Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI SKENARIO 1


SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG

KELOMPOK A-4
AJENG APSARI UTAMI

G0013013

CLARISSA ADELIA GUNAWAN

G0013067

I WAYAN RENDI AWENDIKA

G0013115

IVANDER KENT KURNIAWAN

G0013123

LISANA SHIDQI

G0013137

NADIA IZZATI S

G0013165

NAURA DHIA FADYLA

G0013173

NURUL FADILAH

G0013183

RIVAN FAETHEDA

G0013203

SAFIRAH NURULLITA

G0013209

ULFA PUSPITA RACHMA

G0013227

YUSAK ADITYA SETYAWAN

G0013241

TUTOR : Briandani Subariyanti, dr.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 1
SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG
Datang ke IGD seorang laki-laki 25 tahun dengan diantar oleh tetangganya
dengan keluhan sesak nafas yang semakin lama semakin bertambah dan nyeri di
pundak kiri dan dada kanannya. Dari pengakuannya, pasien tersebut dipukul
dengan linggis saat cekcok dengan tetangganya di pundak kiri dan dada kanannya.
Dari hasil primary dan secondary survey, kesadaran GCS E4V5M6.
Nafas cepat dan dangkal, tidak didapatkan gurgling dan snoring. Tanda vital :
nadi 120x/menit, TD 90/70 mmHg, suhu 37,0oC dan RR 36x/menit.
Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan
tertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menurun, emfisema
subkutis (+).
Regio bahu kiri terdapat jejas (+), perdarahan aktif (-), edema (+),
deformitas (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+). Dokter melakukan
pemeriksaan klinis, penanganan kegawatdaruratan dan imobilisasi disertai
permintaan informed consent.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah 1 : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa
istilah dalam skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
1. Gurgling: Suara yang menyerupai gelembung udara yang keluar dari air
2. Snoring : Suara seperti mendengkur yang disebabkan oleh menutupnya
jalan nafas karena lidah yang menempel ke pallatum (Sjamsuhidajat dan
Jong, 1995)
3. Primary Survey: Penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk
identifikasi secara cepat dan sistematis serta untuk mengambil tindakan
dari permasalahan yang mengancam jiwa pasien. Dilakukan dalam waktu
2-5 menit.
4. Secondary Survey: Penilaian lanjutan secara holistik yang dilakukan
setelah pasien stabil untuk melihat jejas dan kelainan yang ada pada pasien
5. Emfisema Subkutis: Adanya udara yang masuk ke jaringan subkutis yang
disebabkan oleh tingginya tekanan udara di dalam dinding dada.
6. Jejas: Terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai
akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat
untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat
trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt,2003; Mann ,2001).

B. Langkah 2 : Menetapkan/mendefinisikan permasalahan


1. Mengapa sesak nafas yang dialami pasien semakin lama semakin bertambah?
2. Adakah hubungan sesak nafas dengan dipukul pada pundak kiri dan dada
kanan? Bagaimana mekanisme hubungannya?
3. Bagaimanakah prosedur melakukan :

a. Primary survey,
b. Secondary survey?
4. Bagaimana interpretasi pada :
a. GCS,
b. Vital sign,
c. Pemeriksaan fisik pada regio thorax dan
d. Pemeriksaan fisik pada regio bahu?
5. Apa saja kriteria pasien emergency?
6. Apa :
a. Pemeriksaan klinis dan penunjang yang perlu dilakukan untuk pasien pada
kasus skenario?
b. Apa tujuan dari dilakukan imobilisasi pada pasien?
c. Bagaimana cara melakukan informed consent pada kasus skenario?
7. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus-kasus kegawatdaruratan?
8. Apa saja jenis trauma dan fraktur?
9. Apa saja :
a. Differential diagnosis,
b. Diagnosis,
c. Tata laksana,
d. Komplikasi,
e. Edukasi dan
f. Prognosis pada kasus skenario?
10. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan pada kasus skenario?
11. Bagaimana mekanisme trauma pada skenario tersebut?

C. Langkah 3 : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan


sementara mengenai permasalahan (Brainstorming)
2. Adakah hubungan sesak nafas dengan dipukul pada pundak kiri dan
dada kanan? Bagaimana mekanisme hubungannya?
Trauma benda tumpul pada thorax baik dalam bentuk kompresi maupun

ruda paksa (deselerasi atau akselerasi) biasanya menyebabkan memar atau


jejas trauma pada bagian yang terkena trauma.
Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio
otot jantung atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan
perubahan tamponade pada jantung, atau kesulitan bernapas jika kontusio
terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai dinding thorax juga
seringkali menyebabkan fraktur baik tertutup maupun terbuka. Kondisi
fraktur tulang iga dapat menyebabkan Flail Chest, yaitu segmen dada tidak
lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada karena
fraktur pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya segmen iga yang mengambang menyebabkan gangguan pergerakan
dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai
dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang
serius.
Trauma thorax dengan benda tajam seringkali berdampak lebih buruk
daripada yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Benda tajam dapat langsung
menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek pembuluh darah
intercosta, dan menembus organ yang berada pada posisi tusukannya.
Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada rongga dada atau hemothorax,
dan jika berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan tekanan di
dalam rongga thorax maupun rongga pleura jika tertembus. Akibatnya akan
muncul dalam waktu relatif singkat seperti Pneumothorax, penurunan
ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan gagal
jantung.

Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif.


