Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.1 Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan
jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m.2
Menurut data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun
2003-2006 diperkirakan bahwa orang yang berusia lebih dari 20 tahun di Amerika Serikat
memiliki prevalensi menderita PGK sebesar 15,2%, prevalensi PGK pada stadium 1-3
meningkat menjadi 6,5 % dan stadium 4-5 sekitar 0,6%. Prevalensi PGK berbeda di setiap
negara di Asia-Pasifik, dimana terdapat sekitar 12,915.1% penderita PGK di Jepang, 3,2
11.3% di Cina, 7,213,7% di Korea, 8,4516,3% di Thailand, 3,218,6% di Singapura,
4,2% di India dan 11,2% di Australia.3
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita penyakit ginjal kronik yang cukup
tinggi. Survei oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) menunjukan bahwa telah
terjadi penurunan fungsi ginjal dengan proteinuria persisten atau penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) pada 12,5% atau 30 juta orang dari total 240 juta rakyat Indonesia.
Sedangkan 433 per 1 juta penduduk pasien PGK berlanjut menjadi End Stage Renal Disease
(ESRD).4 World Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi peningkatan pasien
dengan penyakit ginjal di Indonesia sebesar 41,4% antara tahun 1995-2025.5
Data dari Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2015 yang didapatkan dari 249 unit
HD di Indonesia menunjukkan jumlah pasien baru yang menjalani HD pada tahu 2015 sebanyak
21.050 pasien, sedangkan jumlah seluruh pasien aktif yang menjalani HD sebanyak 30.554
pasien. Diagnosa penyakit utama pasien HD di Indonesia tahun 2015 paling banyak adalah
Gagal ginjal kronik sebesar 89%, diikuti gagal ginjal akut 7%, dan sebanyak 4% dengan
diagnosa Gagal ginjal akut pada GGK. Berdasarkan data tahun 2015 penyebab terbanyak
penyakit gagal ginjal di Indonesia adalah penyakit ginjal hipertensi sebesar 44% diikuti
Nefropati Diabetika sebesar 22%.

1
Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
6,7
progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan
pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan
beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah
glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir
dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). 1,6
Pengenalan sedini mungkin terhadap penurunan fungsi ginjal menjadi bagian penting
dalam mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut. Oleh karena itu dalam makalah ini
akan dibahas mengenai kriteria diagnosis serta pencegahan terhadap terjadinya masalah lebih
lanjut serta pengenalan terhadap tatalaksana komprehensif bagi penyakit ginjal kronik yang
akan berguna bagi mahasiswa Pendidikan profesi dokter yang nantinya akan memberikan
pelayanan di fasilitas kesehatan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan
kelainan struktural maupun fungsional yang berlangsung lebih dari tiga bulan serta
terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtrate
Rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.2 Pada PGK didapatkan kelainan komposisi
d arah, urin maupun kelainan tes pencitraan (imaging).2 Keadaan dimana terjadi
penurunan fungsi ginjal secara bertahap dan bersifat ireversibel disebut sebagai penyakit
ginjal kronik, dimana akan terjadi kerusakan total fungsi ekskresi yang dapat
mengancam jiwa. Penyakit ginjal dikategorikan sebagai PGK bila memenuhi kriteria
berikut:7,8
1) Kerusakan ginjal berlangsung lebih dari tiga bulan.
2) GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 . GFR merupakan indeks pengukuran fungsi ginjal
dimana nilai normal pada dewasa sekitar 125 mL/min per 1,73 m
3) Kelainan struktural atau fungsional dengan manifestasi berupa: kelainan patologis,
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, riwayat transplantasi ginjal, dan kelainan
imaging.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami peningkatan di
seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK
dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal.9 Penelitian di jepang
memperkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang
memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005.10
Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat
menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunya. Lebih
dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20% pasien
hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal kronik
tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih.11 Studi di Indonesia menyebutkan
angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk dan angka kejadianya sebesar
23,4 perjuta penduduk.12

3
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita penyakit ginjal kronik yang
cukup tinggi. Survei oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) menunjukan bahwa
telah terjadi penurunan fungsi ginjal dengan proteinuria persisten atau penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) pada 12,5% atau 30 juta orang dari total 240 juta rakyat
Indonesia. Sedangkan 433 per 1 juta penduduk pasien PGK berlanjut menjadi End Stage
Renal Disease (ESRD).5
Menurut IRR tahun 2012, penyakit utama terbanyak pada unit HD di
Indonesia ialah ESRD sekitar 83% (13.213 orang) dan tertinggi ditempati oleh Provinsi
Jawa Barat yaitu 3.359 orang sedangkan untuk Jawa Tengah dengan angka yang cukup
tinggi yaitu 366 orang.5
Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus
meningkat, peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi,
peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan
diabetes. 13

2.3 Klasifikasi
Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut
diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis etiologi,
penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal diabetes, penyakit
ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
4
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Dikutip dari : National Kidney Foundation, K/DOQI. Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease : Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis. 002;39(1).7

Menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 yang


mengacu pada National Kidney Foundation-KDQOL (NKF-KDQOL) tahun 2002, PGK
diklasifikasikan menjadi lima stadium atau kategori berdasarkan penurunan GFR, yaitu:7

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan GFR


Stadium Penjelasan GFR
(mL/min/1.73m )
G1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat 90
G2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan 60 89
G3a Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan 45-59
sampai sedang
G3b Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang 30-44
hingga berat
G4 Kerusakan ginjal dengan penurunan berat GFR 15-29
G5 Gagal ginjal <15
Dikutip dari: KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Berdasarkan peningkatan albumin dalam urin, KDIGO 2012 mengklasifikasikan


PGK menjadi tiga kategori. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.7

5
Tabel 3. Klasifikasi PGK berdasarkan albuminuria
AER ACR Penjelasan
Kategori (Albumin excretion rate) (Albumin creatinine ratio) (albuminuria)
mg/24 jam mg/mmol mg/g
1 <30 <3 <30 normal/meningkat
2 30-300 330 30-300 peningkatan sedang
3 >300 >30 >300 peningkatan berat
Dikutip dari: KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease

2.3 Etioligi dan Faktor Resiko


Penyebab PGK berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. M e n u r u t
National Health Insurance (NHI) didapatkan bahwa pertambahan usia, diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia dan jenis kelamin berhubungan dengan faktor resiko terjadinya
PGK.14 Faktor resiko terpenting terjadinya PGK ialah hipertensi dengan insidensi 35%
dan diabetes sekitar 26%. Secara keseluruhan, diabetes didapatkan pada 44% pasien
ESRD dan hipertensi pada 28% pasien ESRD. Kemudian 72% pasien ESRD memiliki
riwayat hipertensi maupun diabetes. Obesitas, sindrom metabolik dan riwayat keluarga
juga merupakan faktor resiko PGK.3
Laporan oleh Indonesian Renal Registry tahun 2015 mencatat penyebab
penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4.4
Tabel 4. Penyebab penyakit ginjal di Indonesia
Penyebab Insidensi Jumlah
Penyakit ginjal hipertensi 44% 7.602
Nefropati diabetika 22% 3.873
Glomerulopati primer 8% 1.343
Nefropati obstruksi 5% 944
Pielonefritis kronik 7% 1.160
Nefropati asam urat 1% 262
Ginjal polikistik 1% 243
Nefropati lupus 1% 143
Sebab lain 8% 1314
Tidak diketahui 3% 548

Patogenesis penyakit ginjal kronik berbeda berdasarkan etiologinya.


1. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyebab GGT melalui suatu proses yang
mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif
dan irreversible. Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada
6
arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh
darah glomeruli atau yang sering disebut degan glomerulosklerosis.
Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif, yaitu
meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan
peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses ini
melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan fungsional
yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus di dalam nefron
yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi
sklerotik yang terbentuk semakin banyak sehingga dapat menimbulkan
obliterasi glomerulus, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih
lanjut, dan Gambar 2. Kerangka Pemikiran menimbulkan lingkaran setan
yang berkembang secara lambat yang berakhir sebagai penyakit Gagal
Ginjal Terminal (Guyton and Hall, 2007). Beratnya pengaruh hipertensi
pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita
hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah dalam waktu lama maka semakin
berat komplikasi yang dapat ditimbulkan (Tessy, 2009). Teori ini diperkuat
oleh Hidayati et al (2008) dalam penelitian yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara lama hipertensi dengan kejadian CKD, semakin lama
menderita hipertensi maka semakin tinggi risiko untuk mengalami kejadian
CKD

7
2. Nefropati Diabetika
Nefropati diabetik adalah kelainan degeneratif vaskuler ginjal, mempunyai
hubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat atau intoleransi gula
atau Diabetes Melitus. Didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM
yang ditandai dengan albuminuria menetap yaitu: >300 mg/24 jam atau >200
mikrogram/menit pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3
sampai 6 bulan.4
Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik adalah (1)Kurang
terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dL (7,7-8,8
mmol/l); AIC >7-8%; (2) Genetik; (3) Kelainan hemodinamik (peningkatan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan
intraglomerulus); (4) Hipertensi sistemik; (5) Sindrom resistensi insulin
(sindrom metabolik); (6) Keradangan; (7) Perubahan permeabilitas
pembuluh darah; (8) Asupan protein berlebih; dan (9) Gangguan metabolik
(kelainan metabolisme polyol, pembentukan advance glycation end product,
peningkatan produksi sitokin.15 Pada patofisiologi terjadinya kerusakan
ginjal, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang
sehat lambat laun akan menyebabkan skleriosis dari nefron tersebut.
8
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati
diabetik kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric
Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah
rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-
yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk
dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti
kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein atau reaksi Mallard dan Browning. Pada awalnya,
glukosa akan mengikat residu amino serta non-enzimatik menjadi basa
Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang
lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika
proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advenced Glycation End-Product
(AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi
beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan
dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,
sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini
akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pementukan
nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan tahap 1-5.15 Dari
kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya glikosilasi protein
membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis, dan
terjadi pula penumpukkan zat serupa glikoprotein membran basalis pada
mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak, dan
aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan
hipertrofi nefron yang akan menimbulkan nefropati diabetik. Nefropati
diabetik menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh-pembuluh
kapiler dan arteri, penebalan selaput endotelial, trombosis, adalah
karakteristik dari mikroangiopati diabetik dan mulai timbul setelah periode
satu atau dua tahun menderita Diabetes Melitus. Hipoksia dan iskemia
jaringan-jaringan tubuh dapat timbul akibat dari mikroangiopati khususnya
terjadi pada retina dan ginjal. Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah
nefropati diabetik, dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang kemudian

9
menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita yang telah lama
mengidap Diabetes Melitus

3. Glomerulopati primer
Penyakit glomerulus secara umum selalu menyebabkan sindrom nefrotik. Manifestasi dari
sindrom nefritik adalah sebagai berikut:
1. Proteinuria, kehilangan lebih dari 3,5 g protein perhari.
2. Hipoalbuminemia, albumin plasma kurang dari 3 g/dl.
3. Edema, penumpukan cairan yang terlokalisir di seluruh tubuh.
4. Hiperlipidemia dan lipiduria.
Dasar dari sindrom nefrotik adalah adanya peningkatan permeabilitas terhadap protein plasma
(albumin: 70 kDa; transferin: 76 kDa) di glomerulus, hal ini yang akhirnya nanti dapat berakibat
sampai kepada proteinuria. Proteinuria yang berat dan peningkatan katabolisme albumin yang
tersaring oleh ginjal dapat mengakibatkan hipoalbuminemia.
Edema generalisata terjadi dikarenakan retensi dari air dan sodium. Hal ini juga dikaitkan
dengan beberapa faktor seperti sekresi aldosteron dan vasopresin. Pada kasus yang berat dapat
terjadi efusi pleura dan asites.
Pada hiperlipidemia terjadi peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, VLDL, LDL, Lp(a)
lipoprotein, dan apoprotein, serta penurunan HDL. Hal ini dikarenakan peningkatan sintesis
lipoprotein di hati, transportasi yang abnormal, dan penurunan katabolisme. Dan lipiduria akan
mengikuti keadaan hiperlipidemia.

Membranous Glomerulopathy (MG)


MG adalah penyakit yang umum terjadi pada sindrom nefrotik orang dewasa. Kelainan ini
ditandai dengan adanya penebalan difus dari dinding kapiler glomerular dan akumulasi muatan
elektron, deposit imunoglobulin di bagian subepitelial dari membran basal.
Penyakit MG dapat terjadi didampingi oleh adanya penyakit sistemik dan agen-agen lainnya.
Penyebab-penyebab yang paling sering ditemukan adalah
1) obat-obatan (penicillamine, captopril, gold, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
[NSAIDs]).
2) tumor ganas: karsinoma paru, kolon, dan melanoma.
3) systemic lupus eythematosus (SLE): 15% merupakan tipe membranosa.
4) infeksi: hepatitis B kronik, hepatitis C, sifilis, schistosomiasis, malaria

