Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN PNEUMOTHORAKS

DISUSUN OLEH :

KARMILA

17111024110053

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI

PRODI S1 KEPERAWATAN

2020
A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI

Pneumothoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial antara pleural


visceral dan parietal. ( Arief Mansjoer, 2008 : 295 )

Pneumothoraks terjadi bila udara masuk kedalam rongga pleura, akibatnya jaringan
paru terdesak seperti halnya rongga pleura kemasukan cairan. Lebih tepat kalau
dikatakan paru kolaps ( jaringan paru elastis ). ( Tambayong, 2000 : 108 )

Pneumothoraks adalah udara atau gas dalam kavum pleura yang memisahkan
pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga jaringan paru tertekan. Pneumothorak
dapat terjadi sekunder akibat asma, bronchitis kronis, emfisema. ( Hinchllift, 1999 :
343 )

Pneumothoraks adalah kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi sewaktu
udara atau gas lain masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru. ( Corwin, 2009 :
550 )

Pneumothoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura, dapat terjadi spontan
atau karena trauma. ( British Thoracic Society : 2003 )

2. ETIOLOGI

Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut :
a) Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu pleura visceral
atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak
menjadi hal yang penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks).
b) Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena
subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter subklavia).
c) Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana ke
Tension Pneumotoraks.
d) Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks sederhana
di mana fungsi pembalut luka sebagai 1-way katup.
e) Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan pneumothoraks.

3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tandanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk
ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps. Gejalanya bisa
berupa :
 Nyeri dada kejam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika penderita
menarik nafas dalam atau terbatuk.
 Sesak nafas
 Dada terasa sempit
 Mudah lelah
 Denyut jantung cepat
 Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.
Gejala-gejala tersebut mungkin timbul pada saat istirahat akan tidur.
Gejala lain yang mungkin ditemukan :
 Hidung tampak kemerahan
 Cemas, stress, tegang
 Tekanan darah rendah (hipotensi)

4. PATOFISIOLOGI

Meningkatnya tekanan intra pleural sehingga akan menyebabkan kemampuan


dilatasi alveoli menurun dan lama-kelamaan mengakibatkan atelektasis (layuhnya
paru-paru). Apabila luka pada dinding dada tertutup dan klien masih mampu bertahan,
udara yang berlebihan dapat diserap hingga tekanan udara di dalam rongga pleura
akan kembali normal.

Karena adanya luka terbuka atau oleh pecahnya dinding paru-paru, kuman dapat
terhisap dan berkoloni di dalam pleura hingga terjadi inspeksi pleuritis. Jenis kuman
penyebab radang yang terbanyak adalah F nechrophorum, chorinebacterium Spp, dan
streptococcus spp. Oleh radang akan terbentuk exudat yang bersifat pnukopurulent,
purulent akan serosanguineus yang disertai pembentukan jonjot-jonjot fibrin.
Pada luka tembus dada, bunyi aliran udara terdengar pada area luka tembus. Yang
selanjutnya disebut “sucking chest wound” (luka dada menghisap). Jika tidak
ditangani maka hipoksia mengakibatkan kehilangan kesadaran dan koma. Selanjutnya
pergeseran mediastinum ke arah berlawanan dari area cedera dapat menyebabkan
penyumbatan aliran vena kaca superior dan inferior yang dapat mengurangi cardiac
preload dan menurunkan cardiac output. Jika ini tidak ditangani, pneumothoraks
makin berat dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit. Beberapa
pneumothoraks spontan disebabkan pecahnya “blebs”, semacam struktur gelembung
pada permukaan paru yang pecah menyebabkan udara masuk ke dalam kavum pleura.

5. PATHWAY
6. PENATALAKSANAAN / PENANGAN GAWAT DARURAT

Tindakan penyelamatan hidup yang cepat, lakukan disinfeksi kulit disela iga ke-2
dari garis midklavikuler yang terkena tusuk benda tajam. Lalu dengan jarum suntik
steril dilakukan pungsi dan dibiarkan terbuka. Secepat mungkin lakukan tube
torakostomi karena sangat mungkin akan terjadi tension pneumothotarks lagi sesudah
paru mengembang. Namun pada prinsipnya, dapat dilakukan tindakan sebagai
berikut :
a) Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum
(primary survey – secondary survey).
b) Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif
(berturutan)
c) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil),
adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak
dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang
emergency.
d) Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk
menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan
penyelamatan nyawa.
e) Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau
setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
f) Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
g) Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing,
circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks
Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki
konsultan bedah toraks kardiovaskular.
h) Bullow  Drainage / WSD
Pada trauma toraks dan tension pneumothoraks, WSD dapat berarti:
Diagnostik :
 Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat
ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
shock.
Terapi :
 Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat
kembali seperti yang seharusnya.
Preventive :
 Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN GAWAT DARURAT
a. Pengkajian Umum
Klien tampak sakit berat, ditandai dengan wajah pucat, nafas sesak
b. Pengkajian AVPU (Kesadaran)
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan
Glassglow Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension
pneumothoraks, biasanya kesadaranya menurun.
Dapat juga dinilai melalui cara berikut :
1. A = Alert
Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan lingkungannya.
2. V = Verbal
Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau mendengar suara.
3. P = Pain
Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh
penolong, misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada.
4. U = Unrespon
Penderita tidak bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan oleh
penolong. Tidak membuka mata, tidak bereaksi terhadap suara atau sama
sekali tidak bereaksi pada rangsang nyeri.
c. Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera. Harus
didahulukan à langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka
dapat digolongkan P1 (Emergency).
d.  Primary Survey
1. Airway
a. Assessment :
1) Perhatikan patensi airway.
2) Dengar suara napas.
3) Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
b. Management
1) Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan
jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
2) Re-posisi kepala, pasang collar-neck
3) Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
2. Breathing
a. Assesment
1) Periksa frekwensi napas
2) Perhatikan gerakan respirasi
3) Palpasi toraks
4) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
b. Management:
1) Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
2) Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks
3. Circulation
a. Assesment
1) Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
2) Periksa tekanan darah
3) Pemeriksaan pulse oxymetri
4) Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
b. Management
1) Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
2) Torakotomi emergency bila diperlukan
3) Operasi Eksplorasi vaskular emergency
4) Pemasangan WSD
Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering sesak
napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak cepat dilakukan
tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa terjadi kolaps paru dan ada
penekanan pada mediastinum dan jantung. Himpitan pada jantung menyebabkan
kontraksi terganggu dan “venous return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan
gangguan pada pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik).
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan meliputi
dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle
thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar
dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi
dengan control nyeri dan pulmonary toilet (pemasangan selang dada) diantara
anterior dan mid-axillaris. Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein
2300 kkal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari.

e. Secondary Survey
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu
sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu  Ada jejas pada thorak,
Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi,  Pembengkakan lokal dan
krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek,
Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-obatan
ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially). Pengobatan
yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak
menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat
pengobatan klien.
P : Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly  what happened.
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop,
nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda
homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan
udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat karena
batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri
menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas
menurun/ hilang (auskultasi à mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang
dalam rongga pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi
udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit :
pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
Kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis,
inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

f. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri dilakukan dengan menggunakan PQRST, yaitu sebagai berikut:
P          : Provokativ. Penyebab terjadinya nyeri.
Q         : Quality.
Kualitas nyeri yang dirasakan oleh klien. Untuk menentukan kualitas
nyeri dapat digunakan skala numerik ataupun melihat raut wajah klien.
R         : Region.
Dari bagian mana nyeri mulai dirasakan dan sampai batas mana nyeri
doarasakan.
S          : Skala.
Nyeri yang digunakan ditentukan dengan menggunakan skala numerik
ataupun menilai raut wajah klien. Dari skala dapat ditentukan intensitas
atau kualitas nyeri.
T         : Time.
Waktu nyeri yang dirasakan klien. Apakah nyeri yang dirasakan terus
menerus, timbul-hilang, atau sewaktu-waktu.

g. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
2. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
3. Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
4. Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Hambatan Upaya Napas (Mis.
Nyeri Saat Bernafas, Kelemahan Otot Pernafasan)
b. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Cidera Fisiologis
c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Nyeri

3. INTERVENSI KEPERAWATAN (3S)

No DIAGNOSA SLKI SIKI


KEPERAWATAN
1 Pola Nafas Tidak Efektif Pola Napas (L.01004) Manejemen Jalan Nafas
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan (I.01011)
Hambatan Upaya Napas keperawatan selama ... x 24 1.1 Monitor pola napas
(Mis. Nyeri Saat Bernafas, jam di harapkan Pola Nafas (frekuensi ,
Kelemahan Otot Pernafasan) Tidak Efektif dapat teratasi kedalaman , usaha
dengan kriteria hasil : napas.
 Penggunaan otot bantu 1.2 Pertahankan
napas dari (…) menjadi kepatenan jalan
(…) napas.
 Pernapasan cuping hidung 1.3 Anjurkan asupan
dari (…) menjadi (…) cairan 2000ml/hari
Keterangan : jika tidak
1 = Menurun kontraindikasi
2 = Cukup meningkat 1.4 Kolaborasi
3 = Sedang pemberian
4 = Cukup menurun bronkodilator,
5 = Menurun eskpektoran,
mukolitik , jika perlu.
 Frekuensi napas dari (…)
menjadi (…)
Keterangan :
1 = Memburuk
2 = Cukup memburuk
3 = Sedang
4 = Cukup membaik
5 = Membaik
2 Nyeri Akut berhubungan Tingkat nyeri (L.08006) Manajemen Nyeri
dengan Agen Cidera Setelah dilakukan tindakan ( I.08238)
Fisiologis keperawatan selama … x 24 2.1 Identifikasi lokasi,
jam diharapkan Nyeri Akut karakteristik, durasi,
dapat teratasi dengan kriteria frekuensi, kualitas,
hasil : dan intesitas nyeri.
 Keluhan nyeri dari (…) 2.2 Kontrol lingkungan
menjadi (…) yang memperberat
 Meringis dari (…) rasa nyeri ( mis :
menjadi (…) suhu,ruangan,
 Gelisah dari (…) menjadi pencahayaan,
(…) kebisingan
Keterangan : 2.3 Pertimbangkan jenis
1 = Meningkat dan sumber nyeri
2 = Cukup meningkat dalam pemilihan
3 = Sedang strategi meredakan
4 = Cukup Menurun nyeri
5 = Menurun 2.4 Anjurkan
menggunakan
analgesic secara tepat
2.5 Kolaborasi
pemberian analgesik
jika perlu
3 Gangguan Mobilitas Fisik Mobilitas fisik (L. 05042) Dukungan Mobilisasi
berhubungan dengan Nyeri Setelah dilakukan tindakan (1.05173)
keperawatan selama ... x 24 3.1 Identifikasi adanya
jam di harapkan mobilitas nyeri atau keluhan
fisik meningkat dengan fisik lainnya
kriteria hasil : 3.2 Identifikasi toleransi
 Pergerakan ekstermitas fisik melakukan
dari (…) menjadi (…) pergerakan
 Kekuatan otot dari (…) 3.3 Monitor kondisi
menjadi (…) umum selama
 Rentang gerak (ROM) melakukan mobilisasi
dari (…) menjadi (…) 3.4 Fasilitasi aktivitas
Keterangan : mobilisasi dengan alat
1 = Menurun bantu (mis. Pagar
2 = Cukup Menurun tempat tidur)
3 = Sedang 3.5 Ajarkan mobilisasi
4 = Cukup meningkatkan sederhana yang harus
5 = Meningkat di lakukan (mis.
Duduk di tempat
tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi)
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. dkk . 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
Tambayong, Jan . 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
PPNI(2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:Definisi dan Kriteria Hasil


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai