Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session

GNAPS + Hipertensi

Oleh:

Alvin Gunawan Fauzi


Monica Meisy Cania
Ezi Desli M.Nur

Preseptor:
dr. Fetria Faisal, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANAK
RSUD M. NATSIR SOLOK
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan case report session yang
berjudul “GNAPS dan Hipertensi”. Penulisan case report session ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat lulus di bagian Anak.

Penulis menyadari sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan case


report session ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang terkait.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan case report session ini. Terima kasih kepada dr. Fetria
Faisal, Sp. A selaku dosen pembimbing dalam menyelesaikan case report session
ini

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna.
Namun penulis berharap semoga nantinya tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Penulis mengakui bahwa penulis adalah manusia yang mempunyai


keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat
diselesaikan dengan sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan case report session ini. Penulis berharap
case report session ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Padang, Agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR IS

KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................1
BAB I LAPORAN KASUS........................................................................................2
1.1 Latar Belakang......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3
2.1 Defenisi...................................................................................................................3
2.2 Etiologi...................................................................................................................3
2.3 Epidemiologi..........................................................................................................3
2.4 Patogenesis.............................................................................................................4
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................5
2.6 Gejala klinis...........................................................................................................5
2.7 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................8
2.8 Tatalaksana...........................................................................................................9
2.9 Diagnosis Banding..............................................................................................11
2.10 Komplikasi.........................................................................................................12
2.11 Perjalanan Penyakit dan Prognosis................................................................13
2.12 Hipertensi..........................................................................................................14
2.13 Teknik pengukuran tekanan darah................................................................15
2.14 Pengobatan hipertensi pada anak...................................................................17
2.15 Pencegahan........................................................................................................23
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................24
BAB IV ANALISA KASUS.....................................................................................40
BAB V PENUTUP....................................................................................................41
5.1 Kesimpulan..........................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................42

1
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Latar Belakang

GNA merupakan suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu.GNAPS merupakan suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi
menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-
hemolytic streptococci (GABHS).1

Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak
adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada
semua usia, tetapi peak age indence pada usia 6 – 7 tahun. GNAPS merupakan penyebab
terbanyak nefritis akut pada anak di negara berkembang, sedangkan di negara maju terjadi
dalam prevalensi yang rendah.2
Hipertensi merupakan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih
dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran
sebanyak 3 kali atau lebih.3

Hipertensi pada anak merupakan masalah di bidang pediatri dengan prevalens sekitar
1-3%.Prevalens hipertensi pada anak, khususnya pada usia sekolah mengalami peningkatan.
Hal ini mungkin disebabkan meningkatnya prevalens obesitas pada kelompok usia tersebut.3
.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi

GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi


menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-
hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.1

2.2 Etiologi

Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya


glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%. Mungkin faktor iklim, keadaan
gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan
kuman Streptococcuss. Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara
khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan
bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh
Streptococcus hemolisis β grup A. Kumpulan ini diberi spesies nama pyogenes. S. Pyogenes
β-hemolitik grup A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu: Streptolisin O dan S.2

2.3 Epidemiologi

WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara global
dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan di Sri Manakula
Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode waktu Januari 2012–Desember
2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak
(88,4%) dengan GNAPS, usia pasien berkisar antara 2,6– 13 tahun, 27 anak (52%) pada
kelompok usia 5-10 tahun.5
Di Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anak di sebelas universitas di
Indonesia pada tahun 1997-2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA mengalami efusi
pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2% mengalami ensefalopati hipertensif.
Selama 5 tahum sejak 1998-2002, didapatkan 45 pasien GNA (0,4%) yaitu diantara 10.709
pasien yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Empat puluh lima pasien
ini terdiri dari 26 laki–laki dan 19 perempuan yang berumur antara 4-14 tahun, dan yang

3
paling sering adalah 6–11 tahun. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan
pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9%1 & 66,9%.1
2.4 Patogenesis

Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks imun.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik
adalah:1
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.
Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu
ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotik sebelum
masuk rumah sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan sukarnya ditemukan kuman
streptokokus. 1
Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka organisme tersering yang berhubungan
dengan GNAPS ialah Group A β-hemolytic streptococci . Penyebaran penyakit ini dapat
melalui infeksi saluran napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara
sporadik atau epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan
penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu
dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung protein M atau
T (terbanyak protein tipe M).1
Tabel 3. Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS
Serotipe terbanyak Serotipe terbanyak
pada Faringitis pada piodermi
Tipe M 1,3,4,12,25,49 2,49,55,57,60
Imunitas Selular :
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya infiltrasi sel-sel
limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten
difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA – I, yang pada gilirannya
mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus.1

4
2.5 Patofisiologi

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli
berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan
menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan
reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis
meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na
dan air.1
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung
oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di
glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga
dapat menyebabkan edema dan hipertensi.
Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih
berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat
dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.1

2.6 Gejala klinis

Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun
epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. q
GNAPS simtomatik
1. Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus
dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya
terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh
infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini

5
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.4,5
2. Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di
daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom
nefrotik.1
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan
lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena
adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan
sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-
kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui
setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. 1
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan
interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.1
3. Hematuria
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan
berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6
bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun
secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari
satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis
kronik.1
4. Hipertensi :
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan
kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak
perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan

6
normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu
hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun dan kejang-kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati
hipertensi berkisar 4-50%.3
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin
kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul
kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu
pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus
yang berat dengan prognosis yang jelek.1
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada
20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau
miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada
hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena
hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi
hipervolemia.
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi.
Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala
klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar
atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada
kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin.
Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS.
Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa
kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena
pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral
Dekubitus. Kanan (LDK).

7
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau
akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis GNAPS adalah
pemeriksaan urinalisis, darah lengkap, pemeriksaan serologis seperti titer ASTO dan CRP,
serta pemeriksaan aktivitas komplemen C3.1
Urin :
- Proteinuria :
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi
sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala
sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang
dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24
jam.
- Hematuria mikroskopik :
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya
eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut
kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan
pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan
bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini
menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian
bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis
tubular akut..
Darah
- Reaksi serologis
Titer ASTO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi.
Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga
14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 hingga ke-5 dan
mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah
infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak meningkat
8
akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASTO.
Selain menggunakan pemeriksaan titer ASTO bukti adanya infeksi Streptokokus dapat
diketahui dengan menggunakan pemeriksaan titer anti deoxyribonuclease-b (anti-dnase b,
atau adb) dan tes streptozyme, yang mana tes tersebut merupakan tes antibodi untuk ASTO.
C-Reactive Protein (CRP)
Selain ASTO pemeriksaan lain yang dilakukan adalah pemeriksaan C-Reactive
Protein (CRP) dan didapatkan hasil nilai CRP kuantitatif +/12. CRP merupakan suatu protein
fase akut yang diproduksi oleh hati sebagai respon adanya infeksi, inflamasi, atau kerusakan
jaringan. Inflamasi merupakan proses dimana tubuh memberikan respon terhadap cedera.
Jumlah CRP akan meningkat tajam beberapa saat setelah terjadinya inflamasi dan selama
proses inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan CRP kuantitatif dapat
dijadikan petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut.7
Laju endap darah
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan
GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik
sudah menghilang.1
Aktivitas komplemen
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan
dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di
antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling
sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan
80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun
selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal
sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat
dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.1

2.8 Tatalaksana

Non Farmakologi
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi

9
istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai
berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini
lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada
komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan
lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak
tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya, sehingga dapat memberikan beban
psikologik.1
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan
tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari.
Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan
harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah
cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin
+ insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan
suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).1
Farmakologi
1. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak
satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk
streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif
belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena
telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu
lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi
kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat
alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.1
2. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata
lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema
paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan
dialisis peritoneal. 1
b. Hipertensi

10
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan
istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam
waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi
kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara
sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila
diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati
hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali
atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung
dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).1
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang
cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan
bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.
2.9 Diagnosis Banding

Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS.1
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda. Perlu
dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan
periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya gangguan
pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis
dapat membantu diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom
Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria. Umumnya
penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi
biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten
ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan ini
sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya oliguria atau

11
anuria. Titer ASO, AH ase, 12 Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus AD Nase B
meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang
menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik,
sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-Schöenlein,
eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini dapat menunjukkan
gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang
lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai
purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian.
Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada
pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi
ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat
difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A
β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul
sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO. Diagnosis banding dengan
GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.
2.10 Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai adalah :1


1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan nifedipin
(0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran menurun.
Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun
sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga
normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :

12
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan kalori
secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka
sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang,
halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.
2.11 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi,
sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS
dapat kambuh kembali.1,7
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung
1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria
mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS
sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis,
baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-
30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi
glomerulonefritis kronik.7, 8
Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut
akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati
hipertensi.1

13
2.12 Hipertensi

Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure in Children and Adolescent adalah sebagai berikut

a. Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari
persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran
sebanyak 3 kali atau lebih.
b. Prehipertensi nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik antara persentil
ke-90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara teliti adanya factor risiko
seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi hipertensi pada masa dewasa
dibandingkan dengan anak yang normotensi.
c. Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg harus dianggap suatu
prehipertensi.
d. Seorang anak dengan nilai tekanan darah di atas persentil ke-95 pada saat diperiksa di
tempat praktik atau rumah sakit, tetapi menunjukkan nilai yang normal saat diukur di
luar praktik atau rumah sakit, disebut dengan white-coat hypertension. Kelompok ini
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang mengalami hipertensi
menetap untuk menderita hipertensi atau penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
e. Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang mengancam
jiwa, seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit fokal), payah jantung akut, edema
paru, aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut

Setelah hipertensi dapat didiagnosis, maka perlu dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisis secara teliti agar dapat dideteksi adanya penyebab dasar serta kerusakan

14
organ target. Evaluasi adanya hipertensi tergantung pada usia anak, beratnya tingkat
hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor-faktor risiko jangka panjang yang
bersifat individual.

2.13 Teknik pengukuran tekanan darah

Tekanan darah sebaiknya diukur dengan menggunakan sfigmomanometer air raksa,


Panjang cuff manset harus melingkupi minimal 80% lingkar lengan atas, sedangkan lebar cuff
harus lebih dari 40% lingkar lengan atas (jarak antara akromion dan olekranon, (lihat Gambar
1 dan 2). Ukuran cuff yang terlalu besar akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih
rendah, sedangkan ukuran cuff yang terlalu kecil akan menghasilkan nilai tekanan darah yang
lebih tinggi.

Tekanan darah sebaiknya diukur setelah istirahat selama 3-5 menit, suasana sekitarnya dalam
keadaan tenang. Anak diukur dalam posisi duduk dengan lengan kanan diletakkan sejajar
jantung, sedangkan bayi diukur dalam keadaan telentang. Jika tekanan darah menunjukkan
angka di atas persentil ke-90.

15
Tabel 1 . tekanan darah anak laki-laki berdasarkan usia dan persentil tinggi badan

16
Tabel 2. tekanan darah anak perempuanberdasarkan usia dan persentil tinggi badan

2.14 Pengobatan hipertensi pada anak

Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek
maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target.Selain
menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, juga harus diperhatikan faktor-faktor

17
lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan
merokok, dan intoleransi glukosa.

2.14.1 Pengobatan Non-Farmakologis : Mengubah Gaya Hidup

Pengobatan tahap awal hipertensi pada anak mencakup :


 penurunan berat badan
Penurunan berat badan terbukti efektif mengobati hipertensi pada anak yang
mengalami obesitas. Dalam upaya menurunkan berat badan anak ini, sangat penting
untuk mengatur kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Hindarilah
mengkonsumsi makanan ringan di antara waktu makan yang pokok. Demikian juga
makanan ringan yang mengandung banyak lemak atau terlampau manis sebaiknya
dikurangi. Buatlah pola makan teratur dengan kandungan gizi seimbang dan lebih
diutamakan untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayuran
 diet rendah lemak dan garam,
Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8 tahun dan 1,5
g/hari pada anak yang lebih besar.

2.14.2 Pengobatan farmakologis


Menurut the National High Blood Pressure Education Program (NHBEP) Working
Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents obat yang diberikan sebagai
antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam obat
pada dosis terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek terapoitik,
atau munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah tercapai. Kemudian obat kedua
boleh diberikan, tetapi dianjurkan menggunakan obat yang memiliki mekanisme kerja yang
berbeda.

Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan
indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:
1. Hipertensi simtomatik
2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan proteinuria
3. Hipertensi sekunder
4. Diabetes mellitus
5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya hidup

18
6. Hipertensi tingkat 2.

Golongan diuretik dan β-blocker merupakan obat yang dianggap aman dan efektif untuk
diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu dipertimbangkan untuk diberikan
kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah penghambat ACE (angiotensin
converting enzyme) pada anak yang menderita diabetes melitus atau terdapat proteinuria,
serta β-adrenergic atau penghambat calcium-channel pada anak-anak yang mengalami
migrain. Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya, misalnya
pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretic merupakan pilihan utama,
karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium dan air.
Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan karena
memiliki keuntungan mengurangi proteinuria. Penggunaan obat penghambat ACE harus hati-
hati pada anak yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Obat yang memiliki mekanisme
kerja hampir serupa dengan penghambat ACE adalah penghambat reseptor angiotensin II
(AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif dalam mekanisme kerjanya dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit (misalnya terhadap timbulnya batuk) dibandingkan dengan
golongan penghambat ACE.

19
20
21
Salah satu bentuk hipertensi emergensi adalah krisis hipertensi, yaitu tekanan darah
meningkat dengan cepat hingga mencapai sistolik ≥ 180 mmHg atau diastolik ≥ 120 mmHg,
sehingga perlu ditangani dengan obat-obatan seperti terlihat pada Tabel 4

22
2.15 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi pada anak harus mencakup pencegahan
primer, sekunder, maupun tersier.

1. Pencegahan primer
Sejak usia sekolah, sebaiknya dilakukan pencegahan terhadap hipertensi primer
dengan cara mengurangi asupan natrium dan melakukan olah raga teratur, Konsumsi
natrium perlu diimbangi dengan kalium. Rasio konsumsi natrium dan kalium yang
dianjurkan adalah 1:1. Sumber kalium yang baik adalah buah-buahan seperti pisang
dan jeruk.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan bila anak sudah menderita hipertensi untuk mencegah
terjadinya komplikasi seperti infark miokard,stroke, gagal ginjal atau kelainan organ
target. Pencegahan ini meliputi modifikasi gaya hidup menjadi lebih benar, seperti
menurunkan berat badan,olahraga secara teratur, diet rendah lemak dan garam. Olah
raga yang baik pada anak merupakan kombinasi dari jenis aerobik dan statik. Olah
raga yang bersifat kompetitif diperbolehkan pada anak dengan prehipertensi,
hipertensi stadium 1 dan 2 yang terkontrol, tanpa disertai gejala atau kerusakan organ
target.

23
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M Zaka

Umur : 7 tahun 11 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

No MR : 202843

Tanggal masuk : 2 Maret 2020

Keluhan Utama :

Bengkak pada wajah sejak ± 4 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang

• Awalnya pasien mengalami demam sejak 2 minggu yang lalu, demam hilang timbul,
saat demam muncul bitnik-bintik berisi nanah dan 1 minggu kemudian sembuh, kulit
menjadi kering dan mengelupas

• Pasien mengalami bengkak di wajah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

• Pasien mengalami nyeri perut dan pinggang sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

• Mual dan muntah 1x sejak pagi sebelum masuk rumah sakit, muntah berisi makanan
yang dimakan.

• BAK berwarna kuning pekat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

• BAB tidak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu

 Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

24
Riwayat penyakit keluarga

• Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama.

• Riwayat hipertensi, DM, penyakit ginjal dan jantung tidak ada pada keluarga

Riwayat Imunisasi

Imunisasi Usia

BCG 1 bulan
DPT :
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan
Polio:
1 0 bulan
2 2 bulan
3 3 bulan
4 4 bulan
Hepatitis B
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat kehamilan dan persalinan

• Anak ke 3 dari 4 bersaudara. Lahir partus pervaginam usia kehamilan 39-40 minggu
dengan ditolong bidan. Berat Lahir 3400 gram, panjang badan 4,8 cm. Saat lahir
pasien menangis kuat .

25
Riwayat Makanan dan Minuman

• Bayi

-ASI : 0-24 bulan

-Buah Biskuit : 6 bulan

-Nasi Tim : 12 Bulan

-susu formula : 6-24 bulan

-bubur susu : 6 bulan

• Anak

makanan utama : nasi 3x sehari menghabiskan 2 porsi.

Daging : 2x per minggu

telur : 3x per minggu

sayur : 3x per minggu

buah : 3x per minggu

kesan : kualitas dan kuantitas baik

26
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan dan Umur

Perkembangan

Ketawa 2 bulan

Miring 2 bulan

Tengkurap 4 bulan

Duduk 5 bulan

Merangkak 6 bulan

Berdiri 9 bulan

Lari 11 bulan

Bicara 12 bulan 

Prestasi di sekolah Baik

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.

Pemeriksaan umum

Kesadaran Compos Mentis Cooperatif

Keadaan umum Tampak Sakit Sedang

Tekanan darah 150/90 mmHg

Nadi 92 x/menit, Kuat angkat,reguler

Suhu 38 °C

Pernafasan 27 x/mnt

Tinggi badan 117 cm

Berat badan 20 kg

27
Keadaan gizi BB/U: 80 %

TB/U: 97 %

BB/TB: 95 %

Kesan Gizi baik, perawakan normal

Sianosis Tidak ada

Edema Wajah dan kaki

Anemis Tidak ada

Ikterik Tidak ada

Kulit Teraba hangat, turgor kulit baik

KGB Tidak teraba pembesaran KGB

Kepala Normochepal

Muka Simetris, edema (+)

Rambut Hitam, tidak mudah rontok

Mata Cekung(-/-),Konjungtiva
anemis(+/+), sklera tidak ikterik
(-/-), preorbital edema (+/+)

Telinga Tidak ditemukan kelainan

Hidung Tidak ditemukan kelainan, napas


cuping hidung (-)

Tenggorokan Tonsil T1-T1

28
Gigi dan Mulut Mukosa bibir dan mulut lembab,
sianosis tidak ada

Leher JVP 5 +2 cmH2O

Pulmo I : dada simetris, pergerakan


dinding dada simetris, Retraksi (-)

P : taktil fremitus sama kiri dan


kanan

P : Sonor

A: Vesikuler, rhonki (+/+),


wheezing (-/-)

Cor I : Ictus Cordis tidak terlihat

P : Ictus cordis tidak teraba

P: - Batas kiri : RIC V sejajar


linea midclavicula sinistra 2 jari
kearah medial
- Batas kanan : RIC IV
linea sternalis dexstra

- Batas atas : RIC II


linea parasternalis sinistra

A : Reguler , Murmur, dan Gallop


tidak ditemukan

Abdomen I : Distensi tidak ada

P : supel, nyeri tekan (+) dan nyeri


lepas tidak ada, hepar dan lien
tidak membesar, Asites (+)

P : Timpani

29
A : Bising usus (+) normal

Punggung Tidak ada kelainan

Alat kelamin Laki-laki, Tidak ditemukan


kelainan

Anus Colok dubur tidak dilakukan

Extremitas Akral hangat, pitting edema, CRT


< 2 ‘’, sianosis tidak ada

Laboratorium

Tanggal 02 Maret 2020

Darah Rutin
Hb 9,4 gr/dl (↓)
Eritrosit 3,75 /mm3

Leukosit 10.000 /mm3

Trombosit 270.000 /mm3

Hematokrit 27,4 %

MCV 73,1 FL

MCH 25,1 Pg

30
MCHC 34,3 gr/dl

LED 75 mm/jam (↑)

Kesan : -

URINALISA

Urine lengkap

Makroskopik

Warna : Kuning kecoklatan

Darah : +++

Bilirubin : negatif

Urobilinogen : 1

Keton : negatif

Protein : +++

Nitrit : negatif

Glukosa : negatif

PH : 6,00

Berat jenis : 1.025

Sedimen urine

• Eritosit : 20-30 /LPB

• Silinder : negatif

• Lekosit : 0-3 /LPB

• Kristal : negatif

• Epitel : 5-8 /LPK

31
Kimia klinik

 Ureum : 138 mg/dl


 Kreatinin : 1,52 mg/dl
 Albumin : 3,30 g/dl
 Kolestrol total : 295 mg/dl

K x L(cm)
GFR =
Serum Creatinine(mg %)
0,55 x 117 cm
=
1,52
= 42 (AKI stadium Loss)

Elektrolit

 Natrium (Na) : 142,7 mEq/L


 Kalium (K) : 5,1 mEq/L
 Clorida (Cl) : 116,1 mEq/L

Serologi

 ASTO ASD : Positif


 CRP kuantitatif : negatif

Tekanan darah normal pasien

 P90 = 106/70 mmHg HT stg I = > 115/79


 P95 = 110/74 mmHg HT stg II = > 122/87
 P99 = 117/82 mmHg Krisis hipertensi = 159/111

Diagnosis 1. GNAPS
2. HT stage II

Tatalaksana Non Medikamentosa

Bed rest

32
Minum 1500 cc

Nutrisi/ Diet:

Diet nefritik 1500 kkal (protein 20 gr


,garam 1 gr/hari)

Medikamentosa

Vasocath

Inj. Ampicilin 4x500 mg (iv)

Inj. Lasix 2x10 mg (iv)

Spironolactone 2x12,5 mg (p.o)

33
Follow Up :

tanggal hasil Pemeriksaan

03/03/202 S/ - Demam (-) B= (-)1040


0
- Sesak nafas sudah berkurang D= 4,7 cc/jam

- Bengkak pada wajah dan kaki

- BAK dan BAB normal

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 140/80 89x/i 20x/i 37’ C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (+/+), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (+)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (+), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

DIET nefrotik 1500kkal (protein 20 gr ,garam

1 gr/hari)

Inj. Ampicilin 4x550 mg (iv)

Inj. Lasix 2x15 mg (iv)

Spironolactone 2 x 12,5 mg

Captopril 3 x 6,25 mg

PCT K/P

34
04/03/202 S/
0
- Batuk (+) B= +340

- Demam (-) D= 2,4 cc/jam

- Sesak nafas sudah berkurang

- Bengkak pada wajah dan kaki

- BAK dan BAB normal

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 140/100 89x/i 20x/i 36,7 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (+), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

DIET nefritik 1500kkal (protein 20 gr ,garam

1 gr/hari)

Inj. Ampicilin 4x550 mg (iv)

Inj. Lasix 2x15 mg (iv)

Spironolactone 2 x 12,5 mg

Captopril 3 x 6,25 mg

Nifedipine 2 x 5 mg

PCT K/P

35
05/03/202 S/
0
- Batuk (-) B= +990

- Demam (-) D= 1,1 cc/jam

- Sesak nafas sudah berkurang

- BAK dan BAB normal

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 140/90 94x/i 20x/i 36,3 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (-), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

DIET nefritik 1500kkal (protein 20 gr ,garam

1 gr/hari)

Inj. Ampicilin 4x550 mg (iv)

Inj. Lasix 2x15 mg (iv)

Spironolactone 2 x 12,5 mg

Captopril 3 x 6,25 mg

Nifedipine 2 x 5 mg

PCT K/P

06/03/202 S/ B= +500
0

36
- Tidak ada keluhan D= 3,1 cc/jam

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 120/90 78x/i 20x/i 36,5 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (-), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

DIET nefritik 1500kkal (protein 20 gr ,garam

1 gr/hari)

Inj. Ampicilin 4x550 mg (iv)

Inj. Lasix 3x20 mg (iv)

Spironolactone 2 x 12,5 mg

Captopril 3 x 6,25 mg

Nifedipine 2 x 10 mg

PCT K/P

07-08 S/ B= +520 dan +10

/03/2020 - Tidak ada keluhan D= 5,7 dan 2,9

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 120/90 78x/i 20x/i 36,5 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

37
Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (-), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

Terapi lanjut

09/03/202 S/ B= +990
0
- Tidak ada keluhan D= 3,1 cc/jam

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 130/80 92x/i 20x/i 36,3 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (-), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

DIET nefritik 1500kkal (protein 20 gr ,garam

1 gr/hari)

Ampicilin aff

Inj amoxicilin 3 x 500 mg

38
Lasix 3x20 mg (p.o)

Spironolactone 2 x 12,5 mg

Captopril 3 x 20 mg

Nifedipine 2 x 10 mg

PCT K/P

10/03/202 S/
0
- Tidak ada keluhan

O/ KU Kes TD HR RR T

sedang CMC 140/90 92x/i 20x/i 36,3 C

Mata : Konjungtiva anemis (-/-)

Paru : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

Jantung : Reguler, Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen : Asites (-)

Ekstermitas : akral hangat, edem tungkai (-), sianosis(-),


CRT <2’’

A/ 1.GNAPS 2.HT stage II

P/

Pulang

Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam

 Quo ad functionam : dubia ad bonam

 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

39
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah didiagnosis seorang pasien anak laki-laki berusia 7 tahun dengan diagnosis

GNAPS dengan Hipertensi grade II. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan Penunjang.

Pasien datang dengan keluhan utama bengkak pada wajah sejak ± 4 hari SMRS. Awalnya

pasien mengalami demam sejak 2 minggu yang lalu, demam hilang timbul, saat demam

muncul bitnik-bintik berisi nanah dan 1 minggu kemudian sembuh, kulit menjadi kering dan

mengelupas, Mual dan muntah 1x sejak pagi sebelum masuk rumah sakit, muntah berisi

makanan yang dimakan, BAK berwarna kuning pekat sejak 4 hari sebelum masuk rumah

sakit.

Untuk pemeriksaan penunjang pada kasus ini sudah tepat, dimana dilakukan pemeriksaan

urinalisa, tes serologis Titer ASTO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa,

karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS, serta dilakukan

pemeriksaan LED.

Untuk tatalaksana pada pasien ini sudah tepat, dimana pasien bed rest total, diberikan

diet nefritik 1500 kkal selama perawatan, diberikan antibiotik ampisilin sesuai dosis, dan

juga telah diberikan terapi antihipertensi dengan pemberian obat diuretik seperti furosemide

selama perawatan, dan pemberian ACEI yaitu captopril sesuai dosis dan diberikan nifedipine

karena terjadi peningkatan tekanan darah pasien.

40
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Batasan glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) adalah suatu bentuk


glomerulonefritis akut yang menunjukkan proses inflamasi dan proliferasi glomeruli yang
didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan
gejala-gejala nefritis seperti hematuria, edema, hipertensi dan oliguria yang terjadi secara
akut.
Bila pada pemantauan dijumpai gejala-gejala baik klinik maupun laboratorik seperti
edema, ASO meningkat atau komplemen C3 menurun, maka diagnosis GNAPS dapat
ditegakkan. Begitu pula bila dijumpai apusan tenggorokan positif untuk GABHS maka dapat
didiagnosis sebagai GNAPS. Bila dijumpai gejala klinik yang khas seperti edema, protenuria,
hematuria, oliguria dan hipertensi (full blown case) maka diagnosis GNAPS dapat
ditegakkan.
Bentuk GNAPS asimtomatik banyak terdapat pada tempat tinggal yang padat
(rumah, asrama) sebagai akibat droplet infection yang mudah terjadi dari seorang anak
penderita GNAPS ke anak yang lain. Bentuk GNAPS asimtomatik lebih banyak dijumpai
daripada bentuk simtomatik.
GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease selama tidak
dijumpai komplikasi, sehingga penderita GNAPS cukup dirawat inap selama 7-10 hari.
Pemantauan gejala yang harus diperhatikan adalah proteinuria dan atau hematuria

mikroskopik. Proteinuria dan atau hematuria yang berlangsung lebih 6 bulan harus

diperhatikan, oleh karena kemungkinan terjadi glomerulonefritis kronik yang dapat diketahui

melalui biopsi ginjal, sehingga perlu dirujuk kepada konsultan ginjal anak.

Antibiotik untuk eradikasi kuman adalah golongan penisilin, bila alergi penisilin

diberikan eritromisiHipertensi pada GNAPS (32-75%) dapat menyebabkan ensefalopati

hipertensi (92%) disertai manifestasi kejang dan atau kesadaran menurun. Oleh karena itu

pada setiap kasus dengan gejala kejang dan atau kesadaran menurun, jangan lupa memeriksa

tekanan darah untuk melacak adanya GNAPS.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr.Syarifuddin Rauf, dr., Sp.A(K), dkk.2012.Glomerulonefritis Akut Pasca


Streptokokus. KONSENSUS:Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
2. Asyid, Rachayu, dkk.2019. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus. Jurnal
Medical Profession (MedPro). Vol 2.
3. Dr. Dedi Rahcmadi, dr., SpA(K),. M. Kes, dkk.2011.Tata Laksana Hipertensi Pada
Anak. KONSENSUS:Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
4. Kher KK. Acute Glomerular diseases in children. The Open Urology & Nephrology
Journal. 2015
5. Arunagirinathanm A, Arayanaswamy DK, Thirunavukaransu B, Raghavan A,
Raghavendhran VD. Clinical spectrum and outcome of acute post-infectious
glomerulo-nephritis in children: A Hospital Based Study. International Journal of
Scientific Study. 2015
6. Pardede OS, Trihono PP, Tambunan T. Gambaran klinis glomerulonefritis akut pada
anak di departemen ilmu kesehatan anak RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2005;6:144-8.
7. Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis [internet]. USA: Johns Hopkins
Bayview Medical Center; 2016 [diperbarui 7 Agustus 2016; diakses tanggal 20
Februari 2020]. Tersedia dari:http://emedicine.medscape.com/article/240337-
overview.
8. Purnomo B. Dasar-dasar urologi. Jakarta:Sagung Seto; 2011.
9. Rivera F, Anaya S, Perez–Alvarez J, de la Niela, Vozmediano MC, Blanco J.
Henoch–Schonlein nephritis associated with streptococcal infection and persistent
hypocomplementemia : a case report. J Med Case Reports. 2010;4(1): 50.

42
M. Zaka

43

Anda mungkin juga menyukai