10
MG merupakan bentuk dari penyakit yang berhubungan dengan kompleks imun kronik. Pada
tipe yang sekunder, beberapa jenis antigen dapat ditemukan pada kompleks imun, misalnya
pada SLE.
Mekanisme terjadinya dinding kapiler yang sangat lemah pada penyakit MG ini adalah
dikarenakan adanya infiltrasi netrofil, monosit, atau platelet di glomerulus dan komplemen
(C5b-C9). Komplemen merupakan jalur untuk pembentukan kompleks dalam penghancuran
membran. C5b-C9 mengaktivasi epitel glomerular dan mesangial kemudian menginduksinya
melepaskan protease dan oksidan, yang dapat membuat kerusakan pada dinding kapiler dan
peningkatan masuknya protein.
Pada MG, proteinuria tidak selektif dan tidak merespon baik terhadap pemberian kortikosteroid.
Dan perjalanan penyakit ini dihubungkan dengan meningkatnya sklerosis glomerulus, BUN,
dan hipertensi.
Diagnosis penyakit ini adalah dengan biopsi jaringan. Dan sklerosis konkuren menunjukkan
prognosis yang buruk. Pemberian terapi kortikosteroid dan imunosupresif yang lain tidak dapat
dipastikan kefektifannya karena banyaknya variasi penyebab dan jenis.
Dengan menggunakan mikroskop cahaya glomerulus tampak normal pada stadium awal
(seragam, penebalan dinding kapiler glomerulus). Namun dengan mikroskop elektron,
penebalan terlihat dikarenakan adanya deposit di antara membran basal dan menutupi sel epitel,
dan tonjolan kaki pada epitel lenyap. Membran balsal dipenuhi oleh deposit-deposit
(imunogloblin dan komplemen), yang ditandai dengan adanya struktur seperti duri yang tidak
beraturan berwarna hitam dengan pewarnaan perak. Dan jika penyakit ini terus berlanjut,
penebalan akan sampai pada kapiler lumen, dan sklerosis mesangium dapat terjadi, dan pada
saatnya glomerulus akan mengalami sklerosis total.
MG memperlihatkan perjalanan penyakit yang berbeda-beda pada tiap individu. Pada semua
penderita penyakit MG ini, semua penyebab sekunder harus disingkirkan terlebih dahulu dalam
pengobatannya. Dan penyakit ini patut diwaspadai karena memperlihatkan perjalanannya yang
bervariasi dan sering indolen.
Minimal Change Disease (MCD)
Penyakit ini tergolong sindrom nefrotik yang paling sering terjadi pada anak-anak. Kelainan ini
ditandai dengan lenyapnya prosesus kaki sel epitel yang ada di glomerulus (sel T yang
mengeluarkan sitokin) pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Puncak dari onset penyakit ini
adalah antara usia 2-6 tahun. Penyakit MCD sering diikuti infeksi pernapasan atau imunisasi

11
rutin profilaktik. Dan karakteristik yang paling sering muncul adalah responnya yang sangat
kuat terhadap pemberian kortikosteroid.
Penyakit ini berbeda dengan MG, dalam hal tidak ditemukannya deposit imunologi pada
glomerulus. Namun penyakit ini juga berkaitan dengan sistem imunologi seperti, hubungan
antara pemberian imunisasi pada infeksi dan profilaktik, respon terhadap kortikosteroid dan
imunosupresif lainnya, kelainan atopik (eksema, rhinitis), peningkatan
HLA haplotypes dihubungkan dengan atopi, sindrom Hodgkin (kelainan pada sel T), adanya
faktor penginduksi proteinuria dalam plasma atau supernatan limfosit.
Hipotesis utama yang ada saat ini adalah pada penyakit MCD terjadi beberapa kegagalan sistem
imun. Akibat dari sel T yang mengeluarkan sitokin tadi merusak prosesus kaki sel podosit akan
terjadi defek pada barier muatan di dinding glomerulus yang akhirnya menyebabkan
proteinuria. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan MCD adalah mutasi pada protein
glomerulus yaitu nefrin. Mutasi pada gen ini menyebabkan sindrom kongenital nefrotik
berupa Finnish type.
Sesuai dengan namanya, pada mikroskop cahaya morfologi dari glomerulus dan dindingnya
terlihat normal. Morfologi yang khas jika dilihat dengan perbesaran yang lebih akan terlihat
defek pada sel viseral. Namun perubahan pada sel viseral itu bersifat reversibel setelah
pemberian kortikosteroid. Efek pada penyakit ini akan terlihat peningkatan jumlah lemak dan
protein pada tubulus proksimal yang nantinya juga membuat kegagalan penyerapan pada
tubulus sehingga terjadi lipiduria dan proteinuria.
Meski terjadi proteinuria yang masif, fungsi ginjal secara umum masih baik. Tidak ditemukan
adanya hipertensi atau hematuria. Efek samping yang dapat terjadi pada pasien adalah
terjadinya resistensi dan ketergantungan terhadap steroid. Namun, prognosis penyakit ini baik
dan ketergantungan dapat diatasi ketika anak mencapai usia pubertas.
Focal Segmental Glomerulusklerosis (FSGS)
Penyakit FSGS secara histologis ditandai dengan adanya sklerosis yang mencakup sebagian
glomerulus dan hanya melibatkan beberapa segmen glomerulus. Gambaran histologis ini sering
berkaitan dengan sindrom nefrotik dan berkaitan dengan penyakit lain seperti HIV, kecanduan
heroin, proses sekunder pada glomerulonephritis (IgA nephropathy), respon adaptif terhadap
hilangnya jaringan ginjal, pada bentuk kelainan kongenital akibat mutasi gen yang mengkode
nefrin, podosin, dan -aktinin 4 pada podosit, atau sebagai penyakit primer.
FSGS primer atau idiopatik ditemukan dengan jumlah 10-35% pada semua kasus sindrom
nefrotik pada anak dan dewasa. Gejala-gejala yang dapat dilihat adalah sebagai berikut:

12
hematuria, penurunan GFR dan hipertensi
proteinuria yang nonselektif
respon yang buruk terhadap kortikosteroid
dapat menjadi progresif dan kronik
adanya deposit nonspesifik IgM dan C3 pada segmen sklerosis dengan imunofluoresens
Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan ditemukan lesi pertama sekali pada
glomerulus juxtamedular. Pada segmen sklerotik, terjadi kolaps membran basal, peningkatan
matriks, endapan massa hialin, dan butir-butir lemak. Kadang-kadang glomerulus dapat
mengalami sklerosis total. Pemeriksaan imunofluoresens memperlihatkan endapan
imunoglobulin, biasanya IgM dan komplemen di bagian hialinosis. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron, sel epitel viseral kehilangan prosesus kaki, seperti pada MCD, bahkan
sampai terlepasnya sel epitel disertai pengelupasan membran basal.
Pada sklerosis yang fokal mungkin terdapat hialinosis dan penebalan dinding arteriol aferen.
Jika terjadi secara progresif, akan terjadi peningkatan jumlah glomerulus yang mengalami
sklerosis dan matriks mesangial. Dan seiring perjalanan penyakit yang lebih lanjut lagi akan
terjadi sklerosis total glomerulus, dengan atropi tubular dan fibrosis interstisial.
Mekanisme dari penyakit ini terutama adalah terjadi kerusakan epitel yang dikarenakan
hialinosis dan sklerosis. Hialinosis dan sklerosis akan menyebabkan terperangkapnya protein
plasma dalam glomerulus karena membran yang hiperpermeabel (akibat sitokin). Pada serum
pasien ditemukan faktor nonimmunoglobulin seberat 50-kDa menyebabkan proteinuria.
Penemuan terbaru mengenai gen yang mempengaruhi FSGS adalah NPHS1 dan NPHS2. Gen
NPHS1 berada pada kromosom 19q13 dan mengkode protein nefrin. Mutasi pada NPHS1
meningkatkan terjadinya sindrom nefrotik kongenital. Sedangkan gen NPHS2 berada pada
kromosom 1q25-31 dan mengkode protein podocin. Mutasi pada NPHS2 mengakibatkan
sindrom nefrotik resisten-steroid pada anak-anak. Dan yang terakhir mutasi pada gen yang
mengkode protein -actinin 4.
Komponen lain yang juga berpengaruh terhadap kerusakan adalah CD2-associated
protein (CD2AP), 31 integrins and dystroglycans. Komplikasi dari penyakit FSGS adalah
ablasi renal.
Membranoproliferative Glomerulonephritis (MPGN)
MPGN secara histologis memiliki gambaran perubahan pada membran basal, proliferasi sel
glomerular, dan infiltrasi leukosit. 10-20% kasus sindrom nefrotik adalah MPGN. Beberapa
kasus dengan gejala hanya hematuria atau proteinuria dengan rentang yang tidak spesifik dan

13
yang lain gambaran nefrotik-nefritik. Etiologi dapat berasal dari penyakit lain ataupun idiopatik
(primer).
MPGN primer dibagi menjadi tipe I dan II. Dengan mikroskop cahaya, kedua tipe serupa.
Glomerulus besar dan memperlihatkan proliferasi sel mesangium serta sebukan leukosit.
Glomerulus tampak lobular, membran basal menebal, dan dinding kapiler glomerulus sering
memperlihatkan gambaran kontur ganda atau tram track, terutama jelas pada pewarnaan
perak atau periodic acid-Schiff (PAS). Hal ini disebabkan oleh pemisahan membran basal
akibat adanya tonjolan sel mesangium dan masuknya sel radang dalam gulungan kapiler perifer.
Tipe I dan II memperlihatkan perbedaan gambaran ultrastruktur dengan pemeriksaan
imunofluoresens. MPGN tipe I yang merupakan dua pertiga kasus, ditandai dengan adanya
endapan electron-dense di subendotel, C3 dalam pola yang granular dan juga sering terdapat
endapan IgG dan komponen-komponen awal komplemen (C1q dan C4) yang mengisyaratkan
patogenesis kompleks imun. Pada MPGN tipe II, lamina densa dan ruang subendotel
mengalami transformasi menjadi struktur iregular mirip pita yang sangat electron-dense, akibat
endapan bahan yang komposisinya tidak diketahui sehingga sering disebut sebagai dense
deposit disease. C3 terdapat dalam fokus granular-linier iregular di membran basal dan
mesangium dalam agregat sirkular khas (cincin mesangium). IgG biasanya tidak ditemukan
demikian juga dengan komponen awal komplemen (C1q dan C4).
Meskipun banyak terdapat tumpang tindih, tipe I dan II memiliki mekanisme patogenik yang
berbeda. Sebagian besar kasus MPGN tipe I tampaknya disebabkan oleh kompleks imun dalam
darah, serupa dengan serum sickness kronis, tetapi antigen pemicunya tidak diketahui. MPGN
tipe I juga ditemukan berkaitan dengan antigenemia hepatitis B dan C, SLE, infeksi
atrioventrikel, dan infeksi sekunder dengan antigenemia persisten atau episodik. Patogenesis
MPGN tipe II belum diketahui pasti. Serum pasien dengan tipe II mengandung suatu faktor
yang disebut faktor nefritik C3 (C3NeF) yang dapat mengaktifkan jalur komplemen alternatif
dan berfungsi menstabilkannya, sehingga jalur ini menjadi aktif yang menyebabkan
pengeluaran berbagai fragmen komplemen aktif-biologis. Oleh karena itu, C3NeF adalah suatu
antibodi dan, seperti pada penyakit autoimun lainnya, terdapat presdiposisi genetik untuk
munculnya MPGN. Hipokomplementemia, yang lebih mencolok pada tipe II, sebagian
disebabkan oleh konsumsi C3 berlebihan dan sebagian oleh penurunan sintesis C3 di hati.
Masih belum jelas bagaimana kelainan komplemen menyebabkan perubahan glomerulus.
Manifestasi utama pada sekitar 50% kasus adalah sindrom nefrotik, walaupun MPGN juga
dapat berawal sebagai nefritis akut atau secara lebih perlahan, sebagai proteinuria. Prognosis

14
MPGN umumnya buruk. Pada satu penelitian, tidak satu pun dari 60 pasien yang diikuti selama
1 sampai 20 tahun memperlihatkan remisi sempurna. Empat puluh persen berkembang menjadi
gagal ginjal tahap akhir, 30% mengalami insufisiensi ginjal dengan derajat bervariasi, dan 30%
lagi mengalami sindrom nefrotik persisten tanpa gagal ginjal. MPGN tipe II memiliki prognosis
lebih buruk dan cenderung kambuh pada penerima cangkok ginjal. Seperti glomerulonefritis
lainnya, MPGN, terutama tipe I dapat timbul dalam kaitannya dengan penyakit lain (sekunder),
seperti SLE, hepatitis B dan C, penyakit hati kronis, dan infeksi bakteri kronis. Dan banyak
kasus yang idiopatik diperkirakan berkaitan dengan hepatitis C.
3. Pielonefritis
Infeksi saluran kemih adalah bertumbuh dan berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam
saluran kemih dan mengenai parenkim ginjal dalam jumlah bermakna. Pielonefritis adalah
infeksi parenkim ginjal dan biasanya merupakan lanjutan dari sistitis akut (penyebaran
asenden). 4,7 7 Pada neonatus, pielonefritis akut muncul dengan sepsis dengan gejala letargi,
kejang, syok, suhu yang tidak stabil, ikterik fisiologis yang persisten.8,9,10 Gejala non spesifik
termasuk gagal tumbuh, muntah, diare. Infeksi saluran kemih pada bayi usia dibawah 1 tahun
mengindikasikan pielonefritis akut.11,12,13
1. Kebanyakan pielonefritis berasal dari kandung kencing kemudian asenden
sehingga menyebabkan pielonefritis. Infeksi asenden yang berasal dari
kandung kencing berdasarkan mekanisme : 1. Bakteri mungkin sangat
virulen dan mempunyai vili yang memungkinkan bakteri untuk
menempelkan dirinya pada ureter dan bermigrasi ke atas, atau 2. Pasien
mempunyai refluks ke pelvis renalis yang memungkinkan refluks intra renal
dan merusak parenkim ginjal. 3. Adanya kelainan seperti neurogenic
bladder, katup uretra posterior, refluk vesicouretra dan obstruksi
ureteropelvik junction. 12,19 Universitas Sumatera Utara Ketika bakteri
masuk kedalam parenkim ginjal dengan tekanan yang sangat tinggi, daerah
fokal infeksi dan inflamasi semakin berkembang dan beberapa tahap
kompleks inflamasi bertingkat terbentuk. Bila proses ini tidak dicegah
dengan pengobatan, hal ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal berat atau
jaringan parut. Lebih lanjut, bila infeksi berulang terus menerus tanpa terapi
yang adekuat, hasil jangka panjang adanya jaringan parut ginjal yang
signifikan, yang lebih ekstrim lagi menyebabkan refluk nephropahy, yang
menyebabkan end stage renal disease.

15
4. Nefropati Asam urat
5. Gouty nephropathy atau chronic uric acid nephropathy atau nefropati urat
kronik adalah suatu keadaan asam urat atau kristal urat terdeposit pada
parenkim dan lumen tubulus secara independen dan menyebabkan cedera
langsung pada ginjal selama suatu periode waktu sehingga menyebabkan
gagal ginjal.6,7 Nefropati urat kronik adalah suatu bentuk penyakit ginjal
kronik yang diinduksi oleh penumpukan monosodium urat pada interstitial
medula, yang menyebabkan respons infl amasi kronik, serupa dengan yang
terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian tubuh lain, yang
berpotensi menyebabkan fi brosis interstitial dan gagal ginjal kronik.8
Nefropati urat kronik yang pada masa lalu sering ditemukan pada pasien
dengan tophaceous gout, saat ini jarang ditemukan. Namun demikian pasien
penyakit ginjal kronik dengan sedimen urin serta hiperurisemia yang tak
sesuai dengan derajat gangguan ginjalnya memenuhi kriteria nefropati urat
kronik. Studi pada hewan menunjukkan bahwa pada penyakit ginjal kronik
terjadi hiperurisemia ringan, yang terjadi lewat dua mekanisme yang
mengkompensasi penurunan efi siensi ekskresi ginjal yaitu peningkatan
ekskresi asam urat usus dan penurunan produksi karena penurunan aktivitas
xantin oksidase.8 Peningkatan kadar urat plasma yang tidak sesuai dengan
derajat gangguan ginjal didefi nisikan sebagai berikut:8 Kadar urat plasma
> 9 mg/dL (535 mol/L) jika kadar kreatinin plasma 1,5 mg/dL (132
mol/L) Kadar urat plasma > 10 mg/dL (595 mol/L) jika kadar kreatinin
plasma 1,5 2,0 mg/dL (132 to 176 mol/L) Kadar urat plasma > 12 mg/dL
(714 mol/L) dengan gagal ginjal yang lebih berat
6. urat lewat blokade enzim tersebut. Penanganan urat oleh ginjal 8 Kovarsky;
Stone dan Simmonds menyimpulkan bahwa pengikatan urat in vivo sangat
rendah, antara 4 5% saja dan urat tidak difi ltrasi di glomerulus. Di tubulus,
sekitar 90% urat direabsorbsi, sehingga FEur (Fractional Excretion of uric
acid) mencapai 10% (Wyngaarden dan Kelley; Wortman). Reabsorbsi pada
laki-laki lebih tinggi (92%) dibandingkan perempuan (88%), lebih rendah
pada anak-anak (70 85%). Hal ini menjelaskan lebih tingginya kadar asam
urat plasma pada laki-laki dan jarangnya gout klasik pada perempuan dan
anak-anak. Ras juga merupakan faktor yang mempengaruhi kadar asam urat

16
plasma. Laki-laki dan perempuan Polinesia memiliki kadar asam urat plasma
lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Faktor endogen atau eksogen yang
mempengaruhi penanganan urat oleh ginjal Banyak faktor yang
memengaruhi penanganan urat atau asam urat oleh ginjal dan memengaruhi
kadar urat plasma. Pada beberapa kasus, hal ini nampaknya efek langsung
terhadap transporter urat, namun pada kasus lainnya merupakan efek
sekunder akibat kontraksi atau ekspansi volume plasma atau efek terhadap
hemodinamik ginjal. Beberapa obat memiliki efek bifasik terhadap ekskresi
urat, pada dosis rendah meningkatkan retensi sedangkan pada dosis tinggi
bersifat urikosurik. Obat tersebut antara lain salisilat, fenilbutazon dan
inhibitor siklooksigenase lainnya, pirazinamid, probenesid, dan nikotinat.
Faktor yang menurunkan klirens asam urat Beberapa agen fi siologis dan
patologis dapat menurunkan ekskresi urat dan menyebabkan peningkatan
kadar urat plasma, yang juga dapat mencetuskan serangan akut gout pada
individu yang kadar urat plasma sudah di batas atas karena penurunan
proporsi ekskresi urat terhadap LFG. Kontraksi volume plasma karena
asupan yang tak adekuat, kehilangan cairan karena diare, muntah atau
diuretik dapat meningkatkan reabsorbsi urat bersama senyawa lain di
tubulus proksimal seperti Na+ and HCO3 . Gout pada pasien yang
mendapatkan pengobatan kombinasi obat anti hipertensi seperti diuretik
mencapai 50% pasien baru yang berobat untuk gout. Vasokonstriktor ginjal
seperti adrenalin, noradrenalin, angiotensin dan beberapa inhibitor
siklooksigenase menurunkan klirens urat. Siklosporin juga merupakan
vasokonstriktor kuat dan menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan
insidens hiperurisemia dan gout pada resipien transplantasi. Senyawa fi
siologik yang menurunkan ekskresi urat adalah asam organik seperti laktat,
asetosetat dan -hidroksi butirat; yang produksinya meningkat pada status
epileptikus dan konsumsi alkohol berlebihan bersamaan dengan asupan
makanan tak adekuat. Intoksikasi timbal kronik menyebabkan penurunan
ekskresi urat lewat mekanisme yang belum dapat ditentukan. Obat-obat
pirazinamid dan etambutol serta obat urikosurik benzbromaron
menyebabkan peningkatan kadar urat plasma.

17
7. ginjal yang berat dan permanen, pada awalnya terjadi kerusakan epitel
tubular diikuti erosi membran basal, perpindahan kristal ke interstitial, dan
terpicunya respons infl amasi. Walaupun kristal perlahan menghilang, fokus
infl amasinya menetap. Pada akhirnya didapatkan ginjal yang mengecil,
sklerosis glomerulus dengan garisgaris fi brosis dari korteks ke medula. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ditemukannya kristal pada nefritis interstitial
nonspesifi k tidak meniadakan nefropati kristal sebagai penyebab lesi ginjal.
Patogenesis Nefropati Urat Kronik Data histopatologis menunjukkan infl
amasi interstitial dan fi brosis bersamaan dengan deposit kristal asam urat.
Beberapa studi menunjukkan indeks ginjal dan fungsi endotel yang
abnormal pada pasien hiperurisemia asimptomatik. Studi Heinin dan
Johnson pada binatang pengerat membuktikan bahwa hiperurisemia
meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan lesi pada mikrovaskular
ginjal, glomerular dan tubulointerstitial, namun mekanismenya masih belum
diketahui. Walaupun demikian, data pada manusia belum dapat
membuktikannya.6 Studi lain pada otopsi 79 99% pasien gout
menunjukkan lesi histologis pada nefropati urat kronik berupa
glomerulosklerosis, fi brosis interstital, arteriosklerosis dan seringkali
disertai penumpukan kristal urat interstitial fokal.9-12 Walaupun terlihat ada
hubungan antara gout dengan kelainan ginjal, masih terdapat kontroversi
apakah asam urat merupakan etiologinya, karena sulit menggambarkan
cedera ginjal karena penumpukan kristal urat secara umum, banyaknya
pasien gout juga menderita hipertensi yang gambarannya serupa, serta
apakah penurunan kadar asam urat dapat memperlambat penurunan fungsi
ginjal.8 Weiner dkk.13 menemukan bahwa kadar asam urat pada awal studi
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit ginjal pada
model berdasarkan LFG (OR 1,07 (95% CI 1,01 1,14)) dan kadar kreatinin
(OR 1,11 (95% CI 1,01 1,21)), disimpulkan bahwa peningkatan kadar
asam urat adalah faktor risiko independen timbulnya penyakit ginjal pada
populasi umum. Studi Domrongkitchaiporn dkk.14 menunjukkan bahwa OR
terjadinya penurunan fungsi ginjal adalah 1,82 pada kadar asam urat > 6,29
mg/ dl dibandingkan dengan kadar asam urat <4,5 mg/dl. Pada studi ini,
hiperurisemia bukan merupakan hasil dari penurunan fungsi ginjal, karena

18
semua pasien yang diteliti memiliki LFG > 60 ml/min per 1,73 m2 pada awal
studi. Studi Obermayr dkk.7 selama 7 tahun terhadap 21.000 pasien dengan
berbagai kadar asam urat dan laju fi ltrasi glomerulus yang sepadan
menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyesuaian terhadap LFG, OR
menderita gangguan ginjal yang berhubungan dengan kadar asam urat
meningkat 17% pada pasien dengan kadar asam urat 7,0 8,9 mg/dL dan
25% pada pasien dengan kadar > 9,0 mg/ dL. Dengan penyesuaian jenis
kelamin dan umur, OR pada 2 kelompok meningkat 11% dan 19%. Hasil ini
menunjukkan efek toksik langsung atau tak langsung asam urat pada
perkembangan CKD stage 3. Studi ini juga menemukan adanya interaksi
antara kadar asam urat dengan hipertensi pada timbulnya CKD stage 3. Hal
tersebut terlihat pada gambar 2. Pengaruh kadar asam urat pada timbulnya
gangguan ginjal baru adalah linear pada kadar 6 7 mg/dL pada perempuan
dan kadar 7 8 mg/dL pada laki-laki, kemudian OR meningkat tajam pada
kadar di atasnya. Pengaruh peningkatan kadar asam urat terhadap OR
timbulnya gangguan ginjal baru meningkat tajam pada pasien hipertensi dan
perempuan. Studi Darmawan dkk.4 menunjukkan bahwa hiperurisemia,
kadar ureum dan kreatinin serum, klirens kreatinin membaik setelah terapi
dengan prednison dan obat anti infl amasi non steroid (OAINS). Fungsi
ginjal, kadar kolesterol dan trigliserida serum, kadar glukosa puasa dan
fungsi hati juga mengalami perbaikan
7. Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) umumnya tampak pada orang yang
homozigot untuk alel yang mengalami mutasi, sedangkan heterozigot jarang menunjukan
fenotip penyakit. Pada penyakit yang bersifat resesif autosomal memiliki beberapa karakteristik
yaitu :
Hanya tereksperi pada homozigot (aa), sedangkan pada heterozigot (Aa) secara fenotipe
hanya pembawa yang normal
Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk terkena
Pola pewarisan horizontal tampak pada silsilah yang maksundya muncul pada saudara
kandung tetapi tidak pada orang tua.
Penyakit umumnya memiliki awitan dini

19
Berdasarkan karakteristik tersebut maka penyakit ginjal polikistik resesif autosomal sering
disebut sebagai bentuk anak-anak karena awitan yang muncul lebih dini. ARPKD disebabkan
oleh mutasi disuatu gen yang belum teridentifikasi pada kromosom 6p.
Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) dapat diekspresikan baik pada
heterozigot (Aa) maupun homozigot (aa). Selain yang telah disebutkan sebelumnya, pada
penyakit yang bersifat dominan autosomal memiliki beberapa karakteristik yaitu :
Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk terkena
Pola pewarisan vertikal tampak pada silsilah yang maksundya muncul pada setiap generasi.
Usia awitan penyakit sering lambat
Berdasarkan karakteristik tersebut maka peyakit ginjal polikistik dominan autosomal sering
disebut sebagai bentuk pada orang dewasa karena awitanya yang muncul sering lambat. Pada
umumnya terdapat dua gen yang berperan terhadap ter bentuknya kista yaitu :
PKD-1 (gen defektif) yang terletak pada lengan pendek kromosom 16
PKD-2 (gen defektif) yang terletak pada kromosom
Tetapi buku lain menyebutkan, ADPKD dibagi menjadi tiga tipe yaitu dua diantaranya sama
dengan yang telah disebutkan dan ditambah dengan ADPKD bentuk ketiga yang telah
diidentifikasikan namun gen yang bertanggung jawab belum diketahui letaknya (1)
PKD-1 yang terletak pada lengan pendek kromosom 16. Gen ini mengkode sebuah protein dan
kompleks, melekat ke membrane, terutama ekstrasel dan disebut dengan polikistin-1.
Polikistin-1 ini memiliki fungsi sama dengan protein yang diketahui berperan dalam perlekatan
sel ke sel atau sel ke matriks.
Namun pada saat ini belum diketahui bagaimana mutasi pada protein tersebut dapat
menyebabkan kista, namun diperkirakan ganguan interaksi sel-matriks dapat meneybabkan
gangguan pada pertumbuhan, diferensiasi dan pembentukan matriks oleh sel epitel tubulus dan
menyebabkan terbentuknya kista.
PKD-2 yang terletak pada kromosom 4 dan mengkode polikistin-2 yaitu suatu protein dengan
968 asam amino. Walaupun secara struktural berbeda tetapi diperkirakan polikistin-1 dan
polikistin-2 bekerja sama dengan membentuk heterodimer. Hal inilah yang menyebabkan,jika
mutasi terjadi di salah satu gen maka akan menimbulkan fenotipe yang sama. (6)
Kista muncul sejak dalam uterus dan secara perlahan merusak jaringan normal sekitarnya
bersamaan dengan pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa. Kista muncul dari berbagai
bagian nefron dan duktus koligentes. Kista tersebut terisi dengan cairan dan mudah terjadi

20
komplikasi seperti infeksi berulang, hematuria, poliuria, mudah membesar, ginjal yang
menonjol sering menjadi tanda dan gejala yang terlihat. (1)
Polikista pada ginjal dimulai dari timbulnya beberapa kista pada kedua ginjal. Pada
perkembangan selanjutnya kista menjadi banyak, ukuran bertambah besar dan menginfiltrasi
parenkim ginjal sehingga pada akhirnya pasien terjatuh dalam kondisi gagal ginjal terminal. (3)
Penurunan fungsi ginjal yang progresif lambat biasa terjadi dan sekitar 50 % menjadi ESRD
(End Stage Renal Disease) atau Gagal Ginjal pada usia 60 tahun.Gejala biasanya berkembang
antara umur 30 dan 40, tapi dapat juga terjadi lebih awal, pada saat anak anak. Sekitar 90%
dari PKD disebabkan autosomal dominant PKD. (14)
8. LUPUA NEFRITIS

Patogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara factor predisposisi genetic
dengan factor lingkungan, factor hormone seks, dan factor system neuroendokrin. Interaksi
factor-faktor tersebut ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respons imun yang
menimbulkan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi
(DNA-anti-DNA). Sebagian auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama
dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, laminin, Ro (SS-A), ubiquitin, dan ribosom:
yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada
sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit kompleks imun dengan sediaan imunofluoresen atau
mikroskop electron. Kelompok ini disebut sebagai pauci-immune necrotizing
glomerulonephritis.
Gambaran klinis kerusakan glomerolus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya
deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel terletak proksimal terhadap
membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit
pada daerah tersebut ini akan mengaktifkan komplemen yang kemudian membentuk
kemoatraktan C3a dan C3a. Selanjutnya terjadi influx sel neutrofil dan sel mononuclear.
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferative fokal, dan proliferative difus; secara klinis memberikan gambaran
sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, leukosit,silinder sel, dan granula), proteinuria, dan
sering disertai penurunan fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai
hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus
sehingga tidak terjadi influx neutrofil dan sel mononuclear. Secara histopatologis memberikan
gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala proteinuri.21

21
Respon autoantibodi pada LES tampaknya terarah terhadap nukleosom yang terbentuk
dari sel apoptotik. Pasien dengan LES memiliki mekanisme klirens seluler yang buruk. Debris
nuklear dari sel apoptotik menginduksi interferon-alfa melalui sel-sel dendritik plasmasitoid,
yang merupakan induser sistem imun dan autoimunitas. Pada LES, limfosit B autoreaktif yang
secara normal tidak aktif menjadi aktif karena malfungsi mekanisme homeostasis normal,
sehingga autoantibodi diproduksi. Autoantibodi lain, termasuk anti-dsDNA terjadi lewat suatu
proses penyebaran epitop. Autoantibodi ini akan bertambah banyak seiring waktu secara
bertahap, beberapa bulan sampai tahun sebelum onset LES klinis. Lupus nefritis terkait dengan
produksi autoantibodi nefritogenik dengan ciri-ciri sebagai berikut:22
1. Yang dianggap antigen secara spesifik adalah nukleosom atau dsDNA : beberapa antibodi
dsDNA bereaksi silang dengan membran basal glomerulus.
2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks imun intravaskular, yang
menumpuk dalam glomerulus.
3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan membran basal glomerulus
yang bersifat anionik.
4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat mengaktivasi komplemen.

Kompleks imun terbentuk intravaskular dan kemudian diendapkan dalam glomeruli.


Selain itu, autoantibodi dapat berikatan langsung dengan protein pada membran basal
glomerulus (yang kemungkinan adalah -aktinin) dan membentuk kompleks imun in situ.
Kompleks imun mencetuskan respons inflamasi dengan mengaktivasi komplemen dan menarik
sel-sel radang, termasuk limfosit, makrofag dan netrofil. Tipe histologis dari nefritis lupus yang
terjadi tergantung dari berbagai faktor, termasuk spesifisitas antigen dan sifat lain autoantibodi
serta tipe respons inflamasi yang ditentukan oleh faktor-faktor host lainnya. Pada bentuk yang
berat dari nefritis lupus, proliferasi sel endotel, mesangial dan epitel serta produksi matriks
protein dapat berakhir pada fibrosis.23,24
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau
hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis lupus difus
proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria berat.
Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus
termasuk sakit kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung. 25
Beberapa indikator klinis dari nefritis lupus aktif dapat dilihat pada tabel 3. Aktivitas penyakit

22
dapat dievaluasi dengan anti-dsDNA, komplemen (C3,C4 dan CH50 ) dan LED atau CRP.
Level CRP umumnya tidak meningkat pada pasien LES walaupun dengan penyakit aktif,
kecuali pasien terkena artritis yang signifikan atau infeksi. Umumnya LED dan anti-dsDNA
yang meningkat dan level C3 dan C4 yang rendah berkaitan dengan nefritis aktif, terutama tipe
proliferatif lokal dan difus. Nefritis lupus yang signifikan secara klinis biasanya terkait dengan
penurunan klirens kreatinin 30%, proteinuria >1000 mg/hari dan temuan biopsi ginjal yang
menunjukkan nefritis lupus aktif. Antibodi anti-nukleosom muncul dini pada perjalanan
respons autoimun pada LES, mereka memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk
diagnosis LES serta titernya berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Antibodi anti-C1q berkaitan
erat dengan nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan penyakit ginjal aktif. 26
Abnormal urinalysis findings (albuminuria, leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline
casts, red blood cell casts, fatty casts, oval fat bodies). Abnormal urinary sediment findings
(leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline casts) Proteinuriaa (nephrotic syndrome with
excretion of >3.5 g/day of protein occurs in 13-26% of patients)

2.4 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal Kronik


Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya.
Ginjal normal memiliki sekitar satu juta nefron yang memberikan kontribusi terhadap
nilai GFR. Terjadinya suatu cedera ataupun kerusakan ginjal masih dapat dipertahankan
proses pembersihan zat plasma terlarut oleh ginjal dengan adanya kompensasi berupa
hipertrofi yang diperentarai oleh molekul seperti sitokin dan growth factor.1
Hipertrofi nefron akan diikuti oleh proses hiperfiltrasi glomerulus yang
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat dan akan diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa sehingga menyebabkan penurunan progresif fungsi
nefron, meskipun penyakit yang mendasari sudah tidak aktif lagi. Peningkatan tekanan
kapiler glomerulus akan merusak kapiler dan menyebabkan Focal Segmental
Glomerulosclerosis (FSGS) yang dapat berlanjut menjadi kerusakan
glomerulosklerosis secara global.1,6
Hiperfiltrasi akan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS)
yang diperantarai oleh transforming growth factor (TGF-). Peningkatan RAAS
berperan dalam terjadinya hipertensi dan peningkatan permeabilitas glomerulus berperan

23
dalam terjadinya proteinuria. Beberapa faktor seperti hipertensi, albuminuria,
hiperlipidemia, hiperglikemia, hiperfosfatemia dan diabetes yang tidak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas PGK hingga menyebabkan sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.1,6
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan penurunan GFR dan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Penurunan GFR sebesar 60% atau PGK stadium 1-3 dengan
kadar urea dan kreatinin serum normal atau sedikit meningkat biasanya belum
menimbulkan gejala klinis (asimtomatik). Akan tetapi, penurunan GFR < 30

mL/min/1,73m2 (PGK stadium 4-5) mulai menimbulkan keluhan berupa nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan hingga menimbulkan
tanda uremia seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus dan sebagainya. Pada GFR <15 % akan terjadi gagal ginjal dan memerlukan terapi
pengganti ginjal.1,15
Penurunan GFR akan menimbulkan manifestasi seperti anemia,
hipertensi,proteinuria, asidosis, hiperfosfatemia, hiponatremi, uremia, hiperkalemia,
hipokalsemia dan lain-lain. Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom
azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila
ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per
menit.15,16
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.7,15
c. Kelainan mata

24
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.15
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.16,17
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan
salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.16
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK.
Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).1,15
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.1

2.5 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

25
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.1
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.1,2
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.1
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).1
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK

26
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).1
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) .1

2.6 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah
terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan
hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal),
pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas
fisik dan pengendalian berat badan (Suwitra, 2006).

2.7 Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.18
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan

27
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simptomatik1,21
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati- hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi pengganti ginjal

28
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang
telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung
akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal)

29
Tatalaksana PGK tergantung pada derajat atau stadium dari penyakit tersebut.
Tatalaksana sesuai derajatnya dapat dilihat pada table

GFR
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mnt/1,73m2)
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
1 90 perburukan (progression) fungsi ginjal, dan meminimalisir
risiko kardiovaskular
2 60 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal.
5 <15 Terapi pengganti ginjal (Hemodialisis).
Dikutip dari : KDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease

2.8 Komplikasi1
1. Anemia
Kadar eritropoietin dalam sirkulasi rendah.eritropoetin rekombinan parenteral
meningkatkan kadar hemoglobin ,memperbaiki toleransi terhadap aktivitas fisik , dan
mengurangu kebutuhan trasfusi darah. Pada pasien dengan gagal ginjal stadium lanjut
sebelum dialysis,eritropoiten mengkoreksi anemia dan memperbaiki keadaan umum ,
tanpa mempengaruhi tingkat penurunan ginjal .Hipertensi tergantung dosis terjadi pada
35% pasien dan biasanya bisa dikendalikan dengan obat-obat penurunan tekanan
darah,walaupun enselafalopati hipertensi bisa timbul mendadak.
2. Penyakit Vaskular dan Hipertensi
Penyakit vascular merupankan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik
. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes,hipertensi mungkin merupakan factor
resiko yang paling penting.Sebagian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik
disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air.Keadaan ini biasanya tidak cukup
parah untuk bisa menimbulkan edema , namun mungkin terdapat ritme jantung
tripel.Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan
pengendalian volume tubuh melalui dialysis, Jika fungsi ginjal memadai, pemberian
furosemid dapat bermanfaat.
3. Penyakit Tulang
Hipokalisemia akibat penurunan sintesis 1,25-(OH)2D3, Hiperfosfatemia, dan
resistensi terhadap kerja PTH di perifer,semuanya turut menyebabkan penyakit tulang

30
adrenal . Terapinya dengan pembatasan fosfat makanan dengan atau tanpa mengikat
fosfat (kalsium bikarbonat bila kalsium belum meningkat akibat hiperparatiroidisme
tersier) dan penggunaan derivate I- hidroksilasi vitamin D dosis rendah sedini mungkin.
4. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat , ulkus peptikum lebih sering terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun demikian , gejala mual
,muntah anoreksia,dan dada seperti terbakar.Insidens esofagitis serta angiodisplasia
lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan . Gangguan pengecap dapat
berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
5. Hiperkaliemia (kelebihan kalium)
Terjadi bila kalium yang normal diekskresi melalui ginjal terakumulasi didalam
darah.Keseimbangan elektolit ini dapat mengakibatkan serangan jantung , memberikan
gejala seperti lemas, merasa tidak nyaman, merasa kram didaerah perut .
6. Disfungsi seksual
Menurunnya libido dan impotensi sering terjadi.Hiperprolaktinemia ditemukan
pada setidaknya sepertiga jumlah pasien,menyebabkan efek inhibisi gonadotropin .
Kadar prolaktin bisa diturunkan dengan pemberian bromokriptin, walaupun sering
timbul efek (mual,muntah,mengantuk,hipotensi postural).
7. Sistem Pernafasan
Pernafasan yang berat dan dalam (kussmaul) dapat terjadi pada pasien yang
penderita asidosis berat , komplikasi lain akibat GGK adalah paru-paru uremik dan
pneumonitis . Keadaan Oedem paru dapat terdapat pada thorak foto dimana disertai
kelebihan cairan akibat retensi natrium dan air, batuk non produktif juga dapat terjadi
sekunder dari kongesti paru-paru terutama saat berbaring,suara rales akibat adanya
trasudasi cairan paru.Kongesti pulmonal akan menghilang dengan penurunan jumlah
cairan tubuh melalui pembatasan garam dan hemodialisis.

2.9 Prognosis
Berdasarkan KDIGO 2012, prognosis pasien dengan CKD dipengaruhi oleh nilai
GFR dan albuminuria. Pada pasien dengan nilai GFR >90 dengan kategori albuminuria
A1 dapat dikatakan memiliki prognosis paling baik, bila tanpa adanya peningkatan marker
kerusakan ginjal. Pada pasien dengan GFR<15 dan albuminuria >30 mg/mmol dikatakan
memiliki prognosis yang buruk.

31
BAB III
KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia
( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe
2 (26%) dan hipertensi (35%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal
antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%) merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik.
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya
32
tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan
laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi
peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan
saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost
dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas,
nyeri dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria)
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang diperoleh
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis,
serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi
terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

33

Anda mungkin juga menyukai