KELOMPOK A-4
AJENG APSARI UTAMI
G0013013
G0013067
G0013115
G0013123
LISANA SHIDQI
G0013137
NADIA IZZATI S
G0013165
G0013173
NURUL FADILAH
G0013183
RIVAN FAETHEDA
G0013203
SAFIRAH NURULLITA
G0013209
G0013227
G0013241
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah 1 : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa
istilah dalam skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
1. Gurgling: Suara yang menyerupai gelembung udara yang keluar dari air
2. Snoring : Suara seperti mendengkur yang disebabkan oleh menutupnya
jalan nafas karena lidah yang menempel ke pallatum (Sjamsuhidajat dan
Jong, 1995)
3. Primary Survey: Penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk
identifikasi secara cepat dan sistematis serta untuk mengambil tindakan
dari permasalahan yang mengancam jiwa pasien. Dilakukan dalam waktu
2-5 menit.
4. Secondary Survey: Penilaian lanjutan secara holistik yang dilakukan
setelah pasien stabil untuk melihat jejas dan kelainan yang ada pada pasien
5. Emfisema Subkutis: Adanya udara yang masuk ke jaringan subkutis yang
disebabkan oleh tingginya tekanan udara di dalam dinding dada.
6. Jejas: Terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai
akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat
untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat
trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt,2003; Mann ,2001).
a. Primary survey,
b. Secondary survey?
4. Bagaimana interpretasi pada :
a. GCS,
b. Vital sign,
c. Pemeriksaan fisik pada regio thorax dan
d. Pemeriksaan fisik pada regio bahu?
5. Apa saja kriteria pasien emergency?
6. Apa :
a. Pemeriksaan klinis dan penunjang yang perlu dilakukan untuk pasien pada
kasus skenario?
b. Apa tujuan dari dilakukan imobilisasi pada pasien?
c. Bagaimana cara melakukan informed consent pada kasus skenario?
7. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus-kasus kegawatdaruratan?
8. Apa saja jenis trauma dan fraktur?
9. Apa saja :
a. Differential diagnosis,
b. Diagnosis,
c. Tata laksana,
d. Komplikasi,
e. Edukasi dan
f. Prognosis pada kasus skenario?
10. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan pada kasus skenario?
11. Bagaimana mekanisme trauma pada skenario tersebut?
jantung,
maka
penderita
sebaiknya
dipasng
d. Secondary survey?
Secondary survey
1. Anamnesis
15. Korpus alienum pada: {a] intra kranial; {b} leher; {c} dada/toraks; {d}
abdomen; {e} anggota gerak; {e} genital
16. Cardiovascular accident tipe perdarahan
17. Dislokasi persendian
18. Tenggelam (drowning)
19. Flail chest
20. Fraktur kranium (patah tulang kepala/tengkorak)
21. Gastroskisis
22. Gigitan hewan/manusia
23. Hanging (terjerat leher?)
24. Hematotoraks dan pneumotoraks
25. Hematuria
26. Hemoroid tingkat IV (dengan tanda strangulasi)
27. Hernia inkarserata
28. Hidrosefalus dengan peningkatan tekanan intrakranial
29. Penyakit Hirschprung
30. Ileus Obstruksi
31. Perdaraha Internal
32. Luka Bakar
9. Krisis hipertensi
10. Miokardititis dengan syok
11. Nyeri dada (angina pektoris)
12. Sesak napas karena payah jantung
13. Pingsan yang dilatari oleh penyakit/kelainan jantung
Kriteria Gawat Darurat Bagian Obstetri Ginekologi (Kebidanan &
Kandungan)
1. Abortus
2. Distosia
3. Eklampsia
4. Kehamilan ektopik terganggu (KET)
5. Perdarahan antepartum
6. Perdaragan postpartum
7. Inversio uteri
8. Febris puerperalis
9. Hiperemesis gravidarum dengan dehidrasi
10. Persalinan kehamilan risiko tinggi daa/atau persalinan dengan penyulit
8. Hematochezia
9. Hipertensi maligna
10. Keracunan makanan
11. Keracunan obat
12. Koma metabolik
13. Leptospirosis
14. Malaria
15. Observasi rejatan/syok
Kriterita Gawat Darurat Bidang THT
1. Abses di bidang THT-KL
2. Benda asing di laring, trakea, bronkus dan/atau benda asing tenggorokan
3. Benda asing di telinga dan hidung
4. Disfagia
5. Obstruksi jalan napas atas grade II/III Jackson
6. Obstruksi jalan napas atas grade IV Jackson
7. Otalgia akut
8. Parese fasialis akut
9. Perdarahan di bidang THT
10. Syok karena kelainan di bidang THT
gawat
darurat
dan
membutuhkan
resusitasi
(sangat
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III >
25%
b) Prioritas II : warna Kuning untuk kondisi gawat tetapi tidak darurat.
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan
III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
c) Prioritas II : warna Hijau (ringan). Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka ringan.
d) Prioritas 0 : warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka
sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.
Penilaian dalam Triage :
1. Primary survey (Airway, Breathing, dan Circulation) untuk menghasilkan
prioritas I dan seterusnya
2. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0
dan selanjutnya
3. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan
pada A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.
4. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban
Metode yang biasa dipakai yaitu START (Simple Triage and Rapid
Treatment). Sistem ini dilakukan oleh penolong dalam 60 detik atau kurang
untuk tiap korban, dan mencakup pemeriksaan Respirasi, Sirkulasi, dan Status
Mental.
pasal
mengatur
bahwa
Pemerintah
bertugas
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin
rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk
meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase
pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan
kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan
dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase prarumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat
Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang
berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat
darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan
memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan
yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan
dan
ilmu
keperawatan
hanya
dapat
dilakukan
oleh
sehingga
akibat
yang
dapat
merugikan
atau
sekitar.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi
2 yaitu:
1) Patah tulang lengkap (Complete fracture)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fracture )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah
satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering
disebut green stick. Menurut Price dan Wilson (2005) kekuatan dan
sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
- Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.
3) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
5) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
-
antara lain:
1) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
b. Trauma
Pembagian jenis trauma berdasarkan jenis benda yang menyebabkan
kelainan :
1) Jenis luka akibat benda tumpul
a) Luka lecet (abrasi)
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh hanya
terbatas pada lapisan kulit epidermis
b) Luka memar (kontusio)
2 Verbal :
-
tidak
bisa
3 Motoric :
-
pasien
dapat
mengikuti
perintah
dokter,misalkan
saat
diberi
rangsang
nyeri,kedua
tangan
pasien
Interpretasi GCS:
Skor 14-15: compos mentis
Skor 12-13: apatis
Skor 11-12: somnolent
Skor 8-10 : stupor
Skor <5: koma
Pada pasien didapatkan GCS 15, berarti pasien compos mentis atau sadar penuh.
Penilaian Tanda Vital
Nadi 120 kali per menit: nadi cepat, normal: 60-100 kali per menit
Tekanan darah 90/70 mmHg: rendah, nadi yang cepat dan tekanan darah rendah
merupakan ciri-ciri syok.
Suhu 37,00C: normal (36,50C-37,50C)
RR 36 kali per menit: nafas cepat dan dangkal
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
B. Imobilisasi yang dilakukan
Kemungkinan fraktur pada penderita skenario ini terdapat pada daerah klavikula,
sehingga imobilisasi kemungkian yang dilakukan adalah ransel verbal.
Cara:
i. Bagian patah diberi alas dahulu
ii. pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan
iii. dari ketiak kanan ke depan dan ata spundak kanan, dan dari pundak kanan
disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan, akhirnya diberi peniti atau
diikat.
4. Ddx, Dx, tata laksana, komplikasi, edukasi, dan prognosis penyakit pada
skenario
a. TENSION PNEUMOTHORAX
Merupakan suatu pneumothotax yang progresif dan cepat sehingga
membayakan jiwa pasien dalam waktu yang singkat. Udara yang keluar
dari paru atau melalui dinding dada masuk ke rongga pleura dan tidak
dapat ke luar lagi (one-way-valve), maka tekanan di intrapleura akan
meninggi , paru-paru menjadi kolap
Penyebab :
1) Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
2) Komplikasi dari penumotorak sederhana
3) Fraktur tulang berlakang toraks
Tanda:
1)
Nyeri dada
2)
Sesak
3)
Distres pernafasan
4)
Takikardi
5)
Hypotensi,
6)
Defiasi trahea
7)
8)
9)
Sianosis
Tindakan :
1) Berikan oksigen 15 liter
2) Lakukan
dekompresi
dengan
insersi
jarum
(Needle
thoracocentesis)
3) Pemasangan chest tube untuk :
a) Perjalanan jauh ke RS.