Tekanan negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic

recoil) dan dinding dada yang cenderung mengembang.Adanya riwayat


trauma pada pasien, terutama di regio thorax dan bahu dapat menimbulkan
kerusakan pada jaringan maupun organ yang berada di regio tersebut. Trauma
tumpul yang terjadi pada pasien, dapat menimbulkan pneumothoraks
traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang terjadi karena bekas
kecelakaan, misalnya bekas pada dinding dada, barotrauma.
Setelah terjadi trauma pada regio dada akan menyebabkan terjadi
hubungan antara alveoli atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas,
bulla) dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir
dari alveoli ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau
hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme di atas, maka bila ada
hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding dada;
udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang
atau hubungan menutup.
Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil
yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan
pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan
inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari
alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan
ikat yang berada di bawah pleura viseralis.
3. Bagaimanakah prosedur melakukan :
c. Primary survey,
1) Airway
Penilaian pertama yang harus dilakukan adalah kelancaran jalan
nafas, meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula
atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan
jalan nafas ini dapat dilakukan dengan head tilt, chin lift dan jaw
thrush. Dalam membebaskan jalan nafas, vertebra servikal harus
dilindungi (tidak boleh melakukan head tilt pada cedera servikal).

Apabila terdapat cedera multiple atau perlukaan diatas clavicula,


dianggap memiliki cedera servikal.
2) Breathing
Penilaian breathing dapat dilakukan dengan cara look (melihat
ekspansi dinding dada penderita), listen (mendengarkan suara nafaas
penderita), feel (merasakan hembusan nafas dari hidung penderita).
Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing
diantaranya adalah:
i.
Tension pneumotoraks
ii.
Pneumotoraks terbuka
iii.
Frail chest
iv.
Hemitoraks masif
3) Circulation
Penilaian circulation dapat dilakukan dengan menilai denyut
nadi, tekanan darah, dan menilai saturasi melalui kulit. Penderita
yang dicurigai terkena cedera toraks terutama yang daerah sternum
harus dicurigai ada cedera miokard apabila terdapat disritmia. Untuk
monitoring

jantung,

maka

penderita

sebaiknya

dipasng

Elektrokardiografi (EKG) dan Pulse Oximeter.


Cedera toraks yyang mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan
i.
ii.

pad aprimary suevey adalah:


Hemitoraks masif
Tamponade jantung
4) Disability (neurogenic evaluation)
Evaluasi neurogenis dilakukan secara cepat, yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi ppupil, tanda lateralisasi dan
tingkat (cedera spinal). Untu penilaian tingka kesadaran dapat
digunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
5) Exposure
Kontrol lingkungan disesuaikan dengan kondisi lingkungan agar
suhu prnderita stabil. Kontrol lingkungan dapat dilakukan dengan
cara melonggarkan pakaian, dipakaikan selimut hangat.

d. Secondary survey?
Secondary survey
1. Anamnesis

S : Symptoms atau gejala


A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi (obat yang sedang dimimun saat ini)
P : Past illness
L : Last meal
E : Event atau environtment
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen,
pelvis, medulla spinalis, kolumna vertebralis, ekstremitas
5. Apa saja kriteria pasien emergency?
Kondisi darurat adalah kondisi yang apabila tidak segera diberi
pertolongan, bisa mengakibatkan kecacatan, keparahan bahkan kematian.
Kriteria Gawat Darurat Bagian Anak/Pediatri
1. Anemia sedang/berat
2. Apnea/gasping
3. Bayi/anak dengan ikterus
4. Bayi kecil/prematur
5. Cardiac arrest / payah jantung (mungkin maksudnya henti jantung)
6. Cyanotic Spell (tanda penyakit jantung)
7. Diare profus (lebih banyak dari 10x sehari BAB cair) baik dengan
dehidrasi maupun tidak
8. Difteri
9. Murmur/bising jantung, Aritmia

10. Edema/bengkak seluruh badan


11. Epitaksis (mimisan), dengan tanda perdarahan lain disertai dengan
demam/febris
12. Gagal ginjal akut
13. Gangguan kesadaran dengan fungsi vital yang masih baik
14. Hematuria
15. Hipertensi berat
16. Hipotensi atau syok ringan hingga sedang
17. Intoksikasi atau keracunan (misal: minyak tanah, atau obat serangga)
dengan keadaan umum masih baik
18. Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital
19. Kejang dengan penurunan kesadaran
20. Muntah profus (lebih banyak dari 6x dalam satu hari) baik dengan
dehidrasi maupun tidak
21. Panas/demam tinggi yang sudah di atas 40C
22. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis dengan retraksi hebat
dinding dada/otot-otot pernapasan
23. Sesak tapi dengan kesadaran dan kondisi umum yang baik
24. Syok berat, dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur,
termasuk di dalamnya sindrom rejatan dengue
25. Tetanus

26. Tidak BAK/kencing lebih dari 8 jam


27. Tifus abdominalis dengan komplikasi
Kriteria Gawat Darurat Bagian Bedah
1. Abses serebri
2. Abses submandibula
3. Amputasi penis
4. Anuria
5. Appendiksitis akut
6. Atresia Ani
7. BPH dengan retensi urin
8. Cedera kepala berat
9. Cedera kepala sedang
10. Cedera vertebra/tulang belakang
11. Cedera wajah dengan gangguan jalan napas
12. Cedera wajah tanpa gangguan jalan napas namun termasuk: {a} patah
tulang hidung terbuka/tertutup; {b} Patah tulang pipi (os zygoma) terbuka
dan tertutup; {c} patah tulang rahang (os maksila dan mandibula) terbuka
dan tertutup; {d} luka terbuka di wajah
13. Selulitis
14. Kolesistitis akut

15. Korpus alienum pada: {a] intra kranial; {b} leher; {c} dada/toraks; {d}
abdomen; {e} anggota gerak; {e} genital
16. Cardiovascular accident tipe perdarahan
17. Dislokasi persendian
18. Tenggelam (drowning)
19. Flail chest
20. Fraktur kranium (patah tulang kepala/tengkorak)
21. Gastroskisis
22. Gigitan hewan/manusia
23. Hanging (terjerat leher?)
24. Hematotoraks dan pneumotoraks
25. Hematuria
26. Hemoroid tingkat IV (dengan tanda strangulasi)
27. Hernia inkarserata
28. Hidrosefalus dengan peningkatan tekanan intrakranial
29. Penyakit Hirschprung
30. Ileus Obstruksi
31. Perdaraha Internal
32. Luka Bakar

33. Luka terbuka daerah abdomen/perut


34. Luka terbuka daerah kepala
35. Luka terbuka daerah toraks/dada
36. Meningokel/myelokel pecah
37. Trauma jamak (multiple trauma)
38. Omfalokel pecah
39. Pankreatitis akut
40. Patah tulang dengan dugaan cedera pembuluh darah
41. Patah tulang iga jamak
42. Patah tulang leher
43. Patah tulang terbuka
44. Patah tulang tertutup
45. Infiltrat periapendikuler
46. Peritonitis generalisata
47. Phlegmon pada dasar mulut
48. Priapismus
49. Perdarahan raktal
50. Ruptur tendon dan otot
51. Strangulasi penis

52. Tension pneumotoraks


53. Tetanus generalisata
54. Torsio testis
55. Fistula trakeoesofagus
56. Trauma tajam dan tumpul di daerah leher
57. Trauma tumpul abdomen
58. Traumatik amputasi
59. Tumor otak dengan penurunan kesadaran
60. Unstable pelvis
61. Urosepsi
Kriteria Gawat Darurat Bagian Kardiovaskuler (Jantung & Pembuluh
Darah)
1. Aritmia
2. Aritmia dan rejatan/syok
3. Korpulmonale dekompensata akut
4. Edema paru akut
5. Henti jantung
6. Hipertensi berat dengan komplikasi (misal: enselofati hipertensi, CVA)
7. Infark Miokard dengan kompikasi (misal: syok)
8. Kelainan jantung bawaan dengan gangguan ABC

9. Krisis hipertensi
10. Miokardititis dengan syok
11. Nyeri dada (angina pektoris)
12. Sesak napas karena payah jantung
13. Pingsan yang dilatari oleh penyakit/kelainan jantung
Kriteria Gawat Darurat Bagian Obstetri Ginekologi (Kebidanan &
Kandungan)
1. Abortus
2. Distosia
3. Eklampsia
4. Kehamilan ektopik terganggu (KET)
5. Perdarahan antepartum
6. Perdaragan postpartum
7. Inversio uteri
8. Febris puerperalis
9. Hiperemesis gravidarum dengan dehidrasi
10. Persalinan kehamilan risiko tinggi daa/atau persalinan dengan penyulit

Kriteria Gawat Darurat Bagian Mata

1. Benda asing di kornea mata/kelopak mata


2. Blenorrhoe/ Gonoblenorrhoe
3. Dakriosistisis akut
4. Endoftalmitis/panoftalmitis
5. Glaukoma akut dan sekunder
6. Penurunan tajam penglihatan mendadak (misal: ablasio retina, CRAO,
perdarahan vitreous)
7. Selulitis orbita
8. Semua kelainan kornea mata (misal: erosi, ulkus/abses, descematolisis)
9. Semua trauma mata (misal: trauma tumpul, trauma fotoelektrik/radiasi,
trauma tajam/tembus)
10. Trombosis sinus kavernosus
11. Tumor orbita dengan perdarahan
12. Uveitis/skleritis/iritasi
Kriteria Gawat Darurat Bagian Paru
1. Asma bronkiale sedang parah
2. Aspirasi pneumonia
3. Emboli paru
4. Gagal napas

5. Cedera paru (lung injury)


6. Hemoptisis dalam jumlah banyak (massive)
7. Hemoptoe berulang
8. Efusi plura dalam jumlah banyak (massive)
9. Edema paru non kardiogenik
10. Pneumotoraks tertutup/terbuka
11. Penyakit Paru Obstruktif Menahun dengan eksaserbasi akut
12. Pneumonia sepsis
13. Pneumotorak ventil
14. Status asmatikus
15. Tenggelam
Kriteria Gawat Darurat Bidang Penyakit Dalam
1. Demam berdarah dengue (DBD)
2. Demam tifoid
3. Difteri
4. Disekuilibrium pasca hemodialisa
5. Gagal ginjal akut
6. GEA dan dehidrasi
7. Hematemesis melena

8. Hematochezia
9. Hipertensi maligna
10. Keracunan makanan
11. Keracunan obat
12. Koma metabolik
13. Leptospirosis
14. Malaria
15. Observasi rejatan/syok
Kriterita Gawat Darurat Bidang THT
1. Abses di bidang THT-KL
2. Benda asing di laring, trakea, bronkus dan/atau benda asing tenggorokan
3. Benda asing di telinga dan hidung
4. Disfagia
5. Obstruksi jalan napas atas grade II/III Jackson
6. Obstruksi jalan napas atas grade IV Jackson
7. Otalgia akut
8. Parese fasialis akut
9. Perdarahan di bidang THT
10. Syok karena kelainan di bidang THT

11. Trauma akut di bidang THT-KL


12. Tuli mendadak
13. Vertigo (berat)
Kriteria Gawat Darurat Bidang Syaraf
1. Kejang
2. Stroke
3. Meningoensefaliti
Triage adalah suatu sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan
tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien (DepKes RI, 2005). Sistem
triage merupakan salah satu penerapan sistem manajemen risiko di unit gawat
darurat sehingga pasien yang datang mendapatkan penanganan dengan cepat dan
tepat sesuai kebutuhannya dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia.
Triage juga membantu mengatur pelayanan sesuai dengan alur pasien di unit
gawat darurat. Tujuan dilakukan Triage adalah menangani korban/pasien dengan
cepat, cermat dan tepat sesuai dengan sumber daya yang ada.
Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam Rumah
Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan oleh perawat
atau dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage lapangan, harusnya
seorang first responder (yang pertama kali menangani bencana) menguasai triage.
Tingkat Prioritas Dalam Triage :
a) Prioritas I : warna merah untuk kondisi gawat darurat dan biru untuk
kondisi

gawat

darurat

dan

membutuhkan

resusitasi

(sangat

berat/mengancam jiwa). Penanganan dan pemindahan yang bersifat segera


yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka

terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III >
25%
b) Prioritas II : warna Kuning untuk kondisi gawat tetapi tidak darurat.
Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan
III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
c) Prioritas II : warna Hijau (ringan). Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka ringan.
d) Prioritas 0 : warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka
sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.
Penilaian dalam Triage :
1. Primary survey (Airway, Breathing, dan Circulation) untuk menghasilkan
prioritas I dan seterusnya
2. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0
dan selanjutnya
3. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan
pada A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.
4. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban

Metode yang biasa dipakai yaitu START (Simple Triage and Rapid
Treatment). Sistem ini dilakukan oleh penolong dalam 60 detik atau kurang
untuk tiap korban, dan mencakup pemeriksaan Respirasi, Sirkulasi, dan Status
Mental.

7. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus-kasus kegawatdaruratan?


Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan
Gawat Darurat
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan
Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah
tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di
mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan. 10 Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak
setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya

pasal

mengatur

bahwa

Pemerintah

bertugas

menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh


masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6

Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin
rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk
meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase
pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan
kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan
dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase prarumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat
Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang
berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat
darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan
memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan
yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan

bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu


kedokteran

dan

ilmu

keperawatan

hanya

dapat

dilakukan

oleh

tenagakesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.


Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan
seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan
pengobatan/perawatan,

sehingga

akibat

yang

dapat

merugikan

atau

membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan


medis yang mengandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan
medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang
merumuskan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pengaturan di atas
menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada
dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai
tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat.
Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang
bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat
darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan
pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih
maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal
kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan
seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu
dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat
disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang
kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil
yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat
dan yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka
tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah

sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan


keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan
perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut
terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak
yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat
darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama
doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada
harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam
bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya,
maka doktrin tersebut tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan
yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya
melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan
penolong.

D. Langkah 4 : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3

E. Langkah 5: Merumuskan tujuan pembelajaran


1. Mengapa sesak semakin bertambah ?
2. Bagaimana interpretasi :
a. GCS
b. Vital Sign
c. Pemeriksaan thoraks
d. Pemeriksaan bahu
3. a. Pemeriksaan klinis dan penunjang apakah yang dibutuhkan ?
b. Imobilisasi apa yang akan dilakukan ? Apa tujuannya ?
4. Apa saja jenis trauma dan fraktur ?
5. Apa :
a. Diagnosis banding
b. Diagnosis kerja
c. Tata laksana
d. Edukasi
e. Prognosis
6. Bagaimana penanganan kegawatdaruratan pada skenario ?
7. Bagaimana mekanisme trauma pada skenario ?

F. Langkah 6: Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)


Dalam langkah keenam ini kami mencari informasi terkait permasalahan
yang belum terjawab dengan cara belajar mandiri dalam selang waktu antara
tutorial sesi pertama dan kedua. Adapun informasi yang kami cari dari berbagai
sumber seperti jurnal, buku dan e-book kedokteran serta literatur ilmiah yang
terpercaya.

G. Langkah 7 : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi


baru yang diperoleh
1. Jenis-jenis fraktur:
a. Fraktur

Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan

tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:


1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
a) Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
b) Derajat II

Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,

dislokasi fragmen jelas.


c) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
-

sekitar.
Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi

2 yaitu:
1) Patah tulang lengkap (Complete fracture)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fracture )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah
satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering

disebut green stick. Menurut Price dan Wilson (2005) kekuatan dan
sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
- Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.
3) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
5) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
-

atau traksi otot pada insersinya pada tulang.


Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3

antara lain:
1) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
b. Trauma
Pembagian jenis trauma berdasarkan jenis benda yang menyebabkan
kelainan :
1) Jenis luka akibat benda tumpul
a) Luka lecet (abrasi)
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh hanya
terbatas pada lapisan kulit epidermis
b) Luka memar (kontusio)

Memar terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang


singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh
darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan
bawah kulit atau organ di bawahnya
c) Luka robek (laceration)
Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing
tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan
bawah kulit
2) Jenis luka akibat benda runcing
a) Luka tusuk
Luka tusuk disebabkan oleh benda tajam dengan posisi
menusuk atau korban yang terjatuh di atas benda tajam
b) Luka sayat
Luka sayat ialah luka karena alat yang tepinya tajam dan
timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan kekuatan
relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit
c) Luka bacok
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan
mata tajam atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan
disertai tenaga yang cukup besar
2. Interpretasi hasil pemeriksaan :
Interpretasi pemeriksaan fisik
1. Penilaian GCS
1 Eye :
-

saat dokter mendatangi pasien,pasien spontan membuka


mata dan memandang dokter : skor 4.

pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau


diperintahkan untuk membuka mata oleh dokter : skor 3.

pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.


-

pasien tidak membuka mata dengan pemberian rangsang


apapun: skor 1

2 Verbal :
-

pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab


pertanyaan dokter dengan benar (pasien menyadari bahwa ia
ada di rumah sakit,menyebutkan namanya,alamatnya,dll) :
skor 5.

pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung,pasien


tidak tahu

secara pasti apa yang telah terjadi pada

dirinya,dan memberikan jawaban yang salah saat ditanya


oleh dokter : skor 4.
-

Pasien hanya bisa mengucapkan kata,tapi

tidak

bisa

menyelesaikan seluruh kalimat,dan tidak bisa menjawab


seluruh pertanyaan dari dokter : skor 3.
-

pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali,dan


hanya mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata
(bergumam) : skor 2.

pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri (cubitan):


skor 1

3 Motoric :
-

pasien

dapat

mengikuti

perintah

dokter,misalkan

Tunjukkan pada saya 2 jari! : skor 6.


-

pasien tidak dapat menuruti perintah,tapi saat diberi


rangsang nyeri (penekanan ujung jari/penekanan strenum
dengan jari-jari tangan terkepal) pasien dapat melokalisir
nyeri : skor 5.

pasien berusaha menolak rangsang nyeri/withdrawal : skor 4.


-

saat

diberi

rangsang

nyeri,kedua

tangan

pasien

menggenggam dan fleksi di kedua sisi tubuh (posisi


dekortikasi) : skor 3.
-

saat diberi rangsang nyeri,pasien mengekstensikan kedua


tangannya secara lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi
deserebrasi) : skor 2.

pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang nyeri : skor


1

Interpretasi GCS:
Skor 14-15: compos mentis
Skor 12-13: apatis
Skor 11-12: somnolent
Skor 8-10 : stupor
Skor <5: koma
Pada pasien didapatkan GCS 15, berarti pasien compos mentis atau sadar penuh.
Penilaian Tanda Vital
Nadi 120 kali per menit: nadi cepat, normal: 60-100 kali per menit
Tekanan darah 90/70 mmHg: rendah, nadi yang cepat dan tekanan darah rendah
merupakan ciri-ciri syok.
Suhu 37,00C: normal (36,50C-37,50C)
RR 36 kali per menit: nafas cepat dan dangkal

Pemeriksaan hemithorax kanan


Dari pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorax dextra, akibat trauma, maka
jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti dengan
pergerakan dada kanan yang tertinggal. Kemudian berdasarkan perkusi yang
hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak pada
cavum pleura karena normal perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara
dasar vesikuler menurun akibat adanya udara yang terdapat pada cavum pleura
meredam suara vesikuler. Emfisema subkutan terjadi karena udara dari luar yang
masuk karena trauma akan mengisi subkutan, atau dari paru-paru menembus
pleura visceralis dan parietalis masuk ke subkutis. Suara dasar vesikuler yang
menurun merupakan tanda dari banyaknya udara dapat mengarah ke
penumothorax / PPOK. Namun suara dasar veikuler yang sama sekali menghilang
juga dapat menandakan adanya udara yang berlebih pada pneumothorax dan
adanya darah pada hemothorax.
Pemeriksaan regio bahu kiri
Didapatkan jejas (+), perdarahan aktif (-), oedem (+), deformitas (+), nyeri tekan
(+) dan krepitasi (+). Kemungkinan terdapat fraktur tertutup pada bahu kiri
sehingga tindakan imobilisasi diperlukan untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi nyeri pada bahu kiri. Penanganan lebih lanjut pada regio dilakukan
setelah dokter dapat mengatasi keadaan tension penumothorax pasien.
3A. Pemeriksaan klinis dan penunjang yang perlu dilakukan untuk pasien
pada kasus skenario
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien
fraktur antara lain:
a. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
b. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma

multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
B. Imobilisasi yang dilakukan
Kemungkinan fraktur pada penderita skenario ini terdapat pada daerah klavikula,
sehingga imobilisasi kemungkian yang dilakukan adalah ransel verbal.
Cara:
i. Bagian patah diberi alas dahulu
ii. pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan
iii. dari ketiak kanan ke depan dan ata spundak kanan, dan dari pundak kanan
disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan, akhirnya diberi peniti atau
diikat.
4. Ddx, Dx, tata laksana, komplikasi, edukasi, dan prognosis penyakit pada
skenario
a. TENSION PNEUMOTHORAX
Merupakan suatu pneumothotax yang progresif dan cepat sehingga
membayakan jiwa pasien dalam waktu yang singkat. Udara yang keluar
dari paru atau melalui dinding dada masuk ke rongga pleura dan tidak
dapat ke luar lagi (one-way-valve), maka tekanan di intrapleura akan
meninggi , paru-paru menjadi kolap
Penyebab :
1) Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
2) Komplikasi dari penumotorak sederhana
3) Fraktur tulang berlakang toraks

Tanda:
1)

Nyeri dada

2)

Sesak

3)

Distres pernafasan

4)

Takikardi

5)

Hypotensi,

6)

Defiasi trahea

7)

Hilangnnya suara nafas pada suatu sisi

8)

Distensi vena leher

9)

Sianosis

Tindakan :
1) Berikan oksigen 15 liter
2) Lakukan

dekompresi

dengan

insersi

jarum

(Needle

thoracocentesis)
3) Pemasangan chest tube untuk :
a) Perjalanan jauh ke RS.
b) Perjalanan menggunakan pesawat udara

b. PNEUMOTHORAX TERBUKA
Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung antar ruang
pleura dan lingkungan sehingga tekanan di dalam rongga pleura akan
segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir, akibat kondisi itu
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnea
Tanda :
1) Respirasi distres
2) Sianosis
3) Tampak adanya kerusakan pada dinding dada

4) Penurunan dari suara pernafasan dan gerakan


5) Adanya peningkatan suara
Tindakan :
1) Pasang penutup luka dengan kasa steril (plastic wrap/petrolatum
gauze) yang diplester pada 3 sisi. Hati-hati akan menjadi tension
pneumothorax
2) Pasang selang dada yang berjauhan dengan luka

c. FLAIL CHEST
Trauma hancur pada sternum atau truama multiple pada dua atau lebih
tulang iga dengan dua tau lebih garis fractur, sehingga menyebabkan
gangguan pergerakan pada dinding dada, dimana segmen dinding dada
tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada,
mengakibatkan pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas
mengakibatkan terjadi hipoksia yang serius.
Tanda :
1) Palpasi

akan

membantu

menemukan

diagnosa

dengan

ditemukannya kripitasi iga atau frictur tulang rawan.


