Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DEMAM NEUTROPENIA

Pembimbing :
dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD

Disusun oleh :
Regina Wahyu Apriani

G4A015159

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DEMAM NEUTROPENIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian


Kepaniteraan klinik dokter muda SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD. Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Regina Wahyu Apriani
G4A015159

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal

Juni 2016

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD


NIP. 19700419.200801.1.006

I.

PENDAHULUAN

Neutropenia merupakan gejala yang menyertai perjalanan suatu penyakit atau


juga sebagai efek samping dari suatu pengobatan misalnya yang paling sering terjadi
pada kemoterapi penyakit kanker. Keadaan ini menyebabkan respon tubuh terhadap
proses peradangan menjadi menurun. Gejala khas yang merupakan pertanda telah
terjadinya infeksi bisa saja tidak terlihat atau bahkan menghilang sama sekali (Rolston,
2014).
Demam sebagai salah satu tolak ukur terjadinya infeksi, selain gejala-gejala khas
lainnya, mungkin merupakan satu-satunya pertanda bahwa pada pasien dengan
neutropenia telah terjadi infeksi. Terjadinya demam pada pasien neutropenia telah cukup
sebagai peringatan untuk pemberian antibiotik dan peningkatan kewaspadaan bahwa
infeksi telah terjadi (Rolston, 2014).
Demam neutropenia adalah satu dari komplikasi radioterapi dan kemoterapi
yang paling sering terjadi. Sebagai contoh adalah sistem imun pada pasien dengan
kanker ganas ditekan oleh dua hal, yaitu obat anti kanker secara tidak langsung melalui
efek sampingnya dan secara langsung oleh kanker ganas itu sendiri. Penurunan sistem
imun tubuh menyebabkan tubuh mudah sekali terkena infeksi (Klastersky, 2011).
Penundaan pemberian antibiotik pada pasien demam dengan neutopenia sampai
adanya pembuktian bahwa infeksi telah benar terjadi pasien tersebut menyebabkan
angka kematian pasien tersebut meningkat. Pemberian terapi antibiotik secara empirik
pada pasien demam dengan neutropenia telah mulai dilakukan sejak 1970, Pendekatan
terapi dengan cara ini telah menurunkan angka kesakitan dan kematian, yang

menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan tindakan cepat serta tepat pada pasien
demam neutropenia (Dillman dan Oldham, 2009).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Neutrofil
Neutrofil merupakan salah satu dari tipe sel darah putih. Ada lima tipe sel darah
putih, yaitu neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit dan monosit. Beberapa sel darah
putih disebut granulosit, yang dipenuhi oleh granul-granul yang tiap kantong kecil
mengandung enzim. Neutrofil, eosinofil dan basofil merupakan granulositgranulosit yang merupakan bagian dari inisiasi sistem imun. Mereka tidak merespon
secara eksklusif terhadap antigen spesifik, sama halnya dengan limfosit-B dan
limfosit-T. Neutrofil mengandung enzim yang membantu sel membunuh dan
mengolah mikroorganisme yang dikenal dengan fagosit. Neutrofil yang matur
memiliki nukleus yang bersegmen-segmen. Sedangkan neutrofil yang immature
memiliki nukleus yang berpita. Neutrofil diproduksi di sumsum tulang dan
dilepaskan ke saluran darah. Neutrofil memiliki waktu hidup selama 3 hari
(Kannangara, 2014).
Neutrofil merupakan sistem pertahan seluler yang utama dalam tubuh untuk
melawan bakteri dan jamur. Neutrofil juga membantu penyembuhan luka dan
memakan sisa-sisa benda asing. Pematangan neutrofil dalam sumsum tulang
memerlukan waktu selama 2 minggu. Setelah memasuki aliran darah, neutrofil
mengikuti sirkulasi selama kurang lebih 6 jam, mencari organisme penyebab infeksi
dan benda asing lainnya. Jika menemukannya, neutrofil akan pindah ke dalam
jaringan, menempelkan dirinya kepada benda asing tersebut dan menghasilkan

bahan

racun

yang

membunuh

dan

mencerna

benda

asing

tersebut.

