Disusun Oleh:
Raihana
NIM:
11194692110117
Menyutujui,
(...............................................) (...........................................)
NIK. NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN SPEECH DELAY
Gambar. 1 Area Wernicke serat hubungannya dengan area lain. Area Wernicke
menerima informasi dari area auditorik, visual, serta area interpretasi somatic.
B. Kemampuan Memproduksi Suara/Pembicaraan
Bagian otak yang berperan dalam produksi suara adalah area
Brocca. Area Brocca terletak pada girus frontalis inferior di antara ramus
ascendens anterior dan ascendens posterior fisura lateralis (area
brodmann 44 dan 45). Area ini berfungsi untuk menimbulkan pola
motorik pada laring, sistem respirasi, serta otot untuk berbicara. Area
lainnya yang berperan dalam produksi suara adalah insula, yang
berperan dalam pembentukan artikulasi. Area Wernicke berhubungan
dengan area Brocca melalui fasiculus arcuatus. Pada proses berbicara
area Wernicke memahami bahasa dan Area Brocca mengatur produksi
suara. Area Brocca selanjutnya mengirimkan informasi ke area motorik
untuk menghasilkan gerakan produksi bicara.
Gambar 3. Perbedaan Planum temporal hemisfer kiri dan kanan. Pada hemisfer yang
dominan lebih besar
2. Tinjauan Tentang Bahasa
A. Pengertian Bicara
Kemampuan bicara dan bahasa adalah dua hal yang diukur secara
terpisah dan secara bersama-sama dianggap mencerminkan
kemampuan lisan seorang anak secara keseluruhan. Pengertian antara
berbahasa dan berbicara adalah dua hal yang serupa tapi tidak sama,
menurut Benson kedua kemampuan tersebut juga sangat berkaitan
dengan proses berfikir,proses bicara berlangsung karena ingin
memenuhi kebutuhan menyampaikan pikiran atau perasaan (Rudiyanto,
2018).
B. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang
untuk pergaulannya atau hubungannya dengan orang lain. Bahasa
merupakan alat bergaul oleh karena itu penggunaan bahasa menjadi
lebih efektif sejak individu memerlukan berkomunikasi dengan orang
lain. Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial maka
perkembangan bahasa oleh anak dimulai dengan meraba (suara tanpa
arti) dan diikuti dengan bahasa satu kata,dua suku kata,menyusun
kalimat sederhana,dan seterusnya melakukan sosialisasi dengan
menggunakan bahasa yang kompleks (Sakun, 2016).
Perkembangan bahasa menjadi salah satu indikator bagi
keseluruhan kemampuan perkembangan kognitif anak yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian keberhasilannya
disekolahnya kelak. Perkembangan bahasa adalah suatu
perkembangan yang kontinyu terus-menerus dan kualitasnya semakin
lama semakin baik. Secara umum menurut Julia (2017), perkembangan
bahasa dibagi menjadi 4 periode yaitu :
1) Periode pralingual/preverbal(usia tahun pertama)
sampai dengan usia setahun orang mengatakan adalah usia makan
dan tidur belum mampu mengucapkan ucapan yang disebut bahasa
melakukan bahasa simbolik (non verbal).
2) Periode lingual dini/awal verbal( usia 1- 2,6 tahun)
Adalah, anak mulai memahami apa yang diucapkan oleh orang-
orang disekitarnya,perkembangan ini disebut perkembangan
semantik aktif.
3) Periode diferensiasi (Usia 2,6 - 5 tahun)
Periode ini perkembangan bahasa dan bicara anak berkembang
sangat cepat, perkembangan bicaranya berkembang seiring dengan
perkembangan kreativitas.
4) Periode pematangan (usia 5 tahun keatas)
Periode ini anak memantapkan kemampuan bahasa dan bicara
sesuai dengan tahap perkembangannya.
E. Manefestasi Klinis
Menurut Ilham, (2020), tanda-gejal yang muncul pada anak yang
mengalami speech delay sesuai dengan usia yaitu:
F. Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak.
Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan
diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian
dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati
korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi
dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan
formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode semantik yang
dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode
fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi,
yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa.
Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar.
Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi.
Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan
bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik
(Hasanagh, 2019).
G. Pathway
H. Komplikasi
Menurut Hasim (2018), adapun komplikasi pada anak yang
mengalami speech delay yaitu:
1. Gangguan pada akademik
Anak-anak yang mengalami keterlambatan dalam berbicara
dan berbahasa akan mengakibatkan anak sulit mencapai
pemahaman. Lebih lanjut, anak akan sangat rentan dalam
kaitannya dengan pendidikan. Gangguan bicara dan bahasa yang
diidentifikasi saat usia 5 tahun, 72 persennya tetap mengalami
gangguan di usia 12 tahun.
2. Peningkatan risiko ansietas sosial
Anak dengan gangguan perkembangan bahasa akan memiliki
kadar kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan temannya
yang tidak mengalaminya. Anak yang mengalami keterlambatan
bicara memiliki peluang lebih besar untuk mengalami ketakutan
berlebihan saat bersosialisasi di usia 19 tahun. Selain itu, anak
akan mengalami gejala kecemasan akibat kegiatan bersosialisasi di
usia 31 tahun.
3. Kesulitan dalam pertisipasi sosial
Pada anak yang mengalami keterlambatan berbicara akan lebih
beresiko mengalami kesulitan dalam membangun hubungan
dengan teman sebaya. Kesimpulan tersebut dihasilkan dari
penelitian yang dilakukan lebih dari 9 tahun pada 171 anak berusia
7-16 tahun dengan riwayat gangguan bahasa
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hartono (2018), pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi seseorang anak mengalami speech delay
diantarannya:
1) Tes DENVER II
Denver Developmental Screening Test (DDST) atau yang
dikenal dengan Tabel/Tes Denver merupakan alat skrining
tumbuh kembang anak untuk menemukan penyimpangan
perkembangan pada anak usia 0-6 tahun.
Tabel Denver II ini banyak dipergunakan untuk menemukan
terjadinya penyimpangan perkembangan, terutama perkembangan
berbicara pada anak. Tes ini juga tidak untuk mendiagnosa
ketidakmampuan dan kesukaran belajar, gangguan bahasa atau
gangguan emosional, subtitusi evaluasi diagnostik atau
pemeriksaan fisik anak. Tes Denver II bukanlah tes IQ, melainkan
untuk memantau perkembangan anak dari 4 aspek, yakni aspek
perilaku sosial, motorik halus, motorik kasar dan bahasa sesuai
dengan kelompok usia anak.
2) Tes BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR
(Auditory Brainstem Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga
(telinga luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan
bunyik klik pada frekuensi yang berbeda–beda pada tingkat
kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap langsung
oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak
perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini
adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
3) Tes OAE (Oto Acoustic Emission)
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah
siput tetapi terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan
memberikan nada murni ke telinga dan menangkap responnya
melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak
menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta
obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena
OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan
sel saraf di rumah siput.
4) Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga
tengah (tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi
responnya dari defleksi (perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya
juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari
pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan
gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon
negatif.
5) Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang
kedap suara, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar
yang adalah :
a. Audiometri nada murni,
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui
ada tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang
dites akan mendengar nada murni yang diberikan pada
frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear
phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai
ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar
akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan
dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui
earphone (direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan
meminta respon balik dari pasien apakah bunyi terdengar atau
tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan
memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan
khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang
pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang
diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda. Secara kasar
bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas.
Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan
dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone
conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan
adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone
conduction menggambarkan SNHL. Untuk anak–anak biasanya
dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran dengan
bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk
mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji
kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada
pasien gangguan pendengaran.
b. Audiometri tutur
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak
kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang
berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang
diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field.
Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah
selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan
benar dapat diketahui.
6) TES ASSR (Auditory Steady State Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga
sampai ke otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan
adalah nada murni seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak
diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung
dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak
menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien
harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih
1 jam. Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat
tidur jika memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam.
Digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi
dan anak - anak yang masih kecil.
J. Penatalaksanaan
Intervensi yang dapat dilakukan
Menurut Harianto (2020), Keterlambatan bicara yang dialami oleh
anak mengakibatkan mereka mengalami sejumlah hambatan, Seperti
kesulitan berkomunikasi hambatan belajar maupun berfikir. Berikut
adalah intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterlambatan
berbicara anak:
1) Orang tua dapat melatih wicara pada saat tahap preverbal seperti
rajin mengajak bicara, membacakan cerita.
2) Terapis wicara pada saat masih dalam tahap awal verbal untuk
melatih wicara dan tehnik artikulasi.
3) Disekolah oleh guru bahasa atau ahli bahasa.
4) Konsultasikan ke dokter atau psikolog terhadap tumbuh kembang
anak.
5) Berikan anak kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman
sebayanya.
6) Mengajarkan pada anak dengan pengucapan yang jelas.
7) Melibatkan anak berbicara pada setiap keadaan.
8) Tidak mengikuti pola belajar anak yang salah (keliru).
Menurut Jalogo keluarga adalah tempat pertama dalam
mengembangkan kemampuan bahasa anak, kemampuan berbicara
dipengaruhi oleh pola asuh yang kreatif, inofatif.
L. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan Komunikasi Verbal
2. Gangguan Tumbuh Kembang
3. Isolasi Sosial
4. Defisit Pengetahuan
5. Ansietas
M. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
SLKI SIKI
1 Gangguan Komunikasi Komunikasi Verbal (L.13118) Promosi Komunikasi: Defisit Bicara (I.13492)
Verbal (D.0119) Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam Observasi
komunikasi verbal dapat meningkat dengan kriteria hasil : 1. Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume dan diksi
1. Kemampuan berbicara meningkat bicara
2. Kesesuaian ekspresi wajah meningkat 2. Monitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang
3. Kontak mata meningkat berkiatan dengan bicara
4. Afasia menurun 3. Monitor frustasi, marah, depresi
5. Pelo menurun 4. Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk
komunikasi
Terapeutik
1. Gunakan metode komunikasi alternatif
2. Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan
3. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan
4. Ulangi apa yang disampaikan pasien
5. Berikan dukungan psikologis
Edukasi
1. Anjurkan berbicara perlahan
2. Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis
dan fisiologis yang berhubungan dengan kemampuan
bicara
Kolaborasi
Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
4 Defisit Pengetahuan
5 Isolasi Sosial
6 Ansietas (D.0080) Tingkat Ansietas (L.09093) Terapi Relaksasi (I.09326)
1. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi Observasi
menurun 1. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
2. Perilaku gelisah menurun digunakan
3. Perilaku tegang menurun 2. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah,
4. Pucat menurun dan suhu sebelum dan sesudah latihan
5. Pola tidur membaik 3. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
1. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman
2. Gunakan pakaian longgar
3. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan
berirama
Edukasi
1. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi
yang tersedia
2. Jekaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipillih
3. Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
4. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
(SDKI,SIKI,SLKI 2019)
DAFTAR PUSTAKA
Harianto, E. (2020). Metode Bertukar Gagasan dalam Pembelajaran Keterlampilan Berbicara. Jurnal DITDIKTA. 9. (4).
Hartanto. (2018). Deteksi Keterlambatan Bicara dan Bahasa pada Anak. Jurnal Opini. 45. (7)
Hasanah, N., & Sugito, S. (2019). Analisis Pola Asuh Orang Tua terhadap Keterlambatan Bicara pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi :
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 913. https://doi.org/10.31004/obsesi.v4i2.456.
Hasim, E. (2018). Perkembangan Bahasa Anak. Jurnal Ilmu Pendidikan. 9. (2).
Ilham M & Wijiati, I A. (2020). Keterlambatan Berbicara Pengantar Keterampilan Berbahasa. Pasuruan. P. 30
Julia, Maria Van Tiel. 2017. Anakku Gifted Terlambat Bicara. Jakarta: KENCANA, hlm 2
Khoriyah, dkk. 2016. Model Pengembangan Kecakapan Anak yang Terlambat Berbicara. Aceh: Universitas Syiah Kuala Darrussalam,
hlm 39
Manipuspika, Y. S. (2019). Phonological Development of Children With Speech Delay. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 5(1), 12-22.
https://doi.org/10.22225/jr.5.1.898.12-22
Rudiyanto Ahmad, Perkembangan Motorik Kasar Dan Motorik Halus Anak Usia Dini, Lampung: Darussalam Press, 2016.
PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Sunderajan, T., & Kanhere, S. V. (2019). Speech and language delay in children: Prevalence and risk factors. Journal of family medicine
and primary care, 8(5), 1642–1646. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_162_19
Yurita, Erviana. 2017. Strategi Guru Dalam Menangani Gangguan Berbahasa Khusus Serta Implikasinya Terhadap Ketrampilan Sosial
Anak Usia Dini. Yogyakarta: UIN sunnan Kalijaga, hlm.4