memiliki cincin tulang rawan seperti yang dibahas
sebelumnya. Bronkiolus berada di distal bronkus di luar cincin terakhir tulang
rawan dan proksimal ke daerah alveolar. Bronkus besar memiliki kekakuan yang
cukup untuk mempertahankan patensi bahkan selama kolaps paru masif; bronkus
kecil runtuh bersama dengan bronkiolus dan alveoli. Bronkus kecil dan besar
memiliki kelenjar mukosa submukosa di dalam dindingnya. Tiga sampai lima
bronkiolus terminal membentuk lobulus. Acinus, atau unit pernapasan dari paru-
paru didefinisikan sebagai jaringan paru-paru yang disuplai oleh bronkiolus
terminal. Pada orang dewasa, asinus bisa berdiameter hingga 1 cm. Di dalam
acinus, tiga hingga delapan generasi bronkiolus pernapasan dapat ditemukan.
Bronkiolus pernapasan memiliki struktur bronkiolus di sebagian dindingnya tetapi
memiliki alveoli yang terbuka langsung ke luminanya juga. Di luar ini terletak
duktus alveolus dan kantung alveolar sebelum alveoli tercapai. 1

5
Fisiologi Sistem Respirasi
Fungsi utama paru-paru adalah untuk mengantarkan oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari darah saat melewati lapisan kapiler paru.
Fungsi ini dicapai melalui serangkaian proses yang kompleks dan sangat
terintegrasi. Langkah pertama dalam proses pertukaran gas esensial ini adalah
kontraksi otot-otot inspirasi, menghasilkan gaya (penurunan tekanan atau
perbedaan tekanan) untuk mengatasi hambatan paru-paru dan dinding dada dan
mengakibatkan aliran udara menuru ni gradien tekanan negatif dari pembukaan
jalan napas (mulut atau hidung) di sepanjang trakeobronkial ke dalam alveoli
paru. Pertukaran gas pernapasan dengan darah dan kapiler paru dibantu oleh
membran alveolar kapiler ultrathin tempat oksigen berdifusi melintasi membran
ke dalam darah. Karbon dioksida melewati arah yang berlawanan. Kecukupan
pertukaran gas dapat ditentukan dari ketegangan oksigen dan karbondioksida
dalam darah yang keluar dari paru-paru yang mensuplai organ-organ tubuh.1
Penilaian sifat mekanis paru-paru dan dinding dada serta evaluasi efisiensi
pertukaran gas di paru-paru secara klinis penting. Ketika abnormalitas terdeteksi
lebih awal, kerusakan mungkin masih dapat disembuhkan atau setidaknya dapat
diobati. Tes fungsi paru juga membantu dalam menjelaskan penyebab dasar dari
sesak napas, gejala umum penyakit paru, serta penting dalam mengkarakterisasi
patofisiologi dan memberikan ukuran keparahan penyakit paru. Tes fungsi paru
juga merupakan ukuran yang sangat baik untuk kesehatan umum dan risiko
kematian dari semua penyebab.1

Inspirasi adalah gerakan aktif dari otot interkostal dan diafragma.


Pergerakan otot pernafasan akan menyebabkan permukaan alveoli mengembang,
sehingga terjadi penurunan tekanan alveolar yang lebih rendah dari tekanan
atmosfir, dan akan menyebabkan udara di atmosfir masuk ke paru-paru. Ekspirasi
adalah gerakan spontan. Secara umum bersifat pasif karena pasien melakukan
ekspirasi sendiri dengan mengendurkan otot pernafasan. Ekspirasi berarti aliran
nafas keluar ke atmosfir; jadi tidak ada penghalang / hambatan.3

6
Terdapat tiga tahapan dalam proses respirasi yaitu:

a. Ventilasi
Proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbon
dioksida dari alveoli ke udara luar. Alveoli yang sudah mengembang tidak
dapat mengempis penuh karena masih adanya udara yang tersisa di dalam
alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dalam ekspirasi kuat. Volume
udara yang tersisa ini disebut dengan volume residu. Volume ini penting
karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah.5
b. Difusi
Proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta keluarnya
karbondioksida dari darah ke alveoli. Dalam keadaan beristirahat normal, difus
dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung
kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu
difus.6
c. Perfusi
Setelah oksigen berdifusi dari alveoli paru-paru ke dalam plasma darah kapiler
paru dan kemudian masuk ke sel darah merah, oksigen harus disimpan untuk
diangkut ke seluruh tubuh. Oksigen disimpan dengan dua cara: dalam larutan
fisik dalam plasma dan dalam kombinasi kimiawi dengan hemoglobin dalam
sel darah merah.1

2. Penyebab Gagal Napas


Kegagalan pernafasan merupakan suatu kondisi klinis yang terjadi ketika
sistem pernafasan gagal mempertahankan fungsi utamanya yaitu pertukaran gas
dimana PaO2 lebih rendah dari 60 mmHg dan / atau PaCO2 lebih tinggi dari 50
mmHg. Kegagalan pernafasan diklasifikasikan menurut kelainan gas darah
menjadi tipe 1 dan tipe 2. Gagal pernapasan tipe 1 (hipoksemik) memiliki PaO2
<60 mmHg dengan PaCO2 normal atau subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas
terganggu pada tingkat membran aveolo-kapiler. Contoh gagal napas tipe I adalah
edema paru karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat. Kegagalan

