Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit diabetes mellitus merupakan gangguan kesehatan berupa
kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa)
darah akibat resistensi insulin. Kurangnya insulin merupakan penyebab utama
diabetes mellitus yang ditandai dengan ketidakrentanan dan ketidakmampuan
organ menggunakan insulin sehingga insulin tidak berfungsi secara optimal
dalam mengatur metabolisme glukosa dan berakibat kadar glukosa darah
meningkat (hiperglikemi) (Bustan, 2007).
World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penduduk dunia
yang menderita DM pada tahun 2030 akan meningkat paling sedikit menjadi
366 juta dari 177 juta pada tahun 2000. Indonesia menempati urutan ke 4
terbesar dalam jumlah penderita DM terbanyak dibawah India, China dan
Amerika Serikat (Wild S, 2004). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi
transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular seperti
kanker, jantung, DM dan paru obstruktif kronik, serta penyakit kronik lainnya
semakin meningkat. Diantara penyakit degeneratif, DM adalah salah satu
diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa
datang (Sudoyo, 2010). Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu
14,7%, dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Hal ini
menunjukkan bahwa di Indonesia, penyakit DM merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang sangat serius. Bila tidak ditangani dengan baik,
DM akan menimbulkan berbagai macam komplikasi, baik akut maupun kronik.
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada pembuluh darah kecil dan
pembuluh darah besar (Sudoyo, 2010).
Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).
Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam
yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada
tungkai bawah (Decroli E, 2008). Tiga faktor penyebab utama masalah diabetic
foot adalah neuropati, buruknya sirkulasi dan menurunnya resistensi terhadap
infeksi (Maryunani, 2013)
Diabetic foot ulcer sering dikaitkan dengan terjadinya penurunan kualitas
hidup dan dijadikan prediktor mortalitas independen pada penderita diabetes.
Individu dengan diabetic foot ulcer memiliki risiko besar mengalami infark
miokard, stroke, kematian dini dibandingkan tanpa riwayat diabetic foot ulcer
(Brownrigg, 2012). Sebagian besar kasus diabetic foot ulcer ini terjadi sebagai
hasil manifestasi akhir timbulnya kelainan berupa neuropati perifer, 2 kelainan
vaskuler (PAD) ataupun gabungan keduanya pada penderita diabetes yang
telah lama sakit dengan kondisi kontrol glukosa darah yang buruk. (Brownrigg,
2012; Hinchiffle et al, 2012).

B. TUJUAN
1. Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan Diabetes melitus (DM) tipe 2 +
Diabetic foot
2. Khusus
a) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Diabetes melitus
(DM) tipe 2 + Diabetic foot
b) Untuk mengetahui manifestasi klinis Diabetes melitus (DM) tipe 2 +
Diabetic foot
c) Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Diabetes melitus
(DM) tipe 2 + Diabetic foot
d) Mampu merumuskan diagnosa dan memprioritaskan masalah pada
pasien Diabetes melitus (DM) tipe 2 + Diabetic foot
e) Mampu membuat perencanaan tindakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Diabetes melitus (DM) tipe 2 + Diabetic foot

C. MANFAAT
1. Bagi Akademik/ institusi
Sebagai bahan evaluasi sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien Diabetes melitus (DM) tipe 2
+ Diabetic foot.
2. Bagi Pembaca
Sebagai salah satu sumber literature dalam pengembangan bidang
profesi keperawatan khususnya tentang Diabetes melitus (DM) tipe 2 +
Diabetic foot.
3. Bagi RS
Sebagai informasi
4. Bagi Pasien Dan Keluarga

5. Bagi Penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan peyakit kronis yang berkaitan dengan
defisiensi atau resistansi insulin relatif atau absolut dan ditandai dengan
ganguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Paramita, 2011).
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit kronis dengan karakteristik terjadi
peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) dalam tubuh. Penyebab dari DM
adalah gangguan pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. DM tipe 2
disebabkan oleh perpaduan antara gangguan aksi insulin (resistensi insulin)
dan defisiensi insulin yang terjadi secara relatif sebagai kompensasi sekresi
insulin yang tidak adekuat (IDAI, 2015).
Klasifikasi
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai
berikut :
1. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.
kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara
absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan
idiopatik.
2. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin
dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga
menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga
dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin
untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
3. Diabetes melitus
DM tipe lain Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat
disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi,
kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4. Diabetes melitus Gestasional
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes.
B. ETIOLOGI
Etiologi atau faktor penyebab penyakit Diabetes Melitus bersifat
heterogen, akan tetapi dominan genetik atau keturunan biasanya
menjadi peran utama dalam mayoritas Diabetes Melitus (Carpenito,
2015).
Faktor-faktor risiko penyakit DM tipe 2 menurut garnita (2016) antara lain
sebagai berikut :
1. Riwayat DM keluarga / Genetik DM tipe 2 sangat dipengaruhi oleh faktor
genetik.
2. Berat lahir Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram atau
keadaan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko lebih tinggi
menderita DM tipe 2 pada saat dewasa. Hal ini terjadi karena bayi dengan
BBLR mempunyai risiko menderita gangguan fungsi pankreas sehingga
produksi insulin terganggu.
3. Stress
Stress adalah perasaan yang dihasilkan dari pengalaman atau pistiwa
tertentu. Sakit, cedera dan masalah dalam kehidupan dapat memicu
terjadinya stress. Tubuh secara alami akan merespon dengan banyak
mengeluarkan hormon untuk mengatasi stress. Hormon-hormon tersebut
membuat banyak energi (glukosa dan lemak) tersimpan d dalami sel.
Insulin tidak membiarkan energi ekstra ke dalam sel sehingga glukosa
menumpuk di dalam darah.
4. Umur
Umur yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan
peningkatan risiko menderita penyakit diabetes melitus karena jumlah sel
beta pankreas yang produktif memproduksi insulin akan berkurang. Hal ini
terjadi terutama pada umur yang lebih dari 45 tahun.
5. Jenis kelamin
Wanita lebih memiliki potensi untu menderita diabetes melitus daripada pria
karena adanya perbedaan anatomo dan fisiologi. Secara fisik wanita
memiliki peluang untuk mempunyai indeks massa tubuh di atas normal.
Selain itu, adanya menopouse pada wanita dapat mengakibatkan
pendistribusian lemak tubuh tidak merata dan cenderung terakumulasi.

6. Pendidikan
Pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang mempunyai
pengetahuan yang baik khususnya tentang diabetes melitus.
7. Pekerjaan
Pekerjaan yang lebih cenderung tidak melakukan aktifitas fisik dalam
pekerjaan tersebut dapat meningkatkan risiko menderita diabetes melitus.
8. Penghasilan
Penghasilan yang rendah akan membatasi seseorang untuk mengetahui
dan mencari informasi tentang diabetes melitus. Semakin rendah
penghasilan, maka akan semakin tinggi risiko menderita diabetes melitus
tipe 2.
9. Pola makan
Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian
diabetes melitus tipe 2. Pola makan yang jelek atau buruk merupakan
faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian diabetes melitus tipe 2.
Pengaturan diet yang sehat dan teratur sangat perlu diperhatikan terutama
pada wanita. Pola makan yang buruk dapat menyebabkan kelebihan berat
badan dan obesitas yang kemudian dapat menyebabkan diabetes melitus
tipe 2.
10. Aktivitas fisik
Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik yang
teratur. Manfaat dari aktivitas fisik sangat banyak dan yang paling utama
adalah mengatur berat badan dan memperkuat sistem dan kerja jantung.
Aktivitas fisik atau olahraga dapat mencegah munculnya penyakit diabetes
melitus tipe 2. Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik maka risiko
untuk menderita penyakit diabetes melitus tipe 2 akan semakin tinggi.
11. Merokok
Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian diabetes melitus tipe 2. Kebiasaan merokok merupakan faktor
risiko diabetes melitus tipe 2 karena memungkinkan untuk terjadinya
resistensi insulin.. Seseorang yang mempunyai faktor risiko diabetes
melitus mempunyai potensi lebih besar menderita diabetes melitus
dibandingkan dengan yang tidak mempunyai faktor risiko (IDAI, 2015).

12. Obesitas
Obesitas juga telah diketahui berhubungan dengan terjadinya kerusakan
pankreas sehingga pankreas tidak berfungsi secara optimal. Hal ini dapat
memicu terjadinya defisiensi insulin dan kadar glukosa dalam darah tinggi
(Nurcahyadi, 2013).

C. PATOFISIOLOGI
DM tipe 2 yaitu diabetes tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan
dengan insulin, yaitu retensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terkaitnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dengan metabolisme glukosa didalam sel. Retensi insulin pada diabetes
mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif
maka awal Diabetes Mellitus tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalanya dialami pasien gejala tersebut masih bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka yang lama sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat
tinggi). Diabetes Mellitus membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan
pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik.Penyakit ini
berjalan kronis dan terbagi menjadi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah
besar (makrovaskuler) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah
halus (mikrovaskuler) disebut mikroangiopati (FKUI, 2015).
Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab
seperti sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti
neuropati, angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi
yang merupakan faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya kaki
diabetik.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik,
metabolik dan faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia)
ternyata mempunyai dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap
metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap metabolisme protein dan lemak
yang dapat menimbulkan pengapuran dan penyempitan pembuluh darah
(aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran pembuluh darah besar
dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik, pemberian
makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah
terutama derah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang
menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka
karena tekanan yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera
kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan
menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. neuropati juga dapat
menyebabkan deformitas seperti Bunion, Hammer Toes (ibu jari martil), dan
Charcot Foot. Yang sangat penting bagi diabetik adalah memberi perhatian
penuh untuk mencegah kedua kaki agar tidak terkena cedera. Karena adanya
konsekuensi neuropati, observasi setiap hari terhadap kaki merupakan
masalah kritis. Jika pasien diabetes melakukan penilaian preventif perawatan
kaki, maka akan mengurangi risiko yang serius bagi kondisi kakinya. Sirkulasi
yang buruk juga dapat menyebabkan pembengkakan dan kekeringan pada
kaki. Pencegahan komplikasi pada kaki adalah lebih kritis pada pasien diabetik
karena sirkulasi yang buruk merusak proses penyembuhan dan dapat
menyebabkan ulkus, infeksi, dan kondisi serius pada kaki. Dari faktor-faktor
pencetus diatas faktor utama yang paling berperan dalam timbulnya kaki
diabetik adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Infeksi sendiri sangat jarang
merupakan faktor tunggal untuk terjadinya kaki diabetik. Infeksi lebih sering
merupakan komplikasi yang menyertai kaki diabetik akibat iskemia atau
neuropati
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Kadar glukosa tidak normal
2. Hiperglikemi berat yang mengakibatkan timbulnya rasa haus(polidipsia)
3. Rasa lapar yang semakin besar, BB menurun
4. Lelah dan mengantuk
5. Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi,
peruritas vulva ( rasa gatal di daerah vulva).
(Kusuma, 2016).

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi ialah :
1. Komplikasi Akut.
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah. Hipoglikemik dan ketoadosis diabetik masuk ke
dalam komplikasi akut.
2. Komplikasi kronik.
Yang termasuk dalam komplikasi kronik ini adalah makrovaskuler dimana
komplikasi ini menyerang pembuluh darah besar, kemudian mikrovaskuler
yang menyerang ke pembuuluh darah kecil bisa menyerang mata
(retinopati), dan ginjal. Komplikasi kronik yang ketiga yaitu neuropati yang
mengenai saraf. Dan yang terakhir menimbulkan gangren.
3. Komplikasi jangka panjang dapat juga terjadi antara lain,
menyebabkan penyakit jantung dan gagal ginjal, impotensi dan
infeksi, gangguan penglihatan (mata kabur bahkan kebutaan), luka infesi
dalam , penyembuhan luka yang jelek.
4. Gangren kaki diabetic
Diabetic Foot (Kaki diabetik) adalah kelainan pada tungkai bawah yang
merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus; merupakan suatu penyakit
pada penderita diabetes bagian kaki. (Misnadiarly, 2016).
Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah
kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf,
pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun
berkurang (Thoha, Wibowo.EW).
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dengan yang
sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kings’s College Hospital London,
klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih rewet, sampai klasifikasi Wagner yang
lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga klasifikasi Texas
yang lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki
diabetes (Waspadjl, 2009).
a) Klasifikasi Edmons (2004-2005)
Stage 1 : Normal foot
Stage 2 : High Risk foot
Stage 3 : Ulcerated foot
Stage 4 : Infected foot
Stage 5 : Necrotic foot
Stage 6 : Unsalvable foot Tingkatan ini memudahkan pengelolaan
b) Klasifikasi Liverpool
Primer : Vaskuler, Neuropati dan Neuroishemik
Sekunder : Ulkus sederhana tanpa komplikasi dan dengan komplikasi
c) Klasifikasi TEXAS
STADIUM 0 1 2 3
A tanpa luka luka luka
tukak atau superfisial, sampai sampai
pasca tukak, tidak tendon tulang/ sendi
kulit sampai atau
intak/utuh tendon atau kapsul
tulang kapsul sendi
sendi
B DENGAN INFEKSI
C DENGAN ISKEMIA
D DENGAN INFEKSI DAN ISKEMIA

d) Klasifikasi Wagner
1) Derajat 0 : Kulit utuh
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau
lebih faktor risiko berupa neuropati sensorik yang merupakan
komponen primer penyebab ulkus, peripheral vascular disease,
kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat callous (yaitu daerah yang
kulitnya menjadi hipertropik dan anastesi), terjadi deformitas berupa
claw toes yaitu suatu kelainan bentuk jari kaki yang melibatkan
metatarsal phalangeal joint, proximal interphalangeal joint dan distal
interphalangeal joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput
metatarsal, depresi caput longitudinalis dan penonjolan tulang karena
arthropati charcot.
2) Derajat 1: Ulkus superficial
Derajat 1 terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan
menunjukkan terjadinya neuropati sensori perifer dan paling tidak satu
faktor risiko seperti deformitas tulang dan mobilitas sendi yang terbatas
dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka, yang hanya terdapat pada
kulit, dasar kulit dapat bersih atau purulen (ulkus dengan infeksi yang
superfisial terbatas pada kulit).
3) Derajat 2 : Ulkus dalam sampai tendon
tulang Pasien dikategorikan masuk grade 2 apabila terdapat tanda-
tanda pada grade 1 dan ditambah dengan adanya lesi kulit yang
membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke tendon, tulang atau sendi.
Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang lebih dalam sampai
menembus tendon dan tulang tetapi tidak terdapat infeksi yang minimal.
4) Derajat 3 : ulkus dalam dengan infeksi Apabila ditemui tanda-tanda pada
grade 2 ditambah dengan adanya abses yang dalam dengan atau tanpa
terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini pada
umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif yang mengakibatkan
jaringan menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke dasar tulang, oleh
karena itu diperlukan hospitalisasi/perawatan di rumah sakit karena
ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon dan tulang serta terdapat
abses dengan atau tanpa osteomielitis.
5) Derajat 4 : Ulkus dengan gangren pada 1-2 jari kaki
Derajat 4 ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih,
gangren dapat pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan
gangren pada ekstremitas bawah biasanya terjadi dengan salah satu
dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan insufisiensi arteri. Hal ini
menyebabkan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada awalnya
mungkin terdapat suatu area focal dari nekrosis yang apabila tidak
dikoreksi akan menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan yang
kedua yaitu adanya infeksi atau peradangan yang terus-menerus.
Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri digitalis sebagai dampak dari
adanya edema jaringan lokal.
6) Derajat 5 : Ulkus dengan gangren luas seluruh kaki
Derajat 5 ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren-
gangren diseluruh kaki atau sebagian tungkai bawah. Sebagian besar
penderita ulkus kaki diabetik datang dan rawat inap di rumah sakit
dengan kategori ulkus derajat 2, 3, 4 dan 5 (Decroli, dkk, 2008). Hal
tersebut dikarenakan pada derajat 2, 3, 4, dan 5 sudah menunjukkan
tanda-tanda ulkus yang serius dan membutuhkan perawatan yang
komprehensif.
e) Klasifikasi PEDIS
Klasifikasi muthakhir dianjurkan oleh International Working Group on
Diabetic Foot (klasifikasi PEDIS 2003).
P : Perfusi terganggu
1. Tidak ada gangguan perfusi
2. Ada perifer arterial disease tetapi tak kritis
3. Ishemia yang membuat perfusi kaki kritis
E : Extent in mm2 : luas yang terkena mm2
D : Depth : jaringan yang hilang
1. Superficial tak mencapai dermis.
2. Ulkus dalam, dibawah dermis, fascia, otot atau tendon.
3. Semua jaringan, tulang dan sendi
I : Infeksi
1. tak ada tanda infeksi
2. Infeksi di kulit
3. Eritema > 2 cm, infeksi subcutan. Tidak ada infeksi sistemik
4. Infeksi sistemik
S : Sensasi
1. Tak ada gangguan sensasi
2. Ada gangguan sensasi Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat
ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular, infeksi, atau
neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih
baik (Waspadji, 2009).
f) Klasifikasi ABI
Nilai ABI Interprestasi
ABI > 0, 9 – 1, 3 Batas normal
ABI < 0, 6 – 0, 8 Borderlineperfusion / perbatasan perfusi
ABI < 0, 5 Iskemia Berat
ABI < 0, 4 Iskemia kaki kritis

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kriteria diagnostic WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya dua peme
riksaan (Sudoyo dkk,2016) :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandia (pp)>200 mg/dl)

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti
sewaktu
Plasma Vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100

Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah DM Belum Pasti
Puasa DM
Plasma Vena >200 110-120
Darah kapiler >110 90-110

2. Tes Laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes diagnostik, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi
3. Tes Saring
Tes-tes saring pada DM adalah :
- GDP,GDS
- Tes Glukosa Urin :
a. Tes konvension ( metode reduksi)
b. Tes cantik celup (metode glucose)
4. Tes Diasnostik
Tes-tes monitoring pada DM adalah : GDP, GDS, GD2PP (Glukosa darah 2
jam Post Prandiali), Glukosa jam ke-2 TTGD
5. Tes monitoring terapi
Tes-tes monitoring terapi DM adalah :
a. GDP : plasma vena,darah kapilr
b. GD2 PP : plasma vena
c. A1c : darah vena, darah kapiler
6. Tes untuk mendeteksi komplikasi adalah :
a. Mikroalbumibria : urin
b. Kolestrol total : plasma vena (puasa)
c. Kolestrol LDL : plasma vena (puasa)
d. Kolestrol HDL : plasma vena (puasa)
e. Trigliserida HDL : plasma vena (puasa)
G. PENTALAKSANAAN MEDIS
Terapi
1. Insulin
Dosis yang diperlukan ditentukan oleh kadar glukosa darah
2. Obat oral anti diabetik
a. Sulfonaria
a) Asetoheksamid ( 250 mg, 500 mg )
b) Clorpopamid (100 mg, 250 mg )
c) Glipizid ( 5 mg, 10 mg )
d) Glyburid ( 1,25 mg ; 2,5 mg ; 5 mg )
e) Totazamid ( 100 mg ; 250 mg; 500 mg )
f) Tolbutamid (250 mg, 500 mg )
b. Biguanid
Metformin 500 mg
H. DIAGNOSA PRIORITAS
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah
2. Kerusakan integritas kulit
3. Nyeri akut
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
5. Defisiensi volume caiaran
6. Intoleransi aktivitas
7. Gangguan persepsi sensori (penglihatan)
8. Resiko infeksi
9. Resiko syok
2. 10.Resiko cidera

I. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
No Diagnosa NOC NIC
1. Defisien Volume Setelah dilakukan tidakan  Fluid Management :
Cairan keperawatan diharapkan : 1. Pertahankan catatan
 Fluid balance intake dan output yang
Kriteria Hasil : akurat
1. Mempertahankan urine 2. Monitor vital sign
output sesuai dengan 3. Monitor status hidrasi
usia dan BB, BJ urine (kelembapan membrane
normal, HT normal mukosa, nadi adekuat,
2. Tekanan darah, nadi, tekanan darah ortostatik)
suhu tubuh dalam
batas normal
3. Tidak ada tanda tanda
dehidrasi, Elastisitas
turgor kulit baik,
membran mukosa
lembab, tidak ada rasa
haus yang berlebihan

2. Ketidakseimbang Setelah dilakukan tidakan  Nutrition Management


an nutrisi kurang keperawatan diharapkan : Aktifitas:
dari kebutuhan  Nutrional status : 1. Kaji adanya alergi
tubuh Nutrional intake makanan
Kriteria hasil : 2. Berikan informasi tentang
1. Intake zat gizi (nutrien) kebutuhan nutrisi
2. Intake zat makanan 3. Kolaborasi dengan ahli gizi
dan cairan untuk menentukan jumlah
3. Berat badan normal kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
 Nutritional management :
1. Monitor turgor kulit
2. Monitor mual dan muntah
3. Monitor kalori dan intake
nutrisi
4. Timbang berat badan
secara rutin.
3. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan  Activity therapy
Aktifitas keperawatan diharapkan : Observasi :
 Self Care : ADLs 1. Monitor respon fisik, emosi,
kriteria hasil: social dan spiritual .
1. berpartisipasi dalam Sediakan penguatan positif
aktivitas fisik tanpa bagi yang aktif beraktivitas.
disertai peningkatan Mandiri :
tekanan darah,nadi dan 1. Bantu klien untuk
RR mengidentifikasi aktivitas
2. mampu melakukan yang mampu dilakukan
aktivitas sehari-hari 2. Bantu untuk memilih
secara mandiri aktivitas konsisten yang
3. tanda-tanda vital normal sesuai dengan
4. Status kardiopulmonary kemampuan fisik,
adekuat psikologis dan sosial.
5. Status respirasi : 3. Bantu untuk
pertukaran gas dan mengidentifikasi aktivitas
ventilasi adekuat yang disukai
4. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan.
Health education :
1. Ajarkan untuk penggunaan
teknik relaksasi
2. Ajarkan Tindakan untuk
mengehemat energi.
Kolaborasi :
1. Kolaborasikan dengan
tenaga rehabilitasi medik
dalam merencanakan
program terapi yang tepat
2. Rujuk pasien ke pusat
rehabilitasi jantung jika
keletihan berhubungan
dengan penyakit jantung.
4 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan  Paint management
keperawatan diharapkan : 1. Kaji karakteristik nyeri
 Pain Control (PQRST)
Kriteria hasil : 2. Kaji penyebab nyeri
1. Mengenali karakteristik 3. Atur posisi senyaman
nyeri mungkin
2. Melaporkan nyeri 4. Ajarkan teknik relaksasi
berkurang management
3. Menyatakan rasa 5. Kaji nonverbal dari
nyaman setelah nyeri ketidaknyamanan
berkurang 6. Kolaborasi pemberian
4. Tanda – tanda vital analgetik
dalam rentang normal
5. Kerusakan Setelah dilakukan tidakan  Pressure Management
integritas kulit keperawatan diharapkan : 1. Jaga kebersihan kulit agar
 Tissue Integrity : Skin tetap bersih dan kering
and Mucous 2. Monitor kulit akan adanya
Membranes kemerahan
Kriteria Hasil : 3. Monitor aktivitas dan
1. Tidak ada luka/lesi pada mobilisasi pasien
kulit 4. Monitor status nutrisi
2. Perfusi jaringan baik pasien
3. Menunjukkan 5. Anjurkan pasien untuk
pemahaman dalam menggunakan pakaian
proses perbaikan kulit yang longgar
dan mencegah
terjadinya secara
berulang
4. Mampu melindungi kulit
dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
6. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan  Infection Protection
keperawatan, infeksi tidak Observasi
terjadi dengan 1. Pantau tanda dan gejala
kriteria hasil: infeksi (misalnya, suhu
 Infection Severity tubuh, denyut jantung,
Kriteria hasil : drainase, penampilan luka,
1. Tanda – tanda vital sekresi, penampilan urin,
klien terutama suhu suhu kulit, lesi kulit,
dalam batas normal keletihan, dan malise)
2. Tidak terdapat tanda – 2. Pantau hasil laboratorium
tanda infeksi pada (hitung darah lengkap,
daerah pemasangan hitung granulosit, absolut,
WSD hitung jenis, protein serum,
3. Nilai laboratorium dan algumin)
terutama leukosit dalam 3. Kaji faktor yang dapat
batas normal (leukosit meningkatkan kerentanan
normal : 5000 – 10.000 terhadap infeksi (misalnya,
rb/ul) usia lanjut, usia kurang dari
1 tahun, luluh imun, dan
malnutrisi )
4. Amati penampilan praktik
higiene Personal untuk
perlindungan terhadap
infeksi
Mandiri
1. Lindungi pasien terhadap
kontaminasi silang dengan
tidak menugaskan perawat
yang sama untuk pasien
lain yang mengalami
infeksi dan memisahkan
ruang perawatan pasien
dengan pasien yang
terinfeksi
2. Bersihkan lingkungan
dengan benar setelah
dipergunakan masing-
masing pasien
Kolaborasi
1. Ikuti protokol institusi untuk
melaporkan suspek infeksi
atau kultur positif
2. Berikan terapi antibiotik,
bila di perlukan
Health education
1. Jelaskan kepada pasien
dan keluarga mengapa
sakit atau terapi
meningkatkan resiko
terhadap infeksi
2. Instruksikan untuk menjaga
higiene personal untuk
melindungi tubuh terhadap
infeksi (misalnya, mencuci
tangan)
7. Ketidakstabilan Setelah dilakukan perawatan Manajemen hyerglikemi
kadar glukosa selama ........x.......jam kadar
darah
glukosa darah normal, 1. Monitor kadar gula darah
dengan kriteria sebagai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala
1. Kadar glukosa darah hiperglikemi seperti
normal poliuria, polivagi, polidisia,
2. Kadar Hb normal kelemahan, letargi, malaise,
3. Kadar glukosa urine penglihatan kabur, nyeri
menurun kepala
3. Monitor keton dalam urin
4. Kadar keton urine 4. Monitor analisa gas darah
normal dan elektrolit
5. Monitor tekanan ortostatik
darah dan nadi
6. Pemberian insulin
7. Anjurkan intake cairan oral
8. Monitor status cairan
(intake-outut)
9. Pertahankan akses
intravena
10. Berikan potasium
11. Konsul dokter bila tanda
dan gejala hiperglikemi
semakin memburuk atau
persisten
12. Berikan oral hygiene
13. Identifikasi penyebab
hiperglikemi
14. Antisipasi bila kebutuhan
insulin meningkat
15. Tinjau ulang kadar gula
darah

8. Resiko syok Setelah dilakukan askep Shock management


1. Monitor TTV, tekanan
selama ........... diharapkan
darah ortostatik, status
shock tidak terjadi atau mental dan urine output
2. Monitor nilai laboratorium
dapat di control.
sebagai bukti terjadinya
Dengan criteria hasil: perfusi jaringan yang
inadekuat (misalnya
NOC: cardiopulmonary
peningkatan kadar asam
status laktat, penurunan pH arteri)
3. Berikan cairan IV kristaloid
1. TTV dalam rentang
sesuai dengan kebutuhan
normal (NaCl 0,9%; RL; D5%W)
4. Berikan medikasi vasoaktif
2. Output urine dalam
5. Berikan terapi oksigen dan
rentang normal ventilasi mekanik
6. Monitor trend hemodinamik
3. Saturasi oksigen dalam
7. Monitor frekuensi jantung
batas normal (>90%) fetal (bradikardia bila HR
<110 kali/menit) atau
4. Tidak terjadi pucat
(takikardia bila HR >160
kali per menit) berlangsung
lebih lama dari 10 menit
5. Tidak terjadi distensi 8. Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan AGD dan
vena leher
monitor oksigenasi jaringan
6. Tidak ada pursed lips 9. Dapatkan patensi akses
vena
breathing
10. Berikan cairan untuk
mempertahankan tekanan
daarah atau cardiac output
11. Monitor penentu
pengiriman oksigen ke
jaringan (SaPO2, level Hb,
cardiac output)
9. Resiko cedera Risk kontrol Enverionment management
Setelah dilakukan tindakan 1. Sediakan lingkungan yang
keperawatan selama 1x24 aman untuk klien
jam. klien tidak mengalami 2. Identifikasi kebutuhan
cidera dengan kriteria hasil: keamanan klien, sesuai
1. Klien terbebas dari kondisi fisik dan fungsi
cidera kognitif klien dari riwayat
2. Klien mampu terdahulu klien
menjelaskan 3. Menghindarkan
cara/metode untuk lingkungan yang
mencegah cedera berbahaya
3. Mampu memodifikasi 4. Memasang side rail
gaya hidup untuk tempat tidur
mencegah cedera 5. Menyediakan tempat tidur
4. Menggunakan fasilitas yang nyaman dan bersih
kesehatan yang ada 6. Menempatkan saklar
5. Mampu mengenali lampu ditempat yang
mudah dijangkau oleh
klien
7. Membatasi pengunjung
8. Mrngontrol lingkungan

10. Gangguan Setelah dilakukan tindakanEYE CARE :


Persepsi Sensori 1. Kaji fungsi penglihatan
keperawatan selama
..........x 24 jam, klien
diharapakan gangguan 2. Jaga kebersihan mata
persepsi sensori teratasi. 3. Monitor penglihatan mata
Kriteria hasil: 4. Monitor tanda dan gejala
- Sensori function : kelainan penglihatan
hearing 5. Monitor fungsi lapang
- Sensori function : vision pandang, penglihatan,
- Sensori function : taste visus klien
and smell
1. Menunjukan tanda dan
gejala
2. persepsi dan sensori
baik : penglihatan,
pendengaran, makan,
dan minum baik.
3. Mampu
mengungkapkan fungsi
persepsi dan sensori
dengan tepat
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Gloria. 2014. Nursing Interventions Classification, edisi keenam. Elsevier.


Singapore
Kusuma, Huda. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa
Lynda Juall Carpenito. 2015. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta
Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus, Jilid 1, edisi revisi. MediAction
Publishing, Yogyakarta
Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta : EGC
Paramita. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam. Bandung
Sudoyo aru, dkk.2016. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1, 2, 3, edisi keempat.
Internal publishing, Jakarta
Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification, edisi kelima. Elsevier. Singapore
Suhendro, dkk. 2016. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : BCG.

Anda mungkin juga menyukai