b) Perjalanan menggunakan pesawat udara
b. PNEUMOTHORAX TERBUKA
Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antar ruang
pleura dan lingkungan sehingga tekanan di dalam rongga pleura akan
segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir, akibat kondisi itu
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnea
Tanda :
1) Respirasi distres
2) Sianosis
3) Tampak adanya kerusakan pada dinding dada
c. FLAIL CHEST
Trauma hancur pada sternum atau truama multiple pada dua atau lebih
tulang iga dengan dua tau lebih garis fractur, sehingga menyebabkan
gangguan pergerakan pada dinding dada, dimana segmen dinding dada
tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada,
mengakibatkan pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas
mengakibatkan terjadi hipoksia yang serius.
Tanda :
1) Palpasi
akan
membantu
menemukan
diagnosa
dengan
4) Pemberian analgetik
d. HEMOTORAKS MASIF
Pengumpulan darah dalam ruang antara pleura viseral dan perietal
yang cepat dan banyak.
Tanda :
1) Respirasi distres
2) Penurunan pernafasan dan gerakan
3) Pada perkusi adanay suara teringgal
4) Adanya tanda syok hipovolemik
Tindakan :
1) Berikan oksigen 15 liter/mt.
2) Pasang IV line dengan dua line dengan canule besar dan berikan
caiarn untuk suport sirkulasi
3) Pasang chest drain untuk untuk menurunkan respirasi distres yang
berkelalanjutan
4) Jangan gunakan PASG
5) Hipovolemik dapat memperburuk kondisi
6) Segera kirim ke RS. Untuk tindakan lebih lanjut
cavum pleura telah menutup, udara dalam cavum pleura perlahan-lahan akan
diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks setiap
hari. Laju resorbsi akan meningkat dengan pemberian oksigen. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2
hari.
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis. Tindakan ini dilakukan sedini mungkin pada
pasien pneumotoraks yang luasnya >15% . Tindakan ini bertujuan mengeluarkan
udara dari cavum pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan
dengan cara menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk ke cavum
pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. Dapat
pula dilakukan dengan membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran
kontra ventil, yaitu dengan jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai
masuk ke cavum pleura, kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan
dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka
akan timbul gelembung-gelembung udara di dalam botol.
Jarum abbocath no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan ke pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti diatas
Water-sealed Drainage: pipa khusus (kateter urine) yang steril yang
dimasukkan ke cavum pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit.
Sebelum trokar dimasukkan ke cavum pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi
kulit pada spatium intercostale VI pada linea axillaris media. Insisi kulit juga bisa
dilakukan di spatium intercostale II pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan
insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan desinfektan dan dilakukan
injeksi anestesi lokal dengan xylocain atau procaine 2% dan kemudian ditutup
dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk ke cavum pleura, pipa khusus
(kateter urine ) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut
sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di cavum pleura.
Pemasukkan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi kulit di
spatium intercostale VI dan diarahkan ke bawah apabila lubang insisinya di
spatium intercostale II. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian dihubungkan
dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca ke dalam air
sebaiknya 2cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.
Apabila tekanan cavum pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan
udara secara aktif (continous suction) dengan memberikan tekanan -10cm sampai
20cm H2O supaya paru cepat mengembang. Apabila paru sudah mengembang
penuh dan tekanan cavum pleura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan
uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam. Tindakan selanjutnya
adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru mengembang dan tidak
mengempis lagi atau tekanan cavum pleura menjadi positif lagi. Bila paru sudah
mengembang, pencabutan WSD dapat dilakukan pada saat pasien ekspirasi
maksimal.
7. Mekanisme trauma
Trauma terjadi akibat adanya perpindahan energi ke jaringan. Apabila
jaringan tidak dapat mentoleransi energi yang diterima, timbul kerusakan pada
jaringan tersebut. pada prinsipnya energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan, namun dapat berubah bentuk.