7
pernapasan tipe 2 (hiperkapnik) memiliki PaCO2> 50 mmHg. Hipoksemia sering
terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernapasan.7
Kegagalan pernafasan adalah sindrom pertukaran gas yang tidak adekuat
akibat disfungsi satu atau lebih komponen penting dari sistem pernafasan:7,8
o Penyebab SSP karena depresi dorongan saraf untuk bernapas seperti dalam
kasus overdosis narkotika dan obat penenang.
o Gangguan pada sistem saraf tepi: Kelemahan otot pernapasan dan dinding
dada seperti pada kasus sindrom Guillian-Barre dan miastenia gravis.
o Obstruksi saluran napas atas dan bawah: karena berbagai penyebab seperti
dalam kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik dan asma bronkial
akut berat
o Kelainan alveoli yang mengakibatkan gagal napas tipe 1 (hipoksemik) seperti
pada kasus edema paru dan pneumonia berat.
Etiologi dari sesak napas dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:8
a. Kegagalan sistem saraf
 Hipoventilasi sentral
 Neuropati
b. Kegagalan otot untuk memompa
 Distrofi otot
 Miopati
c. Kegagalan transmisi neuromuskuler
 Myasthenia gravis
d. Kegagalan jalan nafas
 Obstruksi
 Disfungsi
e. Kegagalan dinding dada dan ruang pleura
 Kyphoscoliosis
 Obesitas morbid
 Pneumotoraks
 Hidrotoraks

8
 Hemothorax
f. Kegagalan unit alveolar
 Kolaps
 Flooding: edema, blood, pus, aspiration
 Fibrosis
g. Pulmonary vasculature failure
 Emboli Paru
 Hipertensi Pulmonar

Penyebab umum dispnea akut dan kronis yaitu:9

DYSPNEA AKUT DYSPNEA KRONIS (biasanya


progresif)

Asma* Asma*
Trauma dada CHF, kegagalan ventrikel kiri *
Mengerahkan tenaga fisik Fibrosis kistik
Efusi pleura Efusi pleura
Radang paru-paru Penyakit paru interstisial
Edema paru Penyakit pembuluh darah paru
Emboli paru Penyakit tromboemboli paru
Perdarahan paru COPD
Pneumotoraks spontan Anemia berat
Edema paru jantung Dispnea psikogenik
Penyakit paru interstitial akut (mis., Gangguan hipersensitivitas
Perdarahan, ARDS) Kelainan dinding dada (misalnya
Obstruksi jalan napas bagian atas penyakit neuromuskuler,
(mis., Benda asing yang disedot, kyphoscoliosis, kelumpuhan
laringospasme) diafragma)

* Asma dan kegagalan ventrikel kiri merupakan penyebab kronis dispnea dengan

9
eksaserbasi paroksismal.
ARDS, sindrom gangguan pernapasan akut; CHF, gagal jantung kongestif;
COPD, penyakit paru obstruktif kronik.

Gejala dan tanda hipoksemia Gejala dan tanda hiperkapnia

 Dispnea, mudah tersinggung  Sakit kepala


 Kebingungan, mengantuk, pas  Perubahan perilaku
 Takikardia, aritmia  Koma
 Takipnea  Asterixis
 Sianosis  Papilloedema
 Ekstremitas hangat

3. Patomekanisme Sesak Napas


Dispnea (dis, sulit; pnea, pernapasan) didefinisikan sebagai pengalaman
subjektif dari ketidaknyamanan pernapasan yang terdiri dari sensasi berbeda
secara kualitatif yang intensitasnya bervariasi. Sensasi yang terkait dengan
dispnea berkisar dari sedikit kesadaran akan pernapasan hingga gangguan
pernapasan yang parah dan dapat dicampur dengan kecemasan pada kasus yang
parah. Sensasi yang dialami pasien merupakan produk dari berbagai faktor seperti
tingkat keparahan gangguan fisiologis dan kondisi psikologis pasien. 9
Dispnea adalah sensasi kehabisan udara dan tidak bisa bernapas cukup
cepat atau cukup dalam. Ini hasil dari beberapa interaksi sinyal dan reseptor di
SSP, kemoreseptor reseptor perifer, dan mechanoreceptors di saluran napas
bagian atas, paru-paru, dan dinding dada.10
Mekanoreseptor yang terletak di saluran udara, trakea, paru-paru, dan
pembuluh paru ada untuk memberikan informasi sensorik ke pusat pernapasan
otak mengenai volume ruang paru-paru. Ada 2 tipe utama sensor toraks: spindle
regangan yang beradaptasi lambat dan reseptor iritan yang cepat beradaptasi.
Sensor spindel yang bekerja lambat hanya menyampaikan informasi volume.

10
Namun, reseptor yang bekerja cepat merespons volume informasi paru-paru dan
pemicu iritasi kimiawi seperti agen asing berbahaya yang mungkin ada. Kedua
jenis sinyal mekanoreseptor melalui saraf kranial X (saraf vagus) ke otak untuk
meningkatkan laju pernapasan, volume pernapasan, atau untuk merangsang pola
pernapasan batuk yang salah akibat iritasi di saluran napas.10
Kemoreseptor perifer terdiri dari badan karotis dan aorta. Kedua situs
berfungsi untuk memantau tekanan parsial oksigen arteri dalam darah. Namun,
hiperkapnia dan asidosis meningkatkan sensitivitas sensor-sensor ini, sehingga
memainkan peran parsial dalam fungsi reseptor. Badan karotis terletak di
percabangan arteri karotis komunis, dan badan aorta terletak di dalam lengkung
aorta. Setelah dirangsang oleh hipoksia, mereka mengirim sinyal melalui saraf
kranial IX (saraf glossopharyngeal) ke nukleus traktus solatarius di otak yang,
pada gilirannya, merangsang neuron rangsang untuk meningkatkan ventilasi.
Diperkirakan bahwa badan karotis terdiri dari 15% dari total kekuatan pendorong
pernapasan.10
Kemoreseptor sentral memegang kendali mayoritas atas dorongan
pernapasan. Mereka berfungsi dengan merasakan perubahan pH di dalam SSP.
Lokasi primer di dalam otak termasuk permukaan ventral medula, dan nukleus
retrotrapezoid. Perubahan pH di dalam otak dan cairan serebrospinal di sekitarnya
terutama disebabkan oleh peningkatan atau penurunan kadar karbon dioksida.
Karbon dioksida adalah molekul lipid larut yang berdifusi bebas melintasi sawar
darah-otak. Karakteristik ini terbukti berguna karena perubahan pH yang cepat
dalam cairan serebrospinal dapat dilakukan. Kemoreseptor yang responsif
terhadap perubahan pH terletak di permukaan ventral medula. Saat area ini
menjadi asam, masukan sensorik dihasilkan untuk merangsang hiperventilasi, dan
karbon dioksida di dalam tubuh berkurang melalui peningkatan ventilasi. Ketika
pH naik ke tingkat yang lebih basa, terjadi hipoventilasi, dan tingkat karbon
dioksida menurun akibat penurunan ventilasi.10
Pusat pernapasan yang terletak di dalam medula oblongata dan pons
batang otak bertanggung jawab untuk menghasilkan ritme pernapasan dasar.
Namun, laju respirasi dimodifikasi dengan memungkinkan masukan sensorik

11
gabungan dari sistem sensorik perifer yang memantau oksigenasi, dan sistem
sensorik pusat yang memantau pH, dan secara tidak langsung, kadar karbon
dioksida bersama dengan beberapa bagian lain dari otak serebelar memodulasi
untuk membuat sinyal saraf terpadu. Sinyal tersebut kemudian dikirim ke otot
utama respirasi, diafragma, interkosta eksternal, dan otot tak sama panjang
bersama dengan otot kecil respirasi lainnya.10

4. Patomekanisme Batuk
Batuk adalah gerakan ekspirasi kuat yang mengeluarkan lendir dan benda
asing dari saluran udara. Batuk biasanya terjadi ketika reseptor iritan dirangsang
oleh peradangan, lendir, benda asing, atau gas berbahaya. Reseptor batuk terletak
terutama di laring, trakea, dan bronkus yang lebih besar. Efektivitas batuk
bergantung pada kemampuan menarik napas dalam, elastisitas paru-paru,
kekuatan otot ekspirasi, dan tingkat resistensi saluran napas. Kemampuan menarik
napas dalam-dalam dan menghembuskan napas dengan kuat sering kali terganggu
pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner, neurologis, atau neuromuskuler.11
Batuk efektif juga terganggu karena nyeri pada periode awal pasca operasi
setelah pembedahan perut bagian atas atau dada dan setelah trauma dada atau
perut. Seringkali, aliran ekspirasi dibatasi oleh faktor-faktor seperti bronkospasme
(misalnya, asma), penurunan elastisitas paru-paru (seperti pada emfisema), dan
kelemahan otot. Batuk yang tidak adekuat menyebabkan atelektasis, retensi
sekresi, dan peningkatan kerentanan untuk berkembang menjadi pneumonia dan /
atau hipoksemia. 11
Batuk adalah mekanisme refleks pelindung yang sebagian besar tidak
terkontrol yang bertanggung jawab atas pembersihan mukosiliar jalan napas dan
sekresi berlebih di dalam jalan napas. Refleks ini ditandai dengan penutupan
aparatus glotis dengan peningkatan berikutnya pada tekanan intratoraks yang
seringkali melebihi 300 mmHg. Ini diikuti dengan pengusiran paksa isi jalan
napas melalui glotis ke dalam ruang faring dan keluar dari tubuh. Mengingat sifat
kuat dari proses ini, dengan kecepatan pernafasan melebihi 500 mph dalam
beberapa kasus, sekresi mukus dilepaskan dari dinding jalan napas dan
dikeluarkan. Sementara tubuh secara fisiologis menggunakan refleks batuk

12
sebagai pelindung, ada kemungkinan bahwa penyimpangan dalam fisiologi
normal dapat menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan yang paling tidak
nyaman atau mengganggu pasien dan paling parah ganas untuk bertahan hidup
dengan ketidakstabilan hemodinamik. 12
Refleks batuk dimulai dengan iritasi kimiawi pada reseptor saraf tepi di
dalam trakea, titik percabangan saluran napas besar, dan saluran napas kecil yang
lebih distal. Mereka juga ada di faring. Reseptor laring dan trakeobronkial
merespons rangsangan mekanis dan kimiawi. Reseptor kimia sensitif terhadap
asam, panas, dan senyawa seperti kapsaisin melalui aktivasi reseptor kapsaisin
tipe-1. Selain itu, ada beberapa reseptor sensorik saraf yang terletak di dalam
saluran pendengaran eksternal, gendang telinga, sinus paranasal, faring,
diafragma, pleura, perikardium, dan perut yang semuanya mampu merangsang
refleks batuk. Ini adalah reseptor mekanis yang merangsang pemicu sekunder
seperti sentuhan atau peregangan. Reseptor sensorik ini diklasifikasikan menjadi 1
dari 3 kategori: reseptor yang beradaptasi dengan cepat, reseptor regangan yang
beradaptasi lambat, dan serat-C. Reseptor beradaptasi cepat adalah seperti
namanya neuron sensorik respon cepat mielin yang merespon dalam 1 sampai 2
detik. Neuron ini memiliki kecepatan konduksi 4 hingga 18 meter per detik.
Mereka mengkhususkan diri untuk merasakan kolaps atau penyempitan saluran
udara, dan responsif terhadap perubahan dinamis pada kepatuhan paru. Reseptor
ini akan menjadi tidak peka terhadap inflasi saluran udara yang berkepanjangan,
dan karena itu, tidak dapat memoderasi refleks inflasi kronis paru-paru. Perubahan
tersebut mungkin termasuk bronkospasme dengan penyempitan jalan napas,
penyumbatan mukosa dengan obstruksi saluran udara, atau perubahan fisiologis
lainnya dalam biomekanik saluran udara. Reseptor regangan yang lambat
beradaptasi juga sangat sensitif terhadap gaya mekanis yang bekerja pada saluran
udara. Namun, neuron ini berfungsi jauh lebih lambat daripada rekan mereka yang
bertindak cepat. Mereka ditemukan dalam kepadatan terbesar di dalam pohon
bronkiolus terminal dan alveoli paru-paru. Sesuai dengan namanya, ini terkait
dengan sensasi regangan di jalan napas seperti yang terlihat pada hiperinflasi.
Neuron ini tidak peka terhadap hiperinflasi kronis. Ini secara fisiologis penting

13
dalam memulai refleks Hering-Breuer di bagian akhir dari penghirupan untuk
menghentikan penghirupan dan menginduksi pernafasan begitu paru-paru
mencapai volume yang ditetapkan secara fisiologis untuk mencegah barotrauma.
Serabut-C terdiri dari sebagian besar persarafan sensorik aferen ke sistem paru.
Mereka adalah neuron tak bermielin yang mirip dengan saraf sensorik somatik
yang ditemukan di tempat lain di tubuh dengan kecepatan konduksi rata-rata 2
meter per detik. Tidak seperti reseptor yang bekerja cepat dan reseptor regangan
yang lambat beradaptasi, neuron ini relatif tidak sensitif terhadap rangsangan
mekanis yang hanya memberikan masukan iritasi kimiawi ke sistem saraf pusat.
Iritasi kimiawi yang diketahui termasuk kapsaisin, bradikinin, asam sitrat, larutan
garam hipertonik, dan sulfur dioksida. 12
Masukan sensorik ini dari reseptor perifer berjalan aferen melalui saraf
kranial X (saraf Vagus) ke pusat pernapasan otak di dalam batang otak bagian
atas, medula, dan pons. Meskipun belum sepenuhnya dipahami, pusat batuk di
otak belum tentu merupakan lokasi yang terpusat. Sebaliknya itu adalah modulasi
dari pusat pernapasan otak yang melekat. 11
Pusat pernapasan otak terdiri dari 3 kelompok neuron: kelompok meduler
dorsal dan ventral dan kelompok pontine. Pengelompokan pontine selanjutnya
disubklasifikasikan menjadi pusat pneumotaxic dan apneustic. Medula dorsal
bertanggung jawab untuk menghirup; medula ventral bertanggung jawab untuk
pernafasan, pengelompokan pontine bertanggung jawab untuk memodulasi
intensitas dan frekuensi sinyal meduler, sedangkan kelompok pneumotaksik
membatasi pernafasan dan pusat apneustik memperpanjang dan mendorong
pernafasan. Masing-masing kelompok ini berkomunikasi satu sama lain untuk
menyatukan upaya sebagai langkah membuat potensi pernapasan. Semua reseptor
batuk memproyeksikan masukan sensorik melalui nukleus traktus solarius ke
bagian lain dari jaringan pernapasan. 12
Mekanisme kerja batuk dapat dibagi lagi menjadi 3 fase menyeluruh: fase
inspirasi, fase kompresi, dan fase ekspirasi. Selama fase inspirasi, terjadi inhalasi
yang menghasilkan peningkatan volume di dalam sistem paru. Volume ini
diperlukan untuk menghasilkan pergerakan udara yang cukup agar produktif. Fase

14
kompresi ditandai dengan penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi otot
pernafasan termasuk interkostalis, diafragma, dan perut yang menyebabkan
peningkatan bersih tekanan intratoraks tanpa adanya pergerakan udara. Fase
ekspirasi ditandai dengan pembukaan glotis yang cepat yang menghasilkan aliran
udara ekspirasi volume tinggi yang cepat. Aliran udara yang cepat ini
menyebabkan getaran di dalam laring dan faring yang menyebabkan suara khas
batuk. Selama proses ini, kompresi jalan napas terjadi yang mengakibatkan
penurunan bersih volume intratoraks. Setelah pernafasan, rebound inhalasi dapat
terjadi, tergantung pada durasi episode batuk serta volume pergerakan aliran
udara, sebagai kompensasi untuk hipoksia yang berkembang atau inhalasi
refleksif.12

5. Patomekanisme Sianosis
Sianosis adalah kondisi patologis yang ditandai dengan perubahan warna
kebiruan pada kulit atau selaput lendir. Kata cyanosis adalah turunan dari kata
cyan, warna biru kehijauan. Adanya sianosis dapat menimbulkan tantangan
diagnostik yang serius. Evaluasi yang cermat dan menyeluruh dengan alat
diagnostik yang tepat dapat membantu membedakan penyebabnya.13
Penyebab Umum Sianosis Sentral yaitu:13
 Pulmonary
 Gangguan pertukaran gas akibat pneumonia
 Ketidakcocokan emboli dan perfusi ventilasi
 Difusi gas yang terganggu melalui alveoli
 Dataran tinggi
 Shunt anatomi
 Shunt kanan ke kiri pada penyakit jantung bawaan
 Malformasi arteriovenosa
 Shunt intrapulmonal
Sianosis biasanya terjadi ketika jumlah oksigen yang terikat ke
hemoglobin sangat rendah. Oksigen dalam darah dibawa dalam dua kondisi fisik.
Sekitar 2% dilarutkan dalam plasma dan 98% lainnya terikat pada hemoglobin.

