Disusun oleh:
Johan Pinanto Purba 90721057
Natasia 90721063
Camelia 90721068
1.1 Definisi
1.2 Epidemiologi
Berdasarkan studi dari GBD 2019 tentang risiko utama faktor kematian global di antara 204
peserta negara, LDL-C tinggi menyumbang 4,4 juta kematian di seluruh dunia. Dari tahun
1990 hingga 2019, persentase perubahan total jumlah kematian adalah 46,4%, dan persentase
perubahan dalam kematian standar usia tarifnya adalah 36,7% (AHA, 2021). Pada tahun 2019,
angka kematian (per 100.000) disebabkan LDL-C tinggi tertinggi di Eropa Timur, Tengah
Asia, Afrika Utara, dan Timur Tengah (Gambar 1). (AHA, 2021).
Berikut adalah prevalensi kadar total kolesterol tinggi pada penduduk di Amerika Serikat pada
tahun 2015-2016 dan 2017-2018 berdasarkan kelompok etnis dan jenis kelamin (Gambar 2)
(AHA, 2021).
Gambar 2: Prevalensi Kadar Kolesterol Tinggi Penduduk Amerika Serikat (AHA, 2021)
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar, berikut adalah prevalensi kadar lipoprotein
abnormal di Indonesia berdasarkan jenis kelamin dan tempat tinggal (Kementerian Kesehatan
RI, 2013).
Gambar 3 : Prevalensi LDL tidak Optimal Penduduk Indonesia berusia 15 Tahun ke atas
menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (Riskesdas, 2013)
Data menunjukkan bahwa rata-rata sebanyak 15,9% dan 60,3% penduduk Indonesia berusia
15 tahun ke atas memiliki kadar LDL tinggi dan sangat tinggi serta near optimal dan
borderline tinggi secara berturut-turut. Prevalensi LDL abnormal juga lebih tinggi pada jenis
kelamin perempuan (60,9%) dan tempat tinggal pedesaan (60,7%). Sebanyak rata- rata 35,9%
penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas memiliki kadar kolesterol abnormal, dan
prevalensi lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (39,6%) dan tempat tinggal perkotaan
(39,5%). Proporsi HDL rendah berada pada rata-rata 22,9% penduduk Indonesia berusia 15
tahun ke atas, dengan prevalensi lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki (34,6%) dan tempat
tinggal pedesaan (24,4% (Riskesdas, 2013).
1.3 Normofisiologi
2. Trigliserida: sumber energi yang penting dan disimpan di jaringan lemak, dibentuk dari
tiga molekul asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol.
3. Fosfolipid: kelas lipid yang dibentuk dari asam lemak, gugus fosfat yang bermuatan
negatif, alkohol yang mengandung nitrogen, dan tulang punggung gliserol. Fosfolipid esensial
untuk fungsi seluler dan pemindahan lipid dalam sirkulasi darah melalui pembentukan
lipoprotein.
Kolesterol dapat dibentuk secara in vivo dalam tubuh, dan disimpan dalam bentuk
teresterifikasi. Kolesterol bebas diesterifikasi oleh enzim acetyl CoA acetyltransferase 2
(ACAT2).
Kolesterol dipindahkan dari misel ke sel usus oleh Niemann-Pick C1 Like 1 (NPC1L1)
transporter. Kolesterol dalam enterosit diesterifikasi dan dibawa dalam bentuk kilomikron
(dibentuk bersama trigliserida, fosfolipid, dan apolipoprotein), dilepas ke dalam sirkulasi
limfatik. Kilomikron dibawa ke darah melalui duktus torakus. Dalam perjalanan kilomikron
menuju ke hati, sebagian trigliserida dalam kilomikron dihidrolisis oleh lipoprotein lipase
(LPL) menjadi asam lemak dan gliserol, sehingga tersisa kilomikron remnan, yang diambil
oleh LDL-related protein, termasuk yang berada di hati. Proses ini dikenal dengan proses
transpor kolesterol eksogen (Dipiro, 2016).
Kolesterol maupun trigliserida yang dibutuhkan oleh jaringan tidak larut dalam air, sehingga
harus dibawa dalam bentuk lipoprotein. Lipoprotein terdiri dari dua bagian, yaitu bagian inti
dalam yang hidrofobik, terdiri atas kolesterol ester dan bagian luar yang hidrofilik, terdiri atas
fosfolipid dan kolesterol tidak teresterifikasi. Bagian luarnya juga terdiri atas apolipoprotein
yang berfungsi sebagai ligan untuk berikatan dengan reseptor pada permukaan sel serta
sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam metabolisme lipid (Dipiro, 2016).
Terdapat empat jenis lipoprotein yang terlibat dalam transpor lipid, yaitu VLDL (very low
density lipoprotein), IDL (intermediate density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein),
dan HDL (high density lipoprotein). VLDL adalah molekul lipoprotein yang paling besar,
membawa hampir seluruh trigliserida di dalam darah. VLDL disintesis di hati dan dibantu oleh
enzim microsomal triglyceride transfer protein (MTP) dalam penggabungan komponennya.
Kolesterol dalam VLDL hanya satu perlima dari trigliserida di dalamnya. VLDL berperan
paling tidak signifikan dalam aterosklerosis. Trigliserida di dalam VLDL kemudian
dihidrolisis oleh LPL menjadi asam lemak bebas dan gliserol, yang disimpan di dalam
jaringan adiposa. VLDL menjadi lebih kecil dan kaya akan kolesterol ester, yang dikenal
dengan VLDL remnan dan IDL. 50% dari VLDL remnan dan IDL “dimakan” oleh LDL
receptor di hati, dan 50% akan mengalami hidrolisis trigliserida oleh LPL menjadi LDL. LDL
membawa 60-70% dari total kolesterol ester dalam darah. LDL kemudian “dimakan” oleh
protein scavenger di dalam hati, atau diambil oleh jaringan perifer. Jika LDL berada dalam
jumlah banyak dan dalam waktu yang lama, LDL dapat terdeposisi pada pembuluh darah
arteri koroner atau karotid atau perifer. Transpor jenis ini dikenal dengan transpor lipid
eksogen (Koda Kimble, 2013).
Lipid yang masih terdapat dalam jaringan perifer akan ditranspor keluar oleh adenosine
triphosphate binding cassette transporter A-1 (ABCA-1) dan adenosine triphosphate binding
cassette transporter G-1, lalu diinkorporasikan bersama dengan Apo A-1 menjadi nascent
HDL (HDL3). Kemudian kolesterol bebas di dalamnya diesterifikasi oleh enzim LCAT
(lecithin acyltransferase), dan HDL menjadi HDL mature (dewasa / HDL2). Kolesterol ester
kemudian diekskresikan melalui empedu atau ditukarkan ke VLDL, IDL atau LDL yang
sedang bersirkulasi dengan trigliserida. Hal ini terjadi dengan bantuan enzim CETP
(cholesterol ester transfer protein). Trigliserida yang dibawa oleh HDL akan dihidrolisis oleh
hepatic lipase menjadi asam lemak ke jaringan, atau HDL juga dapat dibawa ke hati untuk
“dimakan” oleh scavenger receptors class B type I (SR-BI). Mekanisme ini dikenal dengan
reverse cholesterol transport (Koda Kimble, 2013).