Dalam kasus pada skenario, penderita terlibat cekcok dengan tetangga,
kemungkinan penderita dalam posisi cenderung statis (tidak bergerak dengan
kecepatan tertentu). Ketika linggis diayunkan maka linggis mempunyai energi
sebesar separuh masa dikali kuadrat kecepatan. Enegri yang dimiliki linggis
tersebut berpindah ke penderita ketika mengahantam dada dan bahu penderita.
Ketika energi tersebut melebihi batas toleransi, maka timbul kerusakan jaringan
pada tubuh penderita (American College of Surgeon, 2004).
Biomekanika Trauma
1. Definisi
Biomekanika Trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian
cidera pada suatu jenis kekerasan atau kecelakaan. Biomekanika trauma
ini penting diketahui untuk membantu dalam menyelidiki akibat yang di
timbulkan trauma dan waspada terhadap perlukaan yang diakibatkan
trauma.
2. Tujuan :
Fase 2
Bagian atas penderita turut bergeser ke depan , dada dan perut akan
menghantam setir mobil. Dalam keadaan ini kemungkinan yang cedera
adalah dada atau perut tergantung dari posisi setir (tergantung jenis mobil).
Jika mobil kecil kemungkinan mencederai dada, mobil besar kemungkinan
mencederai perut, atau bahkan mencederai dada dan perut sekaligus.
Dalam menangani kasus ini, penolong harus teliti dalam melakukan
pemeriksaan.
Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil. Dalam fase
ini yang perlu diwaspadai adalah cedera kepala atau leher penderita.
Fase 4
Sedangkan kemungkinan yang paling parah pada fase ini adalah penderita bisa
terpental ke luar kendaraan, sehingga cedera yang diakibatkan bisa lebih banyak
lagi (multi trauma) .
2. Tabrakan dari belakang
Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti
atau kendaraan yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering
terjadi biasanya karena adanya daya pecut (whiplash injuri) dan cedera
yang harus diwaspadai adalah cedera dibawah tulang leher, apalagi jika
kendaraan tersebut tidak memakai headrest.
3. Tabrakan dari samping (lateral)
Tabrakan dari samping yang sering terjadi di perempatan jalan yang tidak
ada rambu lalu-lintasnya. Cedera yang bisa terjadi di bagian samping yang
tertabrak kendaraan, yaitu bisa dari kepala hingga kaki tergantung jenis
kendaraan yang menabrak dan yang ditabrak.
4. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi atau
penumpangnya memakai sabuk pengaman jarang sekali mengalami cedera
yang serius, lain halnya dengan kendaraan yang terguling (roll over)
apalagi penumpangnya tidak memakai sabuk pengaman, bisa
mengakibatkan cedera di semua bagian tubuh (multi trauma).
Dalam menangani kasus seperti ini penolong harus berhati-hati karena
semua bagian bisa mengalami cedera baik yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan. Pada kejadian dengankendaraan terbalik yang harus
diwaspadai adalah cedera daerah tulang belakang dan cedera organ dalam.
Biomekanika trauma pada kecelakaan motor
Ada 3 cara yang sering terjadi pada saat kejadian kecelakaan :
1. Tabrakan frontal, pada kecelakaan ini pengemudi akan terbentur ke depan,
kedua tungkai akan mengenai stang kemudi yang dapat mengakibatkan
patah setelah itu pengemudi akan mengalami terjun bebas dengan cidera
yang tak bisa diramalkan.
2. Benturan dari samping, disini yang terbentur terlebih dahulu adalah kaki
setelah itu pengemudi akan terpental.
3. Sliding down the bike, pada saat akan terjadi benturan pengemudi dengan
sengaja (profesional) atau tidak sengaja menekan motornya ke bawah
BAB III
SIMPULAN
Seorang laki-laki berusia 25 tahun, masuk rumah sakit, mengalami trauma
berupa pukulan linggis pada pundak kiri dan dada sebelah kanan. Dari
pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15, nafas cepat dan dangkal, tidak ada suara
tambahan seperti gurgling atau snoring. Vital sign: RR 36x/mnt, nadi 120x/mnt,
TD 90/70 mmHg, suhu 370C.
Tidak adanya riwayat pingsan dan muntah berarti pasien tidak mengalami
trauma pada kepala yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial ataupun
trauma pada abdomen yang mengenai gaster pasien sehingga bisa menyebabkan
muntah.
Pada primary survey, airway bebas tidak ada obstruksi karena pasien
masih bisa bernapas bebas. Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan
RRnya 36x/mnt tetapi tidak ditemukan suara gurgling ataupun snoring yang
menandakan tidak ada timbunan cairan pada jalan napas. Jika airway tidak ada
masalah maka masalah breathing ini dipastikan karena ada gangguan dari paru
ataupun organ dalam. Pemeriksaan circulation dilakukan untuk menilai
sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup.
Dari pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorax dextra, akibat
trauma, maka jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti
dengan pergerakan dada kanan yang tertinggal. Kemudian berdasarkan perkusi
yang hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak
karena normal perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara dasar vesikuler
peumothorax akibat adanya jejas dada kanan akibat tebentur stang sepeda motor.
Tension pneumothorax menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya
adalah jejas mengenai pleura sehingga ada jalan udara masuk ke dalam cavum
pleura, menyebabkan parunya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup
banyak ini akan menggeser letak jantung dan trachea ke sisi yang kontralateral.
Kemudian dokter melakukan needle thoracocentesis untuk mengeluarkan
akumulasi udara dari cavum pleura.
Regio bahu kiri terdapat jejas, edema, deformitas, nyeri tekan dan
krepitasi. Tidak didapatkan perdarahan aktif. Kemungkinan terdapat fraktur
tertutup pada bahu kiri sehingga tindakan imobilisasi diperlukan untuk mencegah
pergerakan dan mengurangi nyeri pada bahu kiri. Penanganan lebih lanjut pada
regio dilakukan setelah dokter dapat mengatasi keadaan tension penumothorax
pasien.
Pemeriksaan disability didapatkan GCS 15 yang menunjukkan kondisi
kesadaran pasien tidak terganggu dan menyingkirkan kecurigaan adanya trauma
pada kepala. Pada pemeriksaan environment/exposure semua pakaian pasien
dibuka agar dapat dinilai kelainan yang mungkin terlewat pada saat inspeksi
keadaan umum pasien pertama kali. Dinilai adanya kelainan yang sifatnya life
threatening. Pada adjunct primary survey dilakukan pemeriksaan foto rontgen
Cervikal lateral untuk menyingkirkan kecurigaan cidera cervical, Thorax AP
untuk mengetahui ada atau tidak trauma tulang belakang, dan keadaan cavum
thorax. Pemeriksaan radiologi ini dapat dilakukan setelah keadaan emergency
teratasi.
Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu
pemeriksaan yang dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya
kelainan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika airway, breathing, dan circulation
pasien sudah stabil. Penatalaksanaan awal pasien di ruang resusitasi pada
umumnya sesuai dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu mulai dari
tahapan primary survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah tension
pneumothorax dan fraktur pada regio bahu. Setelah tindakan resusitasi dilakukan
maka masuk tahapan secondary survey guna menentukan diagnosis pasti dengan
melakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh diikuti dengan pemeriksaan
laboratorium dan radiologis yang memerlukan informed consent dari pasien atau
keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah secondary survey
dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas darah. Analisis gas darah diperlukan
untuk menetukan apakah pasien dengan trauma thoraxs harus dilakukan intubasi
atau tidak.
BAB IV
SARAN
Secara umum diskusi tutorial skenario 1 Blok Traumatologi berjalan
dengan baik dan lancar. Semua anggota sudah berpartisipasi aktif dengan
mengungkapkan pendapat masing-masing mengenai skenario yang dibahas,
walaupun ada yang lebih aktif maupun yang kurang aktif. Namun masih ada
beberapa hal yang perlu diperbaiki agar dalam diskusi tutorial selanjutnya dapat
dilaksanakan diskusi tutorial yang ideal. Berdasarkan diskusi kelompok kami pada
skenario ini, kami kurang aktif dalam mengkritisi setiap pendapat yang
dikemukakan, sehingga diskusi kurang tajam.
Saran untuk tutorial berikutnya agar kami dapat menggunakan waktu
secara efisien agar waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya sehingga materi diskusi dapat dipahami dengan baik dan
tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Adanya tutor yang memahami skenario dengan baik dapat mengarahkan
jalannya
tutorial
sehingga
dapat
menemukan
serta
memahami
tujuan
DAFTAR PUSTAKA