15
Adanya sianosis mungkin merupakan indikasi pengiriman oksigen yang tidak
adekuat ke jaringan perifer. Ini juga bisa dikaitkan dengan peningkatan ekstraksi
oksigen oleh jaringan perifer. Beberapa faktor memainkan peran penting terkait
pengiriman oksigen ke organ akhir. Pengiriman oksigen adalah produk dari curah
jantung dan kandungan oksigen arteri. Output jantung ditentukan oleh preload,
afterload, dan kontraktilitas. Kandungan oksigen arteri adalah jumlah oksigen
yang terikat pada hemoglobin dan dilarutkan dalam plasma, kira-kira 1,34 mL per
1 g hemoglobin dan 0,003 mL oksigen per 100 mL plasma.13
Biasanya, ketika kadar hemoglobin terdeoksigenasi sekitar 3 sampai 5 g /
dL, sianosis menjadi sangat jelas. Adanya penyakit kuning, warna kulit, suhu
lingkungan, atau paparan cahaya dapat mempengaruhi penilaian sianosis. Anemia
atau polisitemia juga berperan dalam sianosis. Tingkat hipoksia yang diperlukan
untuk menghasilkan sianosis yang terbukti secara klinis bervariasi untuk tingkat
hemoglobin tertentu. Sianosis lebih sulit dibedakan bila kadar hemoglobin rendah.
Dengan kata lain, sianosis mungkin tidak terbukti secara klinis pada pasien
dengan anemia berat.13

6. Tatalaksana Pada Skenario


Penatalaksanaan gagal napas, yaitu termasuk tindakan suportif dan
pengobatan penyebab yang mendasari. Tindakan suportif yang bergantung pada
manajemen saluran udara untuk mempertahankan ventilasi yang memadai dan
koreksi kelainan gas darah.7
1) Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditunjukan untuk memperbaiki pertukaran gas.
a. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen7,14
Tujuannya adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang
memadai, umumnya dicapai dengan tekanan oksigen arteri (PaO2) 60
mmHg atau saturasi oksigen arteri (SaO2), sekitar 90%.
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan dengan gagal nafas dari

16
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa
dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang
oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya
kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnea.
Suplementasi oksigen yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
keracunan oksigen dan narkosis CO2 (karbon dioksida). Jadi konsentrasi
oksigen inspirasi harus disesuaikan pada level terendah, yang cukup untuk
oksigenasi jaringan.
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas.
Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan
cacat tetap dan kematian.
Oksigen dapat dikirim melalui beberapa rute tergantung pada situasi
klinis di mana kita dapat menggunakan kanula hidung, masker
nonrebreathing masker sederhana, atau kanula hidung aliran tinggi.
Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2
antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa
membran menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal

17
napas tipe hipoksemia, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko
retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya
cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk
penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi
abnormal. Oksigenasi membran ekstrakorporeal mungkin diperlukan
dalam kasus refraktori.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen
jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya
perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan
untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%)
oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien
dengan PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau
polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang. Pasien yang
menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan
untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan mendapat
terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi
meneruskan suplemen oksigen.
b. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi7,14
Hal ini dapat tercapai dengan menangani penyebab dasar atau
menyediakan dukungan ventilasi.
1) Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan
pemberian obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas
atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas buatan
dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi

18
mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas buatan adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan
obatobatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
2) Ventilasi: Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
ke mulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka
berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya
untuk memasukkan udara ke dalam paru.
Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin
ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon
ventilasi pada bagian dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis
respiratoris. Pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi
mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif
yang efektif.
Tujuan dari dukungan ventilasi pada pasien gagal napas, yaitu:
1) Mengoreksi hipoksemia;
2) Mengoreksi asidosis respiratoris akut;
3) Pengistirahatan otot-otot ventilasi.
Indikasi umum dalam penggunaan ventilasi mekanik, yaitu:
1) Apnea pada respiratory arrest;
2) Takipnea dengan RR > 30 kali/menit;
3) Gangguan level kesadaran atau koma;
4) Kelelahan otot-otot pernapasan;
5) Instabilitas hemodinamik;
6) Kegagalan suplementasi oksigen untuk meningkatkan PaO 2 ke 55-60
mmHg;
7) Hiperkapnia dengan pH arteri kurang dari 7,25.
c. Terapi suportif lainnya: Fisioterapi dada14

19
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan
bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat
inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-
tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage
postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik
dan bronkodilator.
Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik). Obat-obat ini
lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika
diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi
yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar
dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin
membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali lebih
banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas
lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga
tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek
samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan
disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke
intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-
obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas
berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus
parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan
terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik.

20
Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu dikombinasikan
dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium bromida tersedia dalam
bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergik agonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja
fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis
adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi.
Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang
lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan
kejang.
Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah
sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan
topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas
akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek
samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia,
retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar),
gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan
gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh
otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
2) Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik14
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari
penyebab gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya,
sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.

7. Differential Diagnosis Pada Skenario


a) Tuberculosis Paru
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru-paru. TB

21
adalah penyakit multi-sistemik dengan tampilan yang beragam. Sistem
organ yang paling sering terkena termasuk sistem pernapasan, sistem
gastrointestinal (GI), sistem lymphoreticular , kulit, sistem saraf pusat,
sistem muskuloskeletal, sistem reproduksi, dan hati.15
Pasien dengan penyakit pada kavitas paru biasanya datang dengan
batuk (kronis), kebanyakan disertai demam dan / atau keringat di malam
hari dan penurunan berat badan yang bertahap. Batuk mungkin tidak
produktif atau pasien mungkin memiliki dahak (mukopurulen atau
purulen), bercak darah atau mengalami hemoptisis masif. Gejala lain
berupa nyeri dada, dyspnea (meningkat secara bertahap daripada tiba-tiba),
anoreksia, dan malaise.16,17
Meskipun ARDS dilaporkan pada TB aktif dan penyebaran milier,
banyak pasien dengan infiltrat paru konfluen (non-miliary-pulmonary
tuberculosis) atau konsolidasi dengan gambaran klinis atipikal dapat
muncul dengan gagal napas akut. Namun, kegagalan pernafasan akut yang
berhubungan dengan pulmonary tuberculosis (PTB) dilaporkan memiliki
prognosis yang baik dengan kelangsungan hidup 67% jika dibandingkan
dengan 46% pada pasien dengan ARDS. PTB dengan riwayat singkat dan
hipoksemia memiliki prognosis yang baik, asalkan ditangani pada tahap
awal. Adanya gagal napas dengan presentasi akut merupakan salah satu
penyebab keterlambatan diagnosis TB aktif.18
Penyebab hipoksemia pada PTB non-milier adalah akibat dari
cedera langsung pada sel epitel alveolar dari antigen tuberkular melalui
lesi caseous yang mencair. Efek ini selanjutnya dapat ditekankan oleh
penyebaran bronkogenik. Sejumlah kecil antigen basil sudah cukup untuk
membangkitkan respon eksudatif di dalam tubuh host dan merupakan
penentu penting dari cedera langsung. Faktor kunci dalam proses di atas
adalah aktivasi makrofag alveolar. Mycobacterium tuberculosis membuat
sel endotel lebih rentan terhadap efek toksik TNF-alpha dan meningkatkan
ekspresi ICAM-1 pada sel endotel. Peningkatan ekspresi molekul ini
memungkinkan peningkatan pengikatan neutrofil ke endotel. Pada tahap

22
selanjutnya, penyebaran infeksi ke dalam darah dapat melukai endotel
vaskular secara difus. Hal ini dapat menyebabkan efek serupa yang terlihat
pada cedera tidak langsung dari sepsis yang mengarah ke ARDS.
Kombinasi dari proses ini pada akhirnya akan mempengaruhi gradien A-a
O2 yang mengarah ke hipoksemia, sehingga bermanifestasi sebagai gagal
napas.18
Tes konfirmasi dan diagnostik tuberculosis paru berupa:15
 Foto rontgen dada, diindikasikan untuk menyingkirkan atau
memastikan adanya penyakit aktif pada semua kasus tes skrining
yang positif.
 Pewarnaan Cepat Asam-Ziehl-Neelsen
 Culture
 Nuclear amplification and gene-based tests: Ini mewakili alat
diagnostik tuberkulosis generasi baru. Tes ini memungkinkan
identifikasi bakteri atau partikel bakteri dengan menggunakan
teknik molekuler berbasis DNA. Contohnya adalah Genexpert dan
DR-MTB.
Untuk pengobatannya sendiri dibagi menjadi beberapa yaitu:15
 Tuberkulosis Laten
Obat pilihan adalah isoniazid. Biasanya diberikan dengan
vitamin B6, pyridoxine (untuk mencegah kerusakan saraf).
Isoniazid direkomendasikan untuk orang Mantoux atau quantiferon
positif dan harus dilanjutkan selama 6 atau 9 bulan.
WHO merekomendasikan rejimen pengobatan berikut untuk
mengobati tuberkulosis laten:
- Isoniazid 6 bulan atau 9 bulan setiap hari
- Rifapentin 3 bulan plus isoniazid setiap minggu
- Isoniazid 3 bulan atau 4 bulan plus rifampisin setiap hari
- Hanya rifampisin 3 bulan atau 4 bulan setiap hari
 Pengobatan Infeksi Aktif

23
Pengobatan TB yang dikonfirmasi membutuhkan
kombinasi obat. Terapi kombinasi selalu diindikasikan, dan
monoterapi tidak boleh digunakan untuk tuberkulosis. Rejimen
paling umum untuk TB termasuk obat anti-TB sebagai berikut:
1) Treatmen untuk infeksi aktif

First-Line Medications, Group 1


o
Isoniazid - Dewasa (maksimum): 5 mg / kg (300 mg) setiap
hari; 15 mg / kg (900 mg) sekali, dua kali, atau tiga kali
seminggu. Anak-anak (maksimum): 10-15 mg / kg (300 mg)
setiap hari; 20-30 mg / kg (900 mg) dua kali seminggu (3).
Tablet (50 mg, 100 mg, 300 mg); sirup (50 mg / 5 ml); larutan
air (100 mg / ml) untuk injeksi IV atau IM.15
o
Rifampisin - Dewasa (maksimum): 10 mg / kg (600 mg) sekali
sehari, dua kali seminggu, atau tiga kali seminggu. Anak-anak
(maksimum): 10-20 mg / kg (600 mg) sekali sehari atau dua
kali seminggu. Kapsul (150 mg, 300 mg).15
o
Rifabutin- Dewasa (maksimum): 5 mg / kg (300 mg) setiap
hari, dua kali, atau tiga kali seminggu. Ketika rifabutin
digunakan dengan efavirenz, dosis rifabutin harus ditingkatkan
menjadi 450-600 mg setiap hari atau sebentar-sebentar. Anak-
anak (maksimum): Dosis yang tepat untuk anak-anak tidak
diketahui. Sediaan: Kapsul (150 mg) untuk pemberian oral.15
o
Rifapentine - Dewasa (maksimum): 10 mg / kg (600 mg),
sekali seminggu (fase lanjutan pengobatan) Anak-anak: Obat
ini tidak disetujui untuk digunakan pada anak-anak. Tablet
(150 mg, dilapisi film).14
o
Pyrazinamide - Dewasa: 20-25 mg / kg per hari. Anak-anak
(maksimum): 15-30 mg / kg (2.0 g) setiap hari; 50 mg / kg dua
kali seminggu (2.0 g). Tablet (500 mg).15
o
Etambutol - Dewasa: 15-20 mg / kg per hari: Anak-anak

24
(maksimum): 15-20 mg / kg per hari (2,5 g); 50 mg / kg dua
kali seminggu (2,5 g). Obat ini dapat digunakan dengan aman
pada anak-anak yang lebih tua tetapi harus digunakan dengan
hati-hati pada anak-anak yang ketajaman penglihatannya tidak
dapat dipantau (umumnya kurang dari 5 tahun) (66). Pada
anak-anak yang lebih kecil, penyelenggara dapat digunakan
jika ada kekhawatiran dengan resistensi terhadap INH atau
RIF. Persiapan. Tablet (100 mg, 400 mg) untuk pemberian
oral.15
Isoniazid dan Rifampicin mengikuti rejimen 4 obat (biasanya termasuk
Isoniazid, Rifampicin, Ethambutol, dan Pyrazinamide) selama 2 bulan atau
enam bulan. Vitamin B6 selalu diberikan bersama Isoniazid untuk
mencegah kerusakan saraf (neuropati).
Second-Line Anti-tuberculosis Drugs, Group 2
o Aminoglikosida suntik dan polipeptida suntik
o Aminoglikosida suntik
 Amikacin
 Kanamycin
 Streptomisin
o Polipeptida yang dapat disuntikkan
 Capreomycin
 Viomisin
Second-Line Anti-Tuberculosis Drugs, Group 3, Oral and Injectable
Fluoroquinolones
o Fluoroquinolones
 Levofloxacin
 Moxifloxacin
 Ofloxacin
 Gatifloxacin
Second-Line Anti-tuberculosis Drugs, Group 4
 Para-aminosalicylic acid
 Cycloserine

25
 Terizidone
 Ethionamide
 Prothionamide
 Thioacetazone
 Linezolid
Third-Line Anti-Tuberculosis Drugs, Group 5 
Ini adalah pengobatan dengan kemanjuran yang bervariasi tetapi belum
terbukti melawan TB. Obat ini digunakan untuk total TB yang resistan
terhadap obat sebagai obat pilihan terakhir.15
o Clofazimine
o Linezolid
o Amoksisilin / asam klavulanat

o Imipenem / Cilastatin
o Klaritromisin

2) MDR-TB, XDR-TB
TB yang resistan terhadap berbagai obat menjadi semakin umum.
Kombinasi obat lini pertama dan lini kedua digunakan pada dosis
tinggi untuk mengobati kondisi ini.
Bedaquiline
Pada 28 Desember 2012, Food and Drug Administration
Agency (FDA), menyetujui Bedaquiline sebagai obat untuk
mengobati TB-MDR. Ini adalah persetujuan FDA pertama untuk
pengobatan anti-TB dalam 40 tahun. Meskipun menunjukkan janji
yang luar biasa untuk tuberkulosis yang resistan terhadap obat,
biaya tetap menjadi kendala besar untuk memberikan obat ini
kepada orang yang paling terpengaruh oleh TB-MDR.
Pemantauan Klinis dan Laboratorium

26
Tes fungsi hati diperlukan untuk semua pasien yang
memakai isoniazid. Pemantauan lain pada TB termasuk
pemantauan retinopati untuk pasien yang menggunakan etambutol.

b) Bronkhitis Kronik
Bronkitis ditandai dengan peradangan bronkial yang
mengakibatkan batuk dan produksi dahak. Peradangan ini dapat bersifat
akut, biasanya akibat infeksi virus, atau mungkin merupakan manifestasi
dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang sudah berlangsung
lama. Bronkitis infeksius akut berbeda dari bronkitis kronis sehubungan
dengan etiologi, patofisiologi, dan pengobatan.19
Bronkitis akut adalah salah satu alasan paling sering untuk
kunjungan ke kantor dokter. Ini dapat didefinisikan sebagai penyakit
pernapasan menular, umumnya virus, yang berlangsung selama 1-3
minggu yang terjadi pada orang dewasa yang sehat dengan batuk sebagai
ciri utama. Selain batuk dan biasanya produksi dahak, bronkitis akut sering
kali melibatkan gejala pernapasan bagian atas dan keluhan konstitusional,
seperti kelelahan dan nyeri tubuh. Penyakit yang terdiri dari gejala-gejala
ini dapat diklasifikasikan sebagai bronkitis akut setelah diagnosis
pneumonia dikecualikan. 19
Sebagai salah satu bentuk penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
bronkitis kronik ditandai dengan obstruksi jalan nafas yang ireversibel
atau tidak lengkap yang menghasilkan penurunan aliran udara ekspirasi
maksimal. Definisi bronkitis kronis adalah bergejala. Artinya, ini adalah
suatu kondisi yang menghasilkan batuk yang menghasilkan lendir yang
muncul setidaknya selama 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-
turut dan tidak memiliki penyebab lain yang mendasari seperti
tuberkulosis, obstruksi jalan napas, penurunan aliran udara ekspirasi
maksimal, dan gejala yang berhubungan dengan pernapasan. Emfisema,
atau kerusakan alveoli, adalah manifestasi utama PPOK lainnya. Asma
nonremittant, melibatkan bronkokonstriksi yang ireversibel atau hanya