Reaksi ini bisa merusak jaringan sehat di daerah terjadinya infeksi (Kannangara,
2014).
Keseluruhan proses ini menghasilkan respon peradangan di daerah yang
terinfeksi, yang tampak sebagai kemerahan, pembengkakan dan panas. Neutrofil
biasanya merupakan 70% dari seluruh sel darah putih, sehingga penurunan jumlah
sel darah putih biasanya juga berarti penurunan dalam jumlah total neutrofil.
Jika jumlah neutrofil mencapai kurang dari 1.000 sel/mm3, kemungkinan terjadinya
infeksi sedikit meningkat; jika jumlahnya mencapai kurang dari 500 sel/ sel/mm3,
resiko terjadinya infeksi akan sangat meningkat. Tanpa kunci pertahan neutrofil,
seseorang bisa meninggal karena infeksi (Sharma dan Lokeshwar, 2014).

Gambar 2.1 Mekanisme pertahanan sel neutrofil sebagai fagosit


White blood cell count (WBC) adalah sejumlah sel darah putih dalam 1 volume
darah. Jarak normal WBC bervariasi antara 4300 dan 10800 sel per mikroliter atau
milimeter kubik. Jumlah persentase dari tipe-tipe sel darah putih yang berbeda dari

WBC disebut WBC differential. Absolute Neutrofil Count (ANC) ditentukan dari
produk WBC dan fraksi neutrofil terhadap sel darah putih disebut sebagai analisis
differensial WBC. Sebagai contoh, jika WBC 10000 per mikroliter dan sebanyak
70% adalah neutrofil, maka jumlah ANC adalah 7000 per mikroliter. (Kannangara,
2014).
Adapun klasifikasi neutropenia (Sharma dan Lokeshwar, 2014).
a. Mild, jika jarak jumlah ANC dari 1000-1500 sel/mm3
b. Moderate, jika ANC 500-1000 sel/mm3
c. Severe, jika ANC kurang dari 500 sel/mm3
2. Demam Neutropenia
Neutropenia adalah keadaan menurunnya jumlah neutrofil dalam darah,
kurang dari 500 sel/mm3 atau kurang dari 1000 sel/mm3 dengan kecenderungan
menurun hingga 500 sel/mm3. Neutropenia dapat terjadi akibat infiltrasi sel ganas
dan juga dapat terjadi akibat dari efek samping suatu pengobatan, misalnya yang
paling sering terjadi pada kemoterapi penyakit kanker. Sistem imun pada pasien
dengan kanker ganas ditekan oleh dua hal, yaitu obat anti kanker secara tidak
langsung melalui efek sampingnya dan secara langsung oleh kanker ganas itu
sendiri. Penurunan sistem imun tubuh menyebabkan tubuh mudah sekali terkena
infeksi. Kemoterapi juga menurunkan kemampuan fagositosis dan bakterisidal
neutrophil (Hughes et al., 2012 ; Nathan, 2013).
Berdasarkan consensus dari Immunicompromised Host Society, bahwa
demam neutropenia secara umum didefinisikan sebagai kenaikan suhu aksila >

38,5oC untuk sekali pengukuran, atau suhu > 380C untuk pengukuran sebanyak 3
kali, dalam periode 24 jam, diambil paling sedikit dengan interval 4 jam.
Sedangkan untuk neutropenia didefinisikan jumlah neutrofil absolut yang kurang
dari 500/L atau 1000/L dengan perkiraan

menurun

menjadi 500/L

(Kannangara, 2014).
B. Etiologi
Demam neutropenia sering terjadi selama kemoterapi, 80% dari pasien dengan
keganasan hematologi akan mengalami demam selama lebih 1 siklus kemoterapi
terkait dengan neutropenia. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya
demam neutropenia pada pasien dengan kanker dalam pengobatan kemoterpi, yaitu
(Kannangara, 2014) :
1. Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan sumsum tulang tidak dapat
bekerja dengan baik/ mendepresi sumsum tulang.
2. Kanker mempengaruhi sumsum tulang secara langsung, termasuk leukimia,
limfoma dan myeloma atau metastase dari kanker.
3. Radioterapi juga mempengaruhi sumsum tulang terutama bila mengenai
beberapa tempat di tubuh, pelvis, abdomen, kaki dan dada.

C. EPIDEMIOLOGI
Demam neutropenia terjadi pada 10-50% pasien setelah kemoterapi dengan
tumor yang padat. Dan lebih dari 80% setelah kemoterapi pada pasien dengan

keganasan hematologi. Perkiraan 30% pasien dengan regimen kemoterapi


kombinasi, dapat terjadi jumlah hitung neutrofil yang absolut rendah (<500 sel/mm3)
atau demam neutropenia selama kemoterapi yang pertama. Infeksi terjadi 20-40%
pada pasien dengan demam neutropenia; infeksi yang sering timbul dapat
merupakan infeksi di aliran darah, infeksi gastrointestinal, penumonia, infeksi kulit.
Mortalitas pada pasien dengan tumor yang padat dengan demam neutropenia sekitar
5%. Rata-rata 1% pasien yang risiko rendah. Mortalitas meningkat pada pasien
dengan keganasan hematologi sekitar 11% (Hathorn, 2013).
D. FAKTOR RISIKO
Berdasarkan resiko klinik yang terjadi pada pasien demam neutropenia dapat
dibagi menjadi kategori resiko rendah dan resiko tinggi (Dockrell dan Lewis, 2012).
Resiko rendah pasien demam neutropenia :
1.

Pasien memiliki tumor padat (termasuk limfoma Hodgkin), ALL (Acute


lymphoblastic leukemia) dalam remisi

2.

Pasien dengan neutropenia kurang dari 7 hari

3.

Pasien tidak memiliki hipotensi, takipneu atau kegagalan fungsi organ

4.

Pasien tidak memiliki mucositis GI (Gastro-Intestinal) berat

5.

Pasien tidak memilki nyeri abdomen, kelembekan perianal, atau diare yang
berdarah

6.

Pasien memiliki suhu < 39,50C

7.

Pasien dengan antisipasi neutropenia paling sedikit 10 hari4,5,6

Resiko tinggi pasien demam neutropenia :


1. Pasien dengan AML (Acute myeloid leukemia)

2. Pasien dengan ALL atau limfoma NonHodgkin atau terapi induksi


3. Pasien dengan resiko sangat tinggi precursor B ALL (Acute B lymphoblastic
leukemia) dalam terapi konsolidasi dan pasien dengan B-ALL relaps.
4. Pasien yang menerima terapi dosis tinggi Ara-C (Cytarabine= cytosine
arabinoside)
5. Pasien dengan hipotensi, menggigil, takipneu atau kegagalan fungsi organ
E. PATOMEKANISME
Demam neutropenia adalah satu dari komplikasi radioterapi dan kemoterapi
yang paling sering terjadi. Sistem imun pada pasien dengan keganasan ditekan oleh
obat anti kanker dan secara langsung dikarenakan oleh kanker itu sendiri, secara
keseluruhan menambahkan resiko terjadinya infeksi pada pasien tersebut. Kedua
jenis infeksi baik dari gram postif ataupun negatif, infeksi anaerobik, dan infeksi
jamur dapat muncul pada pasien (Sharma dan Lokeshwar, 2014).
Patofisiologi demam diinduksi oleh tumor disebabkan oleh beberapa
mekanisme seperti pelepasan sitokin dari sel tumor atau infiltrasi sel mononuklear
misalnya, tumor necrosis factor dan interleukin 1, nekrosis jaringan tumoral dan
menyebabkan terjadinya demam (Sharma dan Lokeshwar, 2014).
Neutropenia juga dinggap sebagai hasil negatif dari penggunaan obat
kemoterapi. Obat kemoterapi akan menyebabkan menipisnya sumsum tulang,
karena sumsum tulang sangat sensitif terhadap efek dari kemoterapi. Efek
kemoterapi antikanker adalah untuk menekankan setiap pembagian sel aktif kanker,
tetapi sebagai hasilnya sel- sel darah normal dalam sumsum tulang juga
terpengaruh oleh efek obatnya. Sumsum tulang sendiri merupakan cairan yang

10

berada

di

bagian

dalam

tulang, yang berfungsi memproduksi sel-sel darah

merah, sel-sel darah putih dan trombosit. Netrofil merupakan

bagian

dari

sel

darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh, untuk menyerang bakteri,
virus, jamur. Sehingga ketika terjadi depresi sumsum tulang akibat kemoterapi,
produksi netrofil menurun, tubuh menjadi mudah terkena infeksi. Neutropenia ialah
sebab yang paling utama terjadinya demam dan yaitu disebabkan oleh kemoterapi
antikanker . contoh obat kemoterapi yang sangat terkait dengan neutropenia ialah
aktinomisin, Asparaginase, Busulfan, Cisplatin, Doksorubisin, Daunorubisin,
Etoposide, Fluorouracil, ifosfamid dan Methotrexate (Heather, 2011).
Jadi pada pasien dengan neutropenia, hanya demam yang dapat
memperingatkan kita untuk memberikan antibiotik secara empirik yang dapat
mengatasi penyebab infeksi. Angka rata-rata kejadian infeksi dan kesakitannya
berbanding terbalik secara langsung dengan ANC. Rendahnya ANC dihubungkan
dengan lebih seringnya dan beratnya infeksi, dan begitu pula sebaliknya tingginya
nilai ANC dihubungkan dengan jarang dan ringannya infeksi. Pasien dengan ANC <
500 sel/mm3 secara mencolok dapat terlihat lebih besar resiko terhadap infeksi
dibandingkan pasien dengan ANC < 1000 sel/mm3. Hal serupa juga terlihat pada
pasien dengan ANC < 100 sel/mm3 lebih besar lagi resikonya terhadap infeksi
dibandingkan pasien dengan ANC < 500 sel/mm3. Lamanya neutropenia juga
penting untuk menentukan resiko terjadinya infeksi. Pasien dengan ANC yang
rendah dan neutropenia yang lama (misalnya > 10 hari) lebih besar resiko
terjadinya infeksi (Heather, 2011).

11

F. Penegakkan diagnosis
Gejala pada pasien demam neutropenia adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Demam dan menggil


Nyeri tubuh/ tubuh teras pegal yang terus menerus
Lemas
Sariawan
Infeksi gusi
Diare
Sakit tenggorokan

Pada penderita demam neutropenia didapatkan hasil laboratorium berupa, leukopenia


bahkan terkadang pansitopenia, dan neutropenia. Neutropenia akut berkembang tibatiba selama beberapa jam atau hari.

G. Penatalaksanaan
Penundaan pemberian antibiotik pada pasien demam neutopenia sampai
adanya pembuktian bahwa infeksi telah benar terjadi pasien tersebut menyebabkan
angka kematian pasien tersebut meningkat. Pemberian terapi antibiotik secara
empirik pada pasien demam neutropenia telah mulai dilakukan sejak 1970,
pendekatan terapi dengan cara ini telah menurunkan angka kesakitan dan kematian,
yang menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan tindakan cepat serta tepat pada
pasien demam neutropenia (Heather, 2011).
Segala pasien dengan kanker harus dipikirkan untuk memiliki resiko besar
terjadinya infeksi dan sekali terjadi demam harus segera mendapat terapi antibiotik,
tanpa harus menunggu bukti klinis yang mendukung telah terjadi infeksi (Heather,
2011).

12

1. Pengobatan antibiotik melalui IV


Tiga kelompok antibiotik yang dianjurkan secara empiric untuk
pengobatan demam neutropenia adalah (Claudio dan Elio, 2013) :
a. Terapi

ganda/

kombinasi

dari

aminoglikosida

dengan

penisilin

antipseudomonas (titarcilin-clavulanic acid, piperacilin-tazobactam) atau


dengan spectrum yang lebih luas seperti sefalosforin antipseudomonas
(cefepime, ceftazidime) atau dengan carbapenem (imipenem/cilastatin,
meropenem)
b. Monoterapi/tunggal dari carbapenem, cefepime, ceftazidime atau
piperacilin/tazobactam
c. Kombinasi dari monoterapi atau ganda dengan vancomycin untuk indikasi
yang spesifik.
Keuntungan dari duo terapi menggunakan aminoglikosida adalah cakupan
yang luas, potensi efek sinergik melawan batang gram negative dan
perlindungan terhadap pasien, pada kasus terinfeksi organism yang resisten
terhadap pengobatan yang diberikan secara empiris (biasanya beta-lactam).
Kerugian yang paling utama adalah kurang bereaksi terhadap beberapa bakteri
gram positif (sekarang dominan), dan nefrotoksik, ototoksik, dan hipokalemia
yang dihubungkan dengan penggunaan aminoglikosida (Claudio dan Elio,
2013).
Baru-baru ini ada kecendrungan terhadap monoterapi dari demam
neutropenia

menggunakan

carbapenem,

cefepime,

ceftazidime

atau

13

piperacilin/tazobactam. Pada kenyataannya, sebagian besar pasien dengan


tumor yang padat/solid bisa secara aman dan efektif apabila diobati dengan
cara monoterapi, dan tentu saja mereka yang secara klinis stabil dengan
neutropenia standar dan diharapkan durasi dari neutropenia kurang lebih 710 hari (Claudio dan Elio, 2013).
Monoterapi pada pasien keganasan darah dengan demam neutropenia
mulai dilaporkan menggunakan cefpirome. Cefpirome adalah generasi
keempat dari sefalosforin dengan aktifitas antibakteri spectrum luas.
Dibandingkan dengan sefalosforin generasi ketiga, obat ini menunjukkan
aktifitas lebih baik dalam melawan mikrooorganisme gram positif dan
stabilitas lebih besar dibandingkan beta-lactamase. Lebih dari itu, cefpirome
secara umum ditoleransi lebih baik. Dari sudut pandang ini, cefpirome
mungkin menjadi cocok untuk pengobatan demam pada pasien neutropenia.
Beberapa hasil uji coba memperlihatkan hasil yang menjanjikan (Snezana,
2011).
Penggunaan ceftriaxone dan gentamicin sekali sehari juga dilaporkan
efektif dan aman dalam mengobati pasien kanker dengan demam neutropenia.
Namun keterbatasan yang dimiliki masih sangat besar berupa hanya bisa
digunakan untuk periode yang singkat (<5 hari), nefrotoksik dan ototoksik
dilaporkan sebagai efek samping yang dapat ditimbulkan (Snezana, 2011).
Pasien harus diawasi secara seksama untuk mengetahui apabila tidak
terjadi respon, modifikasi monoterapi yang diberikan sebagai regimen awal
mungkin diperlukan yang disesuaikan dengan data klinis/mikrobiologis.

14

Peningkatan frekuensi resistensi terhadap beta-lactam oleh pathogen gram


postif dan klinis fulminan oleh infeksi gram positif tertentu membuat alasan
rasional penyertaan vancomycin dalam regimen pengobatan. Meskipun
demikian, uji coba klinis menunjukkan bahwa vancommycin adalah bukan
bagian penting dari terapi empiric regimen awal. Penggunaan empiric
vancomycin dibenarkan hanya untuk pasien dengan resiko tinggi dari infeksi
gram positif yang serius dengan situasi klinik : secara klinik berhubungan
dengan infeksi kateter yang serius, kerusakan mukosa, propilaksis dengan
antibiotik kuinolon, diketahui kolonisasi dengan penicillin dan sefalosforin
resisten penumococcus atau meticilin resisten S.aeureus, kultur darah positif
untuk bakteri gram positif, dan hipotensi atau shock septik tanpa pathogen
yang teridentifikasi (Snezana, 2011).
2.

Pengobatan antibiotic melalui oral


Antibiotik secara oral adalah sama amannya seperti intravenous standar
dilihat dari tingkat keberhasilannya dan perkembangan komplikasi setidaknya
pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Regimen referensi adalah kombinasi
dari ciprofloxacin atau ofloxacin oral ditambah dengan amoxicillinclavulanate. Untuk pasien dengan riwayat alergi terhadap penicillin,
kombinasi dari clindamicin oral dengan ciprofloxacin oral dianjurkan (Gert et
al., 2012).
Ciprofloxacin oral dan amoxy-clav adalah aman dan efektif untuk pasien
dengan resiko rendah demam neutropenia. Winfried VK et al juga melaporkan
bahwa pasien dengan resiko rendah demam neutropenia, terapi oral berupa

15

ciprofloxacin ditambah dengan amoxy-clav adalah sama efektif dengan terapi


secara intravenous (Gert et al., 2012).
Hal ini berarti apabila kita bisa mengobati pasien dengan antibiotik oral
tanpa mengesampingkan hasil akhir bisa menjadi keuntungan yang besar
karena antibiotik oral lebih murah, dan pasien tidak membutuhkan
pemasangan kanul intravenous, yang disini berarti kemungkinan terjadinya
infeksi yang berasal dari rumah sakit menjadi lebih rendah. Lebih lanjut hal ini
membuat penurunan pasien rawat inap di rumah sakit (Gert et al., 2012).
Inisiasi pemberian antijamur pada pasien demam neutropenia yang
demamnya menetap (persisten atau berulang) setelah

pemberian 5-7 hari

antibiotik spektrum luas adalah dianjurkan (Gert et al., 2012)

Gambar 2.2 Skema penanganan demam neutropenia

16

Gambar 2.3 Skema penanganan demam neutropenia

17

H. Prognosis
Prognosis demam neutropenia tergantung dari respons klinis, hal ini sangat
tergantung dari penyembuhan pasien dari neutropenia. Namun pada umumnya
prognosis memburuk disebabkan oleh penyakit dasarnya (Dockrell dan Lewis, 2012).

18

IV.

KESIMPULAN

1. Demam neutropenia adalah satu dari komplikasi radioterapi dan kemoterapi yang

paling sering terjadi.


2. Risiko klinik yang terjadi pada pasien demam neutropenia dapat dibagi menjadi

kategori resiko rendah dan resiko tinggi


3. Pengobatan melalui antibiotic IV maupun oral.
4. Prognosis demam neutropenia tergantung dari respons klinis

19

DAFTAR PUSTAKA

Claudio, V., and Elio, C. 2013. Treatment of febrile neutropenia. Curr Opin Infect Dis ;
15 : 377-382.
Dillman, R.O., and Oldham, R.K. 2009. Principles oc Cancer Biotherapy. Springer.
P:575
Dockrell dan Lewis. 2012. Patients with neutropenia & fever. Dalam: Current
diagnosis & treatment in infectious diseases. Edisi pertama. New york, Toronto
; Langr med books/ McGraw-Hill. h. 347-55
Gert JT et al. 2012. Cefpirome as empirical treatment for febrile neutropenia in patients
with hematologic malignancies. Heamatologica 90 :1005-1006.
Hathorn, J. 2013. Emperical treatment of febrile neutropenia of current therapeutics
approaches. Clin Infect Dis ; 24 : 256-266.
Heather L. 2011. Outpatient management of febrile neutropenia : concern for the future.
J Support Oncol. 6 : 217-218.
Hughes, W.T, Armstrong D, Bodey GP, Bow EJ, Brown AE, Calandra T. 2012.
Guidelines for the use of antimikrobial agents in neutropenic patients with
cancer. Clinical Infectious Diseases, Oxford Journals. 34 : 730-51.
Kannangara, S. 2014. Management of febrile neutropenia. Community Oncology. 3 :
585-591.
Klastersky J. Schimpff Stephen C. Senn Hans-Jorg. 2011. Supportive Care in Cancer :
A Handbook for Oncologist. Springer. P : 14-26.
Nathan, D.G. 2013. Phagocyte system. Hematology of Adults. Edisi ke-15. Philadelphia:
Lippincott Williams & Walkins. 1239-1245.
Rolston, K. 2014. Risk Asessment and The Management of Neutropenia and Fever.
Springer. P:15-23

20

Sharma A and Lokeshwar N. 2014. Febrile neutropenia in haematological malignancies.


J Postgrad Med ; 51:42-48.
Snezana B. 2011. Treatment of a febrile neutropenic patient. Arch Oncol ;12:179-181.

21

Anda mungkin juga menyukai