1.3.2. Apolipoprotein
B. Apo C-II adalah kofaktor yang membantu kerja LPL, yang menstimulasi hidrolisis
trigliserida dari lipoprotein, sehingga kerusakan pada protein ini menimbulkan masalah pada
metabolisme lipid, menyebabkan hipertrigliseridemia.
C. Apo C-III menurunkan aktivitas LPL, dan mengganggu uptake partikel VLDL remnan,
sehingga jika terjadi kerusakan protein ini, dapat terjadi penumpukan kilomikron, VLDL, IDL,
dan LDL yang bersifat aterogenik. VLDL remnan, IDL, dan LDL memiliki apo B-100,
sehingga perbandingan non HDL-C terhadap apoB memberi estimasi kolesterol yang terdapat
dalam darah. Jika jumlah apo B-100 yang sebanding dengan jumlah kolesterol dalam partikel
tinggi, dapat meningkatkan resiko aterosklerosis.
Apo A-I mengaktivasi LCAT, sehingga membentuk kolesterol ester yang dikorporasikan ke
HDL, dan berkorelasi terbalik dengan resiko penyakit gagal jantung.
Sintesis reseptor LDL distimulasi oleh konsentrasi kolesterol intraseluler yang rendah.
Reseptor LDL didegradasi oleh proprotein convertase subtisilin/kexin type 9 (PCSK9), yang
mempengaruhi jumlah reseptor LDL yang diekspresikan. Reseptor LDL terendositosis oleh
protein, dan dipecah oleh enzim lisosom, lalu zat yang tersisa digunakan oleh sel atau
kolesterolnya disimpan dalam cholesterol pool (Koda Kimble, 2013). Reseptor pada sel
berjalan dari mitokondria ke permukaan melalui coated pits, lalu berikatan dengan apoE dan
apoB pada VLDL, IDL maupun LDL (Koda Kimble, 2013).
1.4 Etiologi
1.5 Patofisiologi
Penyakit dislipidemia dapat disebabkan oleh penyebab primer (genetik) maupun sekunder
(penyakit lain). Fredrickson, seorang peneliti lipid, mengklasifikasikan penyakit dislipidemia
primer (familial dyslipidemia) menjadi beberapa fenotip, berdasarkan jumlah lipoprotein yang
meningkat (Dipiro, 2014).
1.5.1 Hiperkolestrolemia
Familial hypercholesterolemia terjadi karena adanya mutasi pada gen reseptor LDL autosom
dominan, sehingga reseptor LDL tidak dapat berikatan dengan LDL atau LDL- R kompleks
tidak dapat diinternalisasi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh mutasi pada protein PCKS9,
sehingga reseptor LDL akan terdegradasi dan jumlahnya berkurang. Untuk individu yang
heterozigot, setengah jumlah LDL-R masih normal. LDL dapat tersimpan dalam iris
menyebabkan arcus senilis, atau tendon menyebabkan tendon xanthomas. Familial defective
ApoB-100 terjadi karena adanya mutasi yang menyebabkan ApoB-100 defektif, sehingga
pengikatan partikel lipoprotein ke reseptor LDL dan klirens akan berkurang. LDL juga dapat
terdeposisi di tendon menyebabkan tendon xanthomas. Polygenic hypercholesterolemia terjadi
karena adanya kombinasi faktor lingkungan (nutrisi rendah, gaya hidup mewah) serta faktor
genetik. Ketiga penyakit ini menyebabkan kadar LDL tinggi, yang dikenal dengan tipe fenotip
Fredrickson IIa (Koda Kimble, 2013).
1.5.2 Hipertrigliseridemia
Familial LPL deficiency terjadi karena mutasi gen autosom resesif dan jarang terjadi. LPL
pertama kali menghidrolisis VLDL dan kilomikron, sehingga kadar VLDL dan kilomikron
meningkat (tipe I dan V). Hal ini menimbulkan inflamasi pada sistem pencernaan dalam
bentuk pankreatitis, sakit pada abdomen, hepatosplenomegali, bahkan pada bagian lain yang
menyebabkan xanthomatosis dan polineuropati perifer. Umumnya penyakit ini terjadi pada
individu yang obesitas, hiperurisemia, dan diabetik, juga meningkatkan resiko terjadinya
penyakit gagal jantung. Pada familial ApoC-II deficiency, kadar Apo C-II yang merupakan
kofaktor LPL menurun, sehingga aktivitas LPL menurun. Kadar VLDL dan kilomikron akan
meningkat (tipe I dan V) (Dipiro, 2014)
Familial combined hyperlipidemia disebabkan karena adanya peningkatan VLDL dan LDL
tanpa alasan yang jelas (tipe IIb). Umumnya penyakit ini terjadi pada individu yang kelebihan
berat badan, hipertensif, diabetik dan hiperurisemia. Familial dysbetalipoproteniemia terjadi
karena individu tersebut memiliki gen homozigot yang mengkode isoform apoE2. ApoE2
memiliki afinitas yang paling rendah terhadap reseptor LDL, sehingga terjadi penundaan
klirens VLDL remnan dan IDL, sehingga akan menumpuk dan terkonversi menjadi LDL
dengan lambat (Koda Kimble, 2013).
Type IV hyperlipoproteinemia terjadi pada individu yang diabetik, obesitas, dan mengalami
hiperurisemia, dan manifestasinya seperti penggabungan antara familial hypertriglyceridemia
dan familial combined hyperlipidemia. Hypoalphalipoproteinemia terjadi tanpa alasan yang
tidak pasti, dimana kadar HDL-C menurun dan kadar lipid lain normal. Namun penyebab
genetiknya dapat diperburuk oleh gaya hidup seperti obesitas, merokok, dan kurangnya
olahraga (Koda Kimble, 2013).
Atherogenic dyslipidemia biasanya terjadi pada individu yang menderita diabetes, obesitas,
hipertensi, dan penyakit pada hati (fatty liver), sehingga mengalami resistensi insulin. Adanya
resistensi insulin membuat efek hormon insulin tidak terjadi, salah satunya penghentian
lipolisis. Lipolisis yang meningkat membentuk lebih banyak trigliserida (TG) dan sintesis
VLDL kaya TG, yang juga memiliki apoC-III. Apo C-III menghambat kerja dari LPL,
sehingga tidak ada lipolisis dari VLDL. VLDL kaya TG semakin bertambah, yang akan
menukarkan TG nya dengan cholesterol ester (CE) yang dimiliki HDL. Terjadi juga lipolisis
TG pada VLDL, sehingga VLDL semakin kaya CE (ukuran kecil, bersifat aterogenik). Karena
adanya kerja LPL yang terhambat dan trigliserida yang meningkat, jumlah LDL kaya TG yang
meningkat. LDL yang menumpuk lama kelamaan akan teroksidasi, dan small dense oxidised
LPL ini bersifat aterogenik (Koda Kimble, 2013).
