Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. B DENGAN VENTILATOR ASSOCIATED


PNEUMONIA DI GENERAL INTENSIVE CARE UNIT (GICU)

RSUP MOHAMMAD HOSEIN PALEMBANG

PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI


Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

OLEH:
YESICA TRIA ENGGRIANI
04064881517038

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
T.A. 2016
1

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
VAP

(Ventilator

asosiated

pneumonia)

didefinisikan

sebagai

pneumonia

nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik
baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. (Rozaliyani dan
Swidharmoko, 2010). Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan
VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada
foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto
torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam,
leukositosis dan sekret purulen (Marik & Varon, 2001; dikutip Rozaliyani dan
Swidharmoko, 2010).
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru
(Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama
pada pasien (Smeltzer & Bare, 2001; dikutip Yolanda 2013).
Jadi Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia akibat infeksi
nosokomial pada pasien ICU yang menggunakan ventilator baik melalui pipa endotrakeal
maupun pipa trakeostomi yang terjadi setelah 48 jam menggunakan ventilator disertai
hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum
maupun aspirasi trakea.

2. Etiologi
Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil isolasi kuman
pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat sering ditemukan, namun
hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah mengalami peningkatan dalam beberapa
tahun terakhir, terutama pada neonates ( Afjeh dkk, 2010).
Bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau
lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram
negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai
marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan Methicillin Sensitive

Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok


I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan
Staphylococcus Aureus (MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas
aeruginosa, Acetinobacter spp, dan MRSA (Wiryana, 2007).
Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi tentang kuman penyebab VAP,
seperti terlihat pada tabel di bawah ini (Vincent, dkk 2011)
Tabel etiologi VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian ( total 2490 kuman pathogen)

Pathogen
Pseudomonas aeruginosa
Acinetobacter spp
Stenotrophomonas maltophilia
Enterobacteriaceae
Haemophilus spp
Staphylococcus aureus
Streptococcus spp
Streptococcus pneumonia
Coagulase-negatif staphylococci
Neisseria spp
Anaerob
Jamur

Lain-lain

Frekuansi (%)
24,4
7,9
1,7
14,1
9,8
20,4
8,0
4,1
1,4
2,6
0,9
0,9
3,8

3. Patofisiologi
Patofisiologi dari VAP, adalah melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada
saluran pernafasan dan saluran pencernaan serta aspirasi sekret dari jalan nafas atas dan
bawah. Kolonisasi bakteri mengacu pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala.
Kolonisasi bakteri pada paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari
berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi, aluran pencernaan,
kontak pasien, dan sirkuit ventilator. Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat
menyebabkan timbulnya gejala, dan akhirnya terjadi VAP (Wiryana, 2007).
Kolonisasi mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam
saluran pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi, biofilm mengandung
sejumlah besar bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam paru-paru melalui ventilator.
Pada keadaan seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal,
suction, batuk, atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman dkk, 2005).
3

Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas bagian


atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan memberikan
bakteri jalan langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena saluran napas bagian atas
kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal , kemampuan tubuh untuk
menyaring dan melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk
sering mengalami penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal dan
kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena cedera mukosa selama intubasi. Selang
endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat
meningkatkan produksi dan sekresi lender ebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan
diri alami tersebut meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi
Pneumonia akibat pemasangan ventilator (VAP) adalah umum di unit perawatan
intensif (ICU). VAP dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kematian, lama tinggal
di rumah sakit, dan biaya. Tingkat kematian yang timbul dari VAP adalah 27% dan
mencapai 43% saat agen penyebab adalah resisten antibiotik. Lama tinggal di unit
perawatan intensif meningkat sebesar 5 sampai 7 hari dan memperpanjang lama
perawatan di rumah sakit 2 sampai 3 kali lipat pada pasien dengan VAP. Biaya perawatan
VAP diperkirakan bertambah $ 40000 per pasien dan sekitar $ 1,2 miliar per tahun.

4. Manifestasi Klinis
a. Demam
b. Leukositosis
c. Secret purulent
d. kavitasi pada foto torak
e. nilai oksigenasi PaO2 / FiO2 mmHg 240 dan tidak terdapat ARDS

5. Diagnosa (artikel 06)


Diagnosis

VAP

ditegakkan

setelah

menyingkirkan

adanya

pneumonia

sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia). Bila


dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis
VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam

dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat
ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan. (Luna ,2003)
Spesifisitas diagnosis klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung clinical
pulmonary infection score (CPIS) yang menggabungkan data klinis, laboratorium,
perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (Tabel
5). Skor <6 menyingkirkan diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi mengindikasikan
kecurigaan VAP. Penghitungan CPIS sederhana tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya
bervariasi. (Fartoukh,2003 ; Torres , 2004; Ioanas, 2001).

Tabel 5. Clinical pulmonary infection score (CPIS)


Komponen
Suhu 0 C
Leukosit per mm3

Sekret tracea

Oksigenasi PaO2 / FiO2 mmHg

Foto toraks

Nilai
36,5 dan 38,4
38,5 dan 38,9
39,0 dan 36,0
4000 dan 11000
4000 dan 11000
Sedikit
Sedang
Banyak
Purulen
240 atau terdapat ARDS
240 dan tidak terdapat
ARDS
Tidak ada infiltrat
Bercak / infiltrat difus
Infiltrat terlokalisir

Skor
0
1
2
0
1
0
1
2
+1
0
2
0
1
2

6. Pemeriksaan Penunjang
a.

Pemeriksaan fungsi paru paru: volume makin menurun ( kongesti dan kolaps
alveolar) : tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara
menurun, hipoksemia.

b. Analisis gas darah ( analysis blood gasses ABGS)

dan pulse oximetry :

Abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya kerusakan paru paru.


c. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus).
5

d. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum,


aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk
mengatasi organisme penyebab.
e. Periksa darah lengkap : untuk mengetahui kadar leukosit dalam tubuh

7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP membutuhkan tindakan
yang cepat dan tepat dengan pemberian antimikroba/antibiotik dan perawatan
menyeluruh. Walaupun pengambilan sampel mikrobiologi harus dilakukan sebelum
memulai terapi, hal ini tidak boleh menunda pemberian antibiotik. Sebagian besar
penelitian menunjukkan penundaan pemberian terapi yang efektif menyebabkan
peningkatan angka kematian. Pemberian antibiotik

harus disesuaikan dengan

epidemiologi dan pola kuman setempat. Pada pasien dengan early onset VAP yang
sebelumnya belum pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan monoterapi dengan
generasi ketiga sefalosporin. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan
ventilator mekanik jangka panjang dan telah pernah menggunakan antibiotik sebelumnya
memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat mengatasi patogen yang potensial (Hunter,
2006)
Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan untuk infeksi
saluran pernapasan. Luna dkk. menyebutkan bahwa pemberian antibiotik yang adekuat
sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP pada saat data
mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi
pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan BAL.
Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang
mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah penghambat ( OST dkk,
2003 dikutip Yolanda, 2013)
-laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilintazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%).
Singh dkk. menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman
6

Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian


antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP
rendah (CPIS < 6).

8. Penatalaksanaa Keperawatan
1) Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna:
a. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
b. Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi
c. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer
d. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi
e. saluran cerna secara selektif
f. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut Menggunakan antibiotik yang sesuai
pada penderita risiko tinggi
g. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
h. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

2) Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi:


a. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin
b. Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk
c. Menghindari distensi lambung berlebihan
d. Intubasi oral atau non-nasal
e. Pengaliran subglotik
f. Pengaliran sirkuit ventilator
g. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan
h. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
i. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan

9. Komplikasi
Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang.
Sebanyak 75% yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48
jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam, maka kemungkinan dia tetap
7

hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara
statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan jumlah
organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90% survive sedangkan pasien kanker
kurang dari 10%. Usia diatas 65 tahun kemungkinan survive kurang dari 50%. Sebagian
penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi
pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe tekanan positif (Sudoyo, 2010).
Akibat Merugikan dari ventilasi mekanik :
1) Pengaruh pada paru-paru
Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum,
pneumotoraks, dan tension pneumotoraks. Puncak tekanan pengisian paru yang tinggi (
lebih besar dari 40 cmH2O) berhubungan dengan peningkatan insiden barotrauma.
Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan jalan napas yang tinggi. Pengurangan lapisan
surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan
napas lebih lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggi juga mengakibatkan distensi
berlebihan alveolar (velotrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan
kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FiO2 lebih besar dari
0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi
oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis
sekunder (Sudoyo, 2010).

2) Pengaruh pada kardiovaskular


Pernapasan spontan atau dengan bantuan ventilasi mekanik dapat mempengaruhi
kerja jantung. Pada pernapasan spontan, ini ditandai oleh pulsus paradoksus. Sedangkan
pemberian tekanan positif dan atau volume saat ventilasi mekanik untuk membuka
alveoli sebagai terapi gagal napas mengakibatkan peningkatan tekanan intratorakal yang
dapat mengganggu kerja jantung yang bertanggung jawab terhadap menurunnya fungsi
sirkulasi. Hasilnya berupa penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung
kanan menurun, disfungsi ventrikal kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah
jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik
dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan. Menurunnya fungsi jantung

pasien kritis saat ventilasi mekanik dapat memperburuk pasokan O2 ke jaringan,


mengganggu fungsi organ yang berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas.

3) Pengaruh pada ginjal, hati, dan saluran cerna


Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penurunan fungsi
ginjal dengan penurunan volume urine dan eksresi natrium. Fungsi hati mendapat
pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah
hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu. Iskemia mukosa lambung dan perdarahan
sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena
lambung (Sudoyo, 2010).

10. Prognosis
Klasifikasi VAP adalah VAP awitan dini (terjadi dalam empat hari pertama
pemberian ventilasi mekanis) dan awitan lambat (terjadi 5 hari atau lebih setelah
pemberian ventilasi mekanis). Pasien VAP awitan dini prognosisnya lebih baik karena
biasanya kuman masih sensitif terhadap antibiotik sedangkan VAP awitan lambat kondisi
sakit pasien tampak lebih berat dan prognosisnya lebih buruk karena ada kuman patogen
multidrug-resistant (MDR). Pasien VAP awitan dini dan pernah mendapat antibiotik
dalam 90 hari sebelumnya, berisiko tinggi mengalami kolonisasi dan infeksi kuman MDR
hingga terapinya harus dianggap sama dengan pasien VAP awitan lambat. (Kollef dkk,
2005).

B.

Proses Keperawatan secara Teoritis

1. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d suplay O2 tidak adekuat
3. Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan dan proses penyakit.
4. Nyeri akut b.d pemasangan pipa endotrakeal, prosedur suction dan proses infeksi
5. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal dan penggunaan ventilator.
9

2. Rencana Aushan Keperawatan

Diagnosa
keperawatan
1. Ketidakefektif
an
bersihan
jalan
nafas
berhubungan
dengan
peningkatan
produksi
sekret

Ketidakefekti
fan pola nafas
b.d suplay
O2 tidak
adekuat

Rencana keperawatan
Tujuan Keperawatan
Rencana Tindakan
Setelah diberikan
1. Posisikan pasien untuk
asuhan keperawatan
memaksimalkan
selama 1 x 24 jam
ventilasi
jalan nafas dapat
2. Auskultasi suara nafas.
kembali efektif dengan
Catat adanya suara
kriteria hasil:
nafas tambahan
3. Lakukan fisioterapi
dada bila perlu
Rentang nafas
4.
Lakukan suction pada
normal
pipa trakeostomi
Tidak terjadi
5. Kolaborasi pemberian
aspirasi
terapi untuk membantu
Tidak ada dispnea
mengencerkan sekret

setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 1 x 24 jam
pasien tidak
mengalami gangguan
pola napas dengan
kriteria hasil :

Menunjukkan
jalan nafas
yang paten
(klien tidak
merasa
tercekik, RR
dalam batas
normal, tidak
ada suara
nafas
abnormal)
TTV dalam
rentang

1. Monitor vital sign


2. Keluarkan secret
dengan suction
3. Monitor respirasi dan
ststus O2
4. observasi adanya tandatanda hipoventilasi
5. Monitor selang /
cubbing ventilator dari
terlepas , terlipat, bocor
atau tersumbat.

Rasional Tindakan
1. posisi
semifowler
mencegah refluks dan
aspirasi bakteri dari
lambung ke dalam
saluran napas.
2. Suara nafas tambahan
menunjukkan
jalan
nafas yang tidak paten
3. Fisioterapi
dada
membantu
mengalirkan secret
4. untuk
mempertahankan
patensi jalan napas,
memudahkan
penghilangan
sekret
jalan napas
5. membantu
pengenceran sekresi
agar
mudah
dikeluarkan
1. Mengobservasi data
dasar
2. Untuk
mempertahankan
patensi jalan nafas
3. Respirasi dan status
O2 menunjukkan
keefektifan pola nafas
4. Mencegah terjadi
hipoventilasi
5. Menjaga kebutuhan
ventilasi

10

2. Gangguan
pertukaran gas
b.d
sekresi
tertahan dan
proses
penyakit

normal
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
2x 24 jam diharapkan
gangguan pertukaran
gas dapat teratasi
dengan kriteria hasil:

1. Monitor respirasi dan


status O2
2. Keluarkan secret
dengan batuk atau
suction
3. Monitor tanda hipoksia
dan hiperkapnea
4. Monitor hasil Lab AGD
5. Kolaborasi pemberian
terapi yang sesuai

Adanya
peningkatan
ventilasi dan
oksigenasi
yang adekuat
Tidak terjadi
sianosis
pernafasan
Nilai AGD
dalam rentang
normal
TTV dalam
rentang
normal
4. Nyeri akut b.d setelah
dilakukan 1. Lakukan pengkajian
pemasangan
tindakan keperawatan
nyeri secara
pipa
1x 24 jam diharapkan
komprehensif
endotrakeal,
nyeri yang dirasakan 2. Observasi reakasi
prosedur
dapat
berkurang
nonverbal dari
suction dan
dengan kriteria hasil
ketidaknyamanan
proses infeksi
3. Tingkatkan istrirahat
Pasien tampak 4. Kolaborasi pemberian
analgetik yang
nyaman
diperlukan tergantung
setelah nyeri
tipe dan beratnya nyeri
berkurang
Pasien tidak
mengalami
kesulitan tidur
4. Resiko tinggi Setelah
dilakukan 1. Monitor TTV
terjadinya
tindakan keperawatan 2. Lakukan perawatan
infeksi
1x 24 jam diharapkan
mulut dan perawatan
saluran nafas suhu tubuh pasien
pipa trakeostomi
berhubungan dapat kembali normal 3. Observasi adanya
dengan
dengan kriteria hasil :
tanda infeksi
pemasangan
4. Berikan kompres
pipa
hangat di dahi dan
Suhu
tubuh
trakeostomi
axial bila ada
dalam rentang
peningkatan suhu
normal (36.5tubuh
37.5 oC)
5.
Kolaborasi pemberian
Tidak
ada
antipiretik jika ada
perubahan
peningkatan suhu
warna kulit