2) Foto toraks akan lebih jelas adanya fractur yang multiple
3) Pemeriksaan analisa gas darah, dapt ditemukan adanya hipoksia
akibat kegagalan pernafasan
4) Pada perkusi adanya suara yang tertinggal
Tindakan :
1) Pemberian ventilasi yang adekuat dengan oksigen 15 liter/menit
yang dilembabkan
2) Lakukan intubasi Bila diperlukan untuk mencegah terjadinya
hipoksia dengan memperhatikan frekuensi pernafasan dan PaO2
3) Resusitasi cairan, hati-hati kelebihan cairan

4) Pemberian analgetik

d. HEMOTORAKS MASIF
Pengumpulan darah dalam ruang antara pleura viseral dan perietal
yang cepat dan banyak.
Tanda :
1) Respirasi distres
2) Penurunan pernafasan dan gerakan
3) Pada perkusi adanay suara teringgal
4) Adanya tanda syok hipovolemik
Tindakan :
1) Berikan oksigen 15 liter/mt.
2) Pasang IV line dengan dua line dengan canule besar dan berikan
caiarn untuk suport sirkulasi
3) Pasang chest drain untuk untuk menurunkan respirasi distres yang
berkelalanjutan
4) Jangan gunakan PASG
5) Hipovolemik dapat memperburuk kondisi
6) Segera kirim ke RS. Untuk tindakan lebih lanjut

5. Penanganan kegawatdaruratan pada kasus skenario


Tatalaksana pneumothoraks
Tindakan pengobatan tergantung dari luasnya pneumotoraks. Tujuan dari
penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan udara dari cavum pleura dan
menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Prinsip-prinsip penanganan
pneumotoraks adalah;
Observasi dan pemberian tambahan oksigen. Tindakan ini dilakukan
apabila luas pneumotoraks <15% dari hemitoraks. Apabila fistula dari alveoli ke

cavum pleura telah menutup, udara dalam cavum pleura perlahan-lahan akan
diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks setiap
hari. Laju resorbsi akan meningkat dengan pemberian oksigen. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2
hari.
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis. Tindakan ini dilakukan sedini mungkin pada
pasien pneumotoraks yang luasnya >15% . Tindakan ini bertujuan mengeluarkan
udara dari cavum pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan
dengan cara menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk ke cavum
pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. Dapat
pula dilakukan dengan membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran
kontra ventil, yaitu dengan jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai
masuk ke cavum pleura, kemudian ujung pipa plastik di pangkal saringan tetesan
dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka
akan timbul gelembung-gelembung udara di dalam botol.
Jarum abbocath no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan ke pipa infuse set, selanjutnya dikerjakan seperti diatas
Water-sealed Drainage: pipa khusus (kateter urine) yang steril yang
dimasukkan ke cavum pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit.
Sebelum trokar dimasukkan ke cavum pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi
kulit pada spatium intercostale VI pada linea axillaris media. Insisi kulit juga bisa
dilakukan di spatium intercostale II pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan
insisi kulit, daerah tersebut harus diberikan cairan desinfektan dan dilakukan
injeksi anestesi lokal dengan xylocain atau procaine 2% dan kemudian ditutup
dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk ke cavum pleura, pipa khusus
(kateter urine ) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trokar dicabut
sehingga hanya pipa khusus tersebut yang masih tertinggal di cavum pleura.
Pemasukkan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila lubang insisi kulit di
spatium intercostale VI dan diarahkan ke bawah apabila lubang insisinya di
spatium intercostale II. Pipa khusus atau kateter tersebut kemudian dihubungkan

dengan pipa yang lebih panjang dan terakhir dengan pipa kaca ke dalam air
sebaiknya 2cm dari permukaan air, supaya gelembung udara mudah keluar.
Apabila tekanan cavum pleura masih tetap positif, perlu dilakukan penghisapan
udara secara aktif (continous suction) dengan memberikan tekanan -10cm sampai
20cm H2O supaya paru cepat mengembang. Apabila paru sudah mengembang
penuh dan tekanan cavum pleura sudah negatif, maka sebelum dicabut dilakukan
uji coba dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam. Tindakan selanjutnya
adalah melakukan evaluasi dengan foto dada, apakah paru mengembang dan tidak
mengempis lagi atau tekanan cavum pleura menjadi positif lagi. Bila paru sudah
mengembang, pencabutan WSD dapat dilakukan pada saat pasien ekspirasi
maksimal.
7. Mekanisme trauma
Trauma terjadi akibat adanya perpindahan energi ke jaringan. Apabila
jaringan tidak dapat mentoleransi energi yang diterima, timbul kerusakan pada
jaringan tersebut. pada prinsipnya energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan, namun dapat berubah bentuk.
Dalam kasus pada skenario, penderita terlibat cekcok dengan tetangga,
kemungkinan penderita dalam posisi cenderung statis (tidak bergerak dengan
kecepatan tertentu). Ketika linggis diayunkan maka linggis mempunyai energi
sebesar separuh masa dikali kuadrat kecepatan. Enegri yang dimiliki linggis
tersebut berpindah ke penderita ketika mengahantam dada dan bahu penderita.
Ketika energi tersebut melebihi batas toleransi, maka timbul kerusakan jaringan
pada tubuh penderita (American College of Surgeon, 2004).

Biomekanika Trauma
1. Definisi
Biomekanika Trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian
cidera pada suatu jenis kekerasan atau kecelakaan. Biomekanika trauma
ini penting diketahui untuk membantu dalam menyelidiki akibat yang di
timbulkan trauma dan waspada terhadap perlukaan yang diakibatkan
trauma.

2. Tujuan :

Mengetahui mekanisme cedera


Menduga perlukaan yang ada
Waspada terhadap perlukaan tertentu
Dapat menyiapkan Tindakan yang akan dilakukan

3. Mekanisme cidera sendiri dibagi menjadi :


Cidera langsung, misal kepala dipukul menggunakan martil. kulit
kepala bisa robek, tulang kepala bisa retak atau patah, dapat
mengakibatkan perdarahan di otak.

Cidera perlambatan / deselerasi, misal pada kecelakaan motor


membentur pohon. setelah badan berhenti dipohon, maka organ dalam
akan tetap bergerak maju, jantung akan terlepas dari ikatannya(aorta)
sehingga dapat mengakibatkan ruptur aorta.

Cidera percepatan / akselerasi, misalnya bila pengendara mobil


ditabrak dari belakang. Misalnya pengendara mobil ditabrak dari
belakang. Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang
sedang berhenti atau kendaraan yang kecepatannya lebih lambat.
Cedera yang sering terjadi biasanya karena adanya daya pecut
(whiplash injuri) dan cedera yang harus diwaspadai adalah cedera
dibawah tulang leher, apalagi jika kendaraan tersebut tidak memakai
headrest.

Cidera kompresi / efek kantong kertas


Ibarat sebuah kantong kertas yang ditiup, kemudian ditutup kemudian
dipukul hingga meledak. Hal ini juga bisa terjadi pada organ berongga
yang dapat pecah akibat tekanan.

4. Klasifikasi biomekanika trauma


Biomekanika Trauma Tabrakan Mobil
Tabrakan mobil dapat terjadi dengan cara:
1. Tabrakan dari depan (frontal)
Pada suatu benturan dari depan (frontal) dengan penderita tanpa sabuk
pengaman akanterjadi benturan dengan beberapa fase:
Fase 1
Bagian bawah penderita bergeser ke depan, biasanya lutut terbentur
dashboard. Tulang paha akan menahan beban terlalu berat, akibatnya
tulang paha bisa patah jika tidak kuat manahan beban.
Sendi panggul terdorong ke belakang, jika tidak kuat menahan beban sendi
panggul bisa terlepas dari mangkuknya.

Fase 2
Bagian atas penderita turut bergeser ke depan , dada dan perut akan
menghantam setir mobil. Dalam keadaan ini kemungkinan yang cedera
adalah dada atau perut tergantung dari posisi setir (tergantung jenis mobil).
Jika mobil kecil kemungkinan mencederai dada, mobil besar kemungkinan
mencederai perut, atau bahkan mencederai dada dan perut sekaligus.
Dalam menangani kasus ini, penolong harus teliti dalam melakukan
pemeriksaan.

Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil. Dalam fase
ini yang perlu diwaspadai adalah cedera kepala atau leher penderita.
Fase 4

Penderita terpental kembali ke tempat duduk. Pada fase ini kemungkinan


terjadi cedera tulang belakang (dari tulang cervikal sampai tulang sakrum).
Pada jenis kendaraan yang tidak memakai sandaran kepala (head rest)
harus berhati-hati terhadap kemungkinan cedera pecut (whiplash injury)
pada tulang leher.

Sedangkan kemungkinan yang paling parah pada fase ini adalah penderita bisa
terpental ke luar kendaraan, sehingga cedera yang diakibatkan bisa lebih banyak
lagi (multi trauma) .
2. Tabrakan dari belakang
Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti
atau kendaraan yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering
terjadi biasanya karena adanya daya pecut (whiplash injuri) dan cedera
yang harus diwaspadai adalah cedera dibawah tulang leher, apalagi jika
kendaraan tersebut tidak memakai headrest.
3. Tabrakan dari samping (lateral)

Tabrakan dari samping yang sering terjadi di perempatan jalan yang tidak
ada rambu lalu-lintasnya. Cedera yang bisa terjadi di bagian samping yang
tertabrak kendaraan, yaitu bisa dari kepala hingga kaki tergantung jenis
kendaraan yang menabrak dan yang ditabrak.

4. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi atau
penumpangnya memakai sabuk pengaman jarang sekali mengalami cedera
yang serius, lain halnya dengan kendaraan yang terguling (roll over)
apalagi penumpangnya tidak memakai sabuk pengaman, bisa
mengakibatkan cedera di semua bagian tubuh (multi trauma).
Dalam menangani kasus seperti ini penolong harus berhati-hati karena
semua bagian bisa mengalami cedera baik yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan. Pada kejadian dengankendaraan terbalik yang harus
diwaspadai adalah cedera daerah tulang belakang dan cedera organ dalam.
Biomekanika trauma pada kecelakaan motor
Ada 3 cara yang sering terjadi pada saat kejadian kecelakaan :
1. Tabrakan frontal, pada kecelakaan ini pengemudi akan terbentur ke depan,
kedua tungkai akan mengenai stang kemudi yang dapat mengakibatkan
patah setelah itu pengemudi akan mengalami terjun bebas dengan cidera
yang tak bisa diramalkan.
2. Benturan dari samping, disini yang terbentur terlebih dahulu adalah kaki
setelah itu pengemudi akan terpental.
3. Sliding down the bike, pada saat akan terjadi benturan pengemudi dengan
sengaja (profesional) atau tidak sengaja menekan motornya ke bawah

sehingga motornya akan melesat dan pengemudinya di belakangnya. ini


menimbulkan cidera yang paling ringan, namun cidera terhadap jaringan
lunak bisa sangat berat apabila pengemudi tidak memakai jaket atau celana
tebal.
Biomekanika trauma Pejalan kaki ditabrak
1. Terkena tungkai
2. Terpental ke atas
3. Jatuh ke tanah

Biomekanika trauma pada dislokasi bahu


Pertama-tama terjadi abduksiekstensieksorotasi sehingga terjadi
dislokasi bahu
Biomekanika trauma fraktur colles
Karena jatuh dan tangan menyangga tubuh maka terjadi 2 gaya ,yaitu
wisting & kompresing sehingga menimbulkan fraktur 1/3 distal radius dan
ulna

