Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan penyebab umum


kedua pada kasus Health care Associated Infection (HAI) di Amerika Serikat dan
bertanggung jawab 25% dari kasus infeksi yang terjadi di Intensive Care Unit
(PDPI.2003)

Insiden VAP meningkat seiring lamanya penggunaan, tingkat


perkiraan 3% per hari untuk 5 hari pertama, 2% per hari untuk 6-10 hari, dan 1 %
per hari setelah hari ke 10. VAP memiliki tingkat mortalitas yang bervariasi dari
30% hingga 70%. Variasi ini merupakan hasil dari perbedaan populasi dan
variasi pemberian terapi empiris pada dua hari pertama. Lebih jauh lagi, jenis
organisme yang menginfeksi juga mempengaruhi tingkat mortalitas, dimana
peningkatan terjadi pada infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa atau
Acinetobacter spp (Putu. 2006)

Pada tahun 2012 jumlah pasien yang menggunakan ventilator 109 orang,
meninggal 86 orang, jumlah hari pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 694
hari, dan 10 kasus dengan VAP. Pada tahun 2013 jumlah pasien ICU yang
menggunakan ventilator sebanyak 148 orang, jumlah pasien yang meninggal 100
orang, jumlah hari pemakaian ventilator yaitu 670 hari, dan data untuk kasus
dengan VAP didapatkan 7 kasus VAP dengan hasil kultur yaitu A. Baumanii,
Streptococcus, Acinetobacter dan E. Coli. Hasil diagnosis VAP di Ruang ICU
Rumkital Dr. Ramelan didapatkan berdasarkan hasil kultur yang
didokumentasikan pada satu buku catatan VAP berisi hasil kultur pasien.

Menurut Burns et al (2011) pasien yang terpasang ventilasi mekanik dan


endotracheal tube (ETT) menghambat mekanisme batuk alami yang merupakan
mekanisme pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan,
menghindari aspirasi sekret saluran napas bagian atas yang normalnya dapat
melindungi saluran pernapasan dari invasif patogen. Adanya ETT akan mencegah
mukosiliar dalam pembersihan secret kemudian sekret menumpuk di atas manset
ETT dan akhirnya dapat menyebabkan microaspiration dan pneumonia.

1
Endotracheal tube juga menekan refleks epiglotic sehingga memudahkan
masuknya bakteri virulen (karena sekresi yang berlebihan ataupun aspirasi dari
lambung). Obat-obat sedasi dalam jangka waktu yang lama pada pasien di ICU
dapat menekan kemampuan menelan pasien secara efektif yang dapat membantu
membersihkan saliva dari rongga mulut. Pasien dengan intubasi akan
menghambat pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan.
Adanya endotracheal tube juga akan menghilangkan refleks batuk efekt.
Pemberian sedasi, adanya ETT berkontribusi pada kejadian VAP yang terjadi
akibat respons inflamasi terhadap mikroorganisme parenkim paru. Respons yang
terjadi tergantung pada jumlah dan jenis mikroorganisme, virulensi serta daya
tahan tubuh. Sebagian besar kasus VAP disebabkan oleh aspirasi sekresi infeksi
dari orofarings dan sebagian kecil berasal dari infeksi sistemik. Berbagai bentuk
mekanisme pertahanan yang terdapat di jalan napas, seperti saliva, refleks batuk,
mucociliary clearance dan sistem imun humoral melindungi paru dari infeksi.
Pada orang normal sekresi orofaringeal yang berkala dikeluarkan oleh karena ada
mekanisme pertahanan sedangkan pada pasien kritis terjadi gangguan imun,
pemakaian sedasi serta ETT dapat mengganggu mekanisme pertahanan. Ketika
mikroorganisme masuk kedalam paru, mekanisme pertahanan tidak mampu
membunuh organisme tersebut. Makrofag alveolar, netrofil dan elemen sistem
imun humoral berinteraksi menimbulkan respons inflamasi. Jika sistem
pertahanan tubuh terganggu maka pneumonia dapat terjadi. Untuk mencegah
terjadinya kolonisasi orofaring dan kolonisasi lambung maka diperlukan tindakan
pencegahan diantaranya Head elevation of Bed dengan tujuan mengurangi
terjadinya aspirasi aerodigestif (oroparingeal dan gastrointestinal), meningkatkan
volume paru dan ventilasi paru pasien serta memberikan keamanan pada saat
pemberian makanan melalui NGT. (Dally, Emil, Ema. 2011).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Pneumonia Terkait Ventilator/ Ventilator Associated Pneumonia (VAP)


merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang
mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan
menggunakan ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama (lebih
dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang paling
penting.

2.2. Epidemiologi

Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP


di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh bahwa
data kejadian VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9-27% dan angka
kematiannya bias melebihi 50% (Chastre, et al.,2002 ; Sallam, et al., 2005).
Sebuah penelitian pneumonia berskala besar dalam sehari dilakukan pada 29
April 1992 di 1.417 Unit Perawatan Intensif (ICU). Total 10.038
pasien dievaluasi: 2.064 (21%) mengalami infeksi yang didapat pada ICU (ICU-
acquired infections) dan 967 (47%) diantaranya termasuk pasien pnemonia yang
merupakan 10% dari prevalensi keseluruhan pneumonia nosokomial. Dalam
penelitian ini, ventilator mekanik teranalisa sebagai salah satu dari tujuh faktor
resiko dari ICU-acquired infections (infeksi yang didapat di Unit Perawatan
Intensif). Sebuah penelitian yang lebih besar dilakukan pada 107 ICU di negara-
negara Eropa, menunjukkan angka kematian kasar pneumonia sebesar 9%.
Dalam penelitian ini, pemakaian ventilator mekanik dihubungkan dengan adanya
peningkatan resiko terjadinya ICU-acquired infections sebanyak tiga kali lipat
dibandingkan dengan pasien tanpa ventilator. Sebuah penelitian prospektif besar
dilakukan pada 16 ICU di Kanada: 1.014 pasien dengan ventilator mekanik
dilibatkan, 177 (18%) diantaranya berkembang menjadi VAP, setelah dilakukan
sampling bronkoskopik dengan bronchoalveolar lavage (BAL) atau dengan

3
protected specimen brush (PSB). Data ini menunjukkan angka resiko yang tinggi
terhadap timbulnya VAP pada pasien ICU yang dilakukan pemasangan
ventilator mekanik

2.3. Etiologi

Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil


isolasi kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat
sering ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah
mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada neonatus.
Bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset
atau lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah
kuman gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus
spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan
Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II
adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella
pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA). Bakteri
penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan
MRSA.

2.4. Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu pejamu, peralatan yang digunakan, dan faktor petugas yang terlibat
dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini adalah kondisi pasien yang sudah
ada sebelumnya seperti penyakit dasar dari pasien misalnya penurunan kekebalan,
penyakit paru obstruktif kronis, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor
pejamu lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh
pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi, dan obat-obatan, termasuk agen obat
penenang dan antibiotik. Selain dari hal diatas, faktor usia dan status nutrisi sebagai
faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan
malnutrisi sering dikaitkan dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan
risiko ketergantungan terhadap ventilator, menigkatkan angka kejadian infeksi dan
penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007). Adapun peralatan yang menjadi
faktor risiko VAP adalah termasuk selang endotrakeal, sirkuit ventilator, dan

4
adanya selang nasogastrik atau orogastrik. Sementara faktor risiko VAP yang
termasuk kategori petugas yang terlibat dalam perawatan pasien diantaranya
kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator
mekanik, prosedur pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut, dan prosedur
penghisapan lendir (suction) (Luna, 2003). Selain itu, kontaminasi bakteri sekresi
endotrakeal lebih tinggi pada pasien dalam posisi terlentang dibandingkan pada
pasien dalam posisi semirecumbent. Apakah karena obat, proses patofisiologi, atau
cedera, penurunan tingkat kesadaran yang mengakibatkan hilangnya refleks batuk
dan muntah berkontribusi terhadap risiko aspirasi dan oleh karena itu peningkatan
risiko untuk VAP. Reintubasi dan aspirasi selanjutnya dapat meningkatkan
kemungkinan VAP 6 kali lipat.

2.5. Diagnosis

Diagnosis yang akurat untuk VAP masih menjadi masalah. Tanda-tanda


untuk diagnosis standar seperti demam, takikardi, leukositosis, sputum yang
purulen dan konsolidasi pada gambaran radiografi thoraks belum bisa digunakan
untuk mendiagnosis VAP secara pasti pada pasien dengan ventilator mekanik di
ICU. Demam, leukositosis dan takikardi merupakan gejala non-spesifik yang juga
bisa ditemukan pada pasien-pasien dengan respon inflamasi seperti pasien
trauma, luka bakar, pankreatitis dan sebagainya. Sputum yang purulen juga bisa
disebabkan karena trakeobronkitis dan tidak selalu menunujukkan kelainan pada
parenkim paru. Infiltrat/konsolidasi pada gambaran radiografi toraks bisa
disebabkan beberapa kondisi non-infektif seperti edema paru, pendarahan dan
kontusio. Sebuah penelitian oleh Meduri menggunakan studi prospektif pada 50
pasien dengan demam dan infiltrat paru, hanya 42% yang benar-benar
terdiagnosis VAP. Meskipun demikian, diagnosis VAP tetap perlu dilakukan
pada pasien dengan infiltrat baru atau progresif pada gambaran radiologi thoraks
bersamaan dengan ditemukannya tanda-tanda infeksi seperti demam, leukositosis
dan sekret yang purulen. Tanda-tanda tersebut juga sering diikuti dengan
penurunan kemampuan pertukaran gas. Jadi secara umum, diagnosis VAP tetap
ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam(suhu
tubuh lebih dari 38,6oC), takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat

5
baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi
paru. Torres dkk. Menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda
infiltrat baru maupun progresif pada foto toraks disertai gejala demam,
leukositosis maupun leukopeni dan secret purulen. Gambaran foto toraks disertai
dua dari tiga kriteria gejala tersebut memberikan sensitivitas 69% dan spesifisitas
75%.

Tingginya mortalitas VAP membutuhkan terapi antibiotik yang tepat dan


cepat sehingga diperlukan informasi kuman penyebab VAP dan resistensinya
dengan teknik pengambilan sampel yang tepat. Pengambilan sampel dapat
dilakukan dengan metode noninvasif dan invasif. Metode noninvasif yang paling
sering dilakukan adalah aspirasi endotrakeal sedangkan Protected Specimen
Brush (PSB) dan Bronchoalveolar Lavage (BAL) merupakan metode invasif.
Standar diagnostik VAP adalah biakan kuantitatif sampel PSB dan BAL.

Perbandingan sensitivitas dan spesifisitas untuk pemeriksaan aspirasi


endotrakeal, PSB dan BAL dalam menentukan diagnosis VAP dapat dilihat di
petanda soluble Triggering Receptor Expressed on Myeloid cells-l (sTREM-l)
melalui BAL ternyata memiliki sensitivitas 98% dan spesifisitas 90%.

Tabel.1.

Aspirasi PSB BAL


Endotrakeal

Sensitivitas(%) 38-100 33-100 42-93

Spesifisitas(%) 14-100 50-100 45-100

Spesifisitas diagnosis dapat ditingkatkan dengan menghitung Clinical


Pulmonary Infection Score (CPIS) yang mengkombinasikan data klinis,
laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen
(PaO2/FiO2) dan foto toraks. Terdapat korelasi antara skor CPIS lebih dari 6
dengan diagnosis pneumonia berdasarkan biakan kuantitatif BAL dengan atau
tanpa ronkoskopi. Sensitivitas dan spesifisitas CPIS dengan pemeriksaan
histologik dan biakan kuantitatif postmortem sebagai pembanding adalah 77%
dan 42%.

6
Tabel Clinical pulmonary infection score (CPIS)

Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien
terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik di ICU dan pemeriksaan
mikrobiologi dilakukan jika terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS
dilakukan berkala. Biakan kuman diambil berdasarkan teknik protected specimen
brush, bronchoalveolar lavage, ataupun blind suctioning sekret bronkial.

Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia


sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia).
Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia
maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman
didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS >6,

7
maka diagnosis VAP dapat ditegakkan. Begitupun jika nilai total CPIS ≤6, maka
diagnosis VAP disingkirkan

2.6. Patogenesis

Patogenesis VAP sangat kompleks. Kollef menyatakan insiden VAP


tergantung pada lamanya paparan lingkungan dan penggunaan alat kesehatan
tertentu, dan faktor risiko lain. Faktor-faktor risiko ini meningkatkan
kemungkinan terjadinya VAP dengan cara meningkatkan terjadinya kolonisasi
traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan meningkatkan terjadinya
aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas bawah. Kuman dalam
aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas bawah dan di
parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman untuk menginvasi
parenkim paru lebih lanjut sampai kemudian terjadi reaksi peradangan di
parenkim paru. Cook dkk. menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama
kolonisasi dan aspirasi mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor
seperti pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan
pencegah/profilaksis stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi
enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien.

Saluran pernapasan normal memiliki berbagai mekanisme pertahanan paru


terhadap infeksi seperti glotis dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial,
gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik. Pneumonia akan
terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan adanya invasi mikroorganisme
virulen. Sebagian besar VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen yang
berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring, dimana intubasi akan
mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar ujung
pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang. Selain itu, VAP dapat
pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik, penghisapan
lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman
patogen kedalam saluran pernapasan bawah.

8
2.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP


membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat dengan pemberian
antimikroba/antibiotik dan perawatan menyeluruh. Walaupun pengambilan
sampel mikrobiologi harus dilakukan sebelum memulai terapi, hal ini tidak boleh
menunda pemberian antibiotik. Sebagian besar penelitian menunjukkan
penundaan pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka
kematian. Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan epidemiologi dan pola
kuman setempat. Pada pasien dengan early onset VAP yang sebelumnya belum
pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan monoterapi dengan generasi
ketiga sefalosporin. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan
ventilator mekanik jangka panjang dan telah pernah menggunakan antibiotik
sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat mengatasi patogen
yang potensial.

Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan untuk
infeksi saluran pernapasan. Luna dkk. menyebutkan bahwa pemberian antibiotik
yang adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita
VAP pada saat data mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis,
menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi
endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita
VAP sambil menunggu hasil biakan BAL.

Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang
mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah penghambat β-
laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah.
Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan
(63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin
(28%) dan aminoglikosida (25%). Singh dkk. menyatakan bahwa siprofloksasin
sangat efektif pada sebagian besar kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus
influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan
setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).

9
Tabel 2. Dosis awal antibiotika intravena penderita VAP Dewasa

Antibiotika Dosis

Sefalosporin antipseudomonas

 Cefepim  1-2 gr tiap 8-12 jam


 Ceftazidim  2 gr tiap 8 jam

Karbapenem

 Imipenem  500mg tiap 6jam/1gr tiap 8jam


 Meropenem  1gr tiap 8 jam

Kombinasi β laktam-penghambat β
lactamase
 4,5 gr tiap 6 jam
 Piperasilin-tazobaktam noglikosida
 Gentamisin  7 mg/kg/hari
 Tobramisin
 7 mg/kg/hari
 Amikasin
 20 mg/kg/hari

Kuinolon antipseudomonas

 Levofloksasin  750 mg tiap hari


 Siprofloksasin  400 mg tiap 8 jam

Vankomisin 15 mg/kg tiap 12 jam

Linezolid 600 mg tiap 12 jam

10
Tabel.3 American Thoracic Society (ATS) menyimpulkan strategi diagnostik dan
penatalaksanaan pneumonia nosokomial dan VAP.

Dugaan Hospital-Acquired Pneumonia (HAP),Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)


atau Healthcare-Associated Pneumonia (HCAP)

Kecuali jika dugaan pneumonia secara klinis rendah dan secara mikroskopik negatif,
pemberian antibiotik dapat dimulai berdasarkan algoritma dan data mikrobiologik setempat

Pengambilan sampel saluran nafas bawah untuk pemeriksaan biakan


(kuantitatif/semikuatitatif) dan mikroskopik

hari ke-2 dan ke-3 periksa hasil biakan dan nilai respon klinis seperti suhu, leukosit, foto torak,
oksigenasi, sputum purulen,hemodinamik dan fungsi organ

Perbaikan klinis pada 48-72 jam

Tidak Ya

Biakan (-) Biakan (+)


Biakan (-) Biakan (+)

Cari kuman Sesuaikan terapi


patogen lain, antibiotik, cari kuman Penghentian De-ekskalasi
komplikasi, patogen lain, terapi dan jika
diagnosis atau komplikasi, diagnosis antibiotik memungkinka
lokasi infeksi atau lokasi Infeksi lain n obati selama
lain 7-8 hari dan
dinilai

11
2.8. Pencegahan
Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko, intervensi
keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua cara
pencegahan (Wiryana, 2007):
1. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan.
Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan antara lain :
a. Mencuci tangan
Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah
kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan
atau endotrakeal sekresi oral (Porzecanski, 2006).
b. Suction
Suction endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk
mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan
napas, merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Luna,
2003).
c. Perubahan posisi tidur
Rutin mengubah pasien minimal setiap dua jam dapat meningkatkan drainase
paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral
terus menerus dapat menurunkan kejadian pneumonia tetapi tidak menurunkan
angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Porzecanski,, 2006).
d. Oral dekontaminasi
Perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan mengurangi jumlah bakteri
dalam rongga mulut pasien. yang dapat dilakukan dengan intervensi mekanis dan
farmakologis. Intervensi mekanik termasuk menyikat gigi dan pembilasan dari
rongga mulut untuk menghilangkan plak gigi. Adapun intervensi farmakologis
melibatkan penggunaan antimikroba.. Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik
tidak menurunkan kejadian VAP dan ketika agen-agen yang digunakan tidak
tepat, dapat mengembangkan resistensi antibiotic (Luna, 2003).
2. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi
untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat
digunakan untuk mengurangi risiko VAP. Strategi tersebut meliputi :
a. Menyapih dan ekstubasi dini

12
Karena adanya suatu selang endotrakeal merupakan predisposisi pasien VAP,
oleh karena itu pasie harus diobservasi setiap hari. Jika memungkinkan menyapih
dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi mekanis lebih dianjurkan (Wiryana, 2007).
b. Posisi semifowler
Memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 30° sampai 45° mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung
ke dalam saluran napas. Cukup mengangkat kepala 30° tempat tidur dapat
menurunkan VAP sebesar 34% (Luna, 2003).

13
BAB III
KESIMPULAN

1. Pneumonia Terkait Ventilator/ Ventilator Associated Pneumonia (VAP)


merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang
mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan
menggunakan ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama
(lebih dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang
paling penting.
2. Diagnosis pneumonia yang berhubungan dengan ventilator atau ventilator
associated pneumonia (VAP) biasanya berdasarkan 3 komponen tanda infeksi
sistemik yaitu demam(suhu tubuh lebih dari 38,6oC), takikardi, dan
leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto toraks
dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru.
3. Kemungkinan bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram
negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,
Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan
Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II
adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella
pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA).
Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acetinobacter spp, dan MRSA.
4. Tatalaksana yang digunaka untuk pengobatan VAP adalah Piperasilin-
tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti
golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan
aminoglikosida (25%).

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Chastre, J, Fagon JY, Ventilator- associated Pneumonia in America Journal of


Respiratory and Critical Care Medicine. 7(165). Hal 867-903.
2. Wiryana, Made. 2007. Ventilator Associated Pneumonia. Bagian/SMF Ilmu
Anestesi dan Reanimasi. FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Vol 8(3).
3. Luna, C.M. Blanzaco, D. Niederman, M.S Mataruco. W. Baredes. 2003.
Resolutionof Ventillator associated pneumonia prospective evaluation of the
clinical pulmonary infection score as an early clinically predictor of outcome.
Critical care Med: 676-82.
4. Porzecanski I. Bowton. D.L. 2006. Diagnosis And Treatment Of Ventilator
Associated Pneumonia. Chest. 30: 597-604.
5. Putu Kessi Vikaneswari. 2006. Kesesuaian Terapi Empiris Antibiotik Pada
Pasien Dengan Ventilator Associated Pneumonia di RSUP Sanglah dengan
Ats Guidelines 2005. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar
Bali. Vol5(8).
6. Dally Rahman, Emil Huriani, Ema Julita. 2011. Kejadian Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) Pada Klien dengan Ventilasi Mekanik
Menggunakan Indikator Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS). Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. Padang. Vol. 6(2): 126–135

15

Anda mungkin juga menyukai