1.7 Diagnosis
Diagnosis adalah proses mengidentifikasi penyebab atau kelainan penyakit. Untuk
mengkonfirmasi dislipidemia, tes darah yang disebut profil lemak atau tes panel lipid harus
dilakukan. Hasil tes ini menunjukkan kolesterol total, kadar trigliserida, kolesterol baik dan
kolesterol jahat. Adapun pengukuran profil lipid pada darah dapat digunakan rumus:
Tabel 1. Klasifikasi Lipid pada Orang Dewasa (Joseph T. DiPiro et al., 2020)
Tabel 2. Klasifikasi Lipid pada Anak-anak (Joseph T. DiPiro et al., 2020)
Proportein Convertase Subtilisin/Kexin Nilai LDL-C sekitar 300 mg/dL (sangat tinggi)
Type 9
Ezetimibe 10 mg 1x sehari 10 mg
Kolestiramin 8 g 3x sehari 32 g
Tabel 5. Rekomendasi Terapi untuk Hiperkolesterolemia Primer Parah [LDL-C ≥190 mg/dL
(≥4,9 mmol/L)] (American College of Cardiology, 2018)
Pasien yang tergolong memiliki risiko sangat tinggi (very high-risk) untuk mengalami
ASCVD yaitu pasien yang memiliki riwayat beberapa kejadian ASCVD mayor atau 1 kejadian
ASCVD mayor ditambah sejumlah kondisi berisiko tinggi, seperti tercantum pada tabel
berikut:
Tabel 6. Risiko Sangat Tinggi untuk Mengalami Kejadian ASCVD di Masa Depan
Hipertensi
Aktif merokok
1.10 Komplikasi
a. Aterosklerosis
Dislipidemia merupakan faktor risiko aterosklerosis yang paling penting.
Aterosklerosis merupakan kondisi yang dicirikan oleh akumulasi lipid, kolesterol, dan kalsium
serta pembentukan plak pada dinding arteri (Shattat, 2014).
b. Jantung koroner
Aterosklerosis, yang disebabkan oleh dislipidemia, dapat menyebabkan penyempitan
arteri yang menyuplai darah ke otot-otot jantung. Akibatnya, aliran darah ke otot jantung
berkurang dan otot jantung tidak mendapat oksigen yang cukup (Shattat, 2014). Salah satu
manifestasi penyakit arteri koroner yaitu angina pectoris, yaitu kondisi terjadinya nyeri dada
sesaat yang berulang (Wengrofsky, 2019).
c. Infark miokardial
Infark miokardial atau serangan jantung merupakan keadaan ketika tiba-tiba terjadi
blokade parsial atau penuh aliran darah di salah satu atau beberapa arteri kardiak. Blokade
tersebut dapat disebabkan oleh plak aterosklerosis yang mengalami ruptur. Akibatnya, terjadi
kerusakan atau kematian sel-sel jantung (Shattat, 2014).
d. Stroke iskemik
Penyempitan atau blokade pada pembuluh arteri otak oleh plak aterosklerosis atau
bekuan darah dapat menyebabkan terjadinya stroke iskemik. Banyak uji klinis yang
menunjukkan bahwa menurunkan LDL dan kolesterol total sebanyak 15% mengurangi risiko
terjadinya stroke pertama secara signifikan (Shattat, 2014).
e. Hipertensi
Dislipidemia dapat menyebabkan kerusakan endotel pada pembuluh darah. Kerusakan tersebut
menyebabkan hilangnya aktivitas vasomotor fisiologis yang berujung pada peningkatan
tekanan darah (Halperin et al., 2006).
f. Peripheral artery disease (PAD)
Klaudikasi merupakan nyeri yang timbul saat melakukan aktivitas fisik, terutama pada
anggota gerak bagian bawah. Klaudikasi anggota gerak dapat disebabkan oleh PAD.
Dislipidemia yang tak terkontrol menimbulkan lesi aterosklerotik sehingga terjadi
penyempitan lumen arteri. Plak aterosklerotik yang tererosi ataupun ruptur juga dapat
menyebabkan klaudikasi (Wengrofsky, 2019).
g. Gagal ginjal kronis
Gagal ginjal kronis akibat dislipidemia dapat terjadi melalui mekanisme PAD.
Penyempitan arteri yang menyuplai darah ke ginjal dapat terjadi akibat timbulnya plak
aterosklerotik. Penyempitan arteri tersebut dapat menyebabkan hipoperfusi kronis, kerusakan
tubulointerstisial, dan kerusakan mikrovaskuler pada ginjal. Kondisi ini dapat dipresentasikan
oleh kenaikan tekanan darah akibat peningkatan aktivitas RAAS (Wengrofsky, 2019).
2.1 Definisi
Stroke adalah penurunan tiba-tiba fungsi sistem saraf utama yang berlangsung selama
sekurangnya 24 jam dan diduga berasal dari pembuluh darah (Sukandar et al., 2013). Berikut
merupakan beberapa jenis stroke:
a. Stroke iskemik, disebabkan oleh penyumbatan arteri serebral akibat thrombus atau
emboli. Stroke iskemik mencakup 87% seluruh kasus stroke (Wells et al., 2015).
b. Stroke hemorhagik, disebabkan oleh perdarahan akibat ruptur (pecahnya) pembuluh
darah serebral. Stroke hemorhagik mencakup 13% seluruh kasus stroke. Stroke
hemorhagik dapat digolongkan lagi menjadi hemorhagik subaraknoid, hemorhagik
intraserebral, dan hematoma subdural (Wells et al., 2015).
c. Transient ischemic attack (TIA), serangan iskemia sementara, atau yang biasa dikenal
sebagai ministroke merupakan disfungsi neurologis sementara akibat iskemia
(berkurangnya aliran darah) pada otak, sumsum tulang, ataupun retina tanpa infark
akut maupun kerusakan jaringan (Panuganti et al., 2021). TIA umumnya berlangsung
kurang dari satu jam, seringkali hanya hitungan menit. TIA dapat menjadi pertanda
serius akan kemunculan stroke iskemik. Risiko terjadinya stroke iskemik paling tinggi
pada 48 jam setelah TIA.
2.2 Epidemiologi
2.2.1 Epidemiologi Stroke Dunia
a. Insidensi stroke
Menurut World Stroke Organization (2020), terdapat lebih dari 13,7 juta kasus
stroke baru setiap tahunnya. Secara global, satu dari empat orang berusia di atas 25
tahun akan mengalami stroke pada masa hidupnya. Hampir 60% dari seluruh kasus
stroke terjadi pada orang berusia kurang dari 70 tahun. Dari seluruh kasus stroke baru
setiap tahunnya, 52% terjadi pada pria sedangkan 48% terjadi pada wanita.
b. Prevalensi stroke
Menurut World Stroke Organization, di seluruh dunia, terdapat lebih dari 80
juta orang yang pernah mengalami stroke. Enam puluh persen di antaranya merupakan
orang yang berusia kurang dari 70 tahun. Dari semua orang yang pernah mengalami
stroke dan masih hidup, 49% di antaranya adalah pria sedangkan 51% di antaranya
adalah wanita.
Gambar 15 : Insidensi stroke di dunia distandardisasi terhadap usia, pada pria dan wanita,
tahun 2016.
Sumber: Johnson et al., 2019 dengan perubahan.
1. Sinap
Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang
berbeda saling mempengaruhi. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologi akan berpengaruh
terhadap fungsi tubuh yang lain. Informasi dan komunikasi dari sel saraf terjadi karena adanya
proses listrik dan kimia. Hantaran inpuls dari neuron satu ke yang lain malalui sinap. Sinap
adalah tempat/titik pertemuan antar neuron satu dengan yang lain dan ke otot. Struktur dari
sinap terbagi atas presinap yaitu pada bagian axon terminal sebelum sinap, celah sinap yaitu
ruang di antara pre dan post sinap dan post sinap pada bagian denrit. Pada celah sinap terdapat
senyawa kimia yang berfungsi menghantarkan impuls yang disebut neurotansmitter.
Neurotranmitter mempunyai sifat eksitasi (meningkatkan impuls) misalnya asetikolin,
norepinefrin dan inhibisi (menghambat impuls) misalnya Gamma Aminobutyric Acid
(GABA) pada jaringan otak dan glisin pada medula spinalis. Proses di mana impuls saraf di
hantarkan melalui sinaps disebut transmisi sinap (Corwin, 2008).
2. Impuls Saraf
Jaringan otot merupakan jaringan eksitabel yang mampu menghantarkan signal kimia dan
listrik dalam tubuh. Kemampuan hantaran tergantung pada keutuhan lingkungan intra dan
ekstra sel saraf. Dalam keadaan istirahat sel saraf mempunyai keseimbangan gradien
konsentrasi ion di mana pada intra sel bermuatnya negatif (-), dan ekstra sel bermuatan positif
(+). Elektrolit yang berperan dalam proses terjadinya impuls adalah kalium (K+) dan natrium
(Na-). Adanya pompa K+ - Na+ menimbulkan perbedaan konsentrasi dalam sel saraf.
Perbedaan ion dalam membran neuron disebut potensial membran istirahat yang besarnya :
-70 mV, di jantung dan sel skeletal -90mV. Pada keadaan istirahat sel saraf tidak
menghantarkan impuls. Membran sel yang mempunyai muatan listrik/impuls saraf di sebut
potensial aksi. Peningkatan muatan positif akan menimbulkan arus dari -70 mV menjadi +30
Mv, keadaan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi terjadi di sepanjang serat saraf. Setelah
depolarisasi gerakan ion natrium kembali seperti semula, keadaan ini di sebut repolarisasi
(Corwin, 2008).
3. Peredaran darah otak
Suplay darah ke otak bersifat konstan untuk kebutuhan normal otak seperti nutrisi dan
metabolisme. Hampir 1/3 kardiak output dan 20% oksigen dipergunakan untuk otak. Otak
memerlukan suplay kira-kira 750 ml/menit. Kekurangan suplay darah ke otak akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang menetap. Otak secara umum memperoleh aliran
darah dari dua arteri yaitu arteri vertebra dan arteri karotis internal. Kedua arteri ini
membentuk jaringan pembuluh darah kolateral yang di sebut Cirle Wilis. Arteri vertebra
memenuhi kebutuhan darah otak bagian posterior, diesefalon, batang otak, serebelum dan
oksipital. Arteri karotis bagian interna untuk memenuhi sebagian besar hemisfer kecuali
oksipital, basal ganglia dan 2/3 di atas encephalon (Corwin, 2008).
2.4 Etiologi
Stroke menurut Corwin (2008), biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian,
yaitu: (1). Trombosit (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher). (2). Embolisme
serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawah ke otak dari bagian tubuh yang lain.
(3). Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak). (4). Hemoragi serebral (pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak).
Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara
atau permanen gerakan, berpikir memori, bicara atau sensasi. Faktor resiko stroke meliputi
resiko yang tidak dapat diubah seperti umur, suku, jenis kelamin, dan genetik. Bila faktor
resiko ini ditanggulangi dengan baik, maka kemungkinan mendapatkan stroke dikurangi atau
ditangguhkan, makin banyak faktor resiko yang dipunyai makin tinggi pula kemungkinan
mendapatkan stroke sedangkan faktor resiko yang dapat diubah merupakan faktor resiko
terjadinya stroke pada seseorang yang keberadaannya dapat dikendalikan ataupun dihilangkan
sama sekali, gaya hidup merupakan tindakan atau perilaku seorang yang biasa dilakukan
sehari-hari atau sudah menjadi kebiasaan. Faktor resiko yang dapat diubah yang memiliki
kaitan erat dengan kejadian stroke berulang diantaranya hipertensi, diabetes mellitus, kelainan
jantung, kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, kepatuhan kontrol, obesitas, minum
alkohol, diit, pengelolaan faktor resiko ini dengan baik akan mencegah terjadinya stroke
berulang (Corwin, 2008).
2.5 Patofisiologi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat
terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya
pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah otak. Otak yang seharusnya mendapat
pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Stroke bukan merupakan penyakit
tunggal tetapi merupakan kumpulan dari beberapa penyakit diantaranya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes mellitus dan peningkatan lemak dalam darah atau dislipidemia. Penyebab
utama stroke adalah thrombosis serebral, aterosklerosis dan perlambatan sirkulasi serebral
merupakan penyebab utama terjadinya thrombus. Stroke hemoragik dapat terjadi di epidural,
subdural dan intraserebral (Corwin, 2008). Peningkatan tekanan darah yang terus menerus
akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi perdarahan dalam
parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembes kesekitarnya bahkan dapat
masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intracranial. Ekstravasi darah terjadi di daerah otak
dan subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah
ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan penekanan pada arteri
disekitar perdarahan. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil
karena terjadi penekanan maka daerah otak disekitar bekuan darah dapat membengkak dan
mengalami nekrosis karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga
terbentuk suatu rongga (Corwin, 2008) Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya
perdarahan. Pembuluh darah yang mengalami gangguan biasanya arteri yang berhubungan
langsung dengan otak. Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat secara cepat
dan konstan, berlangsung beberapa menit bahkan beberapa hari. Gambaran klinis yang sering
muncul antara lain: pasien mengeluh sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah
penurunan kesadaran dan kejang. Sembilan puluh persen menunjukan adanya darah dalam
cairan serebrospinal, dari semua pasien ini 70-75 % akan meninggal dalam waktu 1- 30 hari,
biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke sistem ventrikel, herniasi lobus
temporal dan penekanan mesensefalon atau mungkin disebabkan karena perembesan darah ke
pusat-pusat yang vital. Penimbunan darah yang cukup banyak di bagian hemisfer serebri
masih dapat ditolerir tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata sedangkan adanya
bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan kematian
(Corwin, 2008).
2.6 Tanda dan Gejala
Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC, 2020), tanda dan gejala
berikut ini muncul secara tiba-tiba pada serangan stroke:
a. Mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau tungkai, terutama pada salah satu
sisi tubuh.
b. Kebingungan, masalah dalam berbicara, atau kesulitan memahami ucapan orang lain.
c. Masalah penglihatan pada salah satu atau kedua mata.
d. Pusing, ketidakmampuan berjalan, kehilangan keseimbangan, atau kehilangan
koordinasi.
e. Sakit kepala berat tanpa penyebab jelas.
Pada stroke hemorhagik, tanda dan gejala pertama yang dapat muncul yaitu sakit
kepala berat yang tiba-tiba, mual, muntah, fotofonia, sakit leher, dan kaku leher. Sakit kepala
yang muncul dapat dirasakan pasien sebagai “sakit kepala yang paling buruk seumur
hidupnya,” terutama jika penyebabnya adalah hemorhagia subaraknoid (Chisholm-Burns et
al., 2016).
Penanganan stroke harus dilaksanakan sesegera mungkin setelah terjadinya serangan.
Pengobatan stroke yang memberikan hasil terbaik hanya tersedia jika stroke dikenali dan
didiagnosis dalam 3 jam sejak kemunculan gejala yang pertama. Berikut merupakan kiat yang
dapat membantu orang awam dalam mengenali serangan stroke:
Tabel 8. Pilihan Pengobatan Hipertensi Arteri pada Pasien Stroke Iskemik Akut
Pengobatan stroke iskemik akut: administrasi dari IV Alteplase
Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit, dengan 10% dosis diberikan
sebagai bolus selama 1 menit.
Masukkan pasien ke unit perawatan intensif atau unit stroke untuk pemantauan.
Jika pasien mengalami sakit kepala parah, hipertensi akut, mual, atau muntah atau memiliki
pemeriksaan neurologis yang memburuk, hentikan infus (jika alteplase IV sedang diberikan)
dan dapatkan CT scan kepala darurat.
Ukur tekanan darah dan lakukan penilaian neurologis setiap 15 menit selama dan setelah infus
alteplase IV selama 2 jam, kemudian setiap 30 menit selama 6 jam, kemudian setiap jam
sampai 24 jam setelah pengobatan alteplase IV.
Tingkatkan frekuensi pengukuran BP jika SBP >180 mm Hg atau jika DBP >105 mm Hg;
berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan BP pada atau di bawah tingkat ini (Tabel
1).
Penundaan penempatan selang nasogastrik, kateter kandung kemih, atau kateter tekanan
intra-arteri jika pasien dapat ditangani dengan aman tanpanya.
Dapatkan CT scan atau MRI lanjutan pada 24 jam setelah alteplase IV sebelum memulai
antikoagulan atau agen antiplatelet.
Berdasarkan PNPK Stroke (2019) CT atau MRI dipilih untuk membedakan stroke
iskemik dengan perdarahan (kelas I, peringkat bukti A). Pasien yang kontraindikasi MRI dapat
dilakukan CT (kelas I, peringkat bukti A).
B. Tatalaksana Khusus
1) Pencegahan terhadap berlanjutnya perdarahan dengan melakukan koreksi koagulapati
lebih dini.
2) Melakukan kontrol tekanan darah sedini mungkin.
3) Identifikasi dan mengontrol hal yang memerlukan intervensi bedah (operasi) seperti
adanya efek massa yang mengancam dan hidrosefalus.
4) Melakukan diagnosa dan terapi terhadap penyebab perdarahan.
5) Pencegahan
● Tata laksana hipertensi pada kondisi non-akut adalah langkah terpenting untuk
menurunkan risiko ICH dan terjadinya recurrent ICH. (kelas I, peringkat bukti A).
● Merokok, peminum alkohol berat, pengguna kokain merupakan faktor risiko ICH.
Penghentian seharusnya direkomendasikan untuk mencegah terjadinya recurrent
ICH. (kelas I, peringkat bukti B).
Tabel 10. Guideline Intracerebral Stroke (ICH) (Hemphill et al., 2015)
Kejang dan Obat Kejang klinis harus diobati dengan obat anti kejang (Kelas I; Tingkat
Antikejang Bukti A). Pasien dengan perubahan status mental yang ditemukan
memiliki kejang elektrografik pada EEG harus diobati dengan obat anti
kejang (Kelas I; Tingkat Bukti C).
Penatalaksanaan Prosedur skrining formal untuk disfagia harus dilakukan pada semua
Komplikasi pasien sebelum memulai asupan oral untuk mengurangi risiko
Medis pneumonia (Kelas I; Tingkat Bukti B). (Rekomendasi baru)
Perawatan Bedah Pasien dengan perdarahan serebelar yang memburuk secara neurologis
ICH atau yang memiliki kompresi batang otak dan/atau hidrosefalus dari
obstruksi ventrikel harus menjalani operasi pengangkatan perdarahan
sesegera mungkin (Kelas I; Tingkat Bukti B).
Pencegahan ICH BP harus dikontrol pada semua pasien ICH (Kelas I; Tingkat Bukti A).
berulang Tindakan untuk mengontrol BP harus dimulai segera setelah onset ICH
(Kelas I; Tingkat Bukti A).
Rehabilitasi dan Mengingat sifat yang berpotensi serius dan pola kompleks dari
Pemulihan kecacatan yang berkembang dan meningkatnya bukti kemanjuran,
direkomendasikan bahwa semua pasien dengan ICH memiliki akses ke
rehabilitasi multidisiplin (Kelas I; Tingkat Bukti A).
BP indicates blood pressure; CT, computed tomography; DVT, deep vein thrombosis; EEG,
electroencephalography; ICH, intracerebral hemorrhage; INR, international normalized ratio; MRI, magnetic
resonance imaging; SBP, systolic blood pressure; and VKA, vitamin K antagonist.
Pendarahan juga merupakan efek samping utama dari agen antiplatelet dan
antikoagulan dalam pengaturan rawat jalan. Untuk pasien yang menggunakan antikoagulan
oral, HAS-BLED adalah alat penilaian yang berguna untuk menentukan risiko perdarahan.
Skor >= 3 menunjukkan risiko tinggi untuk perdarahan dan harus disertai dengan pemantauan
pasien yang lebih intensif.
Tabel 11. Scoring Bleeding Risk (Joseph T. DiPiro et al., 2020)
Pasien dengan riwayat stroke dan TIA dikategorikan kedalam kelompok dengan risiko
kardiovaskular sangat tinggi. Etiologi stroke bervariasi seperti tromboemboli (sering
berhubungan dengan fibrilasi atrium), aterosklerosis arteri karotis, penyakit serebrovaskular
yang mengenai pembuluh darah kecil, dan perdarahan intrakranial (perdarahan intraserebral
dan subarakhnoid) (JKI, 2013).
Peningkatan trigliserida dan penurunan HDL-C yang rendah akan meningkatkan kejadian
serebrovaskular iskemik secara signifikan. Peningkatan kadar LDL-C akan lebih
meningkatkan kejadian stroke, walaupun dalam AHA tidak ada hubungan yang konsisten
antar keduanya. Akan tetapi, dampak pada kejadian aterosklerosis ini besar karena LDL-C
membawa kolesterol di arteri lebih besar sehingga dapat meningkatkan kejadian stroke (AAN,
2006).
Peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL-C, trigliserida dan penurunan kadar
HDL-C akan menimbulkan terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi karena adanya
kerusakan endotel pembuluh darah dan mengakibatkan perubahan permeabilitas endotel
pembuluh darah. Kerusakan endotel dalam kasus adanya dislipidemia karena terjadi cedera
toksik pada endotel. Dengan adanya kerusakan endotel, faktor pertumbuhan (growth factor)
akan dilepaskan dan akan merangsang masuknya monosit dan lipid beserta komponennya
masuk ke dalam endotel pembuluh darah. Monosit yang terangsang tadi akan menyusup
diantara sel endotel dan mengambil posisi di subendotel (Corwin, E. J, 2008).
Di subendotel monosit akan mengubah jadi makrofag yang disebabkan oleh adanya macrofag
colony stimulating factor yang dicetuskan adanya oksidasi komponen lipid. Makrofag sendiri
berfungsi memakan dan membersihkan lipid dan komponennya yang sudah teroksidasi
melalui scavenger receptor. Scavenger receptor inilah yang akan menyebabkan terjadinya
pembentukan sel busa (foam cell) dan sebagai cikal bakal terbentuknya fatty streak (Corwin,
E. J, 2008).
Fatty streak merupakan penumpukan lipid di subintima pembuluh darah yang merupakan lesi
awal dari aterosklerosis dan menjadi plak fibrosa. Plak yang matang akan mengalami ruptur
dan merusak pembuluh darah. Rupturnya plak fibrosa akan merangsang adhesi, aktivasi dan
agregasi trombosit. Proses agregasi trombosi meningkatkan terjadinya koagulasi darah dan
menyebabkan timbulnya pembentukan trombus (Corwin, E. J, 2008).
Trombus yang terbentuk akan menyumbat percabangan pembuluh darah di serebral. Jika
pembentukan trombus terjadi di luar pembuluh darah serebral (ekstrakranial) dan terlepas
yang dinamakan emboli akan menyumbat pembuluh darah di serebral. Penyumbatan
pembuluh darah di serebral menyebabkan suplai oksigen ke serebral menjadi berkurang.
Berkurangnya suplai oksigen ke serebral akan meningkatkan sistem kolateral
mengkompensasinya. Jika kompensasi tersebut tidak dapat terlaksana akan menyebabkan
penyakit serebral yang mendadak yaitu stroke (Corwin, E. J, 2008).
Tn. WX (usia 57 tahun, BB 94 kg, TB 171 cm) baru saja masuk rumah sakit karena
mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini terjadi karena Tn. WX tidak bisa menggerakkan
bagian tubuh sebelah kanannya (tangan, kaki, dan kesulitan berbicara) saat sedang menyetir.
Tn. WX segera dilarikan ke rumah sakit sehingga sampai kurang dari 2 jam setelah kecelakaan
terjadi. Hasil pemeriksaan melalui CT scan menunjukkan Tn. WX mengalami stroke tanpa
adanya pendarahan. Hasil pemeriksaan di rumah sakit menunjukkan Tn. WX memiliki TD =
190/100, Kolesterol Total = 299 mg/dL, LDL = 180 mg/dL, dan HDL = 51 mg/dL. Keluarga
juga mengatakan bahwa Tn. WX pernah masuk rumah sakit karena mengalami transient
ischemic attack (TIA). Tn. WX memiliki ayah yang pernah mengalami stroke, adik yang
meninggal karena serangan jantung, dan ibu yang menderita hipertensi. Tn. WX adalah
seorang perokok dan tidak menjalankan diet apa pun untuk penyakit yang dialaminya.
Pertanyaan:
1. Buatlah SOAP untuk kasus di atas termasuk dengan panel lipid lengkap pasien.
2. Apakah stroke, TIA, dan serangan jantung adalah hal yang berbeda? Apakah korelasi
antara kondisi/penyakit yang dialami oleh Tn. WX? Jelaskan.
3. Berikan rekomendasi pengobatan untuk Tn. WX saat di rumah sakit (rawat inap) dan
saat pulang (rawat jalan) beserta dengan durasi pengobatan.
4. Apakah yang dimaksud dengan high intensity statin? Terapi apa yang sesuai untuk
kondisi dislipidemia yang dialami pasien?
5. Apakah kondisi yang dialami Tn. WX bisa terulang setelah pasien pulang dari rumah
sakit? Jika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Jelaskan.
Jawab:
1. Buatlah SOAP untuk kasus di atas termasuk dengan panel lipid lengkap pasien.
Jawab:
Subjektif:
Tn. WX tidak bisa menggerakkan bagian tubuh sebelah kanannya (tangan, kaki, dan
kesulitan berbicara)
Tn. WX pernah mengalami TIA
Ayah Tn WX pernah mengalami stroke, adik yang meninggal karena serangan jantung,
dan ibu yang menderita hipertensi
Tn WX perokok dan tidak menjalankan diet apapun
Objektif:
BB = 92 kg
TB: 171 cm
BMI = 32 → obesitas tingkat 2
TD = 190/100 mmHg → hipertensi urgensi (>180/100 mmHg)
Klasifikasi lipid:
Kolesterol Total = 299 mg/dL → tinggi
LDL = 180 mg/dL → tinggi
HDL = 51 mg/dL → normal
LDL-C = Total Cholesterol−(HDL-C + TG/5)
180 = 299 - (51 + TG/5)
TG = 340 mg/dl → tinggi
Assesment:
Berdasarkan data subjektif dan objektif Tn WX terkena stroke iskemik, dislipidemia,
dan hipertensi urgensi.
Plan:
Terapi farmakologi:
● Stroke yang dirasakan pasien berlangsung < 3 jam sebelum dibawa ke rumah sakit
maka pasien direkomendasikan untuk diberikan alteplase. Alteplase diberikan
dengan dosis 0,9 mg/kgBB dalam waktu 60 jam. Pemberiannya bisa dimulai
dengan bolus 10% dari dosis total dalam 1 menit dan sisanya dilanjutkan melalui
infus dalam waktu 60 menit. Dosis maksimal: 90 mg.
● Tn WX pasien mengalami hipertensi urgensi (190/100 mmHg), pasien harus
diberikan obat hipertensi seperti labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat
diulang 1 kali jika tekanan darah tidak mencapai target (SBP 140 mmHg)
● Menurut American College of Cardiology, pasien dislipidemia dengan ASCVD
klinis dengan risiko sangat tinggi (beberapa kejadian ASCVD mayor atau satu
kejadian ASCVD mayor ditambah beberapa kondisi berisiko tinggi) langsung
diberikan terapi statin intensitas tinggi dibarengi perubahan gaya hidup. Karena
Tn. WX telah mengalami stroke iskemik (1 kejadian ASCVD mayor), mengalami
hipertensi dan sedang merokok (2 kondisi berisiko tinggi), Tn. WX langsung
diberikan statin intensitas tinggi untuk dislipidemia yang dialaminya. Pilihan obat
yang dapat diberikan yaitu atorvastatin 80 mg/hari.
Terapi Non-farmakologi
➔ Rehabilitasi yang mencakup terapi bicara dan fisioterapi.
➔ Perubahan gaya hidup:
◆ Penurunan berat badan.
◆ Aktivitas fisik 3-4x seminggu, minimal 40 menit per kalinya.
◆ Berhenti merokok.
◆ Menghindari konsumsi lemak jenuh (lemak hewani)
◆ Peningkatan asupan serat larut @25 mg/hari
◆ Mengonsumsi makanan kaya asam lemak omega-3 seperti ikan laut.
◆ Diet DASH (utama: batasi asupan natrium).
2. Apakah stroke, TIA, dan serangan jantung adalah hal yang berbeda? Apakah korelasi
antara kondisi/penyakit yang dialami oleh Tn. WX? Jelaskan.
Stroke merupakan kondisi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau berkurang
akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke
hemoragik). Kondisi ini menyebabkan kematian bagi sel otak, sel otak tidak mendapat
asupan oksigen dan nutrisi. Dapat diakibatkan karena gumpalan yang tersangkut dalam
pembuluh darah otak. Dengan gejala penglihatan menjadi buram, pusing atau
kehilangan keseimbangan, lengan dan kaki menjadi lemah, kesulitan berbicara atau
kebingungan, dan rasa sakit.
TIA (transcient ischemic attack) yang biasa dikenal stroke ringan merupakan keadaan
ketika saraf kekurangan oksigen. Hal ini diakibatkan oleh aliran darah yang terganggu
akibat gumpalan lemak atau udara yang ada di pembuluh darah. Gumpalan penyebab
TIA akan hancur dengan sendirinya, sehingga tidak menyebabkan kerusakan yang
permanen. Gejala yang terdeteksi ialah Peningkatan tekanan darah, kelemahan otot,
mati rasa di tangan atau kaki, kelelahan tiba-tiba, cara bicara menjadi kacau dan tidak
jelas, pusing dan linglung, kesulitan menelan, kehilangan keseimbangan, pandangan
ganda, kesulitan memahami kata-kata orang lan.
Serangan jantung atau sindrom koroner akut ialah gangguan jantung serius ketika otot
jantung tidak mendapat aliran darah. Kondisi ini akan mengganggu fungsi jantung
dalam mengalirkan darah ke seluruh tubuh, akibat timbunan kolesterol yang
membentuk plak di pembuluh darah. Kondisi ini diperparah dengan terbentuknya
gumpalan darah yang dapat menyumbat total pembuluh darah dan menimbulkan
serangan jantung.
Sehingga, berdasarkan definisi di atas antara Stroke, TIA, dan serangan jantung
memiliki korelasi secara etiologi yaitu Peningkatan kadar kolesterol total, LDL-C,
trigliserida dan penurunan kadar HDL-C akan menimbulkan aterosklerosis. Rupturnya
plak aterosklerosis merangsang adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit. Trombus yang
terbentuk menyumbat percabangan pembuluh darah di serebral dan luar serebral dapat
menyebabkan kondisi di atas.
3. Berikan rekomendasi pengobatan untuk Tn. WX saat di rumah sakit (rawat inap) dan
saat pulang (rawat jalan) beserta dengan durasi pengobatan.
Jawab:
Rekomendasi pengobatan rawat inap:
- Tn. WX diberikan IV alteplase dengan dosis 0,9 mg/kgBB (untuk Tn. WX 84,6
mg) dalam waktu 60 jam. Pemberiannya bisa dimulai dengan bolus 10% dari
dosis total dalam 1 menit dan sisanya dilanjutkan melalui infus dalam waktu 60
menit. Dosis maksimal: 90 mg.
- Pemberian aspirin direkomendasikan untuk Tn. WX. Karena Tn. WX telah
diberikan dengan alteplase IV, pemberian aspirin diberikan 24 jam kemudian
dengan dosis 160 and 300 mg.
- Tn WX pasien mengalami hipertensi urgensi (190/100 mmHg), pasien harus
diberikan obat hipertensi seperti labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat
diulang 1 kali jika tekanan darah tidak mencapai target (SBP 140 mmHg).
Rekomendasi pengobatan rawat jalan:
● Dislipidemia: atorvastatin 1x80 mg sehari, monitoring untuk penyesuaian dosis
setelah 1 bulan
● Untuk mencegah terjadinya recurrent stroke diberikan Aspirin 80 mg dengan
Clopidogrel 300 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan Aspirin 80 mg +
Clopidogrel 75 mg sampai hari ke-21, dilanjutkan dengan monoterapi
Clopidogrel.
● Hipertensi: lisinopril
○ Dosis awal: 1x10 mg sehari
○ Dosis maintenance: 1x20-40 mg sehari
4. Apakah yang dimaksud dengan high intensity statin? Terapi apa yang sesuai untuk
kondisi dislipidemia yang dialami pasien?
Berdasarkan guidline, high intensity biasanya dimiliki oleh Atorvastatin dosis harian
40-80 mg atau Rosuvastatin 20-40 mg. Obat ini dapat menurunkan LDL-C ≥ 50%.
Menurut American College of Cardiology, pasien dislipidemia dengan ASCVD klinis
dengan risiko sangat tinggi (beberapa kejadian ASCVD mayor atau satu kejadian
ASCVD mayor ditambah beberapa kondisi berisiko tinggi) langsung diberikan terapi
statin intensitas tinggi dibarengi perubahan gaya hidup. Karena Tn. WX telah
mengalami stroke iskemik (1 kejadian ASCVD mayor), mengalami hipertensi dan
sedang merokok (2 kondisi berisiko tinggi), Tn. WX langsung diberikan statin
intensitas tinggi untuk dislipidemia yang dialaminya. Pilihan obat yang dapat diberikan
yaitu atorvastatin 80 mg/hari. Untuk terapi non farmakologi lebih kepada penigkatan
gaya hidup yang sehat.
5. Apakah kondisi yang dialami Tn. WX bisa terulang setelah pasien pulang dari rumah
sakit? Jika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Jelaskan.
Jawab: Bisa terulang oleh karena itu Tn. WX disarankan untuk mengonsumsi
antiplatelet sebagai pencegahan recurrent stroke. Aspirin 80 mg dengan Clopidogrel
300 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan Aspirin 80 mg + Clopidogrel 75 mg
sampai hari ke-21, dilanjutkan dengan monoterapi Clopidogrel diindikasikan sebagai
terapi setelah stroke iskemik atau TIA untuk mencegah stroke berulang. Apabila stroke
ulang terjadi, maka Tn. WX harus dibawa ke rumah sakit dan jika dalam waktu kurang
dari 3 jam bisa diberikan IV Alteplase untuk melarutkan gumpalan darah yang telah
terbentuk di pembuluh darah .
Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit, dengan 10% dosis
diberikan sebagai bolus selama 1 menit.
Masukkan pasien ke unit perawatan intensif atau unit stroke untuk pemantauan.
Jika pasien mengalami sakit kepala parah, hipertensi akut, mual, atau muntah atau
memiliki pemeriksaan neurologis yang memburuk, hentikan infus (jika alteplase IV
sedang diberikan) dan dapatkan CT scan kepala darurat.
Ukur tekanan darah dan lakukan penilaian neurologis setiap 15 menit selama dan
setelah infus alteplase IV selama 2 jam, kemudian setiap 30 menit selama 6 jam,
kemudian setiap jam sampai 24 jam setelah pengobatan alteplase IV.
Tingkatkan frekuensi pengukuran BP jika SBP >180 mm Hg atau jika DBP >105
mm Hg; berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan BP pada atau di bawah
tingkat ini (Tabel 1).
Penundaan penempatan selang nasogastrik, kateter kandung kemih, atau kateter
tekanan intra-arteri jika pasien dapat ditangani dengan aman tanpanya.
Dapatkan CT scan atau MRI lanjutan pada 24 jam setelah alteplase IV sebelum
memulai antikoagulan atau agen antiplatelet.
6. Apa bentuk monitoring dan evaluasi yang tepat untuk Tn. WX pada kasus ini? Sampai
kapan ini harus dilakukan?
Untuk penyakit dislipidemia pada Tn. WX, dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium
dengan parameter: kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida. Pengukuran kadar lipid dilakukan
dengan puasa untuk meminimalkan interferensi dari kilomikron. Interval monitoring:
Adapun monitoring dan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien stroke menurut Joseph T.
DiPiro et al. (2020) yakni
● Perbaikan gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal marah
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai sumber
informasi
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji depresi pasca stroke dari gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal upset
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji adanya depresi pasca stroke
7. Bagaimana prognosis jika pasien mengalami stroke iskemik (sesuai kasus) dan stroke
hemoragik (kondisi lainnya sesuai kasus)?
Jawab: prognosis stroke bisa ditentukan dengan lokasi, gejala yang timbul, dan
komplikasi yang terjadi. Prognosis stroke dapat dilakukan dengan perhitungan
National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) ataupun skor perdarahan
intraserebral yang hasil skoringnya dapat dihitung pada
https://www.mdcalc.com/nih-stroke-scale-score-nihss. Apabila komplikasi terjadi,
maka prognosis pasien harus ditentukan lagi. Skor NIHSS memprediksi kemungkinan
rekoveri pasien setelah serangan stroke. Skor NIHSS≥ 16 memprediksi kemungkinan
kematian atau disabilitas berat yang tinggi sedangkan skor ≤6 memperkirakan rekoveri
yang baik (Adams et al., 1999).
ACLS. (2015). Stroke Assessment The Cincinnati Prehospital Stroke Scale Suspected Stroke
Algorithm : Goals for Management of Stroke Identify Signs and Symptoms of Possible Stroke.
2.
Adams, H. P., Davis, P. H., Leira, E. C., Chang, K. C., Bendixen, B. H., Clarke, W. R., ... &
Hansen, M. D. (1999). Baseline NIH Stroke Scale score strongly predicts outcome after
stroke: a report of the Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST). Neurology,
53(1), 126-126.
Biggers, Alana. (2017, September 27). Dyslipidemia: What You Need to Know. Healthline.
Retrieved February 20, 2020 from https://www.healthline.com/health/dyslipidemia
Boehme, A. K., Esenwa, C., & Elkind, M. S. V. (2017). Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circulation Research, 120(3), 472–495.
https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.116.308398
Center for Disease Control and Prevention. (2020). Stroke Signs and Symptoms. Diakses dari
https://www.cdc.gov/stroke/signs_symptoms.htm tanggal 3 September 2021 pukul 16.36.
Chisholm-Burns, M. A., Schwinghammer, T. L., Wells, B. G., Malone, P. M., Kolesar, J. M.,
& DiPiro, J. T. (2016). Pharmacotherapy: Principles and Practice 4th Ed. McGraw-Hill
Education (halaman 195).
Christensen, H., Glipstrup, E., Høst, N., Nørbæk, J., & Zielke, S. (2014). Complications after
stroke. Oxford Textbook of Stroke and Cerebrovascular Disease, 203–214.
https://doi.org/10.1093/med/9780199641208.003.0018
Corwin, E. J. Buku Saku Patofisiologi, Ed 3 (Ed Egi Komara Yuda, et al). Jakarta. EGC. 2008
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M.
(2014).Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (10th Ed.). New York: Mcgraw-hill
Education. Hal 712-726.
Dipiro, Joseph T.; Chisholm-Burns, Marie A.; Wells, Barbara G.; Malone, Patrick M.; Kolesar,
J. M. (2016). Pharmacotherapy principles and practice. In Journal of Chemical Information
and Modeling (4th ed., Vol. 53, Issue 9). Mc Grew Hill Education.
DiPiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V. (2020).
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Eleventh Edition. McGraw-Hill Education
(halaman 390).
Grundy, S. M., Stone, N. J., Bailey, A. L., Beam, C., Birtcher, K. K., Blumenthal, R. S., Braun,
L. T., de Ferranti, S., Faiella-Tommasino, J., Forman, D. E., Goldberg, R., Heidenreich, P. A.,
Hlatky, M. A., Jones, D. W., Lloyd-Jones, D., Lopez-Pajares, N., Ndumele, C. E., Orringer, C.
E., Peralta, C. A., … Yeboah, J. (2019). 2018
AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/APhA/ASPC/NLA/PCNA Guideline
on the Management of Blood Cholesterol: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Journal
of the American College of Cardiology, 73(24), e285–e350.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2018.11.003
Hemphill, J. C., Greenberg, S. M., Anderson, C. S., Becker, K., Bendok, B. R., Cushman, M.,
Fung, G. L., Goldstein, J. N., MacDonald, R. L., Mitchell, P. H., Scott, P. A., Selim, M. H., &
Woo, D. (2015). Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A
Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke, 46(7), 2032–2060. https://doi.org/10.1161/STR.0000000000000069
Halperin, R. O., Sesso, H. D., Ma, J., Buring, J. E., Stampfer, M. J., & Michael Gaziano, J.
(2006). Dyslipidemia and the Risk of Incident Hypertension in Men. Hypertension, 47(1),
45–50. https://doi.org/10.1161/01.HYP.0000196306.42418.0e
Johnson, C. O., Nguyen, M., Roth, G. A., Nichols, E., Alam, T., Abate, D., Abd-Allah, F.,
Abdelalim, A., Abraha, H. N., Abu-Rmeileh, N. M. E., Adebayo, O. M., Adeoye, A. M.,
Agarwal, G., Agrawal, S., Aichour, A. N., Aichour, I., Aichour, M. T. E., Alahdab, F., Ali, R.,
… Murray, C. J. L. (2019). Global, regional, and national burden of stroke, 1990-2016: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. The Lancet Neurology,
18(5), 439–458. https://doi.org/10.1016/S1474-4422(19)30034-1
Kleindorfer, D. O., Towfighi, A., Chaturvedi, S., Cockroft, K. M., Gutierrez, J.,
Lombardi-Hill, D., Kamel, H., Kernan, W. N., Kittner, S. J., Leira, E. C., Lennon, O., Meschia,
J. F., Nguyen, T. N., Pollak, P. M., Santangeli, P., Sharrief, A. Z., Smith, S. C., Turan, T. N., &
Williams, L. S. (2021). 2021 Guideline for the prevention of stroke in patients with stroke and
transient ischemic attack; A guideline from the American Heart Association/American Stroke
Association. In Stroke (Issue July). https://doi.org/10.1161/STR.0000000000000375
Lennon, O., Blake, C., Booth, J., Pollock, A., & Lawrence, M. (2018). Interventions for
behaviour change and self-management in stroke secondary prevention: Protocol for an
overview of reviews. Systematic Reviews, 7(1), 1–10.
https://doi.org/10.1186/s13643-018-0888-1
Lindsay, M. P., Norrving, B., Sacco, R. L., Brainin, M., Hacke, W., Martins, S., Pandian, J., &
Feigin, V. (2020). Global Stroke Fact Sheet 2019.
https://www.world-stroke.org/assets/downloads/WSO_Fact-sheet_15.01.2020.pdf
Panuganti, K. K., Tadi, P., & Lui, F. (2021). Transient Ischemic Attack. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459143/
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2016). Panduan praktik klinis neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Pokhrel, B., Yuet, W. C., & Levine, S. N. (2021). PCSK9 Inhibitors. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448100/
Shattat, G. (2014). A Review Article on Hyperlipidemia: Types, Treatments and New Drug
Targets. Biomedical and Pharmacology Journal, 7, 399–409. https://doi.org/10.13005/bpj/504
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P., & Kusnandar.
(2013). ISO Farmakoterapi Buku 1. ISFI Penerbitan (halaman 141).
Tim Riskesdas 2013. (2013). Laporan Nasional Riskesdas 2013. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB).
Tim Riskesdas 2018. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB) (halaman 165-166).
Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (2015). Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill Education (halaman 67-72, 74, 120-121).
Wengrofsky, P. (2019). Dyslipidemia and Its Role in the Pathogenesis of Atherosclerotic
Cardiovascular Disease: Implications for Evaluation and Targets for Treatment of
Dyslipidemia Based on Recent Guidelines (J. Lee (ed.); p. Ch. 2). IntechOpen.
https://doi.org/10.5772/intechopen.85772.