1. Memonitor status
pernafasan pasien
2. Menjaga patensi jalan
nafas
3. Mencegah terjadinya
hipoksia dan
hiperkapnea
4. Pemeriksaan AGD
untuk melihat adanya
gangguan metabolic
dan respiratorik
5. Terapi yang tepat
untuk kesembuhan
klien

1. Untuk mengetahui
skala nyeri yang
dirasakan klien
2. Menilai
ketidaknyamanan yang
diaami klien
3. Menngurangi perasaan
nyeri
4. Analgedi membantu
meredakan nyeri
secara farmakologis

1. Mengetahui data
dasat
2. Menegah
perkembangan bakteri
pathogen di mulut
dan area sekitar pipa
trakeostomi
3. Menilai tanda infeksi
4. Kompres hangat
membantu
menurunkan suhu
tubuh
5. Antipiretik membantu
menurunkan suhu
11

TTV
dalam 6. Kolaborasi pemberian
antibiotik jika
rentang
ditemukan adanya
normal
tanda dan gejala
infeksi

dengan farmakologi
6. Antibiotic membantu
menekan
pertumbuhan kuman
pathogen

12

DAFTAR PUSTAKA
Afjeh SA, Sabzehei MK, Karimi A, Shiva F, Shamshiri AR.(2010). Surveillance of ventilatorassociated pneumonia in neonatal intensive care unit :characteristics, risk factor and
outcome. Pejouhandeh (Serial on Internet) (diakses pada 13 juli 216);15(4):157-64.
Available from: http://pajoohande.sbmu.ac.ir/browse.php?A_code=A-10-1644&sid=1&slc_lang=en
Fartoukh M, Maitre B, Honore S, Cerf C, Zahar JR, Buisson CB. (2003).Diagnosing pneumonia
during Mechanical ventilation. Am J Respir Crit Care Med; 168:173-9.
Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgrad Med J(Serial on Internet) (2006) (diakses
pada 13 juli 2016); 82: 172-8. Available from: http://pmj.bmj.com/content/82/965/172.full
Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, Fraser VJ, Kollef MH. The occurrence of ventilator-associated
pneumonia in a community hospital. Chest (2001) ; 120:555-61. Diakses 13 Juli 2016
dari http://www. .majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel-06.pdf
Ioanas M, Ferrer R, Angrill J, Ferrer M, Torres A.( 2001) Microbial investigation in
ventilatorassociated Pneumonia. Eur Respir J; 17:791-801.
Kollef MH.(2005). The prevention of ventilator associated pneumonia. N Engl J Med;340:62734
Luna CM, Blanzaco D, Niederman MS, Matarucco W, Baredes NC, Desemery P, et al.
(2003).Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the
clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care
Med;
31:676-82.
Diakses
13
juli
2016
dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewisuprap-6104-2-babii.pdf
Niederman MS, Craven DE. (2005) Guidelines for the management of adult with hospitalacquired, ventilator associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respi Crit
Care Med;171:388-416
Rozaliyani, A & Swidharmoko, B. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan VentilatorAssociated Pneumonia. Majalah Kedokteran FK UKI 2010 Vol XXVII No.1
Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. (2010) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: internapublishing;p.166-74
Torres A, Ewig S. (2004) Diagnosing ventilatorassociated Pneumonia. N Engl J Med;
350:433-5.
Vincent JL, Abraham E, Kochanek P, Moore FA, Fink MP.( 2011).Textbook of Critical Care
Sixth Edition. China: Elsevier Sunders;p.328-479

13

Wiryana M. (2007).Ventilator associated pneumonia. J Peny Dalam (Serial on Internet) (diakses


pada 13 juli 216) ;8(3):254-65
Yolanda DP. (2013). Hubungan Antara Lama Penggunaan Ventilator Mekanik Dengan Kejadian
Ventilator Associated Pneumonia (Vap) Pada Pasien Nonsepsis Di Icu Rsup Dr.Kariadi
Semarang . Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

14

Anda mungkin juga menyukai