Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN STASE MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN Tn.

A
DENGAN CHRONIC MYELOID LEUKIMIA DI RUANG IRNA RSUDP NUSA
TENGGARA BARAT

OLEH:
ABDUL QORIBI

PROGRAM STUDI PROFESI NS


FAKULTASKESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDIN BAGU
PRINGGARATALOMBOKTENGAH
TAHUN 2020

LAPORAN PENDAHULUAN
CML (CHRONIC MYELOID LEUKIMIA)

1
1. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas,
menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi
menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall,
2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan
klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu
kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic
myelogenous leukemia dan chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006).
2. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan
CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
1. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat
pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada
suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982)
yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi
leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang
dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik
(monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom

2
yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom
turner.
2. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai
penyebab leukemia (Agung ,2010).
b. Faktor Ekstrinsik
1. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing
spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan
10 % penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi
terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita
leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup
sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK
sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing
spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads
mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
2. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah
besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et
al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang
kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat,
tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen
dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010).

3
3. Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human
T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai
enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik(Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis
kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar
radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa
penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada
beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab
leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus
onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan
leukemia pada binatang (Agung ,2010).
3. Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur
1. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam tubuh dan
mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru
2. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai pertahanan
tubuh
3. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk (stem
cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang
dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir
melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood
(Sherwood,2001). Tetapi pada orang dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML),
proses terbentuknya sel darah terutama sel darah putih di sumsum tulang mengalami
kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom 22
(Hoffbrand, 2005).

4
Diagnosis CML dapat ditegakkan dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph)
yang khas, terdapat pada kromosom 22 yang abnormal. Terjadinya translokasi
t(9;22)(q34;q11) antara kromosom 9 dan 22. Hal ini diakibatkan dari proses
protoonkogen Abelson (ABL) di kromosom 9 dipindahkan pada gen Break Cluster
Region (BCR) di kromosom 22 dan sebaliknya, bagian kromosom 22 pindah ke
kromosom 9 (Hoffbrand, 2005).
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan
sel induk pluripoten pada system hematopoiesis. Pada klon ini selain proliferasiny
ayang berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel nirmal,
karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini
adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system
hematopoiesis yang lainnya (Fadjari, 2006).
Protein yang normal mempunyai aktivitas tirosin kinase 145 kD
(Hoffbrand,2005). Akan tetapi pada CML akan terjadi perubahan struktur, sehingga
akan mengakibatkan perubahan. Terdapat 3 tipe perubahan pada gen BCR-
ABL(Fadjari, 2006):
1. Perubanan terjadi pada gen BCR di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal
sebagai major break cluster region (M-bcr). Gen BCR-ABL akan mensintesis
protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis dengan p 210BCR-ABL.
Pada pasien terdapat trombositopenia
2. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal dengan
minor break cluster region (m-bcr) dan mensintesa p 190, yang dapat
mengakibatkan monositosis yang prominen pada pasien
3. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah e19-e20, dikenal sebagai micro break
cluster region (μ-bcr), yang selanjutnya akan terbentuk p230 yang dapat
mengakibatkan netrofilia dan/atau trombositosis.
Mekanisme terbentuk dan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk Ph
menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa ahli berpendapat akibat pengaruh radiasi, sedangkan yang lain berpendapat
karena pengaruh mutasi spontan (Fadjari, 2006).

5
4. Pathway
Faktor Intrinsik (keturunan, Faktor Eksrtinsik (faktor radiasi,
kelainan kromosom, defisiensi bahan kimia dan obat-obatan,
imun dan defisiensi sumsum tulang Infeksi Virus

Memicu pembentukan sel darah abnormal

Leukimia

Jumlah sel darah abnormal meningkat

Menyerang sel darah yang normal

Merusak sumsum tulang

Pembentukan sel darah merah Pembengkakan tulang


Terganggu

Jumlah sel darah merah dan Nyeri Tulang


Hemoglobin menurun Dan Persendian

O2 dan nutrisi ke
jaringan terganggu

Gangguan disfusi Metabolisme terganggu


O2 dengan Co2

Hiperventilasi Energi menurun

Ketidakefekrifan Kekuatan otot menurun


Pola Napas

Keletihan dan kelemahan

Risiko Jatuh

6
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victoret al., (2005)
tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a. Fase kronik terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat
pada malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
5. Gangguan penglihatan dan priapismus.
6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat,
dispneu dan takikardi.
7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up
atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri
tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun,
lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal
sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis,
menorhagia).
c. c.Fase Blast(Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa
pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

7
6. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu :
a) Laboratorium
1. Darah rutin :
a. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
b. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
2. Gambaran darah tepi :
a. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya
lebih dari 100.000/mm3.
b. Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai
netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen)
dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel
blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
c. Jumlah basofil dalam darah meningkat.
d. Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
e. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
b) Gambaran sumsum tulang
a. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan
apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30
%. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
b. Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus.
c. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
d. Kadar asam urat serum meningkat.
e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).

8
c) Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain:
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih
dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor
eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

7. Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang
dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak
ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan
suatu diagnosis.
- Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
1. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan
terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada
trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML
selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang selalu
ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia
mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).

9
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus
penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien
berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb
janin, trombositopenia, monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang
mengalami transformasi blastik dan meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ
akibat sebukan monosit dan makrofag (Victor et al., 2006).

8. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap
minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya.
Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik
menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang
berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made,
2006).
b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victoret al., 2005). Dosis mulai
dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping
lebih sedikit (I Made, 2006).
c. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi
1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya digunakan bila jumlah
leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakanterapi pilihan
bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua
untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki
sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata
3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk

10
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir
semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari
pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia,
depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin
mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada
analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi
melalui PCR. (Victoret al., 2005).
d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang
diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang
menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein
ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid.
Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum tulang
menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi
lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan
interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victoret
al., 2005; I Made, 2006)
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
2. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia
akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan.
Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang
dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat
perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).

11
b. Non-Medikamentosa
1. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-
gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelumtransplantasi sumsum
tulang (Atul & Victor, 2005).

12
LAPORAN KASUS

HARITANGGAL :23 juli 2020


JAM PENGKAJIAN :Jam 08:30
PENGKAJI : Khaerurrazak
RUANG : Di IRNA RSUD MATARAM

A. Pengkajian
a. BIODATA
1. Identitas klien
 Nama :Tn. A
 Umur : 60 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Suku Bangsa : Sasak-Indonesia
 Agama :Islam
 Status Perkawinan: Kawin
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Petani
 Alamat :Bagu-Pringgarata-Lombok Tengah
 Tanggal Masuk : 23 juli 2020
 No.Register : 023
 Diagnosa Medis : CML ()
2. Identitas penanggung jawab
 Nama : Ny. B
 Umur :56 Tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : IRT (ibu rumah tangga)
 Hubungan dengan pasien : Istri

13
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri pada sendi dan tulang berlangsung selama satu bulan
lebih.
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengatakan nyeri pada sendi dan tulang
3. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu
Klien mengatakan tidak punya riwayat penyakit gangguan menelan sebelumnya,
klien mengatakan ini baru pertama kali.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit
gangguan menelan, penyakit menular
5. Riwayat Pengobatan Sebelumnya: -
c. Pola Fungsi Kesehatan ( di rumah sakit & di rumah)
1. Persepsi terhadap kesehatan
a. Penggunaan alkohol : Tidak
b. Merokok : Tidak
c. Alergi (Obat, makanan, lainnya) : Tidak ada riwayat alergi
2. Pola Aktifitas dan Latihan
 Makan/minum: klien mengatakan biasa makan/minum sendiri tanpa bantuan
 Mandi:klien mengatakan biasa dengan sendiri tanpa bantuan
 Berpakaian: klien mengatakan biasa berpakayan tanpa bantuan
 Toileting: klien mengatakan biasa ke toilet sendiri
 Mobilitas di tempat tidur: klien mengatakan biasa mobilitas secara mandiri
 Berpindah: klien mengatakan biasa berpindah tanpa bantuan
 Berjalan: klien mengatakan biasa berjalan tanpa bantuan
 Naik tangga: biasa tanpa bantuan
3. Pola Istirahat dan Tidur

14
 Tidur siang: klien mengatakan lama tidur siang di rumah ±2 jam setelah di
RS ±1 jam.Klien mulai tidur siang di rumah jam12:30 di RS jam 13:00.Klien
mengatakan lebih nyaman tidur siang di rumah dari pada di RS
 Tidur malam: klien mengatakan lama tidur siang di rumah ±8 jam setelah di
RS ±7 jam. Klien mulai tidur malam di rumah jam 20: 30 di RS jam 21:00.
Klien mengatakan lebih nyaman tidur di rumah daripada di RS
4. Pola Nutrisi Metabolik
a. Makan
 Jenis diet/makanan: klien mengatakan kalau dirumah jenis makanannya
beragam, setelah di RS klien hanya makan makanan yang disediakan RS
 Frekuensi: klien mengatakan biasanya dirumah makan 3-4 kali sehari,
setelah di RS klien makan 2 kali sehari dan kadang tidak nafsu makan
 Porsi yang dihabiskan: klien mengatakan kalau dirumah makanan
biasanya dihabiskan, setelah di RS makannya sedikit
 Pantangan: klien mengatakan saat dirumah tidak ada makanan
pantangan, setelah di RS klien tidak boleh makan yang pedas dan asam
 Nafsu makan: klien mengatakan setelah sakit nafsu makan menurun
b. Minum: klien mengatakan minum aira jarang karna tenggorokan terasa perih
5. Pola Eliminasi
a. BAB
Klien mengatakan BAB 2 kali dalam sehari
b. BAK
Klien mengatakan BAK 2 sampae 3 kali dalam sehari
6. Pola Kebersihan Diri
 Mandi: klien mengatakan biasanya mandi 3 kali sehari, setelah sakit 1 kali
sehari
 Keramas: klien mengatakn keramas setiap kali mandi
 Gosok gigi : klien mengatakn biasanya sikat gigi 2 kali sehari
 Kesulitan: -
 Upaya yang dilakukan: -

15
7. Pola Konsep Diri
 Harga diri: Klien mengatakan perasaan saat ini kurang bahagia karena
penyakit yang dialaminya
 Ideal diri: Harapan klien yaitu sembuh dari penyakitnyasupaya dapat
beraktivitas seeprti biasa.
 Identitas diri: Klien adalah seorang ayah dan bapak dari 3 orang anak
 Gambaran diri: Klien saat ini merasakan sedih karena kondisinya saat ini
yang merasa tidak normal seperti biasanya
8. Pola Koping
 Pengammbil keputusan : kepala keluarga
 Masalah utama terkait dengan perawatan di RS atau penyakit (biaya,
perawatan
diri dll): -
 Yang biasa dilakukan apabila stress/mengalami masalah: klien biasanya
pergi berlibur dengan istri dan anak-anaknya ketika merasa stress dan jika
ada masalah keluarga selalu di musyawarahkan
 Harapan klien bias sembuh dari penyakitnya dan bias beraktivitas seperti
biasanya
 Perubahan yang dirasa setelah sakit : klien mengatakan merasa lemas
9. Pola Seksualitas
Masalah dalam hubungan seksual selama sakit: -
10. Pola Nilai Kepercayaan
 Kebiasaan beribadah: klien mengatakan beribadah 5 waktu sehari semalam
 Larangan agama: klien mengatakan larangan agama banyak, tidak bias
disebutkan satu persatu
 Persepsi klien terhadap penyakitnya: klien mengataka bahwa penyakitnya
merupakan cobaan/ujian dari tuhan

d. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum

16
a. Kesadaran: Apatis GCS: E3V4M5
b. Tanda-tanda vital : Tekanan darah: 100/80 mmHg, Suhu: 36,0° c
Pernafasan: 32 x/menit, Nadi: 110x/menit
c. Tinggi badan: 165 cm
d. Berat badan: sebelum sakit 70 kg, sesudah sakit 68 kg
2. Kepala dan leher
a. Kepala dan rambut
 Bentuk kepala mesochepal
 Kulit kepala bersih, tidak ada lesi
 Distribusi rambut merata, tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan
gizi
 Warna kulit kepala putih
b. Mata
 Bentuk simetris mata kiri dan kanan
 Konjungtiva anemis
 Pupil isokor
 Tidak ada tanda-tanda radang
c. Hidung
 Tidak ada bengkak dan nyeri tekan
 Warna sama dengan warna kulit lain
 Tidak ada lesi
 Ada sumbatan disebelah kanan
 penciuman menurun kadang-kadang tidak bisa mencium aroma
d. Mulut dan tenggorokan
 Waran bibir pucat
 Mukosa kering
 Tidak ada lesi
 Ada gangguan menelan terlihat adanya palatum mole
e. Telinga
 Bentuk simetris
 Tidak ada lesi

17
 Tidak ada nyeri tekan
 Fungsi pendengaran pada telinga sebelah kanan trasa berdengung dan
ada penurunan
f. Leher
 Tidak ada nyeri tekan
 Tidak ada pembesaran vena jugularis
 Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
3. Dada
a. Jantung
 Inspeksi: tidak ada tanda-tanda kelainan
 Palpasi: tidak ada nyeri tekan
 Perkusi
 Auskultasi: suara jantung lup dup
b. Paru
 Inspeksi: pergerakan dinding dada simetris
 Palpasi: tidak ada nyeri tekan
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: bunyi nafas vesikuler
4. Abdomen
 Inspeksi: tidak ada luka, bentuk simetris
 Palpasi: tidak ada nyeri tekan
 Perkusi: timpani
 Auskultasi: bising usus 34 x/menit
5. Genitalia: -
6. Ekstrimitas
 Kekuatan otot 4
 Ada nyeri tekan
 Ada pembengkakan
7. Kulit dan kuku
a. Kulit
 Warna kulit gelap kekuningan

18
 Tidak ada lesi
 Teraba hangat
 Turgor kurang baik
 Kulit kering
b. Kuku
 Warna trang
 Capillary refill time: > 2 detik
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan
RBC/Eritrosit 3.5 4,0 – 5,0 (P) jt/ μL
HGB 6 12-14 g/dl
WBC/Leukosit 30.000 4 - 11 103/µl
Trombosit/PLT 120 150 - 400 103/µl
HCT/Hematoktrit 25.55 36,00 – 46,00 %
SpO2 90 95-100 %

f. Analisa Data
N DATA ETIOLOGI MASALAH
O
1 Data subjektif: Adanya Gangguan rasa
 Klien mengeluh nyeri tulang imflamasi nyaman nyeri