27
reversibel sebagian, juga dapat diklasifikasikan sebagai PPOK.
Bergantung pada tingkat keparahannya, bronkitis kronis dapat
menyebabkan gangguan fungsional minimal hingga signifikan. 19
Eksaserbasi akut bronkitis kronis berhubungan dengan dispnea
yang memburuk, peningkatan produksi sputum, dan peningkatan purulensi
sputum. Ini dapat diklasifikasikan sebagai severe (tipe 1) jika terdapat
ketiga gejala dan moderate (tipe 2) jika terdapat dua dari tiga gejala.
Eksaserbasi ringan didiagnosis jika salah satu dari gejala di atas terjadi
bersamaan dengan setidaknya salah satu dari berikut ini: infeksi saluran
pernapasan atas dalam 5 hari terakhir, demam tanpa penyebab yang jelas,
peningkatan mengi, batuk meningkat, dan laju pernapasan atau detak
jantung meningkat setidaknya 20% di atas nilai dasar.19
Obat-obatan yang tersedia untuk pengobatan bronkitis kronis /
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) tidak menurunkan penurunan
progresif fungsi pernafasan yang merupakan ciri dari kondisi ini.
Sebaliknya, mereka hanya mengurangi gejala dan komplikasinya. Satu-
satunya intervensi yang memperlambat perkembangan PPOK adalah
penurunan paparan zat yang memperburuk kondisi ini seperti asap
tembakau, debu dan bahan kimia pekerjaan, dan polutan udara.19

c) Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan pada alveoli dan jaringan di
sekitarnya. Pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri, umumnya dapat
diobati secara efektif dengan antibiotik. Vaksinasi yang dapat mencegah
infeksi oleh kuman tertentu juga tersedia.20
Tanda-tanda khas pneumonia adalah:20
 Demam tinggi dan menggigil
 Malaise
 Batuk berdahak (sputum)
 Sesak napas dan napas cepat
 Racing pulse

28
Gejala tidak selalu terjadi pada waktu yang bersamaan. Khususnya
anak-anak dan orang tua mungkin tidak menunjukkan beberapa gejala,
atau gejala lain yang kurang khas seperti diare, sakit perut atau kantuk dan
kebingungan.20
Pneumonia seringkali dapat didiagnosis berdasarkan gejala
khasnya. X-ray paru-paru juga dapat menunjukkan di mana dan berapa
banyak jaringan paru-paru yang meradang, misalnya. Pemeriksaan sinar-X
yang lebih rumit, CT scan juga terkadang diperlukan. Perubahan pada
bagian luar paru-paru juga dapat dilihat dengan USG.20
Darah juga diambil untuk mengukur tingkat peradangan. Karena
paru-paru yang meradang tidak lagi berfungsi dengan baik, mungkin perlu
dilakukan pemeriksaan kandungan oksigen dalam darah. Itu juga dapat
dilakukan tanpa mengambil darah dengan menggunakan oksimetri. Darah,
urine, dan lendir (dahak) dapat diuji di laboratorium untuk mengetahui
dengan tepat kuman penyebab peradangan tersebut.20
Karena infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri, pneumonia
biasanya diobati dengan antibiotik. Antibiotik yang tepat tergantung pada
jenis bakterinya. Perawatan berlangsung sekitar 5 hingga 7 hari. Antibiotik
bisa diminum sebagai tablet atau sirup. Bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan risiko komplikasi, perawatan di rumah sakit terkadang
diperlukan. Antibiotik biasanya diberikan sebagai infus di sana. Beberapa
orang dengan pneumonia berat juga diberikan suntikan steroid. Kadang-
kadang perlu menghirup oksigen dengan menggunakan masker; respirasi
buatan lebih jarang dibutuhkan. Jika pneumonia disebabkan oleh virus,
diperlukan obat lain, seperti virostatis untuk melawan virus flu.20

29
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaminsky DA. The Netter Collection Of Medical Illustrations:Respiratory
System 2nd Edition Volume 3. Elsevier Inc. 2011.
2. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta : EGC.
2014
3. Pupella RA. Mechanical Ventilation in Patient with Respiratory Failure.
Singapore: Springer Nature. 2018
4. Gilroy, Anne M, Brian R. MacPherson, Lawrence M. Ross – Atlas of
Anatomy. New York : Thieme Medical Publishers. 2012
5. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6.
Jakarta: EGC. 2012
6. Chaudhry, Raheel, Bruno Bordoni. Anatomy, Thorax, Lungs. National
Centre for Biotechnology Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470197/
7. Shebl E, Burns B. Respiratory Failure. National Centre for Biotechnology
Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/
8. Katyal P, dkk. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of
Mechanical Ventilation. American Thoracic Society
9. Heuer AJ, Scanlan CL. Wilkins’ Clinical Assessment In Respiratory Care
7th Edition. USA: Elsevier. 2014.
10. Hashmi MF, Modi P, Sharma S. Dyspnea. National Centre for
Biotechnology Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499965/
11. Kacmarek RM, Stoller JK, Heuer AJ. Egan’s Fundamentals of
Respiratory Care: 12th Edition. Elsevier. 2012.
12. Sharma, Sandeep, Muhammad F. Hashmi, Mohamed S. Alhajjaj. Cough.
National Centre for Biotechnology Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493221/

iii
13. Adeyinka A, Kondamudi NP. Cyanosis. National Centre for
Biotechnology Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482247/
14. Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. Diagnosis dan Penalaksanaan
Gagal Nafas Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
15. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. National Centre for Biotechnology
Information. 2020. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
16. Heemskerk D, Caws M, Marais B, et al. Tuberculosis in Adults and
Children.London: Springer; 2015.
17. Campbell IA, Bahsow O. Pulmonary tuberculosis: diagnosis and
treatment. BMJ Publishing Group. 2006
18. Kilaru SC, at all. Active pulmonary tuberculosis presenting with acute
respiratory failure. National Centre for Biotechnology Information. 2019.
Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6635142/
19. Woodfork K. Bronchitis. USA: Elsevier Inc. 2007
20.  Institute for Quality and Efficiency in Health Care. Pneumonia:
Overview. National Centre for Biotechnology Information. 2018.
Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525774/#_i2681_introduction_

iv

Anda mungkin juga menyukai