PENDAHULUAN
Pada tahun 2012 jumlah pasien yang menggunakan ventilator 109 orang,
meninggal 86 orang, jumlah hari pemakaian ventilator dalam 1 tahun yaitu 694
hari, dan 10 kasus dengan VAP. Pada tahun 2013 jumlah pasien ICU yang
menggunakan ventilator sebanyak 148 orang, jumlah pasien yang meninggal 100
orang, jumlah hari pemakaian ventilator yaitu 670 hari, dan data untuk kasus
dengan VAP didapatkan 7 kasus VAP dengan hasil kultur yaitu A. Baumanii,
Streptococcus, Acinetobacter dan E. Coli. Hasil diagnosis VAP di Ruang ICU
Rumkital Dr. Ramelan didapatkan berdasarkan hasil kultur yang
didokumentasikan pada satu buku catatan VAP berisi hasil kultur pasien.
1
Endotracheal tube juga menekan refleks epiglotic sehingga memudahkan
masuknya bakteri virulen (karena sekresi yang berlebihan ataupun aspirasi dari
lambung). Obat-obat sedasi dalam jangka waktu yang lama pada pasien di ICU
dapat menekan kemampuan menelan pasien secara efektif yang dapat membantu
membersihkan saliva dari rongga mulut. Pasien dengan intubasi akan
menghambat pertahanan alami tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan.
Adanya endotracheal tube juga akan menghilangkan refleks batuk efekt.
Pemberian sedasi, adanya ETT berkontribusi pada kejadian VAP yang terjadi
akibat respons inflamasi terhadap mikroorganisme parenkim paru. Respons yang
terjadi tergantung pada jumlah dan jenis mikroorganisme, virulensi serta daya
tahan tubuh. Sebagian besar kasus VAP disebabkan oleh aspirasi sekresi infeksi
dari orofarings dan sebagian kecil berasal dari infeksi sistemik. Berbagai bentuk
mekanisme pertahanan yang terdapat di jalan napas, seperti saliva, refleks batuk,
mucociliary clearance dan sistem imun humoral melindungi paru dari infeksi.
Pada orang normal sekresi orofaringeal yang berkala dikeluarkan oleh karena ada
mekanisme pertahanan sedangkan pada pasien kritis terjadi gangguan imun,
pemakaian sedasi serta ETT dapat mengganggu mekanisme pertahanan. Ketika
mikroorganisme masuk kedalam paru, mekanisme pertahanan tidak mampu
membunuh organisme tersebut. Makrofag alveolar, netrofil dan elemen sistem
imun humoral berinteraksi menimbulkan respons inflamasi. Jika sistem
pertahanan tubuh terganggu maka pneumonia dapat terjadi. Untuk mencegah
terjadinya kolonisasi orofaring dan kolonisasi lambung maka diperlukan tindakan
pencegahan diantaranya Head elevation of Bed dengan tujuan mengurangi
terjadinya aspirasi aerodigestif (oroparingeal dan gastrointestinal), meningkatkan
volume paru dan ventilasi paru pasien serta memberikan keamanan pada saat
pemberian makanan melalui NGT. (Dally, Emil, Ema. 2011).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
3
protected specimen brush (PSB). Data ini menunjukkan angka resiko yang tinggi
terhadap timbulnya VAP pada pasien ICU yang dilakukan pemasangan
ventilator mekanik
2.3. Etiologi
Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu pejamu, peralatan yang digunakan, dan faktor petugas yang terlibat
dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini adalah kondisi pasien yang sudah
ada sebelumnya seperti penyakit dasar dari pasien misalnya penurunan kekebalan,
penyakit paru obstruktif kronis, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor
pejamu lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh
pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi, dan obat-obatan, termasuk agen obat
penenang dan antibiotik. Selain dari hal diatas, faktor usia dan status nutrisi sebagai
faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan
malnutrisi sering dikaitkan dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan
risiko ketergantungan terhadap ventilator, menigkatkan angka kejadian infeksi dan
penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007). Adapun peralatan yang menjadi
faktor risiko VAP adalah termasuk selang endotrakeal, sirkuit ventilator, dan
4
adanya selang nasogastrik atau orogastrik. Sementara faktor risiko VAP yang
termasuk kategori petugas yang terlibat dalam perawatan pasien diantaranya
kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator
mekanik, prosedur pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut, dan prosedur
penghisapan lendir (suction) (Luna, 2003). Selain itu, kontaminasi bakteri sekresi
endotrakeal lebih tinggi pada pasien dalam posisi terlentang dibandingkan pada
pasien dalam posisi semirecumbent. Apakah karena obat, proses patofisiologi, atau
cedera, penurunan tingkat kesadaran yang mengakibatkan hilangnya refleks batuk
dan muntah berkontribusi terhadap risiko aspirasi dan oleh karena itu peningkatan
risiko untuk VAP. Reintubasi dan aspirasi selanjutnya dapat meningkatkan
kemungkinan VAP 6 kali lipat.
2.5. Diagnosis
5
baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi
paru. Torres dkk. Menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda
infiltrat baru maupun progresif pada foto toraks disertai gejala demam,
leukositosis maupun leukopeni dan secret purulen. Gambaran foto toraks disertai
dua dari tiga kriteria gejala tersebut memberikan sensitivitas 69% dan spesifisitas
75%.
Tabel.1.
6
Tabel Clinical pulmonary infection score (CPIS)
Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien
terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik di ICU dan pemeriksaan
mikrobiologi dilakukan jika terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS
dilakukan berkala. Biakan kuman diambil berdasarkan teknik protected specimen
brush, bronchoalveolar lavage, ataupun blind suctioning sekret bronkial.
7
maka diagnosis VAP dapat ditegakkan. Begitupun jika nilai total CPIS ≤6, maka
diagnosis VAP disingkirkan
2.6. Patogenesis
8
2.7. Penatalaksanaan
Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan untuk
infeksi saluran pernapasan. Luna dkk. menyebutkan bahwa pemberian antibiotik
yang adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita
VAP pada saat data mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis,
menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi
endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita
VAP sambil menunggu hasil biakan BAL.
Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang
mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah penghambat β-
laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah.
Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan
(63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin
(28%) dan aminoglikosida (25%). Singh dkk. menyatakan bahwa siprofloksasin
sangat efektif pada sebagian besar kuman Enterobacteriaceae, Haemophilus
influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan
setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6).
9
Tabel 2. Dosis awal antibiotika intravena penderita VAP Dewasa
Antibiotika Dosis
Sefalosporin antipseudomonas
Karbapenem
Kombinasi β laktam-penghambat β
lactamase
4,5 gr tiap 6 jam
Piperasilin-tazobaktam noglikosida
Gentamisin 7 mg/kg/hari
Tobramisin
7 mg/kg/hari
Amikasin
20 mg/kg/hari
Kuinolon antipseudomonas
10
Tabel.3 American Thoracic Society (ATS) menyimpulkan strategi diagnostik dan
penatalaksanaan pneumonia nosokomial dan VAP.
Kecuali jika dugaan pneumonia secara klinis rendah dan secara mikroskopik negatif,
pemberian antibiotik dapat dimulai berdasarkan algoritma dan data mikrobiologik setempat
hari ke-2 dan ke-3 periksa hasil biakan dan nilai respon klinis seperti suhu, leukosit, foto torak,
oksigenasi, sputum purulen,hemodinamik dan fungsi organ
Tidak Ya
11
2.8. Pencegahan
Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko, intervensi
keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua cara
pencegahan (Wiryana, 2007):
1. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan.
Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan antara lain :
a. Mencuci tangan
Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah
kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan
atau endotrakeal sekresi oral (Porzecanski, 2006).
b. Suction
Suction endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk
pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk
mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan
napas, merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Luna,
2003).
c. Perubahan posisi tidur
Rutin mengubah pasien minimal setiap dua jam dapat meningkatkan drainase
paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral
terus menerus dapat menurunkan kejadian pneumonia tetapi tidak menurunkan
angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Porzecanski,, 2006).
d. Oral dekontaminasi
Perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan mengurangi jumlah bakteri
dalam rongga mulut pasien. yang dapat dilakukan dengan intervensi mekanis dan
farmakologis. Intervensi mekanik termasuk menyikat gigi dan pembilasan dari
rongga mulut untuk menghilangkan plak gigi. Adapun intervensi farmakologis
melibatkan penggunaan antimikroba.. Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik
tidak menurunkan kejadian VAP dan ketika agen-agen yang digunakan tidak
tepat, dapat mengembangkan resistensi antibiotic (Luna, 2003).
2. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi
untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat
digunakan untuk mengurangi risiko VAP. Strategi tersebut meliputi :
a. Menyapih dan ekstubasi dini
12
Karena adanya suatu selang endotrakeal merupakan predisposisi pasien VAP,
oleh karena itu pasie harus diobservasi setiap hari. Jika memungkinkan menyapih
dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi mekanis lebih dianjurkan (Wiryana, 2007).
b. Posisi semifowler
Memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 30° sampai 45° mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung
ke dalam saluran napas. Cukup mengangkat kepala 30° tempat tidur dapat
menurunkan VAP sebesar 34% (Luna, 2003).
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15