BAB III
SIMPULAN
Seorang laki-laki berusia 25 tahun, masuk rumah sakit, mengalami trauma
berupa pukulan linggis pada pundak kiri dan dada sebelah kanan. Dari
pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15, nafas cepat dan dangkal, tidak ada suara
tambahan seperti gurgling atau snoring. Vital sign: RR 36x/mnt, nadi 120x/mnt,
TD 90/70 mmHg, suhu 370C.
Tidak adanya riwayat pingsan dan muntah berarti pasien tidak mengalami
trauma pada kepala yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial ataupun
trauma pada abdomen yang mengenai gaster pasien sehingga bisa menyebabkan
muntah.
Pada primary survey, airway bebas tidak ada obstruksi karena pasien
masih bisa bernapas bebas. Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan
RRnya 36x/mnt tetapi tidak ditemukan suara gurgling ataupun snoring yang
menandakan tidak ada timbunan cairan pada jalan napas. Jika airway tidak ada
masalah maka masalah breathing ini dipastikan karena ada gangguan dari paru
ataupun organ dalam. Pemeriksaan circulation dilakukan untuk menilai
sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup.
Dari pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorax dextra, akibat
trauma, maka jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti
dengan pergerakan dada kanan yang tertinggal. Kemudian berdasarkan perkusi

yang hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak
karena normal perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara dasar vesikuler
peumothorax akibat adanya jejas dada kanan akibat tebentur stang sepeda motor.
Tension pneumothorax menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya
adalah jejas mengenai pleura sehingga ada jalan udara masuk ke dalam cavum
pleura, menyebabkan parunya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup
banyak ini akan menggeser letak jantung dan trachea ke sisi yang kontralateral.
Kemudian dokter melakukan needle thoracocentesis untuk mengeluarkan
akumulasi udara dari cavum pleura.
Regio bahu kiri terdapat jejas, edema, deformitas, nyeri tekan dan
krepitasi. Tidak didapatkan perdarahan aktif. Kemungkinan terdapat fraktur
tertutup pada bahu kiri sehingga tindakan imobilisasi diperlukan untuk mencegah
pergerakan dan mengurangi nyeri pada bahu kiri. Penanganan lebih lanjut pada
regio dilakukan setelah dokter dapat mengatasi keadaan tension penumothorax
pasien.
Pemeriksaan disability didapatkan GCS 15 yang menunjukkan kondisi
kesadaran pasien tidak terganggu dan menyingkirkan kecurigaan adanya trauma
pada kepala. Pada pemeriksaan environment/exposure semua pakaian pasien
dibuka agar dapat dinilai kelainan yang mungkin terlewat pada saat inspeksi
keadaan umum pasien pertama kali. Dinilai adanya kelainan yang sifatnya life
threatening. Pada adjunct primary survey dilakukan pemeriksaan foto rontgen
Cervikal lateral untuk menyingkirkan kecurigaan cidera cervical, Thorax AP
untuk mengetahui ada atau tidak trauma tulang belakang, dan keadaan cavum
thorax. Pemeriksaan radiologi ini dapat dilakukan setelah keadaan emergency
teratasi.
Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu
pemeriksaan yang dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya
kelainan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika airway, breathing, dan circulation
pasien sudah stabil. Penatalaksanaan awal pasien di ruang resusitasi pada

umumnya sesuai dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu mulai dari
tahapan primary survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah tension
pneumothorax dan fraktur pada regio bahu. Setelah tindakan resusitasi dilakukan
maka masuk tahapan secondary survey guna menentukan diagnosis pasti dengan
melakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh diikuti dengan pemeriksaan
laboratorium dan radiologis yang memerlukan informed consent dari pasien atau
keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah secondary survey
dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas darah. Analisis gas darah diperlukan
untuk menetukan apakah pasien dengan trauma thoraxs harus dilakukan intubasi
atau tidak.

BAB IV
SARAN
Secara umum diskusi tutorial skenario 1 Blok Traumatologi berjalan
dengan baik dan lancar. Semua anggota sudah berpartisipasi aktif dengan
mengungkapkan pendapat masing-masing mengenai skenario yang dibahas,
walaupun ada yang lebih aktif maupun yang kurang aktif. Namun masih ada
beberapa hal yang perlu diperbaiki agar dalam diskusi tutorial selanjutnya dapat
dilaksanakan diskusi tutorial yang ideal. Berdasarkan diskusi kelompok kami pada
skenario ini, kami kurang aktif dalam mengkritisi setiap pendapat yang
dikemukakan, sehingga diskusi kurang tajam.
Saran untuk tutorial berikutnya agar kami dapat menggunakan waktu
secara efisien agar waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya sehingga materi diskusi dapat dipahami dengan baik dan
tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Adanya tutor yang memahami skenario dengan baik dapat mengarahkan
jalannya

tutorial

sehingga

dapat

pembelajaran pada diskusi kali ini.

menemukan

serta

memahami

tujuan

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced


Trauma Life Support Seventh Edition.Indonesia: Ikabi.
Dent, John A. 2008. Synopsis of Causation: Fractures Long Bones, Upper
Limb (includes hand). London: Ministry of defence.
Doenges E Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Gustilo, R.B., Merkow, R.L. and Templemen, D. (1990) Current concepts:
the management of open fractures. Journal of Bone and Joint Surgery 72A, 299304.
Hunt KT. Wound Healing. In: Doherty MG. Current Surgical Diagnosis
and Treatment. 12th Ed., McGraw-Hills, USA. 2003; p75-87
Mann A, Breuhahn K, Schirmacher P, Blessing M. Keratinocyte-Drived
GranulocyteMacrophage Colony Stimulating Factor Accelerates Wound Healing:
Stimulation of Keratinocyte Proliferation, Granulation Tissue Formation, and
Vascularization. J Invest Dermatol.2001; 117:1382-1390
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., dan Setiowulan, W. 2002.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
.Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai