Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA


THORAKS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RSD dr.
SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Yuniawati Shastika, S.Kep.
NIM 222311101106

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Stase Keperawatan Gadar Kritis pada Program Studi


Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Jember yang disusun
oleh:

Nama : Yuniawati Shastika, S. Kep.


NIM : 222311101106

Telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari/tanggal :
Tempat : Ruang IGD RSD dr. Soebandi Jember

Jember, ……………… 2023

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Ns. Rina Tri Noventi, S.Kep.


Ns. Rismawan Adi Yunanto, M.Kep.
NIP……………………………
NIP. 760018003
BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Review Anatomi Fisiologi


Kerangka dada terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dibatasi oleh:
a. Depan: sternum dan tulang iga
b. Belakang: 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis)
c. Samping: iga-iga beserta otot-otot intercostal
d. Bawah: diafragma
e. Atas: dasar tulang servikal
Rongga dada diisi oleh:
a. Sebelah kanan dan kiri terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus
lapisannya yaitu pleura.
b. Mediastinum: ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya
meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, esophagus, aorta
desendens, ductus torasika, vena kava superior, saraf vagus, dan frenikus
serta sejumlah besar kelenjar limfe.

1.2 Definisi
Definisi dari trauma adalah cedera/ruda paksa atau kerugian psikologis
atau emosional. Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang
dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, atau
hematothoraks. Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapat udara
ekstrapulmoner dalam rongga pleura sehingga menyebabkan kolaps paru-paru.
Sedangkan Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura,
sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan. Keadaan normal tidak ada
udara dalam rongga dada (Nurarif, 2015).

1.3 Etiologi
Etiologi dari trauma thoraks adalah sebagai berikut:
a. Trauma tembus/tajam yang disebabkan oleh luka tembak atau luka
tikam/tusuk.
b. Trauma tumpul yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh,
tertimpa benda berat, ataupun pukulan pada daerah dada.

1.4 Klasifikasi
a. Trauma Tembus/Tajam yaitu sebagai berikut:
1) Pneumothoraks terbuka
2) Hemothoraks
3) Trauma tracheobronkial
4) Contusi Paru
5) Ruptur diafragma
6) Trauma Mediastinal
b. Trauma Tumpul yaitu sebagai berikut:
1) Tension pneumothoraks
2) Trauma tracheobronkhial
3) Flail Chest
4) Ruptur diafragma
5) Trauma mediastinal
6) Fraktur kosta

1.5 Patofisiologi
Dada merupakan organ besar bagian dari tubuh yang sangat mudah
terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru, dan
pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman
kehidupan. Luka pada rongga thoraks dan isinya dapat membatasi kemampuan
jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara
dan oksigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya
berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ.
Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang
dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa
penetrasi atau non penetrasi (tumpulan). Luka dada penetrasi mungkin
disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi keempatan bagi udara
atmosfir masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggu mekanisme
ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi
paru, kantung, dan struktur thorak lain.

1.6 Manifestasi Klinis


a. Ada jejas pada thorak
b. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
c. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
d. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
e. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
f. Penurunan tekanan darah
g. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena
leher
h. Bunyi muffle pada jantung
i. Perfusi jaringan tidak adekuat
j. Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan
pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung

1.7 Prognosis
a. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura
sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound).
Apabila lubang ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada
inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati
mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat.
b. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension
pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru
maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan:
1) Paru sebelahnya akan tertekan dengan akibat sesak yang berat
2) Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan
pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
c. Hematothorak massif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi
terdengar redup, sedangkan vesikuler menurun pada auskultasi.
d. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga terdapat
satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi
segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang
dikenal dengan pernafasan paradoksal.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Radiologi: X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
c. Torasentesis: menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
d. Hemoglobin: mungkin menurun.
e. Pa CO2 kadang-kadang menurun.
f. Pa O2 normal / menurun.
g. Saturasi O2 menurun (biasanya).

1.9 Penatalaksanaan
a. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300 cc) terapi
simtomatik dan observasi.
b. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300 cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan
continues suction unit.
c. Pada keadaan pneumothoraks yang residif (kambuh lagi) lebih dari dua
kali harus dipertimbangkan thorakotomi.
d. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih
dari 800 cc) segera lakukan thorakotomi.
e. Terapi farmakologis yang didapatkan berupa antibiotik, analgetika, dan
expectorant.

1.10 Komplikasi
a. tension penumototrax
b. penumotoraks bilateral
c. emfisema
BAB 2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian Keperawatan Kegawatdaruratan
1. Primary Survey
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada
primary survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam
nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut:
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea.
Usaha uhtuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal (servical
spine control), dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai
ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat
immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan
kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan
gerakan motorik yang tidak bertujuan.

B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada
penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan
auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah
tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan
derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya
tulang iga, dan kontusio paru.

C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan
terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada
trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan
tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis
atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan,
dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan
tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda
gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka
merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber
perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen,
sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis,
atau sebgai akibat dari luka dada tembus perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS /
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal
outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma
langsung.

E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah
pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.

Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa
merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila
penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai
orofaringeal airway.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway /
krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak
memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah teknis.
C. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV
yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan
vena pada lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena
seksi atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh
darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau
(type specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus
untuk terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi
operatif untuk menghentikan perdarahan.

Tambahan pada primary survey dan resusitasi


A. Monitor EKG: dipasang pada semua penderita trauma.
B. Kateter urin dan lambung
Kateter uretra
Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi
ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika
dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan:
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4. Adanya fraktur pelvis.
(Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.)
Kateter lambung atau NGT
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat mengakibatkan
NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri dapat
mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah
tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila
lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang
melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak. Dalam
keadaan ini semua pipa jangan di masukkan lewat jalur naso-faringeal.
C. Monitor
Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis
seperti laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood
Gases), suhu tubuh dan keluaran (output) urin hasil pemeriksaan di atas
harus didapat secepatnya setelah menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing.
ETT dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat
pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan
merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT
dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak
dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2.
Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan
kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus tercatat denyut
nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini
merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.
D. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya
Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses
resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang
mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur
pelvis. Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG
abdomen merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya
perdarahan intraabdomen.

2. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Biasanya data ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari keluarga atau petugas lapangan.
Riwayat AMPLE
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past Illness (penyakit penyerta) / pregnancy
L: Last meal
E: Even / environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Jenis
perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Trauma biasanya dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan
rekreasi atau pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan
kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian sabuk pengaman,
deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan baik
kerusakan major dalam bentuk luar atau hal – hal yang berhubungan
dengan perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar
penumpang. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari
mekanisme traumanya. Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi
usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin
sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan
adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan velositas /
kecepatan. Dengan demikian maka velositas, caliber, arah dan jarak
dari senjata merupakan informasi yang sangat penting diketahui.

B. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem pernafasan
a. Sesak napas
b. Nyeri, batuk-batuk.
c. Terdapat retraksi klavikula/dada.
d. Pengambangan paru tidak simetris.
e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani,
hematotraks (redup)
g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang
berkurang/menghilang.
h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
2) Sistem Kardiovaskuler
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal.
d. Hipotensi.
3) Sistem Muskuloskeletal dan Integumen
a. Kemampuan sendi terbatas
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam
c. Terdapat kelemahan
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya krepitasi sub kutan

Tambahan terhadap secondary survey


Pemeriksaan Diagnostik:
1. Sinar X dada: menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
2. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
3. Pa O2 normal / menurun.
4. Saturasi O2 menurun (biasanya).
5. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
6. Toraksentesis: menyatakan darah/cairan,
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
2. Gangguan pertukaran gas b.d kolaps paru mengakibatkan penurunan
fungsi alveolus
3. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d perdarahan pada saluran jalan
napas
4. Penurunan curah jantung b.d penurunan efektivitas pompa jantung
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d hipoksia jaringan
6. Nyeri akut b.d trauma dada
2.3 Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dann Kriteria Hasil Intervensi
. (SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Pola napas tidak Pola napas (L.01003) Manajemen jalan napas (I.01011)
Seteah dilakukan intervensi Observasi
efektif b.d
keperawatan selama ...x24 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
penurunan jam maka pola napas 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering)
ekspansi paru membaik dengan kriteria
3. Monitor sputum (jumlah, wama, aroma)
hasil: Terapeutik
1. Dyspnea menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
2. Penggunaan otot bantu dan chin-lift (jaw- thrust jika curiga trauma servikal)
pernafasaan menurun 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Pemanjangan fase 3. Berikan minum hangat
ekspirasi menurun 4. Lakukan flsioterapi dada, jika perlu
4. Frekuensi napas 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
membaik 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
5. Kedalaman napas 7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
membaik 8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2. Gangguan Pertukaran gas (L.01003) Pemantauan respirasi (I.01014)
pertukaran gas b.d Tujuan: Observasi
Seteah dilakukan intervensi 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya hapes
kolaps paru
keperawatan selama …x24 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
mengakibatkan jam maka gangguan hiperventilasi, kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
pertukaran gas meningkat 3. Monitor kemampuan batuk efektif
penurunan fungsi
dengan kriteria hasil: 4. Monitor adanya produksi sputum
alveolus 1. Dyspnea menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
2. Bunyi nafas tambahan 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
menurun 7. Monitor saturasi oksigen
4. Pernafasan cuping hidung 8. Monitor nilai AGD
menurun Kadar PCO2 9. Monitor hasil x-raythoraks
membaik dan Terapeutik
3. Kadar PO2 membaik 1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan jika perlu

Terapi oksigen (I.01026)


Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan
fraksi yang diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa
gas darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelectasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea. jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
Berikan oksigen tambahan, jika perlu
4. Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
5. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat
mobilitas
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di
rumah.
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
3. Bersihan jalan Bersihan jalan napas Latihan batuk efektif (I.01006)
(L.01001) Observasi
napas tidak efektif Tujuan: 1. Identifikasi kemampuan batuk
b.d perdarahan Seteah dilakukan intervensi 2. Monitor adanya retensi sputum
keperawatan selama ...x24 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
pada saluran jalan jam maka bersihan jalan 4. Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan
napas napas meningkat dengan karakteristik)
kriteria hasil: Terapeutik
1. Produksi sputum 1. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
menurun 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien Buang
2. Pasien batuk efektif sekret pada tempat sputum
meningkat Edukasi
3. Wheezing menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
4. Dipsnea menurun 2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ke 3
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
4. Penurunan curah Curah jantung (L.02008) Manajemen Syok Kardiogenik (I.02051)
Observasi
jantung b.d Tujuan:
Seteah dilakukan intervensi 1. monitor status kardiopulmonal
penurunan keperawatan selama ...x24 2. monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
3. monitor status cairan (input dan output, turgor dan CRT)
efektivitas pompa jam maka curah
jantung meningkat dengan 4. monitor EKG 12 lead
jantung kriteria hasil: 5. monitor rontgrn dada
1. Kekuatan nadi perifer 6. monitor enzim jantung
meningkat 7. identifikasi penyebab masalah utama
2. Takikardia/bradikardia Terapeutik
menurun 1. pertahankan jalan napas paten
3. Distensi vena jugularis 2. berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
menurun oksigen
4. Tekanan darah membaik >94%
5. Pengisian kapiler 3. persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis jika perlu
membaik 4. pasang jalur IV
5. pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
6. pasnag selang nasogastrik untuk dekompresi lambung
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian inotropik (mis.dobutamine), jika TDS
70-100 mmHg tanpa disertai tanda/gejala syok
2. kolaborasi pemberian vasopresor (mis.dopamine) jika
TDS 70-100 mmHg disertai tanda/gejala syok
3. kolaborasi pemberian vasopresor kuat misal
norephrinefrin jika TDS <70 mmHg
4. kolaborasi pemberian antiaritmia
5. kolaborasi pompa intra-aorta, jika perlu
5. Ketidakefektifan Perfusi Perifer (L.02011) Transfusi Darah (I.02089)
Setelah dilakukan perawatan Observasi
perfusi jaringan selama … x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi rencana transfusi
perifer b.d perfusi perifer meningkat 2. Monitor tanda-tanda vital sebelum, selama, dan setelah dilakukan
dengan kriteria hasil : transfusi
hipoksia jaringan 1. Kadar Hb dalam darah 3. Monitor reaksi transfusi
membaik Terapeutik
2. CRT membaik 4. Lakukan pengecekan ganda pada label darah (golongan
3. Akral membaik darah,rhesus, tanggal kadaluarsa, nomor seri, jumlah, dan identitas
pasien)
5. Periksa kepatenan akses intravena, flebitis, dan tanda infeksi lokal
6. Berikan NaCl 0,9% 50 – 100 ml sebelum transfusi dilakukan
7. Atur kecepatan aliran transfusi sesuai produk darah 10 – 15
5ml/KgBB dalam 2 – 4 jam
8. Berikan transfusi dalam waktu maksimal 4 jam
9. Hentikan transfusi jika terdapat reaksi transfusi
10. Dokumentasi
Edukasi
11. Jelaskan tujuan dan prosedur transfuse
12. Jelaskan tanda dan gejala reaksi transfuse yang perlu dilaporkan
(gatal, pusing, sesak napas, dan/atau nyeri dada)
6. Nyeri akut b.d Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (1.08238)
Tujuan: Observasi
trauma dada
Seteah dilakukan intervensi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
keperawatan selama ….x24 kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
jam maka tingkat nyeri
3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
menurun dengan kriteria hasil: nyeri
1. Keluhan nyeri menurun Terapeutik
2. Gelisah menurun 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
3. Kesulitan tidur menurun 2. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai