Anda di halaman 1dari 97

MAKALAH

FARMAKOTERAPI TERAPAN (FP5034)


DISLIPIDEMIA DAN STROKE

Disusun oleh:
Johan Pinanto Purba 90721057
Natasia 90721063
Camelia 90721068

KELOMPOK KEILMUAN FARMAKOLOGI-FARMASI KLINIK


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
BAB I
DISLIPIDEMIA

1.1 Definisi

Dislipidemia adalah peningkatan kolesterol total, LDL-C, trigliserida, atau penurunan


konsentrasi HDL-C, atau kombinasi dari beberapa abnormalitas ini (Dipiro, 2014).

1.2 Epidemiologi

Berdasarkan studi dari GBD 2019 tentang risiko utama faktor kematian global di antara 204
peserta negara, LDL-C tinggi menyumbang 4,4 juta kematian di seluruh dunia. Dari tahun
1990 hingga 2019, persentase perubahan total jumlah kematian adalah 46,4%, dan persentase
perubahan dalam kematian standar usia tarifnya adalah 36,7% (AHA, 2021). Pada tahun 2019,
angka kematian (per 100.000) disebabkan LDL-C tinggi tertinggi di Eropa Timur, Tengah
Asia, Afrika Utara, dan Timur Tengah (Gambar 1). (AHA, 2021).

Gambar 1 : Peta Persebaran Global Dislipidemia (A HA, 2021)


Laporan tren di TC di 199 negara menunjukkan bahwa antara tahun 1980 hingga 2008,
rata-rata tingkat TC menurun di daerah berpenghasilan tinggi dunia (Australasia, Amerika
Utara, dan Eropa Barat) dan di Tengah dan Timur Eropa tetapi rata-rata tingkat TC meningkat
di Asia Timur dan Tenggara dan Pasifik. Namun demikian, di tahun 2008 rata-rata tingkat TC
yang tertinggi ialah di wilayah berpenghasilan tinggi Australasia, Amerika Utara, dan Eropa
Barat (rata-rata regional, 202,6 mg/dL [95% CI, 196,4–208.4] untuk pria dan 202,2 mg/dL
[95% CI, 194.5–210.0] untuk wanita) dan terendah di sub-Sahara Afrika (157,8 mg/dL [95%
CI, 147,7–167,8] untuk pria dan 165,1 mg/dL [95% CI, 154,3–176,3] untuk wanita) (AHA,
2021).

Berikut adalah prevalensi kadar total kolesterol tinggi pada penduduk di Amerika Serikat pada
tahun 2015-2016 dan 2017-2018 berdasarkan kelompok etnis dan jenis kelamin (Gambar 2)
(AHA, 2021).

Gambar 2: Prevalensi Kadar Kolesterol Tinggi Penduduk Amerika Serikat (AHA, 2021)
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar, berikut adalah prevalensi kadar lipoprotein
abnormal di Indonesia berdasarkan jenis kelamin dan tempat tinggal (Kementerian Kesehatan
RI, 2013).

Gambar 3 : Prevalensi LDL tidak Optimal Penduduk Indonesia berusia 15 Tahun ke atas
menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (Riskesdas, 2013)

Gambar 4 : Prevalensi Kolesterol Abnormal Penduduk Indonesia berusia 15 Tahun ke atas


menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (Riskesdas, 2013)
Gambar 5 : Prevalensi HDL Rendah Penduduk Indonesia berusia 15 Tahun ke atas menurut
Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (Riskesdas, 2013)

Data menunjukkan bahwa rata-rata sebanyak 15,9% dan 60,3% penduduk Indonesia berusia
15 tahun ke atas memiliki kadar LDL tinggi dan sangat tinggi serta near optimal dan
borderline tinggi secara berturut-turut. Prevalensi LDL abnormal juga lebih tinggi pada jenis
kelamin perempuan (60,9%) dan tempat tinggal pedesaan (60,7%). Sebanyak rata- rata 35,9%
penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas memiliki kadar kolesterol abnormal, dan
prevalensi lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (39,6%) dan tempat tinggal perkotaan
(39,5%). Proporsi HDL rendah berada pada rata-rata 22,9% penduduk Indonesia berusia 15
tahun ke atas, dengan prevalensi lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki (34,6%) dan tempat
tinggal pedesaan (24,4% (Riskesdas, 2013).

1.3 Normofisiologi

1.3.1 Metabolisme Lipid

Pengertian tiga istilah yang penting: (Koda Kimble, 2013)

1. Kolesterol: sterol alami, merupakan molekul prekursor asam empedu (diperlukan


untuk absrorpsi nutrisi), sintesis hormon steroid, dan pembentukan membran sel.

2. Trigliserida: sumber energi yang penting dan disimpan di jaringan lemak, dibentuk dari
tiga molekul asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol.
3. Fosfolipid: kelas lipid yang dibentuk dari asam lemak, gugus fosfat yang bermuatan
negatif, alkohol yang mengandung nitrogen, dan tulang punggung gliserol. Fosfolipid esensial
untuk fungsi seluler dan pemindahan lipid dalam sirkulasi darah melalui pembentukan
lipoprotein.

Kolesterol dapat dibentuk secara in vivo dalam tubuh, dan disimpan dalam bentuk
teresterifikasi. Kolesterol bebas diesterifikasi oleh enzim acetyl CoA acetyltransferase 2
(ACAT2).

Berikut adalah diagram proses pembentukannya (Koda Kimble, 2013).

Gambar 6 : Diagram Sintesis Kolesterol secara In Vivo (Koda Kimble, 2013)

Bentuk transpor lipid lain digambarkan dengan diagram berikut.

Gambar 7 : Diagram Metabolisme Lipid Eksogen dan Endogen (Dipiro, 2014)


Sel juga dapat memperoleh kolesterol dengan cara mengambilnya dari makanan. Kolesterol
tersebut diemulsifikasi oleh garam empedu ke dalam bentuk misel, yang kemudian
berinteraksi dengan permukaan enterosit jejunum dan duodenum.

Kolesterol dipindahkan dari misel ke sel usus oleh Niemann-Pick C1 Like 1 (NPC1L1)
transporter. Kolesterol dalam enterosit diesterifikasi dan dibawa dalam bentuk kilomikron
(dibentuk bersama trigliserida, fosfolipid, dan apolipoprotein), dilepas ke dalam sirkulasi
limfatik. Kilomikron dibawa ke darah melalui duktus torakus. Dalam perjalanan kilomikron
menuju ke hati, sebagian trigliserida dalam kilomikron dihidrolisis oleh lipoprotein lipase
(LPL) menjadi asam lemak dan gliserol, sehingga tersisa kilomikron remnan, yang diambil
oleh LDL-related protein, termasuk yang berada di hati. Proses ini dikenal dengan proses
transpor kolesterol eksogen (Dipiro, 2016).

Kolesterol maupun trigliserida yang dibutuhkan oleh jaringan tidak larut dalam air, sehingga
harus dibawa dalam bentuk lipoprotein. Lipoprotein terdiri dari dua bagian, yaitu bagian inti
dalam yang hidrofobik, terdiri atas kolesterol ester dan bagian luar yang hidrofilik, terdiri atas
fosfolipid dan kolesterol tidak teresterifikasi. Bagian luarnya juga terdiri atas apolipoprotein
yang berfungsi sebagai ligan untuk berikatan dengan reseptor pada permukaan sel serta
sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam metabolisme lipid (Dipiro, 2016).

Terdapat empat jenis lipoprotein yang terlibat dalam transpor lipid, yaitu VLDL (very low
density lipoprotein), IDL (intermediate density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein),
dan HDL (high density lipoprotein). VLDL adalah molekul lipoprotein yang paling besar,
membawa hampir seluruh trigliserida di dalam darah. VLDL disintesis di hati dan dibantu oleh
enzim microsomal triglyceride transfer protein (MTP) dalam penggabungan komponennya.
Kolesterol dalam VLDL hanya satu perlima dari trigliserida di dalamnya. VLDL berperan
paling tidak signifikan dalam aterosklerosis. Trigliserida di dalam VLDL kemudian
dihidrolisis oleh LPL menjadi asam lemak bebas dan gliserol, yang disimpan di dalam
jaringan adiposa. VLDL menjadi lebih kecil dan kaya akan kolesterol ester, yang dikenal
dengan VLDL remnan dan IDL. 50% dari VLDL remnan dan IDL “dimakan” oleh LDL
receptor di hati, dan 50% akan mengalami hidrolisis trigliserida oleh LPL menjadi LDL. LDL
membawa 60-70% dari total kolesterol ester dalam darah. LDL kemudian “dimakan” oleh
protein scavenger di dalam hati, atau diambil oleh jaringan perifer. Jika LDL berada dalam
jumlah banyak dan dalam waktu yang lama, LDL dapat terdeposisi pada pembuluh darah
arteri koroner atau karotid atau perifer. Transpor jenis ini dikenal dengan transpor lipid
eksogen (Koda Kimble, 2013).

Lipid yang masih terdapat dalam jaringan perifer akan ditranspor keluar oleh adenosine
triphosphate binding cassette transporter A-1 (ABCA-1) dan adenosine triphosphate binding
cassette transporter G-1, lalu diinkorporasikan bersama dengan Apo A-1 menjadi nascent
HDL (HDL3). Kemudian kolesterol bebas di dalamnya diesterifikasi oleh enzim LCAT
(lecithin acyltransferase), dan HDL menjadi HDL mature (dewasa / HDL2). Kolesterol ester
kemudian diekskresikan melalui empedu atau ditukarkan ke VLDL, IDL atau LDL yang
sedang bersirkulasi dengan trigliserida. Hal ini terjadi dengan bantuan enzim CETP
(cholesterol ester transfer protein). Trigliserida yang dibawa oleh HDL akan dihidrolisis oleh
hepatic lipase menjadi asam lemak ke jaringan, atau HDL juga dapat dibawa ke hati untuk
“dimakan” oleh scavenger receptors class B type I (SR-BI). Mekanisme ini dikenal dengan
reverse cholesterol transport (Koda Kimble, 2013).

Gambar 8 : Diagram Reverse Cholesterol Transport (Dipiro, 2014)

1.3.2. Apolipoprotein

Lipoprotein memiliki jenis apolipoproteinnya masing-masing (Koda Kimble, 2013).

1. VLDL memiliki apoB-100, apoE, dan apoC.


A. ApoB dan apoE adalah ligan yang berikatan dengan reseptor LDL pada hepatosit dan sel
perifer untuk diendositosis, sehingga kerusakan pada protein ini menimbulkan masalah pada
klirens.

B. Apo C-II adalah kofaktor yang membantu kerja LPL, yang menstimulasi hidrolisis
trigliserida dari lipoprotein, sehingga kerusakan pada protein ini menimbulkan masalah pada
metabolisme lipid, menyebabkan hipertrigliseridemia.

C. Apo C-III menurunkan aktivitas LPL, dan mengganggu uptake partikel VLDL remnan,
sehingga jika terjadi kerusakan protein ini, dapat terjadi penumpukan kilomikron, VLDL, IDL,
dan LDL yang bersifat aterogenik. VLDL remnan, IDL, dan LDL memiliki apo B-100,
sehingga perbandingan non HDL-C terhadap apoB memberi estimasi kolesterol yang terdapat
dalam darah. Jika jumlah apo B-100 yang sebanding dengan jumlah kolesterol dalam partikel
tinggi, dapat meningkatkan resiko aterosklerosis.

2. HDL memiliki apoA-I, apoA-II, dan apoC.

Apo A-I mengaktivasi LCAT, sehingga membentuk kolesterol ester yang dikorporasikan ke
HDL, dan berkorelasi terbalik dengan resiko penyakit gagal jantung.

1.3.3 Reseptor LDL

Sintesis reseptor LDL distimulasi oleh konsentrasi kolesterol intraseluler yang rendah.
Reseptor LDL didegradasi oleh proprotein convertase subtisilin/kexin type 9 (PCSK9), yang
mempengaruhi jumlah reseptor LDL yang diekspresikan. Reseptor LDL terendositosis oleh
protein, dan dipecah oleh enzim lisosom, lalu zat yang tersisa digunakan oleh sel atau
kolesterolnya disimpan dalam cholesterol pool (Koda Kimble, 2013). Reseptor pada sel
berjalan dari mitokondria ke permukaan melalui coated pits, lalu berikatan dengan apoE dan
apoB pada VLDL, IDL maupun LDL (Koda Kimble, 2013).
1.4 Etiologi

Berikut adalah faktor resiko dari dislipidemia: (Biggers, 2017)


1. Alkohol. Alkohol dapat merusak hati dan mengganggu metabolisme lipid. Inflamasi
yang terjadi pada hati dapat meningkatkan spesi oksigen reaktif yang berkontribusi
terhadap pembentukan small dense oxidised LDL.
2. Merokok. Merokok dapat meningkatkan kadar katekolamin yang meningkatkan jumlah
asam lemak bebas, VLDL, dan LDL, juga menurunkan kadar HDL.
3. Makanan tinggi lemak jenuh. Konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan trans dapat
menyebabkan penumpukan lemak karena lemak trans bersifat lebih stabil dan memiliki
waktu hidup (shelf life) yang lebih lama.
4. Genetik
5. Umur. Umur yang semakin tua dapat mengubah profil metabolisme lipid, dengan
adanya peningkatan adipogenesis (pengaruh terhadap faktor transkripsi), yang
menyebabkan akumulasi lipid. Selain itu, penyakit yang diderita saat tua dapat menjadi
faktor sekunder penyebab dislipidemia.
6. Jenis Kelamin. Jenis kelamin perempuan dengan lebih banyak estrogen dapat
meningkatkan produksi Apo A-I yang merupakan komponen HDL. Untuk wanita
postmenopausal dengan kadar estrogen rendah, akan beresiko terhadap aterosklerosis
karena penurunan kadar HDL.
7. Obat-obatan:
- Diuretik: mekanisme belum jelas, namun diusulkan bahwa obat dapat mempengaruhi
diferensiasi adiposit, sehingga trigliserida plasma dapat terakumulasi pada pasien yang
rentan karena adanya faktor genetik.
- β-blocker: reseptor β2 ada pada sel β islet of langerhans, sehingga jika diblok dapat
mengurangi sekresi insulin, lalu neurotransmiter akan cenderung berikatan dengan
reseptor ꭤ sehingga terjadi vasokonstriksi dan glukosa tidak dapat diambil,
menyebabkan resistensi insulin.
- Kontraseptif: pengaruh kontraseptif akan tergantung pada komposisinya. Estrogen
maupun progesteron mempengaruhi transkripsi gen berkaitan metabolisme lipid
dengan berikatan pada reseptor hormon steroid di nukleus. Progesteron menstimulasi
penurunan aktivitas lipase dan pembentukan lebih banyak VLDL, sedangkan estrogen
menstimulasi metabolisme lipid yang baik.
- Glukokortikoid: mempengaruhi metabolisme (meningkatkan VLDL dan lipogenesis,
serta meredistribusikan lemak sehingga akan menumpuk hanya di beberapa tempat.
- Isoretionoin (retinoids): melalui retinoid X receptor (RXR), akan meningkatkan kadar
apoC-III yang mengganggu fungsi LPL dan uptake VLDL remnan.

1.5 Patofisiologi

Penyakit dislipidemia dapat disebabkan oleh penyebab primer (genetik) maupun sekunder
(penyakit lain). Fredrickson, seorang peneliti lipid, mengklasifikasikan penyakit dislipidemia
primer (familial dyslipidemia) menjadi beberapa fenotip, berdasarkan jumlah lipoprotein yang
meningkat (Dipiro, 2014).

Gambar 9 : Klasifikasi Penyakit Dislipidemia berdasarkan Fredrickson (Dipiro, 2014)


Gambar 10 : Penyakit Dislipidemia Primer dan Fenotipenya (Dipiro, 2014)

1.5.1 Hiperkolestrolemia

Familial hypercholesterolemia terjadi karena adanya mutasi pada gen reseptor LDL autosom
dominan, sehingga reseptor LDL tidak dapat berikatan dengan LDL atau LDL- R kompleks
tidak dapat diinternalisasi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh mutasi pada protein PCKS9,
sehingga reseptor LDL akan terdegradasi dan jumlahnya berkurang. Untuk individu yang
heterozigot, setengah jumlah LDL-R masih normal. LDL dapat tersimpan dalam iris
menyebabkan arcus senilis, atau tendon menyebabkan tendon xanthomas. Familial defective
ApoB-100 terjadi karena adanya mutasi yang menyebabkan ApoB-100 defektif, sehingga
pengikatan partikel lipoprotein ke reseptor LDL dan klirens akan berkurang. LDL juga dapat
terdeposisi di tendon menyebabkan tendon xanthomas. Polygenic hypercholesterolemia terjadi
karena adanya kombinasi faktor lingkungan (nutrisi rendah, gaya hidup mewah) serta faktor
genetik. Ketiga penyakit ini menyebabkan kadar LDL tinggi, yang dikenal dengan tipe fenotip
Fredrickson IIa (Koda Kimble, 2013).

1.5.2 Hipertrigliseridemia

Familial LPL deficiency terjadi karena mutasi gen autosom resesif dan jarang terjadi. LPL
pertama kali menghidrolisis VLDL dan kilomikron, sehingga kadar VLDL dan kilomikron
meningkat (tipe I dan V). Hal ini menimbulkan inflamasi pada sistem pencernaan dalam
bentuk pankreatitis, sakit pada abdomen, hepatosplenomegali, bahkan pada bagian lain yang
menyebabkan xanthomatosis dan polineuropati perifer. Umumnya penyakit ini terjadi pada
individu yang obesitas, hiperurisemia, dan diabetik, juga meningkatkan resiko terjadinya
penyakit gagal jantung. Pada familial ApoC-II deficiency, kadar Apo C-II yang merupakan
kofaktor LPL menurun, sehingga aktivitas LPL menurun. Kadar VLDL dan kilomikron akan
meningkat (tipe I dan V) (Dipiro, 2014)

1.5.3 Hipertrigliseridemia dan Hiperkolestrolemia

Familial combined hyperlipidemia disebabkan karena adanya peningkatan VLDL dan LDL
tanpa alasan yang jelas (tipe IIb). Umumnya penyakit ini terjadi pada individu yang kelebihan
berat badan, hipertensif, diabetik dan hiperurisemia. Familial dysbetalipoproteniemia terjadi
karena individu tersebut memiliki gen homozigot yang mengkode isoform apoE2. ApoE2
memiliki afinitas yang paling rendah terhadap reseptor LDL, sehingga terjadi penundaan
klirens VLDL remnan dan IDL, sehingga akan menumpuk dan terkonversi menjadi LDL
dengan lambat (Koda Kimble, 2013).

1.5.4 Displidemia Lainnya

Type IV hyperlipoproteinemia terjadi pada individu yang diabetik, obesitas, dan mengalami
hiperurisemia, dan manifestasinya seperti penggabungan antara familial hypertriglyceridemia
dan familial combined hyperlipidemia. Hypoalphalipoproteinemia terjadi tanpa alasan yang
tidak pasti, dimana kadar HDL-C menurun dan kadar lipid lain normal. Namun penyebab
genetiknya dapat diperburuk oleh gaya hidup seperti obesitas, merokok, dan kurangnya
olahraga (Koda Kimble, 2013).

Atherogenic dyslipidemia biasanya terjadi pada individu yang menderita diabetes, obesitas,
hipertensi, dan penyakit pada hati (fatty liver), sehingga mengalami resistensi insulin. Adanya
resistensi insulin membuat efek hormon insulin tidak terjadi, salah satunya penghentian
lipolisis. Lipolisis yang meningkat membentuk lebih banyak trigliserida (TG) dan sintesis
VLDL kaya TG, yang juga memiliki apoC-III. Apo C-III menghambat kerja dari LPL,
sehingga tidak ada lipolisis dari VLDL. VLDL kaya TG semakin bertambah, yang akan
menukarkan TG nya dengan cholesterol ester (CE) yang dimiliki HDL. Terjadi juga lipolisis
TG pada VLDL, sehingga VLDL semakin kaya CE (ukuran kecil, bersifat aterogenik). Karena
adanya kerja LPL yang terhambat dan trigliserida yang meningkat, jumlah LDL kaya TG yang
meningkat. LDL yang menumpuk lama kelamaan akan teroksidasi, dan small dense oxidised
LPL ini bersifat aterogenik (Koda Kimble, 2013).

1.5.5 Penyebab Sekunder


● Diabetes (terutama tipe II) terjadi karena adanya resistensi insulin. Resistensi insulin
akan mengaktivasi lipase sensitif hormon intraseluler, melepaskan asam lemak dari
trigliserida pada jaringan adiposa. Sintesis TG, apoB dan lipoprotein meningkat. ApoB
menghambat kerja dari LPL, dan tidak ada efek insulin yang menghambat aktivitas
apoB. Peran HDL sebagai antioksidan juga berkurang. Lipogenesis meningkat akibat
peningkatan ekspresi enzim untuk sintesis asam lemak oleh karena peningkatan faktor
transkripsi akibat hiperinsulinemia. Hal ini menimbulkan penumpukan LDL
teroksidasi yang tinggi.
● Hipotiroidisme merupakan kondisi seseorang memiliki kadar hormon tiroid yang
rendah. Hormon T3 berfungsi untuk mengaktivasi gen reseptor LDL melalui sterol
regulatory element-binding protein-2 (SREBP-2), sehingga jika kadarnya rendah dapat
menurunkan ekspresi reseptor LDL.
● Gagal ginjal dapat menyebabkan resistensi insulin, karena berbagai faktor. Adanya
inflamasi kronis pada ginjal dapat menyebabkan stres oksidatif dan pengeluaran sitokin
seperti IL-6 yang dapat meningkatkan aktivitas protein SOCS (suppressors of cytokine
signalling), yang juga menghambat signalling insulin, menyebabkan resistensi. Selain
itu, juga dapat dipengaruhi oleh defisiensi vitamin D, ketidakteraturan adipokin, atau
flora normal usus yang berubah.
● Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin; dan karena kebiasaan individu terkait
dalam mengkonsumsi lemak, pengantaran lemak dari jaringan lemak ke hati semakin
besar.
● Hiperurisemia adalah keadaan dimana asam urat tinggi, dan hal ini dapat memberi efek
inflamasi pada adiposit.
● Hati berlemak (fatty liver) memproduksi banyak lipoprotein, dan kerusakan sel hati
dapat menurunkan tingkat klirens. Lipotoksisitas juga menimbulkan resistensi insulin
melalui jalur sitokin IL-6 seperti yang telah dijelaskan di atas.
1.6 Tanda dan Gejala
Tanda:
● Sakit perut
● Pankreatitis
Gejala
● Sakit dada
● Palpitasi
● Berkeringat
● Kecemasan
● Sesak napas
● Hilang kesadaran
● Kesulitan berbicara atau bergerak
● Sakit perut

1.7 Diagnosis
Diagnosis adalah proses mengidentifikasi penyebab atau kelainan penyakit. Untuk
mengkonfirmasi dislipidemia, tes darah yang disebut profil lemak atau tes panel lipid harus
dilakukan. Hasil tes ini menunjukkan kolesterol total, kadar trigliserida, kolesterol baik dan
kolesterol jahat. Adapun pengukuran profil lipid pada darah dapat digunakan rumus:

LDL-C = Total Cholesterol−(HDL-C+TG/5), mempertimbangkan dua hal:


● Jika nilai TG < 400 mg/dL maka nilai LDL-C tidak dapat ditentukan akibat rumus
tersebut tidak dapat menghitung nilai VLDL secara akurat
● Pengukuran nilai LDL-C harus terlebih dahulu dilakukan puasa sekitar 10-12 jam
(Wall, 2013).

Kadar lipoprotein yang didapat kemudian dibandingkan dengan klasifikasi kadar


lipoprotein pada tabel 1 untuk orang dewasa dan tabel 2 untuk pediatrik. Klasifikasi lipid
untuk mendeteksi dislipidemia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Klasifikasi Lipid pada Orang Dewasa (Joseph T. DiPiro et al., 2020)
Tabel 2. Klasifikasi Lipid pada Anak-anak (Joseph T. DiPiro et al., 2020)

Nilai kadar lipoprotein dapat digunakan pula untuk mengidentifikasi gangguan


dislipidemia nya berdasarkan gangguan atau kelainan kadar lipoprotein pada berbagai jenis
dislipidemia diantaranya yakni:
Tabel 3. Klasifikasi Jenis Dislipidemia beserta Cara Pendeteksiannya (Wall, 2013)
Jenis Dislipidemia Keterangan

Polygenic Hypercholesterolemia Nilai LDL-C 130 hingga 250 mg/dL (tinggi)

Atherogenic Dyslipidemia Nilai TG 150 hingga 500 mg/dL (tinggi), HDL-C


<40 mg/dL (rendah), LDL-C tinggi (200-499
mg/dL)

Familial Hypercholesterolemia Nilai LDL-C sangat tinggi (160-189 mg/dL)

Familial Dysbetalipoproteinemia Kadar kolesterol tinggi (>=240 mg/dL), nilai TG


400-800 mg/dL (tinggi)

Proportein Convertase Subtilisin/Kexin Nilai LDL-C sekitar 300 mg/dL (sangat tinggi)
Type 9

Familial Combined Hyperlipidemia Kadar kolesterol tinggi (250-350 mg/dL), Kadar


TG tinggi (250-350 mg/dL), kadar HDL-C
rendah (<40 mg/dL)

Familial Hypobetalipoproteinemia Konsentrasi apolipoprotein B-100 >125 mg/dL

Hypoalphalipoproteinemia Kadar HDL-C rendah (<40 mg/dL) dan tidak


terjadi penurunan kadar TG

1.8 Terapi Non Farmakologi


Terapi farmakologi dari dislipidemia perlu ditunjang dengan terapi non farmakologinya
untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Adapun terapi non farmakologi yang perlu dilakukan
pada pasien dislipidemia buku Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach 11th edition
adalah
1. Modifikasi gaya hidup adalah landasan pengurangan resiko ASCVD dan
direkomendasikan pada semua pasien, termasuk mereka yang menerima terapi penurun
lipid.
2. Berat badan dan indeks massa tubuh (BMI) harus ditentukan pada setiap kunjungan
dan pola gaya hidup untuk menginduksi penurunan berat badan 5% sampai 10% harus
didiskusikan dalam orang yang kelebihan berat badan atau obesitas.
3. Aktivitas fisik dengan intensitas sedang hingga kuat direkomendasikan tiga hingga
empat kali per minggu dengan setiap sesi berlangsung rata-rata 40 menit.
4. Semua pasien juga harus dinasihati untuk berhenti merokok dan menghindari produk
tembakau sama sekali.
5. Sarankan pasien untuk mengurangi persentase kalori dari lemak jenuh dan trans
dengan mengikuti pola makan yang mengutamakan sayur-sayuran, buah-buahan,
biji-bijian, susu rendah lemak, unggas, ikan, kacang-kacangan, dan kacang-kacangan;
sambil membatasi konsumsi makanan manis, minuman manis, dan daging merah.
6. Peningkatan asupan serat larut air dalam bentuk dedak gandum, pektin, dan produk
psyllium dapat mengurangi kolesterol total dan LDL-C. Serat larut mengikat kolesterol
dan asam empedu dalam usus halus, yang menurunkan absorpsi dan reabsorpsi. Jumlah
asupan serat harian harus sekitar 25 g/hari
7. Konsumsi suplemen fish oil: menurunkan TG dan VLDL-C, tapi tidak berefek bagi TC
dan LDL-C (beberapa data menunjukkan kenaikan). Fish oil juga memiliki efek
kardioprotektif.
8. Mengonsumsi 2 – 3 g plant sterol menurunkan 6- 15 % LDL. (Ada di minyak sayur,
kacang, margarin, biji-bijian). Jika seluruh diet sehat terpenuhi, reduksi LDL dapat
menurun hingga 20 – 30 %

1.9 Terapi Farmakologi


1.9.1 Tujuan Terapi (Dipiro et al., 2020)
● memperbaiki kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL
dalam darah
● mencegah kemunculan dan progresi ASCVD
● mencegah morbiditas dan mortalitas terkait ASCVD: revaskularisasi, infark miokardia,
stroke iskemik
Target kolesterol LDL berbeda untuk setiap pasien dislipidemia. Faktor-faktor risiko
yang memodifikasi target kolesterol LDL antara lain:
a. Usia
i. Pria: ≥45 tahun
ii. Wanita: ≥55 tahun atau mengalami menopause prematur tanpa terapi
penggantian estrogen
b. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner (infark miokardial definit atau
kematian mendadak) prematur
i. Terjadi sebelum usia 55 tahun pada ayah atau keluarga inti pria, atau
ii. Terjadi sebelum usia 65 tahun pada ibu atau keluarga inti wanita
c. Merokok
d. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mengonsumsi obat antihipertensi)
e. Kadar kolesterol HDL rendah (<40 mg/dL [<1,03 mmol/L])
* Diabetes dianggap setara dengan risiko penyakit jantung koroner.
** Kadar kolesterol HDL tinggi (≥60 mg/dL [≥1,55 mmol/L]) dihitung sebagai faktor risiko
“negatif”; keberadaannya mengurangi satu faktor dari total perhitungan faktor risiko.

Gambar 11 : Klasifikasi Target Kadar LDL Berdasarkan Kategori Risiko Pasien


Sumber: Wells et al., 2015
1.9.2 Obat-obatan yang Digunakan
a. Inhibitor HMG-CoA reduktase
Obat-obat inhibitor HMG-CoA reduktase umum dikenal sebagai golongan
statin. Obat golongan ini menghambat tahap penentu laju biosintesis kolesterol, yaitu
konversi HMG-CoA menjadi mevalonat. Oleh karena itu, diduga mekanisme utama
statin yaitu mengurangi sintesis droplet lipid dan meningkatkan katabolisme LDL
(Wells et al., 2015).

Gambar 12 : Dosis dan intensitas obat-obatan inhibitor HMG-CoA reduktase.


Sumber: American College of Cardiology, 2018
Efek samping statin yang umum yaitu konstipasi, yang terjadi pada kurang dari
10% pasien yang mengonsumsi statin. Efek samping lainnya antara lain peningkatan
alanin aminotransferase, kadar kreatin kinase; miopati; dan, walaupun sangat jarang,
rhabdomyolisis (Wells et al., 2015).
b. Ezetimibe
Ezetimibe mengganggu absorpsi kolesterol dari usus halus, sehingga cocok
digunakan sebagai terapi adjunct. Ketika digunakan secara tunggal, ezetimibe
memberikan penurunan kolesterol LDL hingga 18%. Ketika digunakan bersama statin,
ezetimibe menurunkan kolesterol LDL lebih jauh 12 hingga 20%. Ezetimibe hanya
digunakan ketika pasien tidak dapat mentolerir statin atau tidak mencapai penurunan
lipid yang memuaskan dengan penggunaan statin tunggal. Ezetimibe cenderung
ditoleransi dengan baik oleh pasien; sekitar 4% pasien mengalami gangguan saluran
cerna (Wells et al., 2015).
c. Pengikat asam empedu
Pengikat asam empedu mengikat asam empedu dalam lumen usus sembari
menghambat sirkulasi enterohepatik asam empedu. Akibatnya, total asam empedu
berkurang dan liver terstimulasi untuk mensintesis asam empedu dari kolesterol.
Berkurangnya total asam empedu meningkatkan biosintesis kolesterol dan jumlah
reseptor LDL pada membran hepatosit, sehingga uptake LDL dari plasma meningkat
dan kadar LDL plasma menurun. Akan tetapi, peningkatan produksi VLDL oleh hati
yang mengiringi peningkatan biosintesis kolesterol hati dapat memperparah
hipertrigliseridemia pada pasien dengan dislipidemia terkombinasi. Contoh obat
pengikat asam empedu antara lain kolestiramin, kolestipol, dan kolesevelam (Wells et
al., 2015).
Efek samping yang umum dari konsumsi pengikat asam empedu antara lain
gangguan saluran cerna, yang terdiri dari konstipasi, kembung, rasa penuh pada
epigastrik, dan mual. Efek samping pada saluran cerna dapat diatasi dengan
meningkatkan konsumsi cairan, meningkatkan konsumsi serat, dan menggunakan
pencahar. Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain gangguan absorpsi
vitamin larut lemak (A, D, E, K); hipernatremia dan hiperkloremia; obstruksi saluran
cerna; dan penurunan bioavailabilitas obat-obat asam seperti warfarin, asam nikotinat,
parasetamol, tiroksin, hidrokortison, hidroklortiazid, loperamid, dan mungkin zat besi.
Interaksi obat dapat dihindari dengan menjeda waktu pemberian antar obat dengan
interval 2 jam (Wells et al., 2015).
d. Inhibitor PCSK9
Pada kondisi hiperkolesterolemia familial, terjadi peningkatan signifikan
kolesterol total dan LDL serta penyakit vaskular prematur. Salah satu penyebabnya
adalah mutasi pada gen PCSK9 (proprotein convertase subtilisin/kexin type 9).
Overekspresi gen PCSK9 pada mencit transgenik mengurangi fungsi reseptor LDL dan
meningkatkan kadar LDL plasma. Saat ini, terdapat dua obat inhibitor PCSK9, yaitu
alirocumab dan evolocumab. Kedua obat ini merupakan antibodi monoklonal. Efek
samping yang dapat timbul antara lain reaksi ringan pada tempat penyuntikan dan
nasofaringitis (Pokhrel et al., 2021).
e. Asam fibrat
Monoterapi dengan fibrat efektif mereduksi VLDL, tetapi peningkatan resiprok
pada LDL dapat terjadi, sehingga nilai total kolesterol mungkin relatif tidak berubah.
Konsentrasi plasma HDL dapat meningkat 10 – 15% atau lebih dengan penggunaan
fibrat. Contoh obat golongan ini yaitu gemfibrozil, fenofibrat, dan klofibrat (Wells et
al., 2015).
Efek samping yang umum terjadi yaitu gangguan saluran cerna. Ruam, pusing,
dan peningkatan sesaat kadar transaminase dan alkalin fosfatase dapat terjadi. Gejala
myositis seperti myalgia, lemah, kaku, kelelahan, serta kenaikan kreatin kinase dan
aspartat aminotransferase dapat terjadi, dan lebih sering terjadi pada pasien yang
mengalami penurunan fungsi ginjal. Fibrat dapat meningkatkan efek antikoagulan oral,
sehingga pemantauan ketat INR diperlukan jika diberikan kombinasi ini. Gemfibrozil
dan mungkin fenofibrat dapat meningkatkan pembentukan batu empedu, walaupun
langka (Wells et al., 2015).
f. Niasin
Niasin atau asam nikotinat alias vitamin B3 mengurangi sintesis VLDL di hati,
sehingga mengurangi sintesis LDL. Selain itu niasin dapat menurunkan katabolisme
HDL sehingga kadar HDL darah meningkat. Niasin umumnya digunakan untuk
dislipidemia campuran, atau sebagai terapi lini kedua dalam terapi kombinasi untuk
hiperkolesterolemia. Niasin digunakan sebagai terapi lini pertama atau alternatif pada
pengobatan hipertrigliseridemia dan dislipidemia diabetik (Wells et al., 2015).
Efek samping yang umum dari niasin adalah kemerahan pada kulit serta
gatal-gatal. Hal ini dapat diatasi dengan mengonsumsi aspirin 325 mg sesaat sebelum
niasin, mengonsumsi niasin bersama makanan, atau peningkatan dosis perlahan.
Minuman panas atau beralkohol sebaiknya tidak diminum bersama niasin karena dapat
memperparah kemerahan dan gatal pada kulit. Ketidaknormalan hasil laboratorium
dapat mencakup peningkatan uji fungsi liver, hiperurisemia, dan hiperglisemia. Niasin
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit liver aktif. Niacin juga dapat
memperparah gout dan diabetes yang sudah ada (Wells et al., 2015).

Tabel 4. Rangkuman Dosis Obat-obatan Dislipidemia Non-Statin

Nama obat Dosis lazim Dosis maksimum per


hari

Ezetimibe 10 mg 1x sehari 10 mg

Kolestiramin 8 g 3x sehari 32 g

Kolestipol HCl 10 g 2x sehari 30 g


Kolesevelam 1875 mg 2x sehari 4375 mg

Alirocumab (injeksi) 75 mg tiap 2 minggu atau 150 mg tiap 2 minggu


300 mg tiap 4 minggu

Evolocumab (injeksi) 140 mg tiap 2 minggu atau -


420 mg tiap bulan

Fenofibrat 54 mg atau 67 mg 201 mg

Gemfibrozil 600 mg 2x sehari 1,5 g

Niasin 0,5 – 1 g 3x sehari 6g


1.9.3 Algoritma Terapi (American College of Cardiology, 2018)
a. Algoritma Terapi Pencegahan Primer Dislipidemia

Link kalkulator risiko ASCVD: http://tools.acc.org/ASCVD-Risk-Estimator-Plus


Gambar 13 : Algoritma terapi pencegahan primer dislipidemia.
Sumber: American College of Cardiology, 2018
b. Algoritma Terapi pada Pasien dengan Hiperkolesterolemia Primer Parah

Tabel 5. Rekomendasi Terapi untuk Hiperkolesterolemia Primer Parah [LDL-C ≥190 mg/dL
(≥4,9 mmol/L)] (American College of Cardiology, 2018)

Kelas Kriteria Rekomendasi Terapi


Rekomendasi

I ● Usia 20 – 75 tahun Terapi statin maksimal


● LDL-C ≥190 mg/dL (≥4,9 mmol/L) yang dapat ditoleransi

IIa ● Usia 20 – 75 tahun Penambahan terapi


● LDL-C ≥190 mg/dL (≥4,9 mmol/L) ezetimibe
● Sudah menerima terapi statin maksimal
● Pengurangan LDL-C <50% dan/atau
LDL-C masih ≥100 mg/dL (≥2,6 mmol/L)

IIb ● Usia 20 – 75 tahun Penambahan terapi


● LDL-C baseline ≥190 mg/dL (≥4,9 pengikat asam empedu
mmol/L)
● Sudah menerima terapi statin dan ezetimibe
maksimal
● Pengurangan LDL-C <50% dan kadar
trigliserida puasa ≤300 mg/dL (≤3,4
mmol/L)

IIb ● Usia 30 – 75 tahun Penambahan terapi


● Memiliki hiperkolesterolemia familial inhibitor PCSK9
heterozigot
● LDL-C ≥100 mg/dL (≥2,6 mmol/L)
● Sudah menerima terapi statin dan ezetimibe
maksimal

IIb ● Usia 40 – 75 tahun Penambahan terapi


● LDL-C baseline ≥220 mg/dL (≥5,7 inhibitor PCSK9
mmol/L)
● Sudah menerima terapi statin dan ezetimibe
maksimal
● LDL-C setelah pengobatan ≥130 mg/dL
(≥3,4 mmol/L)
c. Algoritma Terapi pada Pasien dengan ASCVD Klinis untuk Mencegah ASCVD
Sekunder

Gambar 14 : Algoritma terapi dislipidemia pada pasien dengan ASCVD klinis.


Sumber: American College of Cardiology, 2018

Pasien yang tergolong memiliki risiko sangat tinggi (very high-risk) untuk mengalami
ASCVD yaitu pasien yang memiliki riwayat beberapa kejadian ASCVD mayor atau 1 kejadian
ASCVD mayor ditambah sejumlah kondisi berisiko tinggi, seperti tercantum pada tabel
berikut:
Tabel 6. Risiko Sangat Tinggi untuk Mengalami Kejadian ASCVD di Masa Depan

Kejadian ASCVD mayor Kondisi berisiko tinggi

Sindrom koroner akut (dalam 12 bulan Usia ≥ 65 tahun


terakhir)
Riwayat infark miokardial (selain sindrom Hiperkolesterolemia familial heterozigot
koroner akut di atas)

Riwayat stroke iskemik Riwayat operasi bypass arteri koroner atau


PCI (percutaneous coronary intervention)
selain yang terdaftar dalam kejadian
ASCVD mayor

Penyakit arteri perifer simptomatik Diabetes mellitus


(riwayat kepincangan dengan ankle
brachial index <0,85 atau riwayat
revaskularisasi atau amputasi)

Hipertensi

CKD (eGFR 15-59 mL/menit/1,73 m2

Aktif merokok

Nilai LDL-C persisten ≥100 mg/dL (≥2.6


mmol/L) dengan terapi statin maksimum
dan ezetimibe

Riwayat gagal jantung

1.10 Komplikasi
a. Aterosklerosis
Dislipidemia merupakan faktor risiko aterosklerosis yang paling penting.
Aterosklerosis merupakan kondisi yang dicirikan oleh akumulasi lipid, kolesterol, dan kalsium
serta pembentukan plak pada dinding arteri (Shattat, 2014).
b. Jantung koroner
Aterosklerosis, yang disebabkan oleh dislipidemia, dapat menyebabkan penyempitan
arteri yang menyuplai darah ke otot-otot jantung. Akibatnya, aliran darah ke otot jantung
berkurang dan otot jantung tidak mendapat oksigen yang cukup (Shattat, 2014). Salah satu
manifestasi penyakit arteri koroner yaitu angina pectoris, yaitu kondisi terjadinya nyeri dada
sesaat yang berulang (Wengrofsky, 2019).
c. Infark miokardial
Infark miokardial atau serangan jantung merupakan keadaan ketika tiba-tiba terjadi
blokade parsial atau penuh aliran darah di salah satu atau beberapa arteri kardiak. Blokade
tersebut dapat disebabkan oleh plak aterosklerosis yang mengalami ruptur. Akibatnya, terjadi
kerusakan atau kematian sel-sel jantung (Shattat, 2014).
d. Stroke iskemik
Penyempitan atau blokade pada pembuluh arteri otak oleh plak aterosklerosis atau
bekuan darah dapat menyebabkan terjadinya stroke iskemik. Banyak uji klinis yang
menunjukkan bahwa menurunkan LDL dan kolesterol total sebanyak 15% mengurangi risiko
terjadinya stroke pertama secara signifikan (Shattat, 2014).
e. Hipertensi
Dislipidemia dapat menyebabkan kerusakan endotel pada pembuluh darah. Kerusakan tersebut
menyebabkan hilangnya aktivitas vasomotor fisiologis yang berujung pada peningkatan
tekanan darah (Halperin et al., 2006).
f. Peripheral artery disease (PAD)
Klaudikasi merupakan nyeri yang timbul saat melakukan aktivitas fisik, terutama pada
anggota gerak bagian bawah. Klaudikasi anggota gerak dapat disebabkan oleh PAD.
Dislipidemia yang tak terkontrol menimbulkan lesi aterosklerotik sehingga terjadi
penyempitan lumen arteri. Plak aterosklerotik yang tererosi ataupun ruptur juga dapat
menyebabkan klaudikasi (Wengrofsky, 2019).
g. Gagal ginjal kronis
Gagal ginjal kronis akibat dislipidemia dapat terjadi melalui mekanisme PAD.
Penyempitan arteri yang menyuplai darah ke ginjal dapat terjadi akibat timbulnya plak
aterosklerotik. Penyempitan arteri tersebut dapat menyebabkan hipoperfusi kronis, kerusakan
tubulointerstisial, dan kerusakan mikrovaskuler pada ginjal. Kondisi ini dapat dipresentasikan
oleh kenaikan tekanan darah akibat peningkatan aktivitas RAAS (Wengrofsky, 2019).

1.11 Monitoring dan Evaluasi (Wells et al., 2015)


● Monitoring berdasarkan pemeriksaan laboratorium:
○ Parameter: kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL,
kadar trigliserida.
○ Pengukuran kadar lipid dilakukan pada keadaan puasa untuk meminimalkan
interferensi dari kilomikron.
○ Interval monitoring:
■ Selama titrasi dosis: beberapa bulan sekali
■ Ketika pasien sudah stabil: setiap 6 bulan sampai 1 tahun sekali
● Monitoring berdasarkan tanda dan gejala:
○ Pada pasien dengan dislipidemia primer: tanda dan gejala seperti xanthoma
sering kali tidak muncul, sehingga monitoring hanya dilakukan berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium.
○ Pada pasien yang diterapi untuk mencegah kejadian ASCVD sekunder: gejala
ASCVD seperti angina dan klaudikasi sesaat dapat membaik setelah beberapa
bulan atau tahun. Manifestasi eksternal dislipidemia seperti xanthoma
semestinya membaik dengan terapi.
● Monitoring spesifik berdasarkan jenis terapi:
○ Pengikat asam empedu:
■ Panel profil lipid puasa setiap 4-8 minggu hingga dosis stabil tercapai
■ Setelah dosis stabil tercapai: pemeriksaan trigliserida untuk memastikan
bahwa tidak terjadi peningkatan
○ Niasin:
■ Pemeriksaan baseline: fungsi liver (alanin aminotransferase), asam urat,
glukosa
■ Pada dosis 1000 - 1500 mg/hari dapat dilakukan pemeriksaan ulang
■ Gejala miopati/diabetes harus diinvestigasi dan mungkin membutuhkan
penentuan kreatin kinase/glukosa
■ Pasien dengan diabetes mungkin memerlukan monitoring yang lebih
sering
○ Statin:
■ Panel profil lipid puasa 4-8 minggu setelah dosis awal atau perubahan
dosis
■ Pemeriksaan fungsi liver pada baseline dan diulang secara periodik
■ Jika muncul gejala efek samping, perlu monitoring hepatotoksisitas dan
miopati
● Catatan tambahan:
○ Untuk pasien dengan beberapa faktor risiko dan penyakit jantung koroner,
evaluasi kemajuan dalam mengelola faktor risiko lain, contoh: tekanan darah,
penghentian kebiasaan merokok, kontrol berat badan, aktivitas fisik, dan kadar
gula darah (jika mengalami diabetes).
○ Evaluasi terapi diet dengan buku harian diet dan instrumen survey mengingat
kembali dapat dilakukan untuk mengumpulkan data secara sistematis dan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rekomendasi diet.
BAB II
STROKE

2.1 Definisi
Stroke adalah penurunan tiba-tiba fungsi sistem saraf utama yang berlangsung selama
sekurangnya 24 jam dan diduga berasal dari pembuluh darah (Sukandar et al., 2013). Berikut
merupakan beberapa jenis stroke:
a. Stroke iskemik, disebabkan oleh penyumbatan arteri serebral akibat thrombus atau
emboli. Stroke iskemik mencakup 87% seluruh kasus stroke (Wells et al., 2015).
b. Stroke hemorhagik, disebabkan oleh perdarahan akibat ruptur (pecahnya) pembuluh
darah serebral. Stroke hemorhagik mencakup 13% seluruh kasus stroke. Stroke
hemorhagik dapat digolongkan lagi menjadi hemorhagik subaraknoid, hemorhagik
intraserebral, dan hematoma subdural (Wells et al., 2015).
c. Transient ischemic attack (TIA), serangan iskemia sementara, atau yang biasa dikenal
sebagai ministroke merupakan disfungsi neurologis sementara akibat iskemia
(berkurangnya aliran darah) pada otak, sumsum tulang, ataupun retina tanpa infark
akut maupun kerusakan jaringan (Panuganti et al., 2021). TIA umumnya berlangsung
kurang dari satu jam, seringkali hanya hitungan menit. TIA dapat menjadi pertanda
serius akan kemunculan stroke iskemik. Risiko terjadinya stroke iskemik paling tinggi
pada 48 jam setelah TIA.

2.2 Epidemiologi
2.2.1 Epidemiologi Stroke Dunia
a. Insidensi stroke
Menurut World Stroke Organization (2020), terdapat lebih dari 13,7 juta kasus
stroke baru setiap tahunnya. Secara global, satu dari empat orang berusia di atas 25
tahun akan mengalami stroke pada masa hidupnya. Hampir 60% dari seluruh kasus
stroke terjadi pada orang berusia kurang dari 70 tahun. Dari seluruh kasus stroke baru
setiap tahunnya, 52% terjadi pada pria sedangkan 48% terjadi pada wanita.
b. Prevalensi stroke
Menurut World Stroke Organization, di seluruh dunia, terdapat lebih dari 80
juta orang yang pernah mengalami stroke. Enam puluh persen di antaranya merupakan
orang yang berusia kurang dari 70 tahun. Dari semua orang yang pernah mengalami
stroke dan masih hidup, 49% di antaranya adalah pria sedangkan 51% di antaranya
adalah wanita.

Gambar 15 : Insidensi stroke di dunia distandardisasi terhadap usia, pada pria dan wanita,
tahun 2016.
Sumber: Johnson et al., 2019 dengan perubahan.

2.2.2 Epidemiologi Stroke Indonesia


Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi stroke pada penduduk Indonesia
umur 15 tahun keatas yaitu sebesar 1,09% dengan total kasus sebanyak 713.783. Prevalensi
pada pria yaitu 1,1% sedangkan pada wanita sebesar 1,09%.

2.2.3 Epidemiologi Serangan Iskemik Sementara


Serangan iskemik sementara (TIA) dapat menjadi peringatan kemunculan stroke.
Sekitar satu dari tiga orang yang mengalami TIA akan mengalami stroke pada akhirnya (Mayo
Clinic, 2020), dengan setengahnya terjadi dalam satu tahun setelah serangan iskemik
sementara. TIA sering kali terjadi beberapa hari atau jam sebelum serangan stroke.
2.3 Normofisiologi

1. Sinap
Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang
berbeda saling mempengaruhi. Satu fungsi saraf terganggu secara fisiologi akan berpengaruh
terhadap fungsi tubuh yang lain. Informasi dan komunikasi dari sel saraf terjadi karena adanya
proses listrik dan kimia. Hantaran inpuls dari neuron satu ke yang lain malalui sinap. Sinap
adalah tempat/titik pertemuan antar neuron satu dengan yang lain dan ke otot. Struktur dari
sinap terbagi atas presinap yaitu pada bagian axon terminal sebelum sinap, celah sinap yaitu
ruang di antara pre dan post sinap dan post sinap pada bagian denrit. Pada celah sinap terdapat
senyawa kimia yang berfungsi menghantarkan impuls yang disebut neurotansmitter.
Neurotranmitter mempunyai sifat eksitasi (meningkatkan impuls) misalnya asetikolin,
norepinefrin dan inhibisi (menghambat impuls) misalnya Gamma Aminobutyric Acid
(GABA) pada jaringan otak dan glisin pada medula spinalis. Proses di mana impuls saraf di
hantarkan melalui sinaps disebut transmisi sinap (Corwin, 2008).
2. Impuls Saraf
Jaringan otot merupakan jaringan eksitabel yang mampu menghantarkan signal kimia dan
listrik dalam tubuh. Kemampuan hantaran tergantung pada keutuhan lingkungan intra dan
ekstra sel saraf. Dalam keadaan istirahat sel saraf mempunyai keseimbangan gradien
konsentrasi ion di mana pada intra sel bermuatnya negatif (-), dan ekstra sel bermuatan positif
(+). Elektrolit yang berperan dalam proses terjadinya impuls adalah kalium (K+) dan natrium
(Na-). Adanya pompa K+ - Na+ menimbulkan perbedaan konsentrasi dalam sel saraf.
Perbedaan ion dalam membran neuron disebut potensial membran istirahat yang besarnya :
-70 mV, di jantung dan sel skeletal -90mV. Pada keadaan istirahat sel saraf tidak
menghantarkan impuls. Membran sel yang mempunyai muatan listrik/impuls saraf di sebut
potensial aksi. Peningkatan muatan positif akan menimbulkan arus dari -70 mV menjadi +30
Mv, keadaan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi terjadi di sepanjang serat saraf. Setelah
depolarisasi gerakan ion natrium kembali seperti semula, keadaan ini di sebut repolarisasi
(Corwin, 2008).
3. Peredaran darah otak
Suplay darah ke otak bersifat konstan untuk kebutuhan normal otak seperti nutrisi dan
metabolisme. Hampir 1/3 kardiak output dan 20% oksigen dipergunakan untuk otak. Otak
memerlukan suplay kira-kira 750 ml/menit. Kekurangan suplay darah ke otak akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang menetap. Otak secara umum memperoleh aliran
darah dari dua arteri yaitu arteri vertebra dan arteri karotis internal. Kedua arteri ini
membentuk jaringan pembuluh darah kolateral yang di sebut Cirle Wilis. Arteri vertebra
memenuhi kebutuhan darah otak bagian posterior, diesefalon, batang otak, serebelum dan
oksipital. Arteri karotis bagian interna untuk memenuhi sebagian besar hemisfer kecuali
oksipital, basal ganglia dan 2/3 di atas encephalon (Corwin, 2008).

2.4 Etiologi

Stroke menurut Corwin (2008), biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian,
yaitu: (1). Trombosit (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher). (2). Embolisme
serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawah ke otak dari bagian tubuh yang lain.
(3). Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak). (4). Hemoragi serebral (pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak).
Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara
atau permanen gerakan, berpikir memori, bicara atau sensasi. Faktor resiko stroke meliputi
resiko yang tidak dapat diubah seperti umur, suku, jenis kelamin, dan genetik. Bila faktor
resiko ini ditanggulangi dengan baik, maka kemungkinan mendapatkan stroke dikurangi atau
ditangguhkan, makin banyak faktor resiko yang dipunyai makin tinggi pula kemungkinan
mendapatkan stroke sedangkan faktor resiko yang dapat diubah merupakan faktor resiko
terjadinya stroke pada seseorang yang keberadaannya dapat dikendalikan ataupun dihilangkan
sama sekali, gaya hidup merupakan tindakan atau perilaku seorang yang biasa dilakukan
sehari-hari atau sudah menjadi kebiasaan. Faktor resiko yang dapat diubah yang memiliki
kaitan erat dengan kejadian stroke berulang diantaranya hipertensi, diabetes mellitus, kelainan
jantung, kebiasaan merokok, aktifitas fisik/olahraga, kepatuhan kontrol, obesitas, minum
alkohol, diit, pengelolaan faktor resiko ini dengan baik akan mencegah terjadinya stroke
berulang (Corwin, 2008).
2.5 Patofisiologi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat
terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya
pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah otak. Otak yang seharusnya mendapat
pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Stroke bukan merupakan penyakit
tunggal tetapi merupakan kumpulan dari beberapa penyakit diantaranya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes mellitus dan peningkatan lemak dalam darah atau dislipidemia. Penyebab
utama stroke adalah thrombosis serebral, aterosklerosis dan perlambatan sirkulasi serebral
merupakan penyebab utama terjadinya thrombus. Stroke hemoragik dapat terjadi di epidural,
subdural dan intraserebral (Corwin, 2008). Peningkatan tekanan darah yang terus menerus
akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi perdarahan dalam
parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembes kesekitarnya bahkan dapat
masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intracranial. Ekstravasi darah terjadi di daerah otak
dan subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah
ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan penekanan pada arteri
disekitar perdarahan. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil
karena terjadi penekanan maka daerah otak disekitar bekuan darah dapat membengkak dan
mengalami nekrosis karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga
terbentuk suatu rongga (Corwin, 2008) Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya
perdarahan. Pembuluh darah yang mengalami gangguan biasanya arteri yang berhubungan
langsung dengan otak. Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat secara cepat
dan konstan, berlangsung beberapa menit bahkan beberapa hari. Gambaran klinis yang sering
muncul antara lain: pasien mengeluh sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah
penurunan kesadaran dan kejang. Sembilan puluh persen menunjukan adanya darah dalam
cairan serebrospinal, dari semua pasien ini 70-75 % akan meninggal dalam waktu 1- 30 hari,
biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke sistem ventrikel, herniasi lobus
temporal dan penekanan mesensefalon atau mungkin disebabkan karena perembesan darah ke
pusat-pusat yang vital. Penimbunan darah yang cukup banyak di bagian hemisfer serebri
masih dapat ditolerir tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata sedangkan adanya
bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan kematian
(Corwin, 2008).
2.6 Tanda dan Gejala
Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC, 2020), tanda dan gejala
berikut ini muncul secara tiba-tiba pada serangan stroke:
a. Mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau tungkai, terutama pada salah satu
sisi tubuh.
b. Kebingungan, masalah dalam berbicara, atau kesulitan memahami ucapan orang lain.
c. Masalah penglihatan pada salah satu atau kedua mata.
d. Pusing, ketidakmampuan berjalan, kehilangan keseimbangan, atau kehilangan
koordinasi.
e. Sakit kepala berat tanpa penyebab jelas.
Pada stroke hemorhagik, tanda dan gejala pertama yang dapat muncul yaitu sakit
kepala berat yang tiba-tiba, mual, muntah, fotofonia, sakit leher, dan kaku leher. Sakit kepala
yang muncul dapat dirasakan pasien sebagai “sakit kepala yang paling buruk seumur
hidupnya,” terutama jika penyebabnya adalah hemorhagia subaraknoid (Chisholm-Burns et
al., 2016).
Penanganan stroke harus dilaksanakan sesegera mungkin setelah terjadinya serangan.
Pengobatan stroke yang memberikan hasil terbaik hanya tersedia jika stroke dikenali dan
didiagnosis dalam 3 jam sejak kemunculan gejala yang pertama. Berikut merupakan kiat yang
dapat membantu orang awam dalam mengenali serangan stroke:

Gambar 16 : Mengenali serangan stroke dengan metode F.A.S.T.


Sumber: medicinenet.com
Acting F.A.S.T.
F – Face (wajah): Minta pasien untuk tersenyum. Apakah salah satu sisi wajah kendur?
A – Arms (lengan): Minta pasien untuk mengangkat kedua lengan. Apakah salah satu lengan
turun?
S – Speech (kemampuan bicara): Minta pasien untuk mengulang kalimat sederhana. Apakah
kata-kata pasien tidak terdengar dengan jelas?
T – Time (waktu): Jika terdapat tanda-tanda berikut, segera hubungi layanan darurat.
Perlu dicatat waktu ketika gejala pertama kali muncul. Informasi ini akan membantu
paramedis dalam menentukan perawatan terbaik bagi pasien. Jangan biarkan pasien
mengemudi sendiri ke rumah sakit atau diantarkan oleh orang lain. Hubungi ambulans agar
paramedis dapat mulai menangani pasien pada perjalanan ke IGD.

2.7 Diagnosis (NHS, 2019)


2.7.1 Pemindaian Otak
a. CT Scan
CT scan mirip seperti X-ray, tetapi menggunakan sejumlah foto yang digabung untuk
membentuk gambar tiga dimensi otak. CT scan dapat digunakan untuk menentukan apakah
pasien mengalami stroke iskemik atau stroke hemorhagik. CT scan umumnya memberikan
hasil lebih cepat daripada pemindaian MRI, sehingga pasien dapat menerima perawatan yang
sesuai dengan segera. Hasil pada CT scan akan normal atau menunjukkan warna gelap
(hipointensitas) pada daerah infarksi, sedangkan hemorhagia dicirikan oleh daerah berwarna
terang (hiperintensitas) (Chisholm-Burns et al., 2016).
b. Pemindaian MRI
Pemindaian Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan medan magnet yang
kuat dan gelombang radio untuk menghasilkan citra dalam tubuh yang jelas. Pemindaian MRI
dapat memberikan gambaran jaringan otak yang lebih detail, sehingga dapat mendeteksi
bagian otak yang terdampak stroke sekalipun bagian tersebut berukuran kecil atau terletak di
wilayah yang tidak biasa.
2.7.2 Uji menelan
Uji menelan penting dilakukan pada siapapun yang mengalami serangan stroke, karena
stroke mempengaruhi kemampuan menelan. Kemampuan menelan yang kurang baik dapat
menyebabkan makanan dan minuman masuk ke saluran pernapasan dan paru-paru (aspirasi),
sehingga dapat menyebabkan infeksi seperti pneumonia.
Pelaksanaan uji ini adalah sebagai berikut. Pasien diminta menelan beberapa sendok
teh air. Jika pasien mampu menelan tanpa tersedak atau batuk, pasien akan diminta menelan
setengah gelas air. Jika pasien ternyata mengalami kesulitan menelan, pasien akan dirujuk ke
terapis bicara. Pasien umumnya tidak diizinkan makan atau minum secara normal sampai telah
diperiksa oleh terapis bicara. Cairan atau nutrisi dapat diberikan melalui intravena atau tabung
nasogastrik.

2.7.3 Pengujian kardiovaskuler


a. Carotid ultrasound
Pengujian ini menggunakan probe kecil yang menghasilkan gelombang ultrasonik
untuk menciptakan citra bagian dalam tubuh. Pengujian ini dapat menunjukkan keberadaan
penyempitan atau penyumbatan arteri pada leher yang menuju ke otak. Ketika pengujian ini
dibutuhkan, pengujian ini harus dilakukan dalam 48 jam sejak serangan stroke.
b. Echocardiography
Echocardiography menggunakan prinsip gelombang ultrasonik, sama seperti pengujian
sebelumnya. Bedanya, probe ultrasonik pada echocardiography memindai bagian toraks
pasien untuk menghasilkan citra jantung (transthoracic echocardiography; TTE). Selain itu,
probe echocardiography dapat pula dimasukkan melalui esofagus untuk memungkinkan posisi
probe lebih dekat ke jantung (transoesophageal echocardiography; TOE). Prosedur TOE
dilengkapi dengan sedasi pasien. Pengujian TOE dapat mendeteksi bekuan darah dan kelainan
lain yang mungkin tidak terdeteksi oleh TTE.
2.8 Faktor Risiko (Boehme et al., 2017)
2.8.1 Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Umumnya, stroke merupakan penyakit terkait penuaan. Insidensi stroke meningkat
seiring bertambahnya usia. Menurut World Stroke Organization (WSO), kasus stroke baru
pada pasien berumur kurang dari 44 tahun hanya sebesar 8% dari total kasus stroke baru,
sedangkan persentase tersebut meningkat menjadi 60% pada kelompok umur kurang dari 70
tahun.
b. Jenis kelamin
Hubungan antara jenis kelamin dengan risiko stroke bergantung pada usia. Pada usia
muda, wanita memiliki risiko setara atau lebih tinggi untuk menderita stroke dibandingkan
dengan pria. Sebaliknya, pada usia tua, risiko relatifnya lebih tinggi pada pria. Risiko stroke
pada wanita muda kemungkinan mencerminkan risiko terkait kehamilan, keadaan postpartum,
dan faktor hormonal lain seperti penggunaan kontrasepsi hormonal.
c. Ras dan etnis
Orang kulit hitam memliki risiko insidensi stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan
orang kulit putih. Selain itu, orang kulit hitam memiliki tingkat mortalitas terkait stroke yang
lebih tinggi. Ras Hispanik juga memiliki risiko stroke yang lebih tinggi berdasarkan beberapa
studi kohort. Perbedaan insidensi stroke antara ras kulit hitam dan kulit putih tampak jelas
pada populasi pria muda, di mana pria kulit hitam muda memiliki risiko hemorhagik
subaraknoid dan hemorhagik intraserebral yang lebih tinggi secara signifikan. Selain itu, ras
Indian Amerika mengalami kenaikan insidensi stroke dibandingkan dengan orang kulit putih
non-Hispanik.
d. Genetik
Memiliki riwayat orang tua dan/atau riwayat keluarga dengan stroke dapat
meningkatkan risiko stroke pada seseorang. Seperti halnya dengan faktor risiko lainnya,
pengaruh genetik terhadap risiko insidensi stroke berbeda pada setiap orang, bergantung pada
usia, jenis kelamin, serta ras.
2.8.2 Faktor yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko termodifikasi stroke yang paling penting. Terdapat
hubungan langsung, linear, dan kontinu yang kuat antara tekanan darah dan risiko stroke.
Tekanan darah lebih berpengaruh ke stroke hemorhagik daripada stroke iskemik.
Pada orang yang tidak termasuk ke dalam definisi hipertensi pun, semakin tinggi
tekanan darah, semakin tinggi risiko insidensi stroke. Terlepas dari status hipertensi, tekanan
darah meningkat seiring dengan usia. Di samping pengobatan untuk mengontrol hipertensi,
pasien hipertensi dianjurkan untuk memiliki gaya hidup yang lebih sehat, seperti perubahan
pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa variabilitas intraindividual antarpengukuran
tekanan darah berhubungan dengan risiko stroke, lebih dari risiko akibat kenaikan rerata
tekanan darah. Variabilitas tekanan darah yang terukur dapat menjadi indikasi kurangnya
homeostasis kardiovaskuler pada individu tersebut. Akan tetapi, penelitian lain belum dapat
mengonfirmasi asosiasi ini.
b. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan faktor risiko independen untuk stroke. Pasien diabetes
memiliki risiko insidensi stroke dua kali lipat lebih tinggi, dan sekitar 20% kematian pasien
diabetik diakibatkan oleh stroke. Pasien prediabetik juga mengalami kenaikan risiko stroke.
Semakin lama pasien mengalami diabetes, semakin tinggi pula risiko stroke. Pasien diabetes
yang mengalami stroke cenderung lebih muda, lebih sering merupakan orang kulit hitam, dan
memiliki prevalensi faktor risiko stroke lain yang lebih tinggi.
Gabungan perubahan gaya hidup dan terapi medis pada pasien diabetes dapat
menurunkan risiko stroke. Akan tetapi, kontrol kadar gula darah saja pada penderita diabetes
tidak memberikan penurunan risiko stroke sebaik pada terapi medis ditambah perubahan gaya
hidup.
c. Fibrilasi atrium dan kardiopati atrial
Fibrilasi atrium (atrial fibrillation; AF) sudah lama dikenal sebagai faktor risiko mayor
stroke. Hubungan AF dengan stroke sejak dahulu diasumsikan terjadi karena terdapat stasis
darah pada atrium kiri yang mengalami fibrilasi, sehingga terbentuk thrombus yang
selanjutnya menjadi emboli di otak. Akan tetapi, data-data terbaru tidak mendukung asumsi
ini. Terdapat sejumlah insidensi stroke yang terjadi sebelum onset AF. Elektrokardiogram
(ECG) juga terkadang tidak dapat menjadi indikator sempurna ritme jantung, karena pada
beberapa kasus, atrium mengalami disosiasi elektromekanik (terdapat fibrilasi atrium ketika
ECG menunjukkan ritme sinus normal). Studi lain juga menemukan asosiasi antara marker
disfungsi atrial dan stroke emboli bahkan pada pasien yang tidak didiagnosa AF. Oleh karena
itu, ada kemungkinan AF hanya menjadi marker risiko stroke terkait disfungsi atrium kiri.
Setelah insidensi stroke, risiko AF selanjutnya dapat pula meningkat sementara akibat
gangguan sistem saraf otonom dan keadaan inflamasi pascastroke.
d. Dislipidemia
Terdapat hubungan yang kompleks antara dislipidemia dan stroke. Kenaikan total
kolesterol meningkatkan risiko stroke iskemik, tetapi kenaikan HDL menurunkan risiko stroke
iskemik. Banyak bukti pengaruh trigliserida terhadap risiko stroke yang bertentangan. Kadar
kolesterol berhubungan kuat dengan stroke iskemik arteri besar daripada subtipe stroke
iskemik lainnya. Di sisi lain, penurunan kolesterol total meningkatkan risiko stroke
hemorhagik. Beberapa studi observasi tidak menemukan kenaikan risiko perdarahan
intraserebral pada terapi statin, sedangkan beberapa uji pengobatan mendukung hal tersebut.
Walaupun dengan segala temuan yang bertentangan antara dislipidemia dan risiko
stroke, pada populasi umum, penggunaan statin tampaknya menurunkan risiko stroke pada
umumnya dan stroke iskemik tanpa peningkatan risiko stroke hemorhagik yang signifikan.
Akan tetapi, pada pasien stroke terutama dengan riwayat perdarahan atau mikroangiopati,
statin mungkin dapat meningkatkan risiko perdarahan intraserebral.
e. Perilaku sedenter
Orang dengan aktivitas fisik yang tinggi memiliki risiko stroke dan kematian akibat
stroke yang lebih rendah daripada orang dengan aktivitas fisik yang rendah. Hubungan
aktivitas fisik dan stroke kemungkinan disebabkan oleh penurunan tekanan darah, penurunan
prevalensi diabetes mellitus, serta pengurangan berat badan berlebih.
f. Pola makan
Pola makan dapat mempengaruhi risiko stroke dan risiko untuk faktor risiko stroke
lainnya, seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan dislipidemia. Contohnya, konsumsi garam
dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi dan stroke, sedangkan peningkatan konsumsi
kalium menurunkan risiko stroke. Diet Mediterania yang kaya akan buah dan sayur
menurunkan risiko stroke.
g. Obesitas
Obesitas berhubungan dengan faktor risiko stroke, seperti diabetes mellitus dan
hipertensi. Saat ini, penting untuk membedakan antara obesitas sentral (kegemukan hanya
pada sekitar abdomen) dengan obesitas dengan kenaikan indeks massa tubuh, karena
kontributor terbesar risiko stroke adalah obesitas sentral.
h. Sindrom metabolik
Konsep sindrom metabolik mencakup obesitas, dislipidemia, prehipertensi, dan
prediabetes yang saling terkait. Setiap komponen individu sindrom metabolik berkaitan
dengan stroke. Terdapat bukti bahwa perilaku hidup sedenter memberikan kontribusi pada
sindrom metabolik. Risiko stroke iskemik dari sindrom metabolik tampaknya berlipat ganda,
dengan risiko meningkat seiring peningkatan jumlah komponen dalam sindrom tersebut.
i. Konsumsi alkohol
Hubungan konsumsi alkohol dengan risiko stroke bergantung pada tipe stroke.
Terdapat bukti adanya hubungan berbentuk J antara konsumsi alkohol dan risiko stroke
iskemik. Konsumsi alkohol ringan hingga moderat (≤ 2 gelas/hari pada pria dan ≤ 1 gelas/hari
pada wanita) melindungi dari risiko stroke, tetapi konsumsi alkohol berat meningkatkan risiko
stroke iskemik. Konsumsi alkohol memiliki hubungan linear dengan stroke hemorhagik,
artinya konsumsi alkohol yang kecil sekalipun meningkatkan risiko stroke tipe tersebut.
Konsumsi alkohol berat berhubungan pula dengan hipertensi.
j. Penyalahgunaan zat
Penyalahgunaan zat terlarang, seperti kokain, heroin, amfetamin, dan ekstasi, dikaitkan
dengan peningkatan risiko stroke iskemik dan hemorhagik.
k. Merokok
Merokok masih menjadi faktor risiko utama stroke. Terdapat hubungan dosis-respon
antara jumlah konsumsi dan lama merokok dengan risiko stroke. Berhenti merokok
menurunkan risiko stroke dari merokok dengan cepat. Risiko stroke pada perokok pasif juga
meningkat.
l. Inflamasi dan infeksi
Kadar biomarker inflamasi diasosiasikan dengan kenaikan risiko stroke, penyakit
kardiovaskuler lainnya, dan kematian. Salah satu biomarker tersebut adalah protein C reaktif
(C-reactive protein; CRP). Terdapat asosiasi antara kadar hsCRP (high-sensitivity assay CRP)
dengan risiko stroke iskemik.
Kenaikan kadar hsCRP dapat menjadi pertanda keberadaan faktor risiko stroke lainnya
yang umum. Sebagai contoh, aterosklerosis memiliki sifat inflamasi yang kuat, dengan plak
yang terbentuk mengandung makrofag teraktivasi dan mediator inflamasi dalam jumlah tinggi.
Akan tetapi, terdapat beberapa bukti bahwa CRP, yang merupakan suatu protein fase akut,
dapat berkontribusi langsung terhadap stroke. Sebagai contoh, monomer CRP berinteraksi
dengan mediator imun lainnya untuk mengaktivasi platelet dan protein komplemen. Hal ini
dapat merangsang terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh.
Penelitian terbaru menunjukkan paparan kronis terhadap sejumlah infeksi umum
seperti H. pylori dan HSV 1 dan 2 merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Selain itu,
infeksi akut dapat menjadi pencetus stroke. Penelitian terbaru juga menunjukkan infeksi HIV
diasosiasikan dengan kenaikan sedang risiko stroke hemorhagik dan iskemik.

2.9 Terapi Nonfarmakologi


2.9.1 Intervensi medis (Wells et al., 2015):
a. Stroke iskemik akut:
● Operasi dekompresi untuk mengurangi tekanan intrakranial
● Rehabilitasi untuk mengurangi disabilitas jangka panjang
● Pencegahan sekunder: endarterektomi dan stenting pada pasien tertentu
b. Stroke hemorhagik:
● Hemorhagia subaraknoid: operasi untuk memotong (clipping) atau menutup (ablasi)
pembuluh darah yang abnormal
● Hemorhagia intraserebral: operasi insersi saluran eksternal pada ventrikel dengan
memantau tekanan intrakranial
2.9.2 Terapi nonfarmakologi lainnya (Lennon et al., 2018):
a. Patuh mengonsumsi obat-obatan untuk mengontrol kondisi komorbid seperti tekanan
darah tinggi, dislipidemia, diabetes, serta agregasi platelet/koagulasi darah abnormal
b. Mengontrol keadaan emosional
c. Gaya hidup sehat: pola makan, aktivitas fisik, berhenti merokok, menurunkan
konsumsi alkohol

2.10 Terapi Farmakologi


2.10.1 Tujuan terapi stroke
Terdapat beberapa tujuan dalam penanganan stroke (Dipiro, 2020) yakni
I. Mengurangi cedera neurologis untuk mengurangi kematian dan kecacatan jangka
panjang,
II. Mencegah komplikasi sekunder akibat imobilitas dan disfungsi neurologis, dan
III. Mencegah kekambuhan stroke.

2.10.2 Obat-obat yang digunakan


Obat-obatan yang digunakan pada stroke iskemik berdasarkan buku Pharmacotherapy
Principles and Practice (2016) yakni:
a. Aspirin
Aspirin adalah pilihan untuk terapi awal dalam pencegahan sekunder serangan stroke
iskemik. Berbagai dosis telah digunakan (50-1500 mg/hari); namun, FDA telah
menyetujui dosis 50 hingga 325 mg untuk pencegahan stroke iskemik sekunder.
Pedoman saat ini merekomendasikan dosis aspirin yang bervariasi termasuk 75 hingga
100 mg setiap hari dan 50 hingga 325 mg setiap hari. Dosis aspirin yang lebih rendah
saat ini direkomendasikan untuk mengurangi risiko komplikasi perdarahan. Efek
samping aspirin yakni intoleransi gastrointestinal (GI), perdarahan GI, dan reaksi
hipersensitivitas.
b. Ticlopidine
Ticlopidine ditemukan sedikit lebih bermanfaat dalam pencegahan stroke sekunder
daripada aspirin pada pria dan wanita dalam satu penelitian, sementara percobaan lain
tidak menemukan manfaat atas terapi aspirin. Berdasarkan micromedex, dosis yang
disarankan untuk pasien stroke tromboemboli dewasa yakni 250 mg dua kali sehari
pemberian oral.
c. Clopidogrel
Clopidogrel sedikit lebih efektif daripada aspirin dan memiliki efek yang mirip dalam
keberhasilan terapi obat kombinasi extended-release (ER) dipyridamole plus aspirin.
Dosis biasa adalah 75 mg per oral sekali sehari.Clopidogrel dapat digunakan sebagai
monoterapi untuk pencegahan stroke sekunder. Clopidogrel digunakan sebagai terapi
awal untuk pencegahan sekunder stroke iskemik dan dipertimbangkan untuk terapi lini
pertama pada pasien yang juga memiliki perifer penyakit arteri atau alergi terhadap
aspirin.
d. Kombinasi Aspirin Extended-Release Dipyridamole Plus
Terapi dengan ER dipyridamole plus aspirin telah ditemukan lebih efektif dalam
mencegah stroke daripada salah satu agen saja. Sakit kepala dan diare adalah efek
samping yang umum dari dipyridamole; perdarahan lebih sering pada aspirin.
Formulasi yang tersedia saat ini adalah produk kombinasi yang mengandung 25 mg
aspirin dan 200 mg ER dipiridamol. Kombinasi ini merupakan pilihan terapi awal
untuk pencegahan stroke sekunder tetapi tidak sesuai untuk pasien yang tidak toleran
terhadap aspirin.
e. Alteplase
Pedoman saat ini merekomendasikan penggunaan alteplase dalam waktu 3 jam setelah
onset stroke pada pasien yang tepat dan dalam waktu 3 hingga 4,5 jam pada pasien
tertentu yang memenuhi kriteria. Pedoman lebih lanjut merekomendasikan bahwa
alteplase dimulai sesegera mungkin dalam jangka waktu ini. Efek samping utama dari
terapi fibrinolitik adalah perdarahan, termasuk ICH (intracerebral hemoragik) dan
perdarahan sistemik yang serius. Perubahan status mental dan sakit kepala yang parah
dapat mengindikasikan ICH. Tanda-tanda perdarahan sistemik termasuk mudah
memar; hematemesis; guaiac-positif pada tinja; tinja berwarna hitam dan lembek;
pembentukan hematom; hematuria; gusi berdarah; dan mimisan. Angioedema adalah
efek samping potensial yang dapat menyebabkan obstruktif saluran napas. Terdapat
syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum menggunakan alteplase pada pasien
dengan stroke iskemik akut yang dapat dilihat pada Tabel 7 (Wells et al., 2015):

Tabel 7. Syarat Penggunaan Alteplase pada Stroke Iskemik Akut


Obat-obat yang digunakan pada stroke hemoragik yang dikutip dari buku Pharmacotherapy
Principles and Practice (2016) yaitu:
a. Antagonis Kalsium
Nimodipine oral direkomendasikan pada subarachnoid hemorrhage (SAH) untuk
mencegah iskemia serebral yang tertunda. Direkomendasikan untuk memulai
nimodipine oral segera setelah kejadian awal, tetapi tidak lebih dari 96 jam setelah
SAH. Iskemia serebral yang tertunda terjadi 4 sampai 14 hari setelah ruptur aneurisma
awal dan merupakan penyebab umum dari: defisit neurologis dan kematian. Dosis
nimodipine oral 60 mg setiap 4 jam selama 21 hari setelah aneurisma SAH mengurangi
risiko hasil yang buruk dan iskemia serebral yang tertunda.
b. Terapi hemostatik
Faktor VIIa rekombinan telah terbukti memiliki manfaat dalam pengobatan ICH.
Dalam satu uji klinis, pertumbuhan hematoma menurun pada 24 jam, mortalitas
menurun pada 90 hari, dan fungsi keseluruhan meningkat pada 90 hari pada kelompok
perlakuan. Namun, peningkatan insiden kejadian tromboemboli terlihat pada kelompok
perlakuan. Sebuah percobaan fase 3 menunjukkan bahwa faktor VIIa rekombinan
menurunkan pertumbuhan hematoma, tetapi tidak meningkatkan kelangsungan hidup
atau hasil fungsional. Perdarahan intraventrikular lebih mungkin terjadi pada kelompok
perlakuan dosis tinggi. Pedoman saat ini tidak merekomendasikan pengobatan dengan
faktor VIIa rekombinan karena manfaat yang tidak pasti dan peningkatan risiko
kejadian tromboemboli. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan pasien
tertentu yang mungkin mendapat manfaat dari terapi.
c. Antikoagulan reversal
Ketika ICH terjadi pada pasien yang menggunakan antikoagulan, penggunaan agen
reversal untuk memperbaiki koagulopati yang diinduksi obat harus dipertimbangkan.
Untuk pasien warfarin dengan peningkatan INR, pembalikan dengan vitamin K,
biasanya secara intravena, dalam kombinasi dengan kompleks protrombin empat faktor
konsentrat dianjurkan. Plasma beku segar dapat digunakan sebagai pengganti
konsentrat kompleks protrombin, jika perlu, tetapi tidak banyak digunakan.
Idarucizumab dapat dipertimbangkan untuk membalikkan efek dabigatran secara
khusus. Inhibitor faktor Xa, seperti rivaroxaban dan apixaban, mungkin dibalik dengan
andexanet alfa (Dipiro, 2020)
Tabel 8. Reverse antikoagulan terpilih (Dipiro, 2020)

2.10.3.1 Tatalaksana Pengobatan Stroke Iskemik


Terdapat tatalaksana penanganan stroke berdasarkan ACLS (2015) yang dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:
Gambar 17 : Guideline penanganan stroke (ACLS, 2015)

Rekomendasi AHA/ASA 2019 terkait tatalaksana penanganan stroke iskemik yakni:


● Hipotensi dan hipovolemia harus segera teratasi untuk memelihara perfusi sistemik
yang diperlukan untuk mendukung fungsi organ agar tidak terjadi kerusakan organ.
● Jika pasien akan diberikan fibrinolitik (IV alteplase) tekanan darah harus <185/110
mmHg.
Tatalaksana hipertensi pada pasien stroke iskemik akut yakni:
a. Jika tekanan darah >185/110 mmHg maka pasien dapat diberikan:
1. Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang 1 kali jika tekanan
darah tidak mencapai target, atau:
2. Nicardipine 5mg/jam, uptitrasi 2,5 mg setiap 5-15 menit, maksimal 15
mg/jam. Jika tekanan darah yang diinginkan tercapai, pertahankan
kecepatan infus.
3. Jika TD masih >185/110 mmHg tahan pemberian IV alteplase.
b. Jika tekanan darah sistolik 180-230 mmHg atau diastolik 105-120 mmHg maka
pasien dapat diberikan:
1. Labetalol 10 mg IV dilanjutkan dengan infus IV kontinu 2-8 mg/ menit atau
2. Nikardipin 5 mg/jam, uptitrasi 2,5 mg setiap 5-15 menit, maksimal 15
mg/jam
3. Jika tekanan darah tidak terkontrol atau tekanan diastolik >140 mmHg
maka pertimbangkan pemberikan natrium nitroprusida
c. Monitoring pasien selama dan setelah diberikan terapi reperfusi (alteplase)
1. Monitoring TD 15-20 menit selama 2 jam setelah dimulainya pemberian
alteplase.

Tabel 8. Pilihan Pengobatan Hipertensi Arteri pada Pasien Stroke Iskemik Akut
Pengobatan stroke iskemik akut: administrasi dari IV Alteplase

Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit, dengan 10% dosis diberikan
sebagai bolus selama 1 menit.
Masukkan pasien ke unit perawatan intensif atau unit stroke untuk pemantauan.
Jika pasien mengalami sakit kepala parah, hipertensi akut, mual, atau muntah atau memiliki
pemeriksaan neurologis yang memburuk, hentikan infus (jika alteplase IV sedang diberikan)
dan dapatkan CT scan kepala darurat.
Ukur tekanan darah dan lakukan penilaian neurologis setiap 15 menit selama dan setelah infus
alteplase IV selama 2 jam, kemudian setiap 30 menit selama 6 jam, kemudian setiap jam
sampai 24 jam setelah pengobatan alteplase IV.
Tingkatkan frekuensi pengukuran BP jika SBP >180 mm Hg atau jika DBP >105 mm Hg;
berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan BP pada atau di bawah tingkat ini (Tabel
1).
Penundaan penempatan selang nasogastrik, kateter kandung kemih, atau kateter tekanan
intra-arteri jika pasien dapat ditangani dengan aman tanpanya.
Dapatkan CT scan atau MRI lanjutan pada 24 jam setelah alteplase IV sebelum memulai
antikoagulan atau agen antiplatelet.

Gula darah pada pasien stroke iskemik akut:


a. Hipoglikemia (gula darah<60 mg/dl) harus diobati pada pasien dengan stroke iskemik
akut
b. Hiperglikemia di rumah sakit persisten selama 24 jam pertama setelah stroke iskemik
akut dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk daripada normoglikemia. Oleh karena itu,
gula darah harus pada rentang 140-180 mg/dl dan diawasi untuk mencegah
hipoglikemia pada pasien dengan stroke iskemik akut.
● IV alteplase
a. Fibrinolitik (alteplase) pemberiannya direkomendasikan pada pasien stroke
iskemik dengan onset maksimal 1 jam setelah timbul gejala. Alteplase diberikan
selama 1 jam.
b. Pemberian alteplase juga dapat diberikan pada pasien dengan onset maksimal 3-4,5
jam. Tapi untuk rekomendasi lebih tinggi yang 3 jam.
c. Pemberian IV alteplase tidak direkomendasikan (kontraindikasi) ada pasien dengan
stroke iskemik dengan onset >3 atau 4,5 jam. Alteplase diberikan dengan dosis 0,9
mg/kgBB > maksimal 90 mg selama 1 jam. 10% dari dosis diberikan dengan cara
IV bolus selama 1 menit. Misal: pasien BB 75 kg > dosis alteplase = 75 x 0,9 mg =
67,5 mg. Jadi 67,5 mg bolus selama 1 menit dan 60,75 mg diberikan selama 1
jam/60 menit.
Tatalaksana pendarahan setelah terapi alteplase:
Tabel 9. Penatalaksanaan Perdarahan Intrakranial Simtomatik yang Terjadi Dalam 24 Jam
Setelah Pemberian Alteplase IV untuk Pengobatan AIS (Dipiro, 2020)

Tatalaksana jika pasien mengalami angiodema terkait pemberian alteplase:


Tabel 10. Manajemen Angioedema Orolingual Terkait Dengan Pemberian IV
Alteplase untuk Stroke iskemik akut (Dipiro, 2020)

Tatalaksana penanganan stroke ringan berdasarkan ACC/AHA 2019 yakni:


Tatalaksana penanganan stroke pada keadaan lain:
Tatalaksana Fibrolitik IV lainnya dan sonotrombolisis:

Tatalaksana Stroke Iskemik berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran /


PNPK Stroke (2019) adalah sebagai berikut:
1) Pengobatan terhadap hipertensi arteri pada stroke akut (lihat tatalaksana hipertensi).
Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan
pada kebanyakan pasien stroke iskemik.
2) Pengobatan terhadap hipoglikemia (<60 mg/dL) atau hiperglikemia (lihat tata laksana
hipo dan hiperglikemia).
3) Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut.
4) Pemberian antikoagulan :
● Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan
untuk memperbaiki keluaran neurologik atau sebagai pencegahan dini terjadinya
stroke ulang tidak direkomendasi (kelas III, peringkat bukti A).
● Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang mendapat rtPA
(Alteplase) intravena tidak direkomendasikan (kelas IV, peringkat bukti B).
● Manfaat pemberian heparin jangka pendek untuk thrombus intralumen yang tidak
oklusif belum diketahui (kelas III, peringkat bukti C).
● Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan pencitraan
yang memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer. Pasien yang
mendapatkan pengobatan antikoagulan perlu dilakukan pengawasan kadar
antikoagulan.
● Pada pasien dengan riwayat fibrilasi atrium, antikoagulan oral dapat dimulai 4-14
hari setelah onset. (kelas II, peringkat bukti B).
● Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin dibandingkan aspirin pada pasien
stroke akut dengan atrial fibrilasi, walaupun masih dapat diberikan pada pasien
yang selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian warfarin untuk prevensi
jangka panjang dapat diberikan.
● Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan kasus stroke
kardio-emboli. Penggunaan warfarin harus berhati-hati karena dapat meningkatkan
risiko perdarahan. Oleh karena itu, perlu pengawasan INR minimal 1 bulan sekali.
Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah
emboli ulang pada keadaan berisiko besar.
● Untuk kasus stroke non-kardioemboli, penggantian antiplatelet ke warfarin tidak
disarankan (kelas III, peringkat bukti B).
● Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada stroke iskemik.
● Pemberian antikoagulan segera tidak disarankan untuk pasien stroke iskemik akut
(kelas III, peringkat bukti A), termasuk pasien dengan stenosis berat (kelas III,
peringkat bukti B). Pemberian argatroban, dabigatran, inhibitor thrombin lain dan
inhibitor factor Xa belum terbukti bermanfaat. (kelas III, peringkat bukti B-C).
5) Pemberian anti-agregasi platelet:
● Pemberian aspirin dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut dengan dosis awal
160-325 mg dalam 24-48 jam setelah onset (kelas I, peringkat bukti A).
● Pemberian aspirin tidak menggantikan fungsi rtPA (Alteplase) atau trombektomi
pada pasien yang terindikasi. (kelas III, peringkat bukti B).
● Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian
obat trombolitik tidak direkomendasikan (kelas IV, peringkat bukti C). Pada pasien
yang mendapat rtPA (Alteplase), pemberian aspirin umumnya ditunda sampai 24
jam setelah terapi, kecuali jika diketahui penundaan aspirin menimbulkan risiko.
(kelas I, peringkat bukti A). Ticagrelor tidak direkomendasikan dibanding aspirin
pada pasien stroke minor. (kelas III, peringkat bukti B).
● Pemberian dual antiplatelet (aspirin dan clopidogrel) dalam 24 jam selama 21 hari
pada pasien dengan stroke minor bermanfaat untuk mencegah risiko stroke
sekunder hingga 90 hari setelah stroke. (kelas II, peringkat bukti B).
● Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb / IIIa
tidak dianjurkan (kelas IV, peringkat bukti B).
● Pemberian clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan aspirin 325 mg
untuk mencegah risiko stroke iskemik sekunder, infark jantung dan kematian akibat
vaskular.
● Pada pasien dengan riwayat stroke iskemik, fibrilasi atrial, dan sindrom coroner,
belum ada bukti penambahan antiplatelet pada antikoagulan bermanfaat untuk
mencegah penyakit vascular (kelas III, peringkat bukti C).
6) Pemberian antiplatelet atau antikoagulan dapat dilanjutkan pada pasien dengan
transformasi perdarahan, namun perlu diperhatikan indikasi, manfaat dan risikonya.
(kelas III, peringkat bukti B).
2.10.3.2 Tatalaksana Pengobatan Stroke Hemoragik
Algoritma penanganan stroke hemoragik (Dastur & Yu, 2017):

Tatalaksana stroke hemoragik (Dastur & Yu, 2017):


● Tatalaksana tekanan darah
Pemberian CCB intravena (misalnya, nikardipin) dan beta blocker (misalnya,
labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan tekanan darah secara
dini, mengingat waktu paruhnya yang pendek dan mudah dititrasi. Pemberian
nitrogliserin tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan vasodilatasi
serebal sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial (ICP). Pedoman
untuk pasien yang resisten pada obat sebelumnya, merekomendasikan ACE-I
atau ARB, calcium channel blocker (CCB), dan diuretik seperti thiazide pada
dosis maksimal yang dapat ditoleransi sebagai triplet optimal.
● Tatalaksana intraventrikular hemorrhagic dan hidrosefalus
Peningkatan tekanan intrakranial (>20 mmHg) dapat diterapi dengan manitol
dan/ NaCl hipertonis. Manitol merupakan diuresis osmotik sehingga akan
meningkatkan ekskresi air melalui ginjal, dapat menurunkan edema serebral
dan menurunkan tekanan intrakranial.
● Profilaksis kejang
Pasien stroke hemoragik memiliki resiko kejang 16% dalam waktu 1 minggu
setelah onset. Pemberian obat anti kejang seperti fenitoin dapat
dipertimbangkan untuk profilaksis kejang.
● Tatalaksana Koagulopati
Koagulopati, baik yang diinduksi oleh obat atau karena proses penyakit
sistemik, dikaitkan dengan hematoma ekspansi, dan peningkatan risiko hasil
yang buruk dan kematian. Sekitar 12-20% pasien yang datang dengan ICH
menggunakan antikoagulan oral.

Berdasarkan PNPK Stroke (2019) CT atau MRI dipilih untuk membedakan stroke
iskemik dengan perdarahan (kelas I, peringkat bukti A). Pasien yang kontraindikasi MRI dapat
dilakukan CT (kelas I, peringkat bukti A).

Tatalaksana perdarahan intraserebral


A. Tatalaksana umum
1) Koreksi koagulopati
a. Setiap pasien perdarahan intrakranial diperiksa hemostasis, PT (INR), aPTT dan hitung
trombosit. Koreksi secepat mungkin jika didapatkan kelainan. Hal yang dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan adalah :
● Pasien dengan gangguan faktor koagulasi berat atau trombositopenia berat harus
mendapat terapi yang tepat dengan penggantian faktor terkait atau platelet (kelas I,
peringkat bukti C).
● Pasien dengan peningkatan INR akibat antagonis vitamin K sebaiknya dihentikan
sementara pengobatannya. Pasien diberikan vitamin K intravena dan faktor dependen
vitamin K pengganti untuk memperbaiki INR (kelas I, peringkat bukti C). Untuk
pengganti faktor dependen-vitamin K, prothrombin complex concentrate (PCC) lebih
dipilih dibandingkan fresh frozen plasma (FFP) karena dapat mengoreksi INR lebih
cepat dengan komplikasi lebih sedikit (kelas III, peringkat bukti B). Sementara itu,
rekombinan faktor VIIa aktif (rFVIIa) tidak direkomendasikan (kelas IV, peringkat
bukti C).
● Pasien yang mengkonsumsi dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan
factor VIII inhibitor bypassing activity (FEIBA), PCC lain, atau rFVIIa. Karbon aktif
(Norit) dapat diberikan jika konsumsi terakhir <2. Untuk dabigatran, dapat juga
dipertimbangkan hemodialisa (kelas III, peringkat bukti C).
● Protamin sulfat dapat dipertimbangkan sebagai antidotum heparin (kelas III, peringkat
bukti C), sementara itu transfusi platelet untuk pasien dengan riwayat penggunaan
antiplatelet belum diketahui manfaatnya (kelas III, peringkat bukti C).
● Untuk mencegah tromboemboli vena, pasien sebaiknya diberikan intermittent
pneumatic compression sejak hari pertama masuk rumah sakit (kelas I, peringkat bukti
A). Sementara itu, penggunaan stocking tidak bermanfaat untuk mengurangi risiko
deep vein thrombosis (DVT) atau memperbaiki luaran (kelas III, peringkat bukti A).
Setelah perdarahan berhenti, pasien yang immobile lebih dari 1-4 hari boleh diberikan
heparin atau LMWH subkutan untuk mencegah tromboemboli (kelas III, peringkat
bukti B).
● Pasien dengan DVT atau PE simtomatik dapat diberikan antikoagulan sistemik atau
pemasangan filter vena kava inferior dengan mempertimbangkan onset perdarahan,
stabilitas hematom, penyebab perdarahan, dan kondisi pasien secara (kelas II,
peringkat bukti C).
● Vitamin K 5-10 mg IV, diberikan pada pasien dengan peningkatan INR. Berikan dalam
waktu yang sama dengan terapi yang lain karena efeknya akan timbul 2 jam kemudian
dan maksimum hingga 24 jam pada kondisi normal (tidak ada gangguan hati).
Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk meminimalkan risiko anafilaksis.
● Pasien ICH yang mengalami peningkatan INR akibat penggunaan antagonis vitamin K,
maka penggunaan antikoagulan antagonis vitamin K harus dihentikan, dan pasien
mendapat terapi vitamin K intravena, serta faktor pembekuan dependen-vitamin K
(kelas I, peringkat bukti C).
● Fresh frozen plasma (FFP) 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor
pembekuan darah sehingga dapat cepat memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini
untuk menggantikan hilangnya faktor koagulasi.
● rFVIIa (15-90 μg/kg) dapat mengoreksi peningkatan INR dengan waktu paruh yang
pendek (2,6 jam) sehingga diperlukan dosis berulang. Pemberian rFVIIa dalam 3-4 jam
pertama akan memperlambat progresivitas pendarahan (kelas III, peringkat bukti B).
Penggunaan rFVIIa dapat berguna untuk mencegah perluasan perdarahan namun
berisiko tromboemboli sehingga rFVIIa ini tidak diindikasikan secara umum tapi
pada kasus-kasus selektif. Defibrogenasi paling baik dikoreksi dengan cryoprecipitate.

2) Koreksi Tekanan Darah


Pasien dengan TD sistolik 150-220 mmHg tanpa kontraindikasi antihipertensi,
penurunan tekanan darah sistolik hingga 140 mmHg dinyatakan aman (kelas I, peringkat
bukti A), dan bermanfaat (kelas II, peringkat bukti B). Sementara itu pasien dengan TD
sistolik >220 mmHg boleh dilakukan penurunan tekanan darah agresif dengan antihipertensi
intravena dan pengawasan ketat (kelas III, peringkat bukti C).
Tekanan darah diturunkan sebaiknya menggunakan obat antihipertensi kerja singkat
(short-acting) sehingga dosis dapat dititrasi dan disesuaikan dengan respon tekanan darah
dan status neurologis pasien. Obat-obat yang dapat dipergunakan yaitu nicardipine, labetalol,
esmolol atau natrium nitroprusside dengan cara penurunan sebagai berikut : (kelas III,
peringkat bukti C).
● Nicardipine 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam setiap 5-15 menit
sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimumnya adalah 15 mg/jam.
● Labetalol diberikan dosis intermittent 10-20 mg IV dalam 1-2 menit, boleh diulang
satu kali.
● Hydralazine dapat diberikan 10-20 mg IV setiap 4-6 jam. Hydralazine sebaiknya tidak
dijadikan pilihan utama karena walaupun waktu paruhnya hanya 3 jam, tetapi efeknya
pada tekanan darah dapat bertahan hingga 100 jam sehingga efeknya tidak dapat
diprediksi.
● Enalaprilat dapat diberikan 0,625-1,2 mg IV setiap 6 jam.
● Natrium nitroprusside seharusnya dihindari pada kasus kegawatan neurologi karena
dapat meningkatkan ICP. Tetapi jika dibutuhkan penurunan tekanan darah segera dan
obat lain tidak efektif, pasien dapat diberikan natrium nitroprusside 0,25-10
μg/kg/menit. Dosis awal sebaiknya lebih rendah. Pasien tidak boleh mendapat
nitroprusside lebih dari 24 jam dan dosis tertinggi yang dapat diberikan adalah 2
μg/kg/menit.
● Diltiazem merupakan salah satu pilihan pada hipertensi emergensi dan hipertensif
ensefalopati, juga dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada stroke
iskemik akut yang akan diberikan trombolitik. Diltiazem juga dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan darah pada stroke perdarahan tanpa menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial. Obat ini secara spesifik dapat menurunkan tekanan darah pada
kasus stroke dengan komorbid takiaritmia, angina tidak stabil, miokard infark, dan
supraventricular tachycardia.
● Obat antihipertensi parenteral lainnya.
● Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (kelas III, peringkat bukti C), apabila
TDS >220 mmHg atau tekanan arterial rerata (TAR) >150 mmHg, tekanan darah boleh
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara berlanjut dengan
pemantauan tekanan darah rutin (setiap 5 menit).

3) Tatalaksana emergensi hipertensi arterial


● Jika TD sistolik >200 mmHg atau MAP >150 mmHg, cepat turunkan TD dengan obat
IV dan monitor TD setiap 5 menit.
● Jika TD sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan terdapat bukti peningkatan
tekanan intrakranial, turunkan TD secara berlanjut atau intermittent, pertahankan CPP
>80 mmHg.
● Jika TD sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan tidak terdapat bukti
peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara ringan dengan berlanjut atau
intermittent.

4) Mempertahankan cerebral perfusion pressure (CPP)


Pasien dengan perdarahan intraserebral seharusnya mempunyai tekanan darah
terkontrol tanpa menurunkan tekanan darah berlebihan. Usahakan tekanan darah sistole
<160 mmHg dan CPP dijaga agar tetap di atas 60-70 mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan
menurunkan ICP ke nilai normal dengan pemberian manitol atau operasi. Pada kasus
diperlukan pemberian vasopressor, bisa diberikan:
● Fenilefrin 2-10 μg/kg/menit.
● Dopamin 2-10 μg/kg/menit.
● Norepinefrin, dimulai dengan 0,05-0,2 μg/kg/menit dan dititrasi sampai efek yang
diinginkan.

5) Pemberian obat antiepilepsi


Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai seharusnya selalu digunakan untuk terapi
bangkitan pada pasien ICH. (kelas I, peringkat bukti A). Pasien dengan gangguan status
mental dan ditemukan gambarankejang pada EEG harus diberikan obat antikejang (kelasI,
peringkat bukti C). Pasien dengan gangguan statusmental yang tidak sesuai dengan klinis
trauma kepalanya boleh dilakukan pemantauan EEG terus menerus (kelas II, peringkat bukti
C). Pemberian antiepilepsi profilaksis tidak disarankan (kelas III,peringkat bukti B).

6) Pencegahan ICH rekuren


● Terapi hipertensi pada kondisi non-akut merupakan hal yang sangat penting untuk
menurunkan risiko ICH dan ICH rekuren (kelas I, peringkat bukti A). Target jangka
panjang tekanan darah adalah <130/80 mmHg (kelas II, peringkat bukti B).
● Kebiasaan merokok, minum alkohol > 2 gelas per hari, dan penggunaan obat-obatan
terlarang merupakan faktor risiko ICH dan menghentikan kebiasaan tersebut
bermanfaat untuk pencegahan ICH (kelas II, peringkat bukti B).
● Pada pasien dengan perdarahan intrakranial lobaris spontan akibat warfarin, maka
dianjurkan untuk menghindari penggunaan warfarin jangka panjang karena sering
terjadi rekurensi (kelas II, peringkat bukti B).
● Belum diketahui waktu yang tepat untuk memulai kembali terapi antikoagulan, tetapi
penghentian terapi selama paling tidak 4 minggu pada pasien yang tidak menggunakan
katup jantung mekanik diketahui mengurangi risiko perdarahan intrakranial (kelas III,
peringkat bukti B).
● Diperbolehkan untuk memberikan antikoagulan pada kasus perdarahan intrakranial
non-lobaris dan antiplatelet monoterapi untuk semua perdarahan intrakranial jika ada
indikasi (kelas III, peringkat bukti B).
● Manfaat dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban sebagai alternatif warfarin untuk
mencegah rekurensi pada pasien dengan riwayat atrial fibrilasbelum diketahui (kelas
III, peringkat bukti C).

B. Tatalaksana Khusus
1) Pencegahan terhadap berlanjutnya perdarahan dengan melakukan koreksi koagulapati
lebih dini.
2) Melakukan kontrol tekanan darah sedini mungkin.
3) Identifikasi dan mengontrol hal yang memerlukan intervensi bedah (operasi) seperti
adanya efek massa yang mengancam dan hidrosefalus.
4) Melakukan diagnosa dan terapi terhadap penyebab perdarahan.
5) Pencegahan
● Tata laksana hipertensi pada kondisi non-akut adalah langkah terpenting untuk
menurunkan risiko ICH dan terjadinya recurrent ICH. (kelas I, peringkat bukti A).
● Merokok, peminum alkohol berat, pengguna kokain merupakan faktor risiko ICH.
Penghentian seharusnya direkomendasikan untuk mencegah terjadinya recurrent
ICH. (kelas I, peringkat bukti B).
Tabel 10. Guideline Intracerebral Stroke (ICH) (Hemphill et al., 2015)

Sesi Rekomendasi Kelas 1


Diagnosis dan Skor keparahan dasar harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi
Penilaian Darurat awal pasien dengan ICH (Kelas I; Tingkat Bukti B). (Rekomendasi
baru). Neuroimaging cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan
untuk membedakan stroke iskemik dari ICH (Kelas I; Tingkat Bukti
A).
Hemostasis dan Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia
koagulopati, agen berat masing-masing harus menerima terapi penggantian faktor atau
antiplatelet, dan trombosit yang sesuai (Kelas I; Tingkat Bukti C). Pasien dengan ICH
profilaksis DVT yang INRnya meningkat karena VKA harus menahan VKA mereka,
menerima terapi untuk menggantikan faktor-faktor yang bergantung
pada vitamin K dan memperbaiki INR, dan menerima vitamin K
intravena (Kelas I; Tingkat Bukti C). Pasien dengan ICH harus
memiliki kompresi pneumatik intermiten untuk pencegahan
tromboemboli vena mulai hari masuk rumah sakit (Kelas I; Tingkat
Bukti A).
Tekanan darah Untuk pasien ICH dengan SBP antara 150 dan 220 mmHg dan tanpa
kontraindikasi untuk pengobatan tekanan darah akut, penurunan SBP
akut hingga 140 mm Hg aman (Kelas I; Tingkat Bukti A) dan dapat
efektif untuk meningkatkan hasil fungsional (Kelas IIa ;Tingkat Bukti
B).
Pemantauan Pemantauan dan manajemen awal pasien ICH harus dilakukan di unit
Umum dan perawatan intensif atau unit stroke khusus dengan ahli perawatan akut
Asuhan dokter dan ilmu saraf keperawatan (Kelas I; Tingkat Bukti B).
Keperawatan
Manajemen Glukosa harus dipantau. Baik hiperglikemia maupun hipoglikemia
Glukosa harus dihindari (Kelas I; Tingkat Bukti C).

Kejang dan Obat Kejang klinis harus diobati dengan obat anti kejang (Kelas I; Tingkat
Antikejang Bukti A). Pasien dengan perubahan status mental yang ditemukan
memiliki kejang elektrografik pada EEG harus diobati dengan obat anti
kejang (Kelas I; Tingkat Bukti C).
Penatalaksanaan Prosedur skrining formal untuk disfagia harus dilakukan pada semua
Komplikasi pasien sebelum memulai asupan oral untuk mengurangi risiko
Medis pneumonia (Kelas I; Tingkat Bukti B). (Rekomendasi baru)
Perawatan Bedah Pasien dengan perdarahan serebelar yang memburuk secara neurologis
ICH atau yang memiliki kompresi batang otak dan/atau hidrosefalus dari
obstruksi ventrikel harus menjalani operasi pengangkatan perdarahan
sesegera mungkin (Kelas I; Tingkat Bukti B).
Pencegahan ICH BP harus dikontrol pada semua pasien ICH (Kelas I; Tingkat Bukti A).
berulang Tindakan untuk mengontrol BP harus dimulai segera setelah onset ICH
(Kelas I; Tingkat Bukti A).
Rehabilitasi dan Mengingat sifat yang berpotensi serius dan pola kompleks dari
Pemulihan kecacatan yang berkembang dan meningkatnya bukti kemanjuran,
direkomendasikan bahwa semua pasien dengan ICH memiliki akses ke
rehabilitasi multidisiplin (Kelas I; Tingkat Bukti A).

BP indicates blood pressure; CT, computed tomography; DVT, deep vein thrombosis; EEG,
electroencephalography; ICH, intracerebral hemorrhage; INR, international normalized ratio; MRI, magnetic
resonance imaging; SBP, systolic blood pressure; and VKA, vitamin K antagonist.

Kedaruratan Medik Stroke Akut:


1. Tatalaksana hipertensi pada stroke
Pada banyak pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama,
penurunan ini dimulai setelah 90 menit setelah awitan serangan stroke. Berbagai panduan
merekomendasikan penurunan tekanan darah pada stroke akut dilakukan dengan
berhati-hati pada kondisi di bawah ini :
● Pada pasien stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah dilakukan segera apabila
terdapat komorbid (sindrom koroner akut, gagal jantung akut, diseksi aorta, sICH, atau
preeklampsia / eklampsia (kelas I, peringkat bukti C). Jika tidak ada komorbid, tekanan
darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah
awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolik
(TDD) >120 mmHg. (kelas III, peringkat bukti C) Pada pasien stroke iskemik akut
yang akan diterapi trombolitik rtPA (Alteplase), tekanan darah diturunkan hingga TDS
<185 mmHg dan TDD <110 mmHg (kelas I, peringkat bukti B). Selanjutnya, tekanan
darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam
setelah pemberian rtPA (Alteplase). Obat antihipertensi yang digunakan adalah
labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
● Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah cepat hingga TDS (tekanan darah sistolik) 140 mm aman (kelas I,
peringkat bukti A) dan dapat memperbaiki klinis pasien (kelas II, peringkat bukti B).
Setelah kraniotomi, target TAR (tekanan arteri) adalah 100 mmHg. Penanganan nyeri
termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada pasien stroke perdarahan
intraserebral. Pemakaian obat antihipertensi golongan penyekat beta (labetalol dan
esmolol), penyekat kanal kalsium (nicardipine dan diltiazem) intravena, digunakan
dalam upaya di atas. Sedangkan hidralazin dan nitroprusida sebaiknya tidak digunakan
karena mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, meskipun bukan kontra
indikasi mutlak.
● Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurisme, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama dengan pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah
risiko terjadinya stroke iskemik pasca-PSA serta perdarahan ulang (kelas I, peringkat
bukti B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang pada pasien stroke perdarahan
subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg, karena pada
tekanan darah sistolik >160 mmHg sering terjadi perdarahan ulang. TDS 160-180
mmHg sering digunakan sebagai target TDS untuk mencegah risiko terjadinya
vasospasme. Namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat
ringannya vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular. Penyekat kanal kalsium
(nimodipine) telah diakui dalam berbagai panduan tata laksana PSA karena dapat
memperbaiki keluaran fungsional pasien PSA dengan vasospasme serebral. Pada
kondisi tertentu yang mengancam target organ lain, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif, penurunan
tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga di bawah target diatas.
Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama dan TDS 160/90 mmHg
dalam 6 jam pertama.
2. Tatalaksana gula darah pada stroke
Hiperglikemia terjadi pada hampir 60% pasien stroke akut non-diabetes. Hiperglikemia
setelah stroke akut berhubungan dengan respon stres akibat luasnya volume infark,
gangguan kortikal dan berhubungan dengan hasil yang buruk. Hindari kadar gula darah
melebihi 180 mg/dL. Target kadar gula darah 140-180 mg/dL (kelas II, peringkat bukti C).
Terapi dengan infus saline dan hindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah
serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan kadar gula darah.
1) Indikasi dan syarat-syarat pemberian insulin
a) Stroke hemoragik dan non-hemoragik dengan IDDM atau NIDDM.
b) Bukan stroke lakunar dengan diabetes melitus.
c) Kontrol gula darah selama fase akut stroke.
d) Insulin reguler subkutan menurut skala luncur.
e) Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien.
2) Rekomendasi
a) Pasien stroke iskemik atau TIA sebaiknya dilakukan skrining diabetes dengan gula
darah puasa, HbAIc segera setelah pasien masuk rumah sakit (kelas II, peringkat
bukti C).
b) Semua pasien stroke dengan gula darah tidak terkendali diberikan insulin.
c) Target pengendalian gula darah 140-180 mg/dL (kelas II, peringkat bukti C). Bila
>250 mg/dL, diberikan insulin intravena secara rutin, dosis sesuai dengan protocol.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke
3) Insulin reguler subkutan menurut skala luncur
Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien (tidak
disebutkan diberikan dalam berapa jam sekali) (lihat Tabel 13). Pada hiperglikemia
refrakter perlu diberikan insulin intra vena (i.v.)
4) Protokol pemberian insulin intravena
a. Panduan umum
Target kadar glukosa darah = 140-180 mg/dL, (80-110 mg/dl) untuk kasus
perawatan intensif, untuk kasus tertentu, tatalaksana glukosa pada stroke bisa
mencapai 110-140 mg/dL dengan memperhatikan risiko terjadinya hipoglikemia ).
Konsensus PERKENI 2016. Standar drip insulin 100 U/100 mL 0.9% NaCl via
infus (1 U/1 mL). Infus insulin harus dihentikan bila pasien makan dan menerima
dosis pertama dari insulin subkutan.
b. Pemilihan algoritme
● Algoritme 1: mulai untuk sebagian besar pasien (lihat tabel infus insulin
intravena).
● Algoritme 2: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 1, atau
untuk pasien dengan diabetes yang menerima insulin >80 U/hari sebagai
“out-patient”.
● Algoritme 3: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 2.
● Algoritme 4: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 3.
c. Memantau pasien
Periksa glukosa darah kapiler tiap jam sampai pada sasaran glukosa (glucose goal
range) selama 4 jam, kemudian diturunkan tiap 2 jam dan bila tetap stabil, dapat
dikurangi tiap 4 jam. Pemantauan tiap jam untuk pasien sakit kritis walaupun
glukosa darah stabil.
Catatan:
● Seluruh pasien yang memerlukan infus insulin secara berlanjut harus mendapatkan
sumber glukosa secara rutin baik melalui IV (D5W atau TPN) atau melalui asupan
enteral.
● Infus insulin dihentikan jika pasien harus meninggalkan ICU untuk tes diagnostik
ataupun karena memang sudah selesai perawatan ICU.

5) Peralihan dari insulin intravena ke subkutan


Untuk mencapai glukosa darah sesuai target, berilah dosis short-acting atau
rapid-acting insulin subkutan 1-2 jam sebelum menghentikan infus insulin intravena.
Dosis insulin “basal dan prandial” harus disesuaikan dengan tiap kebutuhan pasien.
Misalnya bila dosis rata-rata dari IV insulin 1.0 U/jam selama 8 jam sebelumnya dan
stabil, dosis total per hari adalah 24 U. Dari ini 50% (12 U) adalah basal sekali sehari
atau 6 U 2 x/hari, 50% selebihnya adalah prandial, misalnya short-acting (regular) atau
rapid acting insulin 4 U sebelum tiap makan. (Tabel 15. pemberian insulin subkutan).
Catatan:
● Algoritme dosis rendah dipakai untuk pasien yang membutuhkan <40 U
insulin/hari.
● Algoritme dosis sedang dipakai untuk pasien yang membutuhkan 40 – 80 U
insulin/hari.
● Algoritme dosis tinggi dipakai untuk pasien yang membutuhkan >80 U
insulin/hari.

6) Pengobatan bila timbul hipoglikemia


a. Hipoglikemia dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bagian terkait derajat
keparahannya, yaitu
● Hipoglikemia berat.
● Hipoglikemia simtomatik : GDS < 70 mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
● Hipoglikemia asimtomatik : GDS < 70 mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
● Hipoglikemia relatif : GDS > 70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
● Probable hipoglikemia : apabila didapatkan gejala hipoglikemia tanpa
pemeriksaan GDS.
b. Rekomendasi pengobatan hipoglikemia
a) Hipoglikemia ringan:
● Pemberian konsumsi makanan tinggi gula, gula murni merupakan pilihan
utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif
untuk menaikkan glukosa darah.
● Glukosa 15-20 gr (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien hipoglikemia yang masih sadar.
● Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer dilakukan tiap 15 menit,
bila tetap hipoglikemia pengobatan diatas dapat diulang kembali.
● Jika kadar glukosa darah normal, pasien dapat diminta untuk makan atau
makanan ringan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
b) Hipoglikemia berat:
● Jika terdapat gejala neuroglikopenia, berikan dextrose 20% parenteral 50 cc
(bila terpaksa dapat diberikan dextrose 40% sebanyak 25 cc) diikuti dengan
infus D5% atau D10%.
● Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer dilakukan tiap 15 menit,
bila kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%.
● Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam, bila
hipoglikemia berulang, pemberian dextrose 20% dapat diulang.
● Lakukan evaluasi terhadap pencetus hipoglikemia.
Catatan :
● Sebaiknya tatalaksana hipoglikemia pada stroke disertai dengan pemberian
thiamin intravena dengan (peringkat pembuktian Ic rekomendasi A).
2.11 Komplikasi
Akibat penyakit stroke yang tidak tertangani dengan baik dan benar akan berujung
pada komplikasi yang dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Adapun komplikasi
stroke yang paling umum menurut Christensen et al. (2014) adalah:
1) Edema otak — pembengkakan otak setelah stroke.
2) Pneumonia — menyebabkan masalah pernapasan, komplikasi dari banyak penyakit
utama. Radang paru-paru terjadi sebagai akibat dari tidak dapat bergerak karena stroke.
Permasalahan menelan setelah stroke terkadang dapat mengakibatkan hal-hal 'going
down the wrong pipe', menyebabkan pneumonia aspirasi.
3) Infeksi saluran kemih (ISK) dan/atau kontrol kandung kemih. ISK dapat terjadi akibat
pemasangan kateter foley untuk mengumpulkan urin ketika penderita stroke tidak
dapat mengontrol fungsi kandung kemih
4) Kejang — aktivitas listrik abnormal di otak menyebabkan kejang. Ini biasa terjadi pada
stroke yang lebih besar.
5) Depresi klinis — penyakit yang dapat diobati yang sering terjadi dengan stroke dan
menyebabkan reaksi emosional dan fisik yang tidak diinginkan terhadap perubahan
dan kehilangan. Ini sangat umum terjadi setelah stroke atau mungkin memburuk pada
seseorang yang mengalami depresi sebelum stroke
6) Ulkus dekubitus — ulkus tekanan yang dihasilkan dari penurunan kemampuan untuk
bergerak dan tekanan pada area tubuh karena imobilitas
7) Kontraktur tungkai (limb contracture) — otot yang memendek di lengan atau kaki
karena berkurangnya kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh yang terkena
atau kurang olahraga.
8) Nyeri bahu — berawal dari kurangnya dukungan dari lengan karena kelemahan atau
kelumpuhan. Ini biasanya disebabkan ketika lengan yang terkena menggantung
sehingga menarik lengan di bahu.
9) Trombosis vena dalam (DVT) — gumpalan darah terbentuk di pembuluh darah kaki
karena imobilitas akibat stroke.
2.12 Monitoring dan Evaluasi
Pasien dengan stroke akut harus dipantau secara intensif untuk perkembangan
perburukan neurologis (kekambuhan atau perluasan stroke), komplikasi (pembuluh darah
tromboemboli atau infeksi), dan efek samping dari farmakologis atau intervensi non
farmakologis. Adapun monitoring dan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien stroke
menurut Joseph T. DiPiro et al. (2020) yakni
● Perbaikan gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal marah
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai sumber
informasi
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji depresi pasca stroke dari gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal upset
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji adanya depresi pasca stroke
Tabel 10. Monitoring Obat pada Pasien (Joseph T. DiPiro et al., 2020)

Pendarahan juga merupakan efek samping utama dari agen antiplatelet dan
antikoagulan dalam pengaturan rawat jalan. Untuk pasien yang menggunakan antikoagulan
oral, HAS-BLED adalah alat penilaian yang berguna untuk menentukan risiko perdarahan.
Skor >= 3 menunjukkan risiko tinggi untuk perdarahan dan harus disertai dengan pemantauan
pasien yang lebih intensif.
Tabel 11. Scoring Bleeding Risk (Joseph T. DiPiro et al., 2020)

2.13 Korelasi antara Dislipidemia dan Stroke

Pasien dengan riwayat stroke dan TIA dikategorikan kedalam kelompok dengan risiko
kardiovaskular sangat tinggi. Etiologi stroke bervariasi seperti tromboemboli (sering
berhubungan dengan fibrilasi atrium), aterosklerosis arteri karotis, penyakit serebrovaskular
yang mengenai pembuluh darah kecil, dan perdarahan intrakranial (perdarahan intraserebral
dan subarakhnoid) (JKI, 2013).
Peningkatan trigliserida dan penurunan HDL-C yang rendah akan meningkatkan kejadian
serebrovaskular iskemik secara signifikan. Peningkatan kadar LDL-C akan lebih
meningkatkan kejadian stroke, walaupun dalam AHA tidak ada hubungan yang konsisten
antar keduanya. Akan tetapi, dampak pada kejadian aterosklerosis ini besar karena LDL-C
membawa kolesterol di arteri lebih besar sehingga dapat meningkatkan kejadian stroke (AAN,
2006).

Peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL-C, trigliserida dan penurunan kadar
HDL-C akan menimbulkan terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi karena adanya
kerusakan endotel pembuluh darah dan mengakibatkan perubahan permeabilitas endotel
pembuluh darah. Kerusakan endotel dalam kasus adanya dislipidemia karena terjadi cedera
toksik pada endotel. Dengan adanya kerusakan endotel, faktor pertumbuhan (growth factor)
akan dilepaskan dan akan merangsang masuknya monosit dan lipid beserta komponennya
masuk ke dalam endotel pembuluh darah. Monosit yang terangsang tadi akan menyusup
diantara sel endotel dan mengambil posisi di subendotel (Corwin, E. J, 2008).

Di subendotel monosit akan mengubah jadi makrofag yang disebabkan oleh adanya macrofag
colony stimulating factor yang dicetuskan adanya oksidasi komponen lipid. Makrofag sendiri
berfungsi memakan dan membersihkan lipid dan komponennya yang sudah teroksidasi
melalui scavenger receptor. Scavenger receptor inilah yang akan menyebabkan terjadinya
pembentukan sel busa (foam cell) dan sebagai cikal bakal terbentuknya fatty streak (Corwin,
E. J, 2008).

Fatty streak merupakan penumpukan lipid di subintima pembuluh darah yang merupakan lesi
awal dari aterosklerosis dan menjadi plak fibrosa. Plak yang matang akan mengalami ruptur
dan merusak pembuluh darah. Rupturnya plak fibrosa akan merangsang adhesi, aktivasi dan
agregasi trombosit. Proses agregasi trombosi meningkatkan terjadinya koagulasi darah dan
menyebabkan timbulnya pembentukan trombus (Corwin, E. J, 2008).

Trombus yang terbentuk akan menyumbat percabangan pembuluh darah di serebral. Jika
pembentukan trombus terjadi di luar pembuluh darah serebral (ekstrakranial) dan terlepas
yang dinamakan emboli akan menyumbat pembuluh darah di serebral. Penyumbatan
pembuluh darah di serebral menyebabkan suplai oksigen ke serebral menjadi berkurang.
Berkurangnya suplai oksigen ke serebral akan meningkatkan sistem kolateral
mengkompensasinya. Jika kompensasi tersebut tidak dapat terlaksana akan menyebabkan
penyakit serebral yang mendadak yaitu stroke (Corwin, E. J, 2008).

2.14 Interaksi Obat (Micromedex)

Obat Pertama Obat Kedua Deskripsi Solusi

Atorvastatin Klopidogrel Atorvastatin menghambat Beri Jeda atau


90% metabolisme Penyesuaian Dosis
Klopidogrel sehingga terjadi
peningkatan jumlah
Klopidogrel

Atorvastatin Amlodipin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450 3A4

Atorvastatin Kolestiramin Dapat menurunkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan absorpsi

Atorvastatin Fenofibrat Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450 3A4

Atorvastatin Gemfibrozil Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450 3A4

Atorvastatin Niasin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450 3A4

Aspirin Klopidogrel Studi menunjukkan dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Aspirin Labetalol Studi menunjukkan Beri Jeda atau


peningkatan TD melalui Penyesuaian Dosis
penurunan prostaglandin
ginjal

Aspirin Hidralazin Studi menunjukkan Beri Jeda atau


penurunan efek Penyesuaian Dosis
antihipertensi melalui
penurunan prostaglandin
ginjal

Aspirin Captopril Studi menunjukkan Beri Jeda atau


penurunan efek Penyesuaian Dosis
antihipertensi melalui
penurunan prostaglandin
ginjal

Aspirin Candesartan Studi menunjukkan Beri Jeda atau


penurunan efek Penyesuaian Dosis
antihipertensi melalui
penurunan prostaglandin
ginjal

Aspirin Warfarin Dapat meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Aspirin Dabigatran Dapat meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Tiklopidin Klopidogrel Menghambat metabolisme Beri Jeda atau


klopidogrel yang dimediasi Penyesuaian Dosis
oleh CYP2C19 oleh
tiklopidin

Tiklopidin Alteplase Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Tiklopidin Warfarin Adisi yang dapat Ganti antikoagulan


meningkatkan risiko atau Penyesuaian
pendarahan Dosis

Tiklopidin Dabigatran Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Klopidrogrel Aspirin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Klopidrogrel Atorvastatin Atorvastatin menghambat Beri Jeda atau


90% metabolisme Penyesuaian Dosis
klopidogrel
Klopidogrel Tiklopidin Menghambat metabolisme Beri Jeda atau
klopidogrel yang dimediasi Penyesuaian Dosis
oleh CYP2C19 oleh
tiklopidin

Klopidogrel Alteplase Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Klopidogrel Amlodipin Amlodipin menghambat Beri Jeda atau


aktivasi CYP3A klopidogrel Penyesuaian Dosis

Klopidogrel Warfarin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Klopidogrel Dabigatran Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Alteplase Tiklopidin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Alteplase Klopidogrel Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Alteplase Captopril Peningkatan produksi Beri Jeda atau


bradikinin yang penggantian obat
menyebabkan risiko
angioedema orolingual oleh
Alteplase

Alteplase Warfarin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Alteplase Dabigatran Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan
Amlodipin Atorvastatin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau
Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450 3A4

Amlodipin Klopidogrel Amlodipin menghambat Beri Jeda atau


CYP3A Klopidogrel Penyesuaian Dosis

Labetalol Aspirin Studi menunjukkan Beri Jeda atau


peningkatan TD melalui Penyesuaian Dosis
penurunan prostaglandin
ginjal

HCT Captopril Adisi menurunkan TD Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

HCT Candesartan Adisi menurunkan TD Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

HCT Kolestiramin Pengikatan HCT oleh Beri Jeda atau


Kolestiramin di usus Penyesuaian Dosis
memungkinkan penurunan
absorbsi HCT

HCT Kolestipol Pengikatan HCT oleh Beri Jeda atau


Kolestipol di usus Penyesuaian Dosis
memungkinkan penurunan
absorbsi HCT

Captopril Aspirin Studi menunjukkan Beri Jeda atau


penurunan efek Penyesuaian Dosis
antihipertensi Captopril
melalui penurunan
prostaglandin

Captopril Alteplase Adisi meningkatkan Adisi menurunkan


pendarahan TD

Captopril HCT Adisi menurunkan TD Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

Captopril Candesartan Blokade ganda sistem Renin Sebaiknya dihindari


Angiotensin Aldosteron
Candesartan Aspirin Studi menunjukkan Beri Jeda atau
penurunan efek Penyesuaian Dosis
antihipertensi Candesartan
melalui penurunan
prostaglandin

Candesartan HCT Adisi menurunkan TD Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

Candesartan Captopril Blokade ganda sistem Renin Sebaiknya dihindari


Angiotensin Aldosteron

Warfarin Aspirin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Tiklopidin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Klopidogrel Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Alteplase Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Dabigatran Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Kolestiramin Kolestiramin menghambat Beri Jeda atau


absorbsi warfarin Penyesuaian Dosis

Warfarin Fenofibrat Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Gemfibrozil Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Niasin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Warfarin Ezetimibe Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Dabigatran Aspirin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Dabigatran Tiklopidin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis
Dabigatran Klopidogrel Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau
pendarahan Penyesuaian Dosis

Dabigatran Alteplase Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Dabigatran Warfarin Adisi meningkatkan risiko Beri Jeda atau


pendarahan Penyesuaian Dosis

Kolestiramin Atorvastatin Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


atorvastatin Penyesuaian Dosis

Kolestiramin HCT Menghambat absorbsi HCT Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

Kolestiramin Warfarin Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


warfarin Penyesuaian Dosis

Kolestiramin Fenofibrat Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


fenofibrat Penyesuaian Dosis

Kolestiramin Gemfibrozil Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


gemfibrozil Penyesuaian Dosis

Kolestiramin Ezetimibe Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


ezetimibe Penyesuaian Dosis

Kolestipol HCT Menghambat absorbsi HCT Beri Jeda atau


Penyesuaian Dosis

Kolestipol Fenofibrat Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


fenofibrat Penyesuaian Dosis

Kolestipol Gemfibrozil Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


gemfibrozil Penyesuaian Dosis

Kolestipol Ezetimibe Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


ezetimibe Penyesuaian Dosis

Fenofibrat Atorvastatin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450
3A4

Fenofibrat Warfarin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan
Fenofibrat Kolestiramin Menghambat absorbsi Beri Jeda atau
fenofibrat Penyesuaian Dosis

Fenofibrat Ezetimibe Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan ekskresi Penyesuaian Dosis
kolesterol ke dalam empedu
(kolelitiasis)

Gemfibrozil Atorvastatin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450
3A4

Gemfibrozil Warfarin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

Gemfibrozil Kolestiramin Menghambat absorbsi Beri Jeda atau


fenofibrat Penyesuaian Dosis

Gemfibrozil Ezetimibe Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan ekskresi Penyesuaian Dosis
kolesterol ke dalam empedu
(kolelitiasis)

Niasin Atorvastatin Dapat meningkatkan jumlah Beri Jeda atau


Atorvastatin melalui Penyesuaian Dosis
penghambatan CYP450
3A4

Niasin Warfarin Adisi yang dapat Beri Jeda atau


meningkatkan risiko Penyesuaian Dosis
pendarahan

2.15 Studi Kasus

Tn. WX (usia 57 tahun, BB 94 kg, TB 171 cm) baru saja masuk rumah sakit karena
mengalami kecelakaan. Kecelakaan ini terjadi karena Tn. WX tidak bisa menggerakkan
bagian tubuh sebelah kanannya (tangan, kaki, dan kesulitan berbicara) saat sedang menyetir.
Tn. WX segera dilarikan ke rumah sakit sehingga sampai kurang dari 2 jam setelah kecelakaan
terjadi. Hasil pemeriksaan melalui CT scan menunjukkan Tn. WX mengalami stroke tanpa
adanya pendarahan. Hasil pemeriksaan di rumah sakit menunjukkan Tn. WX memiliki TD =
190/100, Kolesterol Total = 299 mg/dL, LDL = 180 mg/dL, dan HDL = 51 mg/dL. Keluarga
juga mengatakan bahwa Tn. WX pernah masuk rumah sakit karena mengalami transient
ischemic attack (TIA). Tn. WX memiliki ayah yang pernah mengalami stroke, adik yang
meninggal karena serangan jantung, dan ibu yang menderita hipertensi. Tn. WX adalah
seorang perokok dan tidak menjalankan diet apa pun untuk penyakit yang dialaminya.

Pertanyaan:

1. Buatlah SOAP untuk kasus di atas termasuk dengan panel lipid lengkap pasien.
2. Apakah stroke, TIA, dan serangan jantung adalah hal yang berbeda? Apakah korelasi
antara kondisi/penyakit yang dialami oleh Tn. WX? Jelaskan.
3. Berikan rekomendasi pengobatan untuk Tn. WX saat di rumah sakit (rawat inap) dan
saat pulang (rawat jalan) beserta dengan durasi pengobatan.
4. Apakah yang dimaksud dengan high intensity statin? Terapi apa yang sesuai untuk
kondisi dislipidemia yang dialami pasien?
5. Apakah kondisi yang dialami Tn. WX bisa terulang setelah pasien pulang dari rumah
sakit? Jika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Jelaskan.

Jawab:

1. Buatlah SOAP untuk kasus di atas termasuk dengan panel lipid lengkap pasien.
Jawab:
Subjektif:
Tn. WX tidak bisa menggerakkan bagian tubuh sebelah kanannya (tangan, kaki, dan
kesulitan berbicara)
Tn. WX pernah mengalami TIA
Ayah Tn WX pernah mengalami stroke, adik yang meninggal karena serangan jantung,
dan ibu yang menderita hipertensi
Tn WX perokok dan tidak menjalankan diet apapun

Objektif:
BB = 92 kg
TB: 171 cm
BMI = 32 → obesitas tingkat 2
TD = 190/100 mmHg → hipertensi urgensi (>180/100 mmHg)
Klasifikasi lipid:
Kolesterol Total = 299 mg/dL → tinggi
LDL = 180 mg/dL → tinggi
HDL = 51 mg/dL → normal
LDL-C = Total Cholesterol−(HDL-C + TG/5)
180 = 299 - (51 + TG/5)
TG = 340 mg/dl → tinggi
Assesment:
Berdasarkan data subjektif dan objektif Tn WX terkena stroke iskemik, dislipidemia,
dan hipertensi urgensi.

Plan:

Terapi farmakologi:
● Stroke yang dirasakan pasien berlangsung < 3 jam sebelum dibawa ke rumah sakit
maka pasien direkomendasikan untuk diberikan alteplase. Alteplase diberikan
dengan dosis 0,9 mg/kgBB dalam waktu 60 jam. Pemberiannya bisa dimulai
dengan bolus 10% dari dosis total dalam 1 menit dan sisanya dilanjutkan melalui
infus dalam waktu 60 menit. Dosis maksimal: 90 mg.
● Tn WX pasien mengalami hipertensi urgensi (190/100 mmHg), pasien harus
diberikan obat hipertensi seperti labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat
diulang 1 kali jika tekanan darah tidak mencapai target (SBP 140 mmHg)
● Menurut American College of Cardiology, pasien dislipidemia dengan ASCVD
klinis dengan risiko sangat tinggi (beberapa kejadian ASCVD mayor atau satu
kejadian ASCVD mayor ditambah beberapa kondisi berisiko tinggi) langsung
diberikan terapi statin intensitas tinggi dibarengi perubahan gaya hidup. Karena
Tn. WX telah mengalami stroke iskemik (1 kejadian ASCVD mayor), mengalami
hipertensi dan sedang merokok (2 kondisi berisiko tinggi), Tn. WX langsung
diberikan statin intensitas tinggi untuk dislipidemia yang dialaminya. Pilihan obat
yang dapat diberikan yaitu atorvastatin 80 mg/hari.

Terapi Non-farmakologi
➔ Rehabilitasi yang mencakup terapi bicara dan fisioterapi.
➔ Perubahan gaya hidup:
◆ Penurunan berat badan.
◆ Aktivitas fisik 3-4x seminggu, minimal 40 menit per kalinya.
◆ Berhenti merokok.
◆ Menghindari konsumsi lemak jenuh (lemak hewani)
◆ Peningkatan asupan serat larut @25 mg/hari
◆ Mengonsumsi makanan kaya asam lemak omega-3 seperti ikan laut.
◆ Diet DASH (utama: batasi asupan natrium).

2. Apakah stroke, TIA, dan serangan jantung adalah hal yang berbeda? Apakah korelasi
antara kondisi/penyakit yang dialami oleh Tn. WX? Jelaskan.

Stroke merupakan kondisi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau berkurang
akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke
hemoragik). Kondisi ini menyebabkan kematian bagi sel otak, sel otak tidak mendapat
asupan oksigen dan nutrisi. Dapat diakibatkan karena gumpalan yang tersangkut dalam
pembuluh darah otak. Dengan gejala penglihatan menjadi buram, pusing atau
kehilangan keseimbangan, lengan dan kaki menjadi lemah, kesulitan berbicara atau
kebingungan, dan rasa sakit.

TIA (transcient ischemic attack) yang biasa dikenal stroke ringan merupakan keadaan
ketika saraf kekurangan oksigen. Hal ini diakibatkan oleh aliran darah yang terganggu
akibat gumpalan lemak atau udara yang ada di pembuluh darah. Gumpalan penyebab
TIA akan hancur dengan sendirinya, sehingga tidak menyebabkan kerusakan yang
permanen. Gejala yang terdeteksi ialah Peningkatan tekanan darah, kelemahan otot,
mati rasa di tangan atau kaki, kelelahan tiba-tiba, cara bicara menjadi kacau dan tidak
jelas, pusing dan linglung, kesulitan menelan, kehilangan keseimbangan, pandangan
ganda, kesulitan memahami kata-kata orang lan.

Serangan jantung atau sindrom koroner akut ialah gangguan jantung serius ketika otot
jantung tidak mendapat aliran darah. Kondisi ini akan mengganggu fungsi jantung
dalam mengalirkan darah ke seluruh tubuh, akibat timbunan kolesterol yang
membentuk plak di pembuluh darah. Kondisi ini diperparah dengan terbentuknya
gumpalan darah yang dapat menyumbat total pembuluh darah dan menimbulkan
serangan jantung.

Sehingga, berdasarkan definisi di atas antara Stroke, TIA, dan serangan jantung
memiliki korelasi secara etiologi yaitu Peningkatan kadar kolesterol total, LDL-C,
trigliserida dan penurunan kadar HDL-C akan menimbulkan aterosklerosis. Rupturnya
plak aterosklerosis merangsang adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit. Trombus yang
terbentuk menyumbat percabangan pembuluh darah di serebral dan luar serebral dapat
menyebabkan kondisi di atas.

3. Berikan rekomendasi pengobatan untuk Tn. WX saat di rumah sakit (rawat inap) dan
saat pulang (rawat jalan) beserta dengan durasi pengobatan.
Jawab:
Rekomendasi pengobatan rawat inap:

- Tn. WX diberikan IV alteplase dengan dosis 0,9 mg/kgBB (untuk Tn. WX 84,6
mg) dalam waktu 60 jam. Pemberiannya bisa dimulai dengan bolus 10% dari
dosis total dalam 1 menit dan sisanya dilanjutkan melalui infus dalam waktu 60
menit. Dosis maksimal: 90 mg.
- Pemberian aspirin direkomendasikan untuk Tn. WX. Karena Tn. WX telah
diberikan dengan alteplase IV, pemberian aspirin diberikan 24 jam kemudian
dengan dosis 160 and 300 mg.
- Tn WX pasien mengalami hipertensi urgensi (190/100 mmHg), pasien harus
diberikan obat hipertensi seperti labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat
diulang 1 kali jika tekanan darah tidak mencapai target (SBP 140 mmHg).
Rekomendasi pengobatan rawat jalan:
● Dislipidemia: atorvastatin 1x80 mg sehari, monitoring untuk penyesuaian dosis
setelah 1 bulan
● Untuk mencegah terjadinya recurrent stroke diberikan Aspirin 80 mg dengan
Clopidogrel 300 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan Aspirin 80 mg +
Clopidogrel 75 mg sampai hari ke-21, dilanjutkan dengan monoterapi
Clopidogrel.
● Hipertensi: lisinopril
○ Dosis awal: 1x10 mg sehari
○ Dosis maintenance: 1x20-40 mg sehari

4. Apakah yang dimaksud dengan high intensity statin? Terapi apa yang sesuai untuk
kondisi dislipidemia yang dialami pasien?

Berdasarkan guidline, high intensity biasanya dimiliki oleh Atorvastatin dosis harian
40-80 mg atau Rosuvastatin 20-40 mg. Obat ini dapat menurunkan LDL-C ≥ 50%.
Menurut American College of Cardiology, pasien dislipidemia dengan ASCVD klinis
dengan risiko sangat tinggi (beberapa kejadian ASCVD mayor atau satu kejadian
ASCVD mayor ditambah beberapa kondisi berisiko tinggi) langsung diberikan terapi
statin intensitas tinggi dibarengi perubahan gaya hidup. Karena Tn. WX telah
mengalami stroke iskemik (1 kejadian ASCVD mayor), mengalami hipertensi dan
sedang merokok (2 kondisi berisiko tinggi), Tn. WX langsung diberikan statin
intensitas tinggi untuk dislipidemia yang dialaminya. Pilihan obat yang dapat diberikan
yaitu atorvastatin 80 mg/hari. Untuk terapi non farmakologi lebih kepada penigkatan
gaya hidup yang sehat.

5. Apakah kondisi yang dialami Tn. WX bisa terulang setelah pasien pulang dari rumah
sakit? Jika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Jelaskan.
Jawab: Bisa terulang oleh karena itu Tn. WX disarankan untuk mengonsumsi
antiplatelet sebagai pencegahan recurrent stroke. Aspirin 80 mg dengan Clopidogrel
300 mg pada hari pertama, dilanjutkan dengan Aspirin 80 mg + Clopidogrel 75 mg
sampai hari ke-21, dilanjutkan dengan monoterapi Clopidogrel diindikasikan sebagai
terapi setelah stroke iskemik atau TIA untuk mencegah stroke berulang. Apabila stroke
ulang terjadi, maka Tn. WX harus dibawa ke rumah sakit dan jika dalam waktu kurang
dari 3 jam bisa diberikan IV Alteplase untuk melarutkan gumpalan darah yang telah
terbentuk di pembuluh darah .

Pengobatan stroke iskemik akut: administrasi dari IV Alteplase

Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit, dengan 10% dosis
diberikan sebagai bolus selama 1 menit.
Masukkan pasien ke unit perawatan intensif atau unit stroke untuk pemantauan.
Jika pasien mengalami sakit kepala parah, hipertensi akut, mual, atau muntah atau
memiliki pemeriksaan neurologis yang memburuk, hentikan infus (jika alteplase IV
sedang diberikan) dan dapatkan CT scan kepala darurat.
Ukur tekanan darah dan lakukan penilaian neurologis setiap 15 menit selama dan
setelah infus alteplase IV selama 2 jam, kemudian setiap 30 menit selama 6 jam,
kemudian setiap jam sampai 24 jam setelah pengobatan alteplase IV.
Tingkatkan frekuensi pengukuran BP jika SBP >180 mm Hg atau jika DBP >105
mm Hg; berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan BP pada atau di bawah
tingkat ini (Tabel 1).
Penundaan penempatan selang nasogastrik, kateter kandung kemih, atau kateter
tekanan intra-arteri jika pasien dapat ditangani dengan aman tanpanya.
Dapatkan CT scan atau MRI lanjutan pada 24 jam setelah alteplase IV sebelum
memulai antikoagulan atau agen antiplatelet.

6. Apa bentuk monitoring dan evaluasi yang tepat untuk Tn. WX pada kasus ini? Sampai
kapan ini harus dilakukan?

Untuk penyakit dislipidemia pada Tn. WX, dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium
dengan parameter: kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida. Pengukuran kadar lipid dilakukan
dengan puasa untuk meminimalkan interferensi dari kilomikron. Interval monitoring:

○ Selama titrasi dosis: beberapa bulan sekali


○ Pasien sudah stabil: 6 bulan sampai 1 tahun sekali

Adapun monitoring dan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien stroke menurut Joseph T.
DiPiro et al. (2020) yakni
● Perbaikan gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal marah
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan menggunakan berbagai sumber
informasi
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji depresi pasca stroke dari gejala stroke; pemeriksaan neurologis
● Adanya efek samping (misalnya, perdarahan [semua obat], gastrointestinal upset
[aspirin], sakit kepala [dipyridamole], edema serebral, kejang)
● Kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan
● Kepatuhan pada janji tindak lanjut yang direkomendasikan (misalnya, neurologi, terapi
fisik)
● Kaji adanya depresi pasca stroke

7. Bagaimana prognosis jika pasien mengalami stroke iskemik (sesuai kasus) dan stroke
hemoragik (kondisi lainnya sesuai kasus)?

Jawab: prognosis stroke bisa ditentukan dengan lokasi, gejala yang timbul, dan
komplikasi yang terjadi. Prognosis stroke dapat dilakukan dengan perhitungan
National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) ataupun skor perdarahan
intraserebral yang hasil skoringnya dapat dihitung pada
https://www.mdcalc.com/nih-stroke-scale-score-nihss. Apabila komplikasi terjadi,
maka prognosis pasien harus ditentukan lagi. Skor NIHSS memprediksi kemungkinan
rekoveri pasien setelah serangan stroke. Skor NIHSS≥ 16 memprediksi kemungkinan
kematian atau disabilitas berat yang tinggi sedangkan skor ≤6 memperkirakan rekoveri
yang baik (Adams et al., 1999).

2.16 Istilah Medis


- Dislipidemia : Peningkatan kolesterol total, LDL-C, trigliserida, atau
penurunan konsentrasi HDL-C, atau kombinasi dari beberapa abnormalitas ini
- LDL-C : Suatu lipoprotein plama lipid yang termasuk komponen
kolesterol dan trigliserida. LDL dalam plasma berasal dari pemecahan dari very low
density lipoprotein (VLDL) yang diproduksi oleh hati dengan apoprotein B-100.
- Trigliserida : Tipe dari lemak di dalam tubuh yang berupa gliserida dimana
gliserol yang telah di esterifikasi dengan tiga asam lemak.
- HDL-C : Lipoprotein yang membawa kolesterol dari jaringan tubuh ke
hati untuk di resintesis lagi dan akan berdampak pada pengurangan pengendapan dan
terjadinya plak di pembulu darah yang akan mengganggu sistem peredaran darah.
- Kolesterol : Metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan pada
membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah.
- Stroke : Kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu
atau berkurang akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah
(stroke hemoragik).
- Neurotransmitter : Senyawa kimiawi dalam tubuh yang bertugas menyampaikan
pesan antara satu sel dengan yang lainnya.
- Etiologi : Gambaran mengenai penyebab penyakit yang meliputi
identifikasi faktor-faktor yang menimbulkan penyakit tertentu.
- Patofisiologi : Suatu mekanisme dimana suatu sebab / etiologi beroperasi.
- Komplikasi : Perubahan tak diinginkan dari sebuah penyakit, kondisi
kesehatan atau terapi.
- Epidemiologi : Ilmu tentang distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa
yang terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapan ilmu itu untuk
mengendalikan masalah kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

ACLS. (2015). Stroke Assessment The Cincinnati Prehospital Stroke Scale Suspected Stroke
Algorithm : Goals for Management of Stroke Identify Signs and Symptoms of Possible Stroke.
2.

Adams, H. P., Davis, P. H., Leira, E. C., Chang, K. C., Bendixen, B. H., Clarke, W. R., ... &
Hansen, M. D. (1999). Baseline NIH Stroke Scale score strongly predicts outcome after
stroke: a report of the Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST). Neurology,
53(1), 126-126.

Biggers, Alana. (2017, September 27). Dyslipidemia: What You Need to Know. Healthline.
Retrieved February 20, 2020 from https://www.healthline.com/health/dyslipidemia

Boehme, A. K., Esenwa, C., & Elkind, M. S. V. (2017). Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circulation Research, 120(3), 472–495.
https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.116.308398

Center for Disease Control and Prevention. (2020). Stroke Signs and Symptoms. Diakses dari
https://www.cdc.gov/stroke/signs_symptoms.htm tanggal 3 September 2021 pukul 16.36.

Chisholm-Burns, M. A., Schwinghammer, T. L., Wells, B. G., Malone, P. M., Kolesar, J. M.,
& DiPiro, J. T. (2016). Pharmacotherapy: Principles and Practice 4th Ed. McGraw-Hill
Education (halaman 195).

Christensen, H., Glipstrup, E., Høst, N., Nørbæk, J., & Zielke, S. (2014). Complications after
stroke. Oxford Textbook of Stroke and Cerebrovascular Disease, 203–214.
https://doi.org/10.1093/med/9780199641208.003.0018

Corwin, E. J. Buku Saku Patofisiologi, Ed 3 (Ed Egi Komara Yuda, et al). Jakarta. EGC. 2008

Dastur, C. K., & Yu, W. (2017). Current management of spontaneous intracerebral


haemorrhage. Stroke and vascular neurology, 2(1).

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M.
(2014).Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (10th Ed.). New York: Mcgraw-hill
Education. Hal 712-726.

Dipiro, Joseph T.; Chisholm-Burns, Marie A.; Wells, Barbara G.; Malone, Patrick M.; Kolesar,
J. M. (2016). Pharmacotherapy principles and practice. In Journal of Chemical Information
and Modeling (4th ed., Vol. 53, Issue 9). Mc Grew Hill Education.
DiPiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V. (2020).
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Eleventh Edition. McGraw-Hill Education
(halaman 390).

Grundy, S. M., Stone, N. J., Bailey, A. L., Beam, C., Birtcher, K. K., Blumenthal, R. S., Braun,
L. T., de Ferranti, S., Faiella-Tommasino, J., Forman, D. E., Goldberg, R., Heidenreich, P. A.,
Hlatky, M. A., Jones, D. W., Lloyd-Jones, D., Lopez-Pajares, N., Ndumele, C. E., Orringer, C.
E., Peralta, C. A., … Yeboah, J. (2019). 2018
AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/APhA/ASPC/NLA/PCNA Guideline
on the Management of Blood Cholesterol: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Journal
of the American College of Cardiology, 73(24), e285–e350.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2018.11.003

Hemphill, J. C., Greenberg, S. M., Anderson, C. S., Becker, K., Bendok, B. R., Cushman, M.,
Fung, G. L., Goldstein, J. N., MacDonald, R. L., Mitchell, P. H., Scott, P. A., Selim, M. H., &
Woo, D. (2015). Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A
Guideline for Healthcare Professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke, 46(7), 2032–2060. https://doi.org/10.1161/STR.0000000000000069

Halperin, R. O., Sesso, H. D., Ma, J., Buring, J. E., Stampfer, M. J., & Michael Gaziano, J.
(2006). Dyslipidemia and the Risk of Incident Hypertension in Men. Hypertension, 47(1),
45–50. https://doi.org/10.1161/01.HYP.0000196306.42418.0e

Johnson, C. O., Nguyen, M., Roth, G. A., Nichols, E., Alam, T., Abate, D., Abd-Allah, F.,
Abdelalim, A., Abraha, H. N., Abu-Rmeileh, N. M. E., Adebayo, O. M., Adeoye, A. M.,
Agarwal, G., Agrawal, S., Aichour, A. N., Aichour, I., Aichour, M. T. E., Alahdab, F., Ali, R.,
… Murray, C. J. L. (2019). Global, regional, and national burden of stroke, 1990-2016: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. The Lancet Neurology,
18(5), 439–458. https://doi.org/10.1016/S1474-4422(19)30034-1

Koda-kimble, M. A., & Alldredge, B. K. (2013). Koda-kimble And Youngs Applied


Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs (1 0th Ed.). Baltimore: Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins. Hal 252-261, 269, 274, 281,

Kleindorfer, D. O., Towfighi, A., Chaturvedi, S., Cockroft, K. M., Gutierrez, J.,
Lombardi-Hill, D., Kamel, H., Kernan, W. N., Kittner, S. J., Leira, E. C., Lennon, O., Meschia,
J. F., Nguyen, T. N., Pollak, P. M., Santangeli, P., Sharrief, A. Z., Smith, S. C., Turan, T. N., &
Williams, L. S. (2021). 2021 Guideline for the prevention of stroke in patients with stroke and
transient ischemic attack; A guideline from the American Heart Association/American Stroke
Association. In Stroke (Issue July). https://doi.org/10.1161/STR.0000000000000375
Lennon, O., Blake, C., Booth, J., Pollock, A., & Lawrence, M. (2018). Interventions for
behaviour change and self-management in stroke secondary prevention: Protocol for an
overview of reviews. Systematic Reviews, 7(1), 1–10.
https://doi.org/10.1186/s13643-018-0888-1

Lindsay, M. P., Norrving, B., Sacco, R. L., Brainin, M., Hacke, W., Martins, S., Pandian, J., &
Feigin, V. (2020). Global Stroke Fact Sheet 2019.
https://www.world-stroke.org/assets/downloads/WSO_Fact-sheet_15.01.2020.pdf

Mayo Clinic. (2020). Transient Ischemic Attack (TIA). Diakses dari


https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/transient-ischemic-attack/symptoms-causes/s
yc-20355679 tanggal 3 September 2021 pukul 22.35.

NHS. (2019). Diagnosis: Stroke. Diakses dari https://www.nhs.uk/conditions/stroke/diagnosis/


tanggal 3 September 2021 pukul 17.21.

Panuganti, K. K., Tadi, P., & Lui, F. (2021). Transient Ischemic Attack. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459143/

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2016). Panduan praktik klinis neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Pokhrel, B., Yuet, W. C., & Levine, S. N. (2021). PCSK9 Inhibitors. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448100/

Shattat, G. (2014). A Review Article on Hyperlipidemia: Types, Treatments and New Drug
Targets. Biomedical and Pharmacology Journal, 7, 399–409. https://doi.org/10.13005/bpj/504

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P., & Kusnandar.
(2013). ISO Farmakoterapi Buku 1. ISFI Penerbitan (halaman 141).

Tim Riskesdas 2013. (2013). Laporan Nasional Riskesdas 2013. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB).

Tim Riskesdas 2018. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB) (halaman 165-166).

Wall, G. C. (2013). Lower gastrointestinal disorders. In Koda-Kimble and Young’s Applied


Therapeutics: The Clinical Use of Drugs.

Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (2015). Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition. McGraw-Hill Education (halaman 67-72, 74, 120-121).
Wengrofsky, P. (2019). Dyslipidemia and Its Role in the Pathogenesis of Atherosclerotic
Cardiovascular Disease: Implications for Evaluation and Targets for Treatment of
Dyslipidemia Based on Recent Guidelines (J. Lee (ed.); p. Ch. 2). IntechOpen.
https://doi.org/10.5772/intechopen.85772.

Anda mungkin juga menyukai