Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SPEECH DELAY
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Gangguan bicara dan bahasa merupakan suatu keterlambatan dalam berbahasa
ataupun dimana jika dilakukan penanganan dini akan sangat menolong anak
dalam masalah bahasa (Jennifer Fusco, 2002).
Keterlambatan bicara (speech delay) dan berbahasa pada anak,
menggambarkan kemampuan (skill) anak yang berkembang, tetapi pada
tingkat yang lebih lambat dari anak-anak sebayanya sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak. Masalah keterlambatan bicara dan berbahasa ini, bisa
ringan, sedang, atau berat.

1.2 Etiologi
1. Faktor Genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang
normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti
sindrom Down, sindrom Turner yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
2. Faktor Lingkungan
o Sosial Ekonomi Kurang
 Anak dengan keluarga sosial ekonomi kurang akan mengalami
keterlambatan dalam berbahasa karena fasilitas berbahasa dan
pendidikan yang rendah pulan dari orang tua.
o Faktor Psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman
yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang,
kualitas interaksi anak-orang tua.
o Faktor Keluarga dan Adat Istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan
keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam
keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat,
norma-norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik dalam masyarakat
yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dll.
(Soetjiningsih, 2001)
1.3 Tanda Dan Gejala
Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 1 tahun (12 bulan)
 Menggunakan bahasa tubuh seperti melambaikan tangan ‘good-bye’ atau
menunjuk objek tertentu
 Berlatih menggunakan beberapa konsonan yang berbeda
 Vokalisasi atau melakukan komunikasi
Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 1-2 Tahun
 Tidak memanggil ‘mama’ dan ‘dada’
 Tidak menjawab bila dikatakan ‘tidak’, ‘halo’ dan ‘bye’
 Tidak memiliki satu atau 3 kata pada usia 12 bulan dan 15 kata pada usia
18 bulan
 Tidak mampu mengidentifikasi bagian tubuh
 Kesulitan mengulang suara dan gerakan
 Lebih memilih menunjukkan gerakan daripada berbicara verbal
Tanda dan Gejala Speech Delay Anak Usia 2-5 Tahun
 Tak mampu menyampaikan kata-kata atau frase secara spontan
 Tak mampu mengikuti petunjuk dan perintah sederhana
 Kurang bunyi konsonan di awal atau akhir kata, seperti ‘aya’ (ayah), ‘uka’
(buka)
 Tidak dipahami bicaranya oleh keluarga terdekat
 Tak mampu untuk membentuk 2 atau 3 kalimat sederhana

1.4 Patofisiologi
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk
pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui
fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi
pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan
otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif
pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan
enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir
pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat
pembicara.

Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu


pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini
terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode
diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan
bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus
berkembang dengan baik.

1.5 Komplikasi
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptifekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory
Brainstem Response)
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga
luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada
frekuensi yang berbeda–beda pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda
pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak
menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan
hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi
gangguan pendengaran.

2. TES OAE (Oto Acoustic Emission).


Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi
terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke
telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran
telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif
dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena OME,
OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di
rumah siput.

3. Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah
(tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari
defleksi (perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak
menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari pasien. Biasanya
digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika
hasil OAE menunjukkan respon negatif.

4. Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan
pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a) Audiometri nada murni
b) Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada
murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah
headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi
sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar
akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan
ke bentuk audiogram.

Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to


ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien
apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak
subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan
khususnya untuk anak-anak.

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien


pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang
berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada
diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan
earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction).

Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya
nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji
pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang
berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk
menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien
gangguan pendengaran.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan
mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari
sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau
pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang
dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan
benar dapat diketahui.

5. TES ASSR (Auditory Steady State Response).


Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke
otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni
seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif
dari pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor yang menangkap
aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif
namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup lama,
kurang lebih 1 jam.

Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika
memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih
kecil.

1.7 Penatalaksanaan
Terapi
1. Terapi wicara
2. Terapi okupasi
Edukasi
1. Motivasi keluarga untuk menstimulasi bahasa, bicara secara intensif
2. Secara teratur membawa anak untuk mengikuti terapi
3. Konseling
1.8 Pathway

Faktor Genetik Faktor Lingkungan

SPEECH DELAY

Keluarga Hubungan sosial Perkembangan


menurun

Ansietas Hambatan
komunikasi Resiko
verbal keterlambatan
perkembangan
Defisiensi
pengetahuan
Isolasi sosial

Ketidakmampuan
koping keluarga

II. Rencana Asuhan Keperawatan


2.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
1) Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
2) Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa
: sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura
yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan
bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya
tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada,
berat badan menurun dan sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC
paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti
Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola Fungsi
 Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
 Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
h. Pola nutrisi dan metabolisme
 Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pasien,
 Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
 Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien
dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah.
i. Pola eliminasi
 Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS.
 Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak
bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan
peristaltik otot-otot tractus degestivus.
j. Pola aktivitas dan latihan
 Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
 Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
 Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada.
 Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien
dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
k. Pola tidur dan istirahat
 Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat
 Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
l. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien
secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk
mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
2) Sistem Respirasi
 Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax
kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR
cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
 Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
 Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat
batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke
medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-
Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas
di punggung.
 Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi
duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda
tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
3) Sistem Cardiovasculer
 Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada
ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
 Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu
juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
 Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
 Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah
jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus
turbulensi darah.
4) Sistem Pencernaan
 Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak,
selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau
massa.
 Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35kali per menit.
 Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat
hidrasi pasien, apakah hepar teraba.
 Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
5) Sistem Neurologis
 Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen
atau comma
 Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.
 Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6) Sistem Muskuloskeletal
 Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
 Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime.
 Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot
kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) Sistem Integumen
 Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya
lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak
cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2.
 Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta
turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.

2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Hambatan Komunikasi Verbal
Definisi : penurunan, keterlambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk
menerima, memproses, mengirim, dan/atau menggunakan sistem simbol.
Batasan karakteristik :
Tidak ada kontak mata
Tidak dapat berbicara
Kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal (mis; afasia, disfasia,
apraksia, disleksia)
Tidak bicara
Ketidakmampuan menggunakan ekspresi tubuh
Ketidakmampuan menggunakan ekspresi wajah
Faktor yang berhubungan :
Perubahaan konsep diri
Harga diri rendah kronik
Penurunan sirkulasi otak
Perbedaan yang berhubungan dengan usia perkembangan
2. Isolasi Sosial
Definisi : kesepian yang dialami oleh individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain dan sebagai persyaratan negatif atau
mengancam.
Batasan karakteristik :
Tidak ada dukungan orang yang dianggap penting
Perilaku yang tidak sesuai perkembangan
Afek tumpul
Tidak ada kontak mata
Minat tidak sesuai perkembangan
Faktor yang berhubungan :
Perubahan status mental
Gangguan penampilan fisik
Gangguan kondisi kesehatan
Faktor yang berperan terhadap tidak adanya hubungan personal yang
memuaskan (mis; terlambat dalam menyelesaikan tugas
perkembangan)
3. Ansietas
Definisi : perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samardisertai
respon autonom, perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap
bahaya.
Batasan karakteristik :
Gelisah
Tampak waspada
Kesedihan yang mendalam
Ketakutan
Bingung/menyesal
Khawatir
Faktor yang berhubungan :
Terkait keluarga
Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola
interaksi, fungsi peran, status peran, konsep diri)
4. Defisiensi Pengetahuan
Definisi : ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan
dengan topik tertentu
Batasan karakteristik :
Perilaku hiperbola
Ketidakakuratan mengikuti perintah
Pengungkapan masalah
Faktor yang berhubungan :
Salah interpretasi informasi
Kurang dapat mengingat
5. Ketidakmampuan Koping Keluarga
Definisi : perilaku terdekat (angggota keluarga atau orang penting
lainnya) yang membatasi kapasitas/ kemampuannya dan kemampuan
klien untuk secara efektif menangani tugas penting mengenai adaptasi
keduanya terhadap masalah kesehatan.
Batasan karakteristik :
Pengabaian
Agresi
Peningkatan ketergantungan klien
Depresi
Intoleran
Terlalu khawatir terus menerus terhadap klien
Faktor yang berhubungan :
Penanganan resitensi keluarga terhadap pengobatan yang berubah-
ubah
Gaya koping yang tidak sesuai antara orang lain untuk menangani
tugas adaptif
6. Resiko Keterlambatan Perkembangan
Definisi : beresiko mengalami keterlambatan 25% atau lebih pada satu
atau lebih area sosial atau perilaku regulasi diri, atau pada keterampilan
kognitif, bahasa, motorik kasar atau halus.
Faktor resiko :
Gangguan genetik
Gangguan kongenital
Kegagalan untuk tumbuh
Nutrisi yang tidak adekuat

2.3 Perencanaan
1. Hambatan Komunikasi Verbal
Hasil kriteria :
Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara), ekspresi pesan verbal dan
atau non verbal yang bermakna
Intervensi :
1. Berikan satu kalimat simpel setiap bertemu
2. Dorong untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk mengulangi
permintaan
3. Berdiri didepan klien ketika berbicara
4. Berikan pujian positif, jika diperlukan
5. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan
informasi (bahasa isyarat)
2. Isolasi Sosial
Hasil kriteria :
Lingkungan yang mendukung yang mencirikan hubungan dan tujuan
anggota keluarga.
Partisipasi dalam bermain, penggunaan aktivitas oleh anak usia 1-11
tahun untuk meningkatkan kesenangan, hiburan, dan perkembanngan.
Intervensi :
1. Fasilitas dukungan dengan keluarga
2. Dorong lakukan aktivitas sosial dan komunikasi
3. Fasilitasi klien yang mempunyai penurunan sensori seperti
penggunaan kacamata dan alat pendengar
4. Membantu klien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan
sosial interpersonal.
3. Ansietas
Hasil kriteria :
Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas.
Intervensi :
1. Identifikasi tingkat kecemasan
2. Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
3. Gunakan pendekatan yang menenangkan
4. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
5. Jelaskan semua prosedur dalam melakukan tindakan
6. Gunakan teknik relaksasi dalam untuk mengurangi rasa cemas.
4. Defisiensi Pengetahuan
Hasil kriteria :
Keluarga klien menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan.
Keluarga klien mampu menjelaskan kembali yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
Intervensi :
1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan klien/keluarga klien
tentang proses penyakit yang spesifik
2. Sediakan informasi pada klien/keluarga klien tentang kondisi, dengan
cara yang tepat
3. Hundari jaminan kosong
4. Gambaran tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
5. Gambaran proses penyakit, dengan cara yang tepat
5. Ketidakmampuan Koping Keluarga
Hasil kriteria :
Mampu mengatasi masalah keluarga
Mencari bantuan keeluarga jika perlu
Partisipasi dalam pengembangan dan implementasi rencana keperawatan
Intervensi :
1. Bantu keluarga dalam mengenal masalah
2. Dorong pertisipasi keluarga dalam pertemuan kelompok
3. Dukunag emosi: memberikan penenangan, penerimaan, dan dorongan
selama periode stress
4. Menyediakan informasi penting, advokasi, dan dukungan yang
dibutuhkan untuk memfasilitasi perawatan primer klien selain dari
profesional kesehatan.
6. Resiko Keterlambatan Perkembangan
Hasil kriteria :
Pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak meningkat
Kondisi gizi adekuat
Makanan dan asupan cairan bergizi
Intervensi :
1. Ajarkan kepada orang tua tentang penandaan perkembangan normal
2. Demonstrasikan aktivitas yang menunjang perkembangan
3. Ajarkan tentang perilaku yang sesuai dengan usia anak
4. Ajarkan tentang mainan dan benda-benda sesuai dengan usia anak

III. DAFTAR PUSTAKA


Carpenito, L.D (2009), Nursing Diagnois; Application to Clinical Practice, 7th.
Edition, Lippincott, Philadelpia, New York.
Herdman, T. Heather. (2015). Nanda Internasional Inc.Diagnosa Keperawatan:
Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC
Kozier Barbara et.al (2012), Fundamental Of Nursing ; Concept, Process and
Practice , 5 th Edition, Addison Wesley Nursing, Cuming Publishing,
New York.
Nurarif, A.,H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction.
Whaley and Wong (2001), Pediatric Nursing; Clinical Manual, Mosby Year
Book, Philadelpia.
Whaley and Wong (2002), Nursing Care of Infants and Children, 5 th Edition,
Mosby Year Book, Philadelpia.

Pelaihari, Mei 2017


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

Evy Noorhasanah, Ns., M. Imun .......................................

Anda mungkin juga menyukai