PENDAHULUAN
1
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh
Departemen Kesehatan RI, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban
Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di
Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan
Kalimantan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa
terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di
Propinsi Papua Barat (Kemenkes RI, 2008).
Diabetes Mellitus Tipe 2 diderita oleh hampir semua golongan masyarakat
di seluruh dunia. Lebih dari 3 dekade, jumlah penderita diabetes mellitus telah
meningkat 2 kali lipat, membuat tantangan yang berbeda di seluruh negara.
Diabetes mellitus tipe 2, dan prediabetes telah meningkat antara anak-anak,
remaja, dan dewasa muda. Penyebab peningkatan epidemik ini disebabkan oleh
masalah yang kompleks yang terkait dengan genetik dan epigenetik dan interaksi
dengan faktor sosial, yakni pengaruh kebiasaan dan lingkungan (Chen L et al,
2012).
Penderita DM tipe 2 dari tahun ke tahun cenderung meningkat karena
banyak faktor resiko yang menyebabkan penyakit DM tipe 2 misal gaya hidup
tidak sehat, pola makan tidak sehat, sehingga terjadi obesitas yang disertai
resistensi insulin yang berlanjut menjadi DM (Darmono, 2010). Selain itu faktor
lingkungan, pendidikan dan pengalaman dapat juga menyebabkan masyarakat
kurang informasi tentang diet dan tatalaksana pada penyakit DM Tipe 2. Maka
dari itu tingkat pengetahuan pasien DM Tipe 2 tentang pola diet diabetes sangat
diperlukan karena dapat mempengaruhi status kesehatannya.Namun terkadang
seseorang tidak mengetahui dirinya menderita DM tipe 2 sehingga kurang peduli
terhadap pola makan atau pola hidup sehat (Kariadi, 2009).
Pola makan yang salah sangat meningkatkan resiko diabetes, kurang gizi
(malnutrisi) dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas (gemuk berlebihan)
dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (Soegondo, 2009). Bila sel β
Pancreas terganggu atau rusak maka terjadi defisiensi atau resistensi insulin
sehingga glukosa dari makanan yang masuk tidak dapat dijadikan energi oleh sel.
2
Makan yang berlebihan akan menumpukkan glukosa didalam darah sehingga
terjadi kenaikan kadar gula darah (Kariadi, 2009).
Komplikasi DM Tipe 2 ini sudah dipastikan dapat merusak organ tubuh
seperti jantung (75 % kasus DM tipe 2 akan merusak jantung, ginjal, otak, mata
serta organ tubuh lainnya).Maka dampak yang biasa pada DM tipe 2 yang lama
dan tidak terkontrol adalah gangguan penglihatan, oklusi koroner, gagal ginjal dan
stroke. Para pakar sendiri sering mengingatkan, penyakit jantung antara lain
diperoleh akibat konsumsi lemak jenuh yang berlebihan dan kolesterol dari
makanan hewani. Sedangkan serat dari makanan nabati justru menurunkan
kolesterol dalam darah, mengendalikan kadar gula darah dan sekaligus
menurunkan berat badan (Soegondo S, 2011).
Salah satu upaya yang mempunyai peran utama adalah pengendalian lipid,
tekanan darah dan kadar gula darah melalui edukasi tentang gaya hidup sehat,
konsumsi gizi seimbang serta memelihara berat badan ideal, hindari hidup stress,
tidur yang cukup dan hidup aktif berolahraga serta tidak merokok. Upaya kuratif
yang mahal seperti perawatan intensif, tidak besar peranannya terhadap penurunan
mortalitas dalam populasi (Soegondo S, 2011).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok dan diharapkan agar dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para
pembaca.
3
1.3 Metode Penulisan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Italia, Rusia dan
Brazil, merupakan 10 negara dengan jumlah diabetes terbanyak.
Pada umumnya DM tipe 2 dapat terjadi pada usia diatas 30 tahun. DM
tipe 2 merupakan yang paling sering terjadi dibandingkan dengan diabetes
mellitus tipe lainnya. Meskipun sebelumnya DM tipe 2 umumnya didiagnosis
pada usia paruh baya (middle age), sekarang onset terjadi pada usia yang lebih
muda di Jepang terlihat empat kali peningkatan insiden DM tipe 2 pada usia 6
hingga 15 tahun. Data dari Amerika Serikat mengindikasikan adanya 8-45%
kasus DM tipe 2 di diagnosis pada usia muda
Menurut penelitian epidemiologi sampai saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 %
dan di Manado 6 %. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan
didaerah itu banyak perkawinan antar kerabat. Sedangkan di Manado,
Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu
populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak
selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat
dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang
tinggi, karena prevalensi di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4 % sampai
12% didaerah urban dan 3,85% sampai 9,7% didaerah rural.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM
didaerah urban yaitu kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan didaerah rural
yang dilakukan oleh Augusta Arifin disuatu daerah di Jawa Barat tahun 1995,
angka ini hanya 1,1%. Disini jelas ada perbedaan antara prevalensi didaerah urban
dengan daerah rural. Hal ini menunjukan bahwa gaya hidup mempengaruhi
kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka ini tidak berbeda yaitu 1,43%
didaerah urban dan 1,47% didaerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya
prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang
disebut diabetes tipe lain didaerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari
seluruh diabetes di daerah itu.
6
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak
pada tabel 2, Indonesia akan menempati peringkat nomor 7 sedunia dengan
jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2
tingkat dibanding tahun 1995.
7
2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
8
lambat (namun sangat merusak) dibandingkan tampilan penyakit autoimun.
Kesulitan dalam mendiagnosa dapat timbul pada anak-anak, remaja dan dewasa
(ADA, 2012).
Keterangan Gambar :
A. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Karbohidrat
Karena penurunan aktivitas insulin, maka perubahan – perubahan yang
terjadi pada diabetes mellitus adalah pola metabolic pasca – absorpsi yang
berlebihan, kecuali hiperglikemia. Pada keadaan puasa yang biasa, kadar
glukosa darah sedikit dibawah normal. Hiperglikemia, tanda utama diabetes
mellitus, terjadi karena berkurangnya penyerapan glukosa oleh sel, disertai
oleh peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati (1 di gambar 19-16). Karena
proses –proses glikogenolisis dan glukoneogenesis yang menghasilkan
9
glukosa berlangsung tanpa kendali karena tidak adanya insulin maka
pengeluaran glukosa oleh hati meningkat. Karena banyak sel tubuh tidak dapat
menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin maka terjadi kelebihan glukosa
ekstasel bersamaan dengan defisiensi glukosa yang ironis – “ kelapran
ditengah lumbung padi “. Meskipun otak, yang tidak bergantung pada insulin,
mendapat nutrisi yang adekuat pada diabetes mellitus, namun konsekuensi –
konsekuensi lebih lanjut dari penyakit ini akhirnya menyebabkan disfungsi
otak, seperti yang akan anda ketahui.
Ketika glukosa darah meningkat ke kadar dimana jumlah glukosa yang
tersaring melebihi kemampuan sel tubulus melakukan reabsorbsi maka
glukosa muncul diurin (glukosuria ) 2. Glukosa di urin menimbulkan efek
osmotic yang menarik H2O bersamanya, menyebabkan diuresis osmotic yang
ditandai oleh poliuria (sering berkemih) 3. Besarnya cairan yang keluar dari
tubuh menyebabkan dehidrasi 4, yang selanjutnya dapat menyebabkan
kegagalan sirkulasi perifer karena berkurangnya jumlah volume darah secara
mencolok 5. Kegagalan sirkulasi ini, jika tidak diperbaiki, dapat
menyebabkam kematian karena berkurangnya aliran darah ke otak 6 atau
gagal ginjal sekunder akibat berkurangnya tekanan filtrasi 7. Lebih lanjut, sel
– sel kehilangan air sewaktu tubuh mengalami dehidrasi akibat pergeseran
osmotic air dari sel kedalam cairan ekstrasel yang hipertonik 8. Sel – sel otak
sangat peka terhadap penciutan sehingga dapat terjadi malfungsi system saraf
9 . Gejala khas lain pada diabetes mellitus adalah polidipsia ( rasa haus yang
berlebihan ) 10, yang sebenarnya adalah mekanisme kompensasi untuk
melawan dehidrasi,
Kisah ini belum lengkap. Pada defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan
meningkat sehingga terjadi polifasia (asupan makanan yang berlebihan) 11.
Namun , meskipun asupan makanan bertambah terjadi penambahan berat
badan akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein.
B. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Lemak
Sintesis trigliserida berkurang sementara lipolisis meningkat,
menyebabkan mobilisasi besar – besaran asam – asam lemak dari simpanan
10
trigliserida 12. Peningkatan asam lemak darah sebagian besar digunakan oleh
sel sebagai sumber energy alternative. peningkatan pemakaian asam lemak
oleh hati menyebakan pelepasan badan badan keton secara berlebihan kedalam
darah, menyebabkan ketosis 13. Badan badan keton mencakup beberapa jenis
asam, misalnya asam aseto asetat, yang terbentuk karena penguraian lemak
secara tidak sempurna sewaktu produksi energy oleh hati . karena itu, ketosis
yang terjadi ini menyebabkan asidosis metabolic yang progresif 14. Asidosis
menekan otak dan, jika cukup parah, dapat menyebabkan koma diabetes dan
kematian. 15.
Tindakan kompensatorik untuk asidosis metabolic adalah
meningkatkan ventilasi untuk mengeluarkan lebih banyak co2 pembentuk
asam 16. Pengeluaran salah satu badan keton , aseton, melalui hembusan nafas
menyebabkan nafas berbau “buah” kombinasi permen juicy fruit dan
pembersih kutek. Kadang, karena bau ini, orang yang berkebetulan lewat salah
menyangkal pasien yang kolaps pada koma diabetes sebagai pemabuk yang
pingsan karena minum keras. ( situasi ini menggambarkan pentingnya pasien
memiliki tanda pengenal untuk kewaspadaan medis). Pengidap diabetes tipe 1
jauh lebih rentas mengalami ketosis dari pada pengidap tipe 2.
C. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Protein
Efek kurangnya insulin pada metabolism protein adalah pergeseran
netto menuju katabolisme protein penguraian protein- protein otot
menyebabkan otot rangka lisut dan lemah 17 dan, pada anak yang mengudap
diabetes, penurunan pertumbuhan secara keseluruhan. Berkurangnya
pengambilan asam amino disertai meningkatnya penguraian protein
menyebabkan jumlah asam amino dalam darah berlebih 18. Peningkatan asam
amino darah ini dapata digunakan untuk glukoneogenesis sehingga
hiperglikemia menjadi bertambah parah 19.
11
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan
tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk
biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan
terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau
minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi menjaga regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi yang berlangsung secara sinkron
tersebut, menjaga kadar glukosa darah normal, sebagai cerminan metabolisme
glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion response = AIR) adalah sekresi
insulin yang teriadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat
dan berakhir cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif
tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa
darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang
cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi yang normal karena pada
gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah
postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis.
AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
postprondial spike) segala akibat yang ditimbulkan ermasuk hiperinsulinemia
kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir muncul (sustained phase, latent
phase), di mana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan
dalam waktu relatif lebih lama Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan
glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2
yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara
kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase
1, di samping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila
sekresi fase 1 tidak adekuat terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
12
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut
pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa
darah (postprandial tetap dalam batas-batas normal. Dalam prospektif perjalanan
penyakit fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengarui oleh fase Pada gambar di
bawah ini (Gambar 2) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan
normal, toleransi glukosa terganggu (Impaired Glucose Toleranca = IGT), dan
diabetes melitus tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, dan disertai pula oleh aksi
insulin yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga
akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra)
sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 di atas normal untuk dapat
mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.
- Aksi Insulin
13
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada
membran sel, Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam
signal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa di dalam sel
otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu
jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas
GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya Juga mendorong penempatannya
pada membran sel Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolisme (Gambar 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa
normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekre yang normal,
dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal Rendahnya sensitivitas atau
tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor
etilogi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan di mana GLUT-2
berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel ke
dalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur
homeostasis glukosa tubuh Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih
ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.
Manakala jaringan (hepar) resistensi terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan
semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
14
- Efek Metabolisme Dari Insulin
15
bersifat progresif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak
ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisai yang tidak
berlangsung sempurna pada lirannya secara klinis sering memunculkan
abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang
normal dalm darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk
peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, di samping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi
insulin (insulin sensitizer)
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase
2sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap
kadar glukosa darah. secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat
terdeteksi keadaan yang dinamakan toleransi glukosa terganggu yang disebut juga
sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak
adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif terjadi
peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu
(TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) berkisar di antara
140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah
puasa antara 100 260 mg/dl, yang disebut juga sebagai glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
Keadaan hiperglikemia yang terjadi,baik secara kronis pada tahap
diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang teradi berulang kali setiap hari
sejak tahap TGT memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka
panjang menimbulkan komplikasi kronis diabetes. Tingginya kadar glukosa darah
(glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) ber tanggung
jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara angsung melalui sters oksidatif dan
proses glikosilasi yang meluas.
Resistensi insulin mulai menonjol peranannya insulin semenjak perubahan
atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut
faktor resistensi mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai
kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2,
16
meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia
masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular
telah muncul semenjak prediabets Semakin tingginya tingkat resistensi insulin
dapat terlihat pula dari peninghkatan kadar glikosa darah puasa maupun
postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa
dari hepar.
Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2. pada awalnya
ditentukan oleh kinerja fase 1 yang negatif terhadap kinerja fase kemudian
memberi dampak dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar
(hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak glukosa darah hanya disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin) tapi pada saat bersamaan juga oleh
rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan
atau pengauruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut
pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai
jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin,
selain daripada intoleransi rhadap glukosa beserta berbagi akibatnya, sering
menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindrom metabolik.
17
Defek kegemukan
genetic multiple
glukosa
Hiperglikemia
DM tipe 2
2.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena,ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.
18
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasikDM seperti di bawah
ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.
19
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan
Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa
terganggu(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor
risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian
hari (PERKENI,2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosadarah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).
20
Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.
Keluhan Klasik
(+)
Keluhan Klinis Diabetes
Keluhan Klasik (-)
GDP
atau
GDP
>126>126
Ulang
<126
GDS atau
<126 >126 TTGO
atau 110-199
>200 140 -110
199- <126
<140 <110
>200>200<200
GDP <200 >200 GD 2 jam
GD2J/
GD2J
GDS
2.6 Penatalaksanaan
21
2.6.1 Tujuan penatalaksanaan
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
22
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta anklebrachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit
pembuluh darah arteri tepi
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
23
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada
24
menurun dengancepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
(PERKENI,2011)
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaanpenyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien,keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasiendalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yangkomprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tandadan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikankepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukansecara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
25
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
26
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)
27
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o ObesII > 30
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining
Obesity and its Treatment.
28
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Latihan jasmani
29
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive
training). Sedapatmungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal
(220/umur), disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olahraga ringan adalahberjalan kaki biasa selama 30 menit,
olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit danolahraga berat misalnya
joging. (Sudaryono et.al 2006)
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
30
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatansekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) danNateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengancepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresisecara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
31
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakaipada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saatatau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan memudahkan
dokter untuk memantau efek sampingobat tersebut.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormonpeptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
32
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktifmerupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2.Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4(penghambat DPP-4), atau
memberikan hormon asli atauanalognya (analog incretin=GLP-1 agonis).Berbagai
obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,mampu menghambat kerja DPP-4
sehingga GLP-1 tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan
mampu merangsang penglepasan insulin sertamenghambat penglepasan glukagon.
Tabel 4. Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti hiperglikemik
(sumber: standard of medical care in diabetes- ADA 2015)
33
Penghambat Acarbose - Tidak - Efektivitas Sedang
menyebabkan penurunan A1C
glucosidase
hipoglikemia sedang
- Glukosadarah - Efek samping
postprandial gastrointestinal
- CVDevent - Penyesuaian dosis
harus
seringdilakukan
34
Insulin - Rapid-acting - Responnya - Hipoglikemia Bervariasi
analogs universal
§Lispro - Berat badan
- Efektif
§Aspart menurunkan
- Efek mitogenik
§Glulisine - Dalam sediaan
glukosa darah injeksi
- Short-acting
§Human - komplikasi - Tidak nyaman
mikrovaskuler - Perlu pelatihan
Insulin pasien
- Intermediate (UKPDS)
acting
§Human NPH
- Basal insulin
analogs
§Glargine
§Detemir
§Degludec*
- Premixed
(beberapa
tipe)
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
35
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
36
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidakterkendali
dengan perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
37
Humulin N® Vial, pen / cartridge
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
Insuman
Basal®
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)
3. Terapi Kombinasi
38
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulaidengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin. (PERKENI,2011)
2.7 Komplikasi Diabetes Melitus
2.7.1 Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut
darikonsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah:
39
· Hiperketonemia
· Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis
,peningkatanlipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan
keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. (Price et.al 2005)
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang
terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada
penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut,
namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai
berikut: (Price et.al 2005)
· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
· Dehidrasi berat
· Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak
segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama
antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
40
hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya
ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum
mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya. (Soegondo,2005)
2.8 Prognosis
• Quo ad vitam : Dubia ad bonam
• Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
• Quo ad sanam : Dubia ad malam
2.9 TB Paru
2.9.1 Definisi TB Paru
2.9.2 Etiologi
41
Penyebab dan Faktor Risiko Tuberkulosis
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil tersebut
menyebar di udara melalui semburan titik-titik air liur dari batuk pengidap TB
aktif.
Terdapat sejumlah orang yang memiliki risiko penularan TB yang lebih
tinggi. Kelompok-kelompok tersebut meliputi:
Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pengidap
HIV/AIDS, diabetes, atau orang yang sedang menjalani kemoterapi.
Orang yang mengalami malnutrisi atau kekurangan gizi.
Perokok.
Pecandu narkoba.
Orang yang sering berhubungan dengan pengidap TB aktif, misalnya petugas
medis atau keluarga pengidap.
42
Tuberkulosis termasuk penyakit yang sulit untuk terdeteksi. Dokter
biasanya menggunakan beberapa cara untuk mendiagnosis penyakit ini, antara
lain:
Rontgen dada.
Tes Mantoux.
Tes darah.
Tes dahak.
Penyakit yang tergolong serius ini dapat disembuhkan jika diobati dengan
benar. Langkah pengobatan yang dibutuhkan adalah dengan mengonsumsi
beberapa jenis antibiotik dalam jangka waktu tertentu.
Sementara langkah utama untuk mencegah TB adalah dengan menerima
vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk
dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan.
Apabila tidak diobati, bakteri TB dapat menyebar ke bagian tubuh lain dan
berpotensi mengancam jiwa pengidap. Beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi adalah:
43
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama : Ny. Er
Umur : 56 tahun
No MR : 046402
3.2 ANAMNESA
Keluhan Utama
44
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak bercampur darah dan demam hilang
timbul, sebelumnya pasien pernah mengkonsumsi OAT ± sejak 1,5 tahun
yang lalu. Dimana pasien mengkonsumsi OAT 6 bulan, 8 bulan, dan 4 bulan.
Letih (+)
Pusing (-)
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Seorang pasien wanita berusia 56 tahun sudah menikah dan memiliki 6 orang
anak, pasien tinggal bersama keluarganya.
Riwayat merokok (-)
Riwayat minum kopi (+) 1 cangkir setiap pagi
45
Riwayat minum-minuman beralkohol (-)
PEMERIKSAAN FISIk
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 80x/menit, reguler
Suhu : 36,5
BB : 55kg
TB : 155cm
IMT : 22,89(Normoweight)
STATUS GENERALISATA
Kulit : Sianosis (-) turgor kulit normal, ikterik(-)
Kepala : Bentuk bulat, ukuran normochepal, rambut tidak
mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
ODS : refleks cahaya +/+
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, bibir pucat (-) lidah tidakkotor
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjertiroid tidak membesar,
trakea ditengah, JVP (5 – 2 cmH2O),
KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB pada leher, axilla dan inguinal
Thorax :
I : Bentuk dada normochest, simetris kiri=kanan, ikut gerak napas
P : Focal fremitus kiri=kanan
P : Sonor kiri=kanan
46
Batas Paru Hepar ICS VI dextra anterior
Batas Paru Lambung ICS VII garis midaxillaris anterior sinistra
A : Rhonki +/-
Jantung :
I : Ictus Cordis tidak tampak
P : Ictus Cordis teraba 2 jari kearah medial LMCS RIC V
P :
- Batas kiri : RIC V sejajar linea midclavicula sinistra 2 jari kearah medial
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dexstra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
A : S1/S2 murni, regular, bising (-)
Abdomen :
I : ukuran normal, sikatrik (-), ascites (-), venektasi (-)
P :-Hepar dan Lien tidak teraba, Nyeri tekan(-) , nyeri lepas (-)
-Ginjal : Bimannual (-), ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
P : Timpani (+)
A : Bising usus (+) Normal
Extremitas Superior
Inspeksi : Edema (-/-)
Palpasi : Pulsasi A. Radialis (+/+)
Sensibilitas halus dan kasar (+/+)
Extremitas Inferior
47
Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Brachioradialis ++ ++
Patologi Kanan Kiri
Hoffman-tromer - -
Refleks
Fisiologis Kanan Kiri
Patella ++ ++
Cremaster ++ ++
Achiles ++ ++
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 30-11-2017
- Kimia Klinik
Glukosa puasa : 296mg%
2 jam pp : 321mg%
Tanggal 06-12-2017
Darah Rutin
Hb : 12,8 g/dl
Ht : 36,3%
Wbc : 8,37 /ul
Plt : 295.000/ul
Tanggal 06-12-2017
Kimia Klinik
48
Ureum : 27mg/dl
Creati : 0,69mg/dl
URINALISIS (19/9/2017)
Hasil Laboratorium Interpretasi
Warna : Kuning Normal
Darah : - Normal
Bilirubin : - Normal
Urobilinogen : - Normal
Keton : - Normal
Protein : + Normal
Nitrogen : - Normal
Glukosa : - Normal
pH : 5,0 Normal
BJ : 1,020 Normal
Sedimen eritrosit : - Normal
Sedimen leukosit : 2-3 /LPB Normal
Sedimen torak : - Normal
Epitel sel : 5-6 / LPK Normal
Bakteri : - Normal
DIAGNOSIS KERJA
- DM Tipe 2
- TB Paru
DIAGNOSA BANDING
Diabetes Tipe Lain
49
Diabetes Insipidus
Diabetes Melitus tipe 1
PENATALAKSANAAN AWAL
Diet bebas 1900 kkal/hari
IVFD Nacl 0.9% 12Jam/Kolf
Novarapid 3x12
Hovemir 1x12
Transamin 2x1
Injeksi Vit K 3x1
Ciprofloxacin 2x200mg
RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Lipid Profile
Rontgen Thorax PA
Pemeriksaan Glukosa darah puasa dan Glukosa post prandial
Konsul bagian gizi
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad malam
50
06/12/2017 Perawatan Hari I R/
S: Batuk berdahak campur darah (+) Diet DM 1900 kkal/hr
IVFD Nacl 0.9% 12Jam/Kolf
O: KU/KES : sdg/ CMC Novorapid 3x12
TD : 120/80 mmHg Levemir 1x12
NF : 20x/menit Transamin 2x1
ND : 80x/menit Injeksi Vit K 3x1
S : 36,5°c Ciprofloxacin 2x200mg
51
07/12/2017 Perawatan Hari II R/
S: Batuk berdahak campur darah (+) Diet DM 1900 kkal/hr
O: KU/KES : sdg/ CMC IVFD Nacl 0.9% 12Jam/Kolf
TD : 120/80 mmHg Novorapid 3x12
NF : 20x/menit Levemir 1x16
ND : 80x/menit Transamin 3x1
S : 36,5°c Injeksi Vit K 3x1
Mata : konjungtiva anemis()sklera Ciprofloxacin 2x500mg
ikterik (-) Ambroxol 3x1
Paru : Normochest,Ronkhi +/-
Jantung : BJ I/II murni, regular
Abdomen : Nyeri tekan (+) pada Periksa:
hipokondrium dextra, Rontgen thorax PA
nyeri lepas (-) BU (+)
Normal
Ext : Oedem (-) akral
hangat
Glukosa puasa : 296mg%
2 jam pp : 321mg%
A: DM tipe II
TB Paru
52
BAB IV
KESIMPULAN
53
mg/dL, Glukosa Puasa 296mg%, 2 jam pp 321mg%. Hasil urinalisa sediman
epitel meningkat.
Tindakan selanjutnya yang diberikan pada pasien ini adalah 4 pilar
penatalaksanaan DM yaitu edukasi, latihan jasmani, terapi gizi medis dan
intervensi farmokologis sesuai dengan pemilihan obat sesuai dengan keefektifan,
keamanan, ketersediaan obat serta kondisi pasien yaitu sesuai evaluasi gula darah
sewaktu sementara itu untuk TB Paru diberikan OAT dan dikonsulkan kebagian
penyakit paru.
54
DAFTAR PUSTAKA
Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 edisi VI. Jakarta:
Internal Publishing
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem) edisi VI.
Jakarta : EGC
55
Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Volume 1 Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta :EGC
56
57