Anda di halaman 1dari 8

Case of the week AV Fistula sebagai Komplikasi Akses Intravena Author : dr. Victor Herlambang S.

. Senin, 24 Agustus 2009 10:24:30 Dipresentasikan : Selasa, 18 Agustus 2009 PENDAHULUAN Pemasangan akses intravena seperti pemasangan kateter vena sentral merupakan salah satu prosedur yang dikerjakan dalam perawatan pasien rawat inap di RS, terutama di ruang rawat intensif. Semakin lama penggunaan akses intravena tersebut akan membawa konsekuensi yang semakin banyak. Selain infeksi, ada beberapa komplikasi lain yang dapat dijumpai, arteriovenous (AV) fistula merupakan salah satu komplikasi tersebut. AV fistula adalah hubungan abnormal diantara sistem arterial dan vena, bisa kongenital maupun didapat1. Kebanyakan AV fistula diakibatkan oleh luka tusuk, biasanya sekunder dari tindakan diagnostik dan terapeutik seperti biopsi renal perkutan, hemodialisis, kateterisasi jantung, dll. AV fistula kongenital maupun yang didapat jarang dijumpai pada anak-anak, insidennya kurang dari 0,03%. Lokasi yang tersering adalah lengan dan tungkai. Mekanisme patologik yang melatarbelakangi AV fistula sekunder akibat trauma tusukan pembuluh darah masih belum jelas. Karena posisi arteri brakialis dan vena mediana kubiti sangat dekat, terjadinya AV fistula cukup sering di tempat ini2. Meskipun jarang terjadi, AV fistula dapat menimbulkan masalah yang cukup berat. Seringkali belum nampak tanda-tanda pada awal terbentuknya dan sering salah didiagnosis atau bahkan diabaikan. Tanda-tanda adanya AV fistula antara lain pada palpasi didapatkan massa yang berdenyut, getaran (thrill) dan pada auskultasi dapat didengar adanya bruit. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi Magnetic Ressonance Angiography (MRA), doppler sonografi, dan B-mode ultrasonografi3. Penanganan AV fistula tergantung besar dan lokasi fistulanya. reparasi operatif direkomendasikan pada pasin dengan resiko rendah. Pada beberapa kasus embolisasi angiografik mungkin cukup untuk menutup fistula distal yang lebih kecil. Repair endovaskuler menjadi semakin populer dalam penanganan AV fistula traumatik3.

ILUSTRASI KASUS Pasian Anak S., umur 1 tahun 10 bulan, dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) pada tanggal 15 Mei 2009 dengan keluhan utama paha kiri bengkak. Bengkak dikeluhkan sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu dan semakin hari semakin besar, hampir dua kali lipat besarnya paha kanan pasien. Bengkak tersebut tidak menimbulkan rasa nyeri, tidak kemerahan dan tidak ada luka terbuka. Bagian bawah tungkai kiri tidak pernah bengkak. Menurut orang tua pasien, bengkak tersebut muncul beberapa bulan setelah rawat inap di PJNHK pada bulan April 2008. Pasien pernah dirawat di PJNHK pertama kali tanggal 16 November 2007 (usia 2,5 bulan) dirujuk dari RS Banyu Asih Purwakarta dengan Tetralogy Fallot dan kejang berulang curiga

spell. Pasien saat itu dikeluhkan biru yang akan bertambah jelas bila menangis tetapi tidak sampai sesak dan mengalami penurunan kesadaran. Pasien juga dikeluhkan sering kejang tanpa adanya pencetus demam sebelumnya, sulit menyusu saat bulan-bulan pertama kehidupan, tumbuh kembang terhambat dimana pasien sulit bertambah berat badannya. Sedangkan riwayat batuk panas berulang dan sesak nafas disangkal. Riwayat kehamilan ANC nya teratur, ibunya menderita kista di kandungan, minum obat-obatan disangkal. Riwayat persalinan melalui Cessar karena sekalian angkat kista tersebut, cukup bulan, berat lahir 3,2 kg, langsung menangis, tampak biru. Pasien anak kedua dari 2 bersaudara, tak ada riwayat PJB dalam keluarga. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didiagnosis sebagai Transposition of Great Arteries (TGA), Intact Ventricular Septum (IVS), Atrial Septal Defect (ASD) sekundum dan Pulmonal Stenosis (PS) subvalvar ringan. Untuk memperbaiki keadaan umum dilakukan Balloon Atrial Septostomy (BAS) pada tanggal 19 November 2007. Karena riwayat kerjang berulang dan atas anjuran dokter spesialis anak neurologi RSABHK dilakukan CT scan kepala tanggal 26 November 2007 yang menunjukkan adanya iskemia hipoksik ensefalopati dan hematom lobus frontalis kanan dan parieto-oksipitalis kanan-kiri. Pasien sempat dirawat selama 7 hari di ICU dan 8 hari di IW anak, sebelum diperbolehkan pulang tanggal 19 Desember 2007. Dipertimbangkan untuk operasi arterial switch apabila neurologis membaik dan keluarga selesai mengurus bantuan biaya Jamkesmas di daerah asalnya. Pasien tidak kontrol lagi setelah itu. Bulan Februari 2008 pasien dibawa ke poliklinik PJNHK dengan keluhan kejang yang kadangkadang muncul. Setelah itu pada tanggal 14 Maret 2008 pasien dirawat inap lagi di PJNHK dengan keluhan utama kejang. Hasil CT scan tanggal 17 Maret 2008 menunjukkan perdarahan subarachnoid di sulkus sinus sagitalis superior dan hidrosefalus. Namun dari hasil konsultasi bagian bedah syaraf, terapinya secara konservatif. Demikian pula Konferensi Bedah Pediatrik tanggal 26 Maret 2008, mempertimbangkan kelainan syaraf yang tak kunjung membaik, memutuskan terapi konservatif. Setelah dipulangkan pada tanggal 27 april 2008, pasien tidak kontrol lagi ke poliklinik dengan alasan tidak ada biaya dan dikatakan jantung tidak dapat dioperasi. Selama ini kontrol di RSUD setempat dan RSHS Bandung yang ditanggung biayanya oleh ASKINDA. Riwayat tumbuh kembang terganggu, kontak emosi kurang, berat badan cukup tetapi perkembangan motorik jauh terhambat. Sampai saat ini belum bisa angkat kepala, tengkurap, duduk ataupun berdiri. Pada pemeriksaan fisik saat masuk perawatan tanggal 15 Mei 2009 didapatkan berat badan 12 kg, tampak sakit sedang, komposmentis, biru dan perkembangan motorik terlambat. Tekanan darah yang diukur dari tangan kanan 120/83 mmHg, tangan kiri 123/85 mmHg, kaki kanan 113/71 mmhg, kaki kiri 117/84 mmHg, nadi 110 kali/menit, laju nafas 30 kali/menit, suhu 36,2C dan saturasi oksigen pada tangan kanan 84%, tangan kiri 83%, kaki kanan 84%, kaki kiri 82%,. Pada pemeriksaan mata tak dijumpai konjungtiva anemis maupun sklera ikterik. Pada pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung 1 dan 2 normal, bising ejeksi sistolik grade 2/6

terdengar maksimal di sela antar iga 2 kiri linea parasternal menjalar ke area anterior dada, gallop tak didapatkan. Pada pemeriksaan paru, suara dasar vesikuler normal, ronki dan wheezing tak didapatkan. Pemeriksaan abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan bengkak pada paha kiri dengan adanya bruit, tidak kemerahan, tidak nyeri tekan, tak teraba thrill, konsistensi agak keras, tungkai bawah tidak bengkak, pulsasi kedua tungkai bawah kuat dan ekual, didapatkan sianosis dan clubbing fingers di keempat ekstremitas, akral hangat dan tidak didapatkan edema. Dari perekaman EKG (Gambar 1) didapatkan irama sinus, QRS rate110 kali/menit, QRS aksis +130, gelombang P normal, PR interval 0,14, durasi QRS 0,08, R di V1 = 12, R di V2 = 20, S di V5 = 5, S di V6 = 6, R/S di V1 > 1, perubahan ST-T tidak didapatkan. Foto Rontgen dada menunjukkan kardiomegali dengan CTR 65%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, apex upward, vaskularisasi paru normal. Hasil laboratorium menunjukkan: Hemoglobin: 23,5 g/dl, Hematokrit: 67 vol%, Lekosit: 9700 /mm3, LED: 1 mm/jam, Trombosit: 175000/mm3, Fibrinogen: 225 mg/dl, D-dimer: 1900 ng/ml, ureum: 13 mg/dl, BUN: 6,07 mg/dl, creatinin: 0,4 mg/dl, GDS: 77 mg/dl. Diagnosis kerja saat masuk adalah Deep Venous Thrombosis (DVT) regio femoralis kiri, TGAIVS, ASD sekundum dan PS, serta Cerebral Palsy. Pasien mendapat terapi heparin intravena bolus 720 unit (60 unit/kg) dilanjutkan heparin drip 120 unit/jam (10 unit/kg/jam) dengan APTT dipertahankan 1,5-2,5 kali kontrol. Pasien direncanakan Doppler Sonografi regio femoral tetapi menunggu kelengkapan adminitrasi. Tanggal 21-7-2009 pasien menjalani pemeriksaan Duplex Sonografi Femoral (Gambar 2), hasilnya didapatkan AV fistula pada regio femoralis komunis kiri, tidak didapatkan trombosis pada vena dalam di kedua tungkai, arteri pada kedua tungkai normal flow. Hasil echo pada tanggal yang sama didapatkan TGA IVS, atrial septum sulit tervisualisasi ASD pasca BAS (?), dan PS subvalvar severe denga grad 60-70 mmHg, LV dimensi cukup dan LVPW tebal 5 mm, RA, RV dilatasi, arkus aorta normal. Diagnosis akhir adalah AV fistula regio femoralis kiri dan pasien dikonsultasikan ke bagian Bedah Vaskuler, terapi heparin dihentikan. Hasil Konferensi Bedah Pediatrik tanggal 25 Juli 2009 menyetujui repair/ligasi AV fistula dengan konsultasi bagian Neurologi lebih dulu untuk kepentingan ada tidaknya indikasi kontra anestesi umum. Hasil konsultasi Neurologi tanggal 25 Juli 2009 tidak ada indikasi kontra operasi. Hasil Konferensi Vaskuler pada tanggal 27 Juli 2009 menyetujui dilakukan repair AV fistula. Pasien menjalani repair AV fistula tanggal 28 Juli 2009 dan post operasi pasien dirawat di ICU dengan perkembangan semakin membaik dari hari ke hari. Pasien kembali ke ruang rawat anak tanggal 1 Agustus 2009. Tanggal 3 Agustus 2009 menjalani pemeriksaan Duplex Sonografi Femoral pro evaluasi (Gambar 3) dengan hasil DVT kronis pada vena femoralis komunis kiri, AV fistula pada regio femoralis komunis kiri negatif, arteri dan vena tungkai kanan normal flow.

Pasien mendapatkan terapi heparin intravena bolus 1200 unit (100 unit/kg) dilanjutkan heparin drip 120 unit/jam (10 unit/kg/jam) dengan mempertahankan APTT 1,5-2,5 kali kontrol kemudian diberikan warfarin oral untuk penatalaksanaan jangka panjang. Pasien dipulangkan tanggal 11 Agustus 2009 dengan keadaan baik.

TINJAUAN PUSTAKA Pemasangan akses intravena seperti kateter vena sentral menyebabkan trauma vaskuler dan dapat menimbulkan komplikasi yang bisa muncul lama setelah penggunaannya. Komplikasi lanjut dari trauma vaskuler dapat muncul dalam berbagai macam kelainan dan kadang-kadang tak terdiagnosis pada waktu awal munculnya. Yang cukup sering muncul dan merepotkan adalah infeksi graft, aneurisma traumatik kronis, AV fistula dan sindroma nyeri paska traumatik4. Aneurisma traumatik kronis timbul akibat cedera robek arterial yang menyebabkan terjadinya hematom perivaskuler, yang akan membentuk pseudoaneurisma. Pada kasus yang lain, cedera tumpul arterial menyebabkan kelemahan dinding arterial dan terbentuknya aneurisma sejati. Aneurisma traumatik secara umum muncul tanpa rasa nyeri, adanya massa yang berdenyut (pulsatile) pada pasien dengan riwayat trauma. Iskemia pada distal aneurisma dapat muncul bila ada trombosis sekunder, dan gejala kompresi syaraf dapat terjadi juga. Aneurisma abdominal dan torakal biasanya tanpa gejala sampai komplikasinya muncul. CT scan dan ultrasound bermanfaat untuk penegakan diagnosis aneurisma ini. Penatalaksanaan dengan operasi dianjurkan mengingat kemungkinan ruptur, trombosis, sindroma kompresi dan komplikasi lainnya. Ukuran aneurisma menetukan penatalaksanaan yang akan dipilih. Bila kecil, mungkin dengan ligasi sederhana. Bila besar, perlu penanganan yang lebih serius4. AV fistula merupakan hubungan abnormal diantara sistem arterial dan vena, bisa kongenital maupun didapat. Kebanyakan AV fistula diakibatkan oleh luka tusuk, biasanya sekunder dari tindakan diagnostik dan terapeutik seperti biopsi renal perkutan, hemodialisis, kateterisasi jantung, dll. Baik AV fistula kongenital maupun didapat, jarang dijumpai pada anak-anak, dengan insidennya kurang dari 0,03%1. Lokasi yang tersering adalah lengan dan tungkai. Mekanisme patologik yang melatarbelakangi AV fistula sekunder akibat trauma tusukan pembuluh darah masih belum jelas. Karena posisi arteri brakialis dan vena mediana kubiti sangat dekat, terjadinya AV fistula cukup sering di tempat ini. Untuk membedakan AV fistula kongenital dari AV fistula didapat, pada yang kongenital biasanya di regio sefalik, hepatik atau pulmoner1. Pada AV fistula adanya flow yang deras akan mengakibatkan hipertrofi konsentrik dari vena, sedangkan arterinya terjadi pelebaran diameter tanpa hipertrofi. Sel endotel memegang peran penting, dengan melepaskan nitrit oksida (NO) dan prostasiklin, diikuti oleh aktivasi faktor transkripsi, termasuk NF-κB, c-fos, c-jun, dan SP-1. Mediator respon adaptif meliputi integrin, focal adhesion-associated protein, dan stretch-sensitive calcium channels. Pelepasan nitrit oksida menyebabkan peningkatan jumlah cGMP dan terjadi vasodilatasi, sebaliknya de-

endothelialisasi akan menyebabkan hilangnya reaksi dilatasi tersebut5. Bila AV fistula tidak terdiagnosis dalam waktu lama, shunt yang terjadi akan mengakibatkan dilatasi pada arteri afferen dan vena efferen yang terlibat, terjadi komplikasi varikose yang pulsatil atau venolimfatik tropik seperti ulserasi vena. Seiring berjalannya waktu bisa timbul gagal jantung6. AV fistula traumatik kronis umumnya disebabkan oleh luka tusuk yang menembus arteri sekaligus vena yang berdekatan. Ini akan menyebabkan darah mengalir dari arteri yang bertekanan tinggi ke dalam vena yang bertekanan rendah, sehingga saluran ini akan menjadi paten dalam bentuk fistula. Beda dengan aneurisma traumatik, AV fistula bisa muncul dimana saja. Gejala yang timbul tergantung dari ukuran fistula. Massa yang berdenyut (pulsatile) atau getaran (thrill) pada lokasi yang terkena trauma tusuk bisa muncul. Fistula yang besar pada ekstremitas teraba hangat, berbanding terbalik dengan bagian distalnya yang teraba dingin. Bisa didapatkan tanda-tanda hipertensi vena yang meliputi varikose dan insufisiensi vena kronis. Fistula yang besar dapat mengakibatkan stress hemodinamik yang bermakna meliputi high output cardiac failure. Reparasi operatif direkomendasikan pada pasien dengan resiko rendah. Pada beberapa kasus embolisasi angiografik mungkin cukup untuk menutup fistula distal yang lebih kecil. Sama seperti aneurisma traumatik, macamnya repair tergantung lokasi dan ukuran fistula. Reparasi endovaskuler menjadi semakin populer dalam penanganan AV fistula traumatik4. Pemeriksaan fisik untuk ekstremitas yang mengalami AV fistula didapatkan thrill pada perabaan dan bruit pada auskultasi di lokasi tersebut. Bila AV fistula nya besar bisa didapatkan bengkak di distal AV fistula akibat bendungan vena dan waktu perdarahan yang memanjang bila mencabut jarum dari tempat tusukan5. Ultrasonografi merupakan metoda diagnostik standar untuk evaluasi trauma pada strukturstruktur jaringan lunak. Duplex ultrasonografi memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 99% dan akurasi 98% untuk menilai cedera jaringan perifer7. Keterbatasan utamanya adalah ketidakmampuan Doppler sonografi untuk mendeteksi defek intimal dan aneurisma palsu yang kecil. B-mode ultrasonografi memiliki keuntungan dalam pencitraan pembuluh darah ekstremitas dengan resolusi seperti angiografi biplanar. Meskipun penerapan utamanya pada pembuluh darah karotis, trombosis vena dalam, dan penyakit vaskuler yang lain, penggunaan untuk evaluasi cedera vaskuler mulai dipertimbangkan akhir-akhir ini. Keuntungannya adalah non invasif, dapat diketahui hasilnya dengan cepat, lebih aman dan lebih murah. Juga dapat menentukan adanya defek intimal yang tak dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik dan duplex sonografi. Dalam 5 tahun terakhir, MRA telah menjadi alternatif untuk mendiagnosis trauma vaskuler. Meskipun tidak luas digunakan, tetapi memiliki keuntungan dibandingkan modalitas lain yaitu dalam hal pencitraan beberapa struktur vaskuler secara simultan. Kekurangan utamanya adalah bahwa tidak semua institusi kesehatan memiliki dan adanya instrumen ortopedi atau adanya alat-alat yang terbuat dari logam dapat mengganggu pencitraannya3. Komplikasi AV fistula antara lain steal phenomenon dimana fistula yang resistensi nya rendah akan menghisap aliran darah dan berakibat iskemia pada distal AV fistula, biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit vaskuler dan diabetes melitus (DM). Gagal jantung kongestif akibat

hipersirkulasi sehubungan dengan resistensi yang rendah. Stenosis vena sentral (Paget Schroetter Syndrome), dapat asimtomatik ataupun simtomatik bila alirannya besar. Apabila stenosis tersebut tidak mampu menampung aliran yang besar, akan terjadi bengkak dan sianosis. Stenosis sentral biasanya terjadi pada pemasangan kateter subklavia. Aneurisma AV fistula biasanya diakibatkan oleh kerusakan didnding pembuluh darah yang diganti oleh jaringan kolagen. Sekali aneurisma terjadi akan cenderung terjadi progresi spontan, karena tegangan dinding pembuluh darah akan membesar seiring peningkatan diameter aneurisma. Komplikasi utamanya adalah ruptur, infeksi, trombus dan embolus5,8,9. Meskipun AV fistula yang kecil kadang-kadang dapat menutup spontan, penatalaksanaan pada kebanyakan kasus adalah reparasi secara bedah dan harus dilakukan sesegera mungkin. Tujuan pembedahan adalah menghilangkan fistula, mencegah komplikasi, dan menjaga kontinuitas baik arteri maupun vena. Penatalaksanaan secara endovaskuler secara perkutan merupakan alternatif yang aman dengan tingkat kesuksesan yang tinggi, morbiditas yang rendah dan lama perawatan di RS yang rendah1. Penatalaksanaan cara ini adalah dengan pemasangan stent, ada 3 tipe yaitu: Palmaz stent covered with an extended Polytetrafluoroethylene (PTFE) tube, self-expandable nitinol stent covered with a polyester sheath (Cragg Endopro System) dan balloon expandable stent with an extended PTFE covering (Jostent). Namun demikian ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pendekatan perkutan, yaitu lokasi AV fistula tidak boleh terlalu dekat dengan percabangan arteri femoralis, usia pasien tidak boleh terlalu muda sehubungan penggunaan jangka panjang stent yang belum jelas konsekuensinya, Perlu follow up jangka panjang untuk melihat ada tidaknya komplikasi, biasanya sampai 6 bulan8,9.

DISKUSI Kasus yang disajikan adalah anak usia 1 tahun 10 bulan datang ke PJNHK dengan bengkak di paha kiri sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, dengan riwayat rawat inap di PJNHK terakhir lebih dari 1 tahun yang lalu karena penyakit jantung bawaan dan kejang karena kelainan neurologis (cerebral) yang dideritanya. Dari anamnesis didapatkan bengkak tersebut makin lama makin besar, tidak dirasakan nyeri, dan tidak ada perubahan warna dibandingkan sekitarnya. Pasien ini merupakan pasien lama PJNHK dan lama tidak kontrol setelah rawat inap terakhir (bulan April 2008) dan orang tuanya mengaku baru melihat ada kelainan di paha kiri anaknya semenjak 5 bulan ini. Alasan tidak kontrol adalah karena masalah biaya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bengkak pada paha kiri dengan adanya bruit, tidak kemerahan, tidak nyeri tekan, tak teraba thrill, konsistensi agak keras, tungkai bawah tidak bengkak, pulsasi kedua tungkai bawah kuat dan ekual, didapatkan sianosis dan clubbing fingers di keempat ekstremitas, akral hangat dan tidak didapatkan edema. Dari pemeriksaan Doppler Sonografi Femoral didapatkan AV fistula pada regio femoralis komunis kiri, tidak didapatkan trombosis pada vena dalam di kedua tungkai, arteri pada kedua tungkai normal flow. Dilakukan reparasi AV fistula dan pada pemeriksaan Doppler Sonografi

evaluasi ternyata baru ditemukan DVT kronis pada vena femoralis komunis kiri dan AV fistula pada regio femoralis komunis kiri negatif. Hal ini disebabkan karena pembengkakan pada paha kiri pasien menjadi penyulit untuk melihat ada tidaknya DVT meskipun berdasarkan kepustakaan duplex ultrasonografi memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 99% untuk mendeteksi DVT10. Dari kepustakaan didapatkan bahwa AV fistula sebagai akibat trauma vaskuler dapat menimbulkan komplikasi yang bisa muncul lama. Komplikasi AV fistula antara lain steal phenomenon, aneurisma AV fistula, trombosis vena dalam, maupun komplikasi lainnya4. Pada pasien ini, tidak jelas apakah penyebab DVT-nya adalah AV fistula, imobilisasi, atau keduanya secara simultan menyebabkan terjadinya DVT. Meskipun AV fistula yang kecil kadang-kadang dapat menutup spontan, penatalaksanaan pada kebanyakan kasus adalah reparasi secara bedah dan harus dilakukan sesegera mungkin. Tujuan pembedahan adalah menghilangkan fistula, mencegah komplikasi, dan menjaga kontinuitas baik arteri maupun vena. Penatalaksanaan secara endovaskuler secara perkutan merupakan alternatif yang aman dengan tingkat kesuksesan yang tinggi, morbiditas yang rendah dan lama mondok di RS yang rendah. Perlu follow up jangka panjang untuk melihat ada tidaknya komplikasi, biasanya sampai 6 bulan1. Pada kasus ini penatalaksanaan yang dipilih adalah reparasi secara bedah dan bukan perkutan karena penatalaksanaan perkutan memiliki indikasi kontra antara lain fistula yang dekat dengan sendi panggul, gerakan fleksi dapat mengganggu patensi stent graft, serta jarak AV fistula ke arteri femoralis komunis ipsilateral kurang dari 2 cm8. Untuk DVT, begitu diagnosis ditegakkan maka tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala yang ada serta mencegah embolisasi dan rekurensi DVT. Pasien dapat diberikan heparin (Unfractionated Heparin atau Low Molecular Weight Heparin) diikuti dengan antikoagulan oral. Unfractionated Heparin umumnya diberikan intravena secara kontinyu setelah pemberian loading dose. Dosis awalnya sebesar 5000 unit atau 80 unit/kg dengan dosis rumatan disesuaikan kadar APTT sebesar 1,5-2,5 nilai kontrol. Apabila menggunakan LMWH enoxaparin, diberikan melalui subkutan 1mg/kg tiap 12 jam atau 1,5 mg/kg/hari, maksimal 180 mg/hari. Untuk penatalaksanaan jangka panjang dengan warfarin, dengan target international normalized ratio (INR) sebesar 2,0 sampai 3,011.

RINGKASAN Meskipun jarang terjadi, AV fistula merupakan komplikasi dari pemasangan akses intravena (kateter vena sentral). Seringkali belum nampak tanda-tanda pada awal terbentuknya dan sering disalah diagnosis atau bahkan diabaikan. Tanda-tanda adanya AV fistula antara lain pada palpasi didapatkan massa yang berdenyut, getaran (thrill) dan pada auskultasi dapat didengar adanya bruit. AV fistula yang besar dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi MRA, doppler sonografi, dan B-mode ultrasonografi. Penanganan AV fistula tergantung besar dan lokasi fistulanya. Reparasi operatif

direkomendasikan pada pasien dengan resiko rendah. Pada beberapa kasus embolisasi angiografik mungkin cukup untuk menutup fistula distal yang lebih kecil. Reparasi endovaskuler menjadi semakin populer dalam penanganan AV fistula traumatik, tetapi tidak dilakukan pada kasus ini karena penatalaksanaan perkutan memiliki indikasi kontra antara lain fistula yang dekat dengan sendi panggul, gerakan fleksi dapat mengganggu patensi stent graft, serta jarak AV fistula ke arteri femoralis komunis ipsilateral kurang dari 2 cm8.

REFERENSI 1. Seidel AC, Miranda F, Toda L. Iatrogenic arteriovenous fistula in childhood. J Vasc Br. 2005; 4(2):209-11. 2. Chen JK, Johnson PT, Fishman EK. Diagnosis of clinically unsuspected posttraumatic arteriovenous fistulas of the pelvis using CT angiography. AJR 2007. 188: W269-W273. 3. Carillo EH, Spain DA, Miller FB, Richardson JD. Femoral vessel injuries. Surgical Clinics of North America. 2002;82:49-65. 4. Menzoian JO, Raffetto JD, Gram CH, Aquino M. Vascular Trauma. Vascular Medicine: a Companion to Braunwalds Heart Disease. Edisi Pertama. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006. h. 894-919. 5. Konner K, Nonnast-Daniel B, Ritz E. The arteriovenous fistula. J Am Soc Nephrol 2003. 14: 166980. 6. Portela A, Bastos R, Pessoa B, Duarte R, Medeiros M, Paiva J. Remission of heart failure through endoluminal repair of femoral arteriovenous fistula with the use of a covered stent. Arq Bras Cardiol 2001, volume 76. h. 242-4. 7. Filis K, Arhontovasilis F, Theodorou D, Albanopoulos K, Lagoudianakis E, Manouras A, et all. Management of early and late detected vascular complications following femoral arterial puncture for cardiac catheterization. Hellenic J Cardiol 2007; 48: 134-142. 8. Ruebben A, Tettoni S, Muratore P, Rossato D, Savio D, Rabbia C. Arteriovenous fistulas induced by femoral arterial catheterization: percutaneous treatment. Radiology 1998; 209: 72934. 9. Thalhammer C, Kirchherr AS, Uhlich F, Walgand J, Gross CM. Postcatheterization pseudoaneurysms and arteriovenous fistulas: repair with percutaneus implantation of endovascular covered stents. Radiology 2000; 214: 127-131. 10. Evans L. Femoral catheters and deep venous thrombosis in the critically ill patient. 2nd Year Research Elective Residents Journal Volume V 2000-2001; 33-5. 11. Bates SM, Ginsberg JS. Treatment of deep-vein thrombosis. N Engl J Med 2004; 351:268-77

Anda mungkin juga menyukai