DI SUSUN OLEH
kelompok 4
Ahmad nurul aen
Ajeng nur indrawati
Astuti karmila fuzi
Dina saraswati
Kusdinar
Mochamad irpan
Striretna mardhotilah
Yayat priyatna
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis Paru (Tb Paru) masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar
di dunia. Prevalensi kasus tuberkulosis paru ini seperti yang telah dicatat oleh WHO
mencapai 14 juta, dengan insidensi mencapai 9,4 juta orang. Saat ini yang menjadi
masalah besar adalah pasien dengan tuberkulosis paru dapat mendapat koinfeksi
dengan HIV dan telah banyak berkembang TB menjadi resisten terhadap pengobatan
yang diberikan yang disebut dengan tuberkulosis paru multidrug-resistant.
Tuberkulosis paru masih menjadi penyebab utama kematian yang berkaitan
dengan infeksi tunggal. Disebutkan 95 % tuberkolusis terjadi di negara sedang
berkembang dengan kondisi ekonomi yang lemah, dan 5 % sisanya terjadi di negara
industri. Lebih dari 80 % tuberkolusis di negara sedang berkembang menyerang
populasi usia produktif, sementara di negara maju mencapai 20 %.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus tuberkulosis
paru setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru tuberkulosis
paru dan sekitar 140.000 kematian akibat tuberkulosis paru. Di Indonesia
tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular lainnya dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi tubrkulosis paru di
indonesia pada tahun 2013 ialah sebanyak 0,4% dengan Lima provinsi dengan
prevalensi tuberkulosis paru tertinggi diantaranya adalah jawa barat (0,7%), papua
(0,6%), DKI jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%), dan papua barat
(0,4%) (Kemenkes RI, 2013).
2. Tujuan
Penulis mendapatkan gambaran yang jelas dan komprehensif dalam melakukan
asuhan keperawatan pada TB Paru.
B. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran
pernafasan bagian bawah.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering mengenai
parenkim paru, biasanya disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.
2. Etiologi
Penyebab tuberkulosis paru adalah disebabkan oleh basil TB (mycobacterium
tuberculosis humanis).
Mycobacterium tuberculosis termasuk family mycobacteriaceae yang
mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah mycobacterium, salah
satu speciesnya adalah M. tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type
humani (kemungkinan infeksi type bovinus saat dapat diabaikan, setelah
hygiene peternakan makin di tingkatkan
Basil tuberculosis mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam basa.
Karena itu, kuman disebut pula Basil Tahan Asam (BTA)
Karena pada umumnya mycobacterium tahan asam, secara teoritis Basil
Tahan Asam (BTA) belum tentu identik dengan basil tuberculosis, mungkin
saja Basil Tahan Asam (BTA) yang ditemukan adalah mycobacterium atipik
yang menjadi penyebab mycobacteriosis.
Kalau bakteri – bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20
menit untuk mitosis, basil tuberculosis memerlukan waktu 12 sampai 24 jam.
Basil tuberculosis sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam
beberapa menit saja akan mati. Basil tuberculosis juga akan terbunuh dalam
beberapa menit bila terkena alcohol 70 % atau lisol 5%.
3. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai
suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar
cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit, setelah berada
dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus
bawah) basil tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit
polimorfunuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama maka lekosit diganti oleh
magrofat.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala
pneumonia akut. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang
mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel spiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran
yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi
lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelingi tuberkel.
Lesi primer paru –paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang
mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani
pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah
percairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas.
Materi tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil
dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas kecil dapat menutup
sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan parut fibrosa.
Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan
gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan
menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau
pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan
memcapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmaner). Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini
terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk ke dalam sistem vascular dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ –
organ tubuh.
5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis TB menurut Depkes (2006):
a. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB
paru.
b. Diagnosis TB ekstra paru.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan
lainlainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan
dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Diagnosis TB menurut Asril Bahar (2001):
a. Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah
apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus
menyerupai tumor paru.
b. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik.
Pada saat tuberkulosis baru mulai sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi.
b) Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan.
c) Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu
sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis,
vaksinasi BCG dan Myobacteria patogen lainnya.
6. Pathway
7. Pengkajian
1) Pengumpulan data
a. Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat
tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah
kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya
penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu
yang lain.
2) Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di
rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat
malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong
penderita untuk mencari pengobatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang
mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura
serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
4) Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita
penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
5) Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah
punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain.
6) Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak –
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal
dirumah yang sumpek.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan
menurun.
c. Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi
d. Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu
aktivitas
e. Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit
menular.
g. Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa
kawatir klien tentang penyakitnya.
i. Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah
karena kelemahan dan nyeri dada.
j. Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan
stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap
pengobatan.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.
7) Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem – sistem tubuh
a. Sistem integument : Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor
kulit menurun.
b. Sistem pernapasan : Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik
dijumpai :
inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,
kasar dan yang nyaring.
c. Sistem pengindraan : Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada
kelainan
d. Sistem kordiovaskuler : Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2
yang mengeras.
e. Sistem gastrointestinal : Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat
badan turun.
f. Sistem musculoskeletal : Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan,
kurang tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang menyenangkan.
g. Sistem neurologis : Kesadaran penderita yaitu komposmentis dengan GCS
: 456
h. Sistem genetalia : Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
8. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret kental
atau sekret darah
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveoler-
kapiler
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
d. Nyeri Akut berhubungan dengan nyeri dada pleuritis
e. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi
9. Rencana Asuhan Keperawatan
TUJUAN DAN
INTERVENSI
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(NIC)
(NOC)
1 Bersihan Jalan Nafas tidak Efektif NOC : NIC :
Definisi : Ketidakmampuan untuk Respiratory status : Ventilation Airway suction
membersihkan sekresi atau obstruksi dari Respiratory status : Airway Pastikan kebutuhan
saluran pernafasan untuk patency oral / tracheal
mempertahankan kebersihan jalan nafas. Aspiration Control suctioningAuskulta
Batasan Karakteristik si
Dispneu, Penurunan suara nafas Kriteria Hasil : suara nafas
Orthopneu Mendemonstrasikan sebelum dan
Cyanosis batuk efektif dan suara sesudah suctioning.
Kelainan suara nafas (rales, nafas yang bersih, tidak Informasikan pada
wheezing) ada sianosis dan klien dan keluarga
Kesulitan berbicara dyspneu (mampu tentang suctioning
Batuk, tidak efektif atau tidak mengeluarkan sputum, Minta klien nafas
ada mampu bernafas dengan dalam sebelum
Mata melebar mudah, tidak ada pursed suction dilakukan.
Produksi sputum
lips) Berikan O2 dengan
Menunjukkan jalan
Gelisah menggunakan
nafas yang paten (klien nasal untuk
Perubahan frekuensi dan irama
tidak merasa tercekik, memfasilitasi
nafas
irama nafas, frekuensi suksion nasotrakeal
Faktor-faktor yang berhubungan:
Lingkungan : merokok,
pernafasan dalam Gunakan alat yang
rentang normal, tidak steril setiap
menghirup asap rokok, perokok
ada suara nafas melakukan
pasif-POK, infeksi
abnormal) tindakan
Fisiologis : disfungsi
Mampu Anjurkan pasien
neuromuskular, hiperplasia
mengidentifikasikan dan untuk istirahat dan
dinding bronkus, alergi jalan
mencegah factor yang napas dalam
nafas, asma.
dapat menghambat jalan setelah kateter
Obstruksi jalan nafas : spasme
nafas dikeluarkan dari
jalan nafas, sekresi tertahan,
banyaknya mukus, adanya jalan nasotrakeal
nafas buatan, sekresi bronkus, Monitor status
adanya eksudat di alveolus, oksigen pasien
adanya benda asing di jalan Ajarkan keluarga
nafas. bagaimana cara
melakukan suksion
Hentikan suksion
dan berikan
oksigen apabila
pasien
menunjukkan
bradikardi,
peningkatan
saturasi O2, dll.
Airway Management
Buka jalan nafas,
guanakan teknik
chin lift atau jaw
thrust bila perlu
Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi
Identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
Pasang mayo bila
perlu
Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
Lakukan suction
pada mayo
Berikan
bronkodilator bila
perlu
Berikan pelembab
udara Kassa basah
NaCl Lembab
Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
Monitor respirasi
dan status O2
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Depkes RI : Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi
ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.