SPEECH DELAY
Oleh
UMAMI BUDIARTI
1811040039
2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN
SPEECH DELAY
A. Definisi
Keterlambatan (speech delay) bicara dan berbahasa pada anak, menggambarkan
kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari
anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Masalah
keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa ringan, sedang, atau berat.
Menurut Hurlock (1978), dikatakan terlambat bicara apabila tingkat perkembangan
bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama
yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Apabila pada saat teman sebaya
mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus
menggunakan isyarat dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian dianggap orang
lain terlalu muda untuk diajak bermain.
Sedangkan dalam Papalia (2004) menjelaskan bahwa anak yang terlambat bicara
adalah anak yang pada usia 2 tahun memliki kecenderungan salah dalam menyebutkan
kata, kemudian memiliki perbendaharaan kata yang buruk pada usia 3 tahun, atau juga
memiliki kesulitan dalam menamai objek pada usia 5 tahun. Dan anak yang seperti itu,
nantinya mempunyai kecenderungan tidak mampu dalam hal membaca. “children who
show an unusual tendency to mispronounce words at age 2, who have poor vocabulary
at age 3, or who have trouble naming objects at 5 are apt to have reading disabilities
later on”
B. Etiologi
1. Faktor genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan
patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti sindrom Down, sindrom
Turner yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
2. Faktor lingkungan
3. Sosial ekonomi kurang
Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami keterlambatan dalam
berbahasa karena fasilitas berbahasa dan pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
4. Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman yang wajar,
kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-orang
tua.
5. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan keluarga,
pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah
tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama, urbanisasi,
kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak,
angaran, dan lain-lain (Soetjiningsih, 1998).
D. Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang
masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke
area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian
melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan
artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan
berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat
pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau
penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut
pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai
proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan
bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.
E. Komplikasi
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptif ekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap
F. Pemeriksaan Penunjang
1. TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem
Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai
ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang
berbeda–beda pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap
langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu
respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum
dalam mendeteksi gangguan pendengaran.
2. TES OAE (Oto Acoustic Emission)
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama
rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan
menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga
tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif.
Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat
gangguan di telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss
(SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.
3. Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang
sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan
gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu
respon aktif dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan
gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.
4. Tes Audiometri
5. Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien
yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a. Audiometri nada murni, Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada
murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone
atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang
dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya
ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to ear)
ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien apakah
bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan
memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan khususnya untuk
anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada
stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air
conduction) dan skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai
ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran
dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk
mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran
fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran. Sedangkan
pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan mengerti percakapan
pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang
diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut
harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata
yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui.
6. TES ASSR (Auditory Steady State Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara
kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes
audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon
langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak
menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan
tenang dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih 1 jam.
Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang sulit,
diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi :
a. Terapi wicara
b. Terapi okupasi
2. Edukasi
a. Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara intensif
b. Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi
c. Konseling
H. Pathway
Gangguan bicara
Resiko ketergantungan
K. Perencanaan
Diagnosa
No. Intervensi Rasional
keperawatan
1. Gangguan 1. Lakukan latihan komunikasi
1. Latihan bicara yang sesuai dengan
komunikasi verbal dengan memperhatikan perkembangan anak akan
Sehubungan perkembangan mental anak menghindari ekploatasi yang
dengan kurangnya
2. Lakukan komunikasi secara berakibat penekanan fungsi mental
stimulasi bahasa komprehensif baik verbal maupun anak.
non verbal. 2. Komunikasi yang komprehensif
akan memperbanyak jumlah
stimulasi yang diterima anak
sehingga akan memperkuat
memori anak terhadap suatu kata.
3. Bermain akan menigkatkan daya
3. Berbicara sambil bermain dengan tarik anak sehingga frekwensi dan
alat untuk mempercepat persepsi durasi latihan bisa lebih lama
anak tentang suatu hal. 4. Anak lebih suka mendengarkan
4. Berikan lebih banyak kata kata-akat dari pada mengucapkan
meskipun anak belum mampu karena biasanya kesulitan dalam
mengucapkan dengan benar. mengucapkan.
5. Untuk mengetahui jenis dan
5. Lakukan sekrening lanjutan beratnya gangguan serta
dengan mengggunakan Denver keterlambatan dalam berbicara
Speech Test. pada anak.
2. Gangguan 1. Lakukan latihan komunikasi, dan
1. Agar stimulasi tetap diterima anak
komunikasi verbal stimulasi dini dengan benda- sesuai dengan perlembangan
Sehubungan benda atau dengan menggunakan mental anak yang didasarkan atas
dengan gangguan bahasa isyarat serta biasakan anak kemampuan penerimaan anak
pendengaran melihat artikulasi orang tua terhadap informasi yang diberikan
dalam berbicara.
2. Perhatikan kebersihan telinga
2. Ganguan pendengaran sering
anak disebabkan oleh adanya hambatan
pendengaran akibat adanya kotoran
ditelinga.
3. Kolaborasi dengan rehabilitasi
3. Alat bantu dengar diharapkan
untuk penggunaan alat bantu mampu mengatasi hambatan
dengar pendengaran pada telinga anak.
5. Kecemasan orang
1. Gali kebiasaan komunikasi dan
1. Untuk dapat menggali efektivitas
tua Sehubungan stimulasi orang tua terhadap anak. dan kemampuan serta usaha yang
dengan telah dilakukan oleh orang tua,
ketidakmampuan untuk mengindari overlaping
anak berbicara tindakan yang berakibat orang tua
menjadi bosan.
2. Pengikutsertaan keluarga terhadap
2. Berikan penjelasan tentang perawatan anak secara langsung
kondisi anaknya secara jelas, serta akan mampu mengurangi tingat
kemungkinan penanganan kecemasan orang tua terhadap
lanjutan, prognose serta lamanya keadaan anaknya.
tindakan atau pengobatan.
Daftar Pustaka
Carpenito, L.D (2009), Nursing Diagnois; Application to Clinical Practice, 7th. Edition,
Lippincott, Philadelpia, New York.
th
Kozier Barbara et.al (2012), Fundamental Of Nursing ; Concept, Process and Practice , 5
Edition, Addison Wesley Nursing, Cuming Publishing, New York
th
Whaley and Wong (1996), Nursing Care of Infants and Children, 5 Edition, Mosby Year
Book, Philadelpia.
Whaley and Wong (1997), Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year Book,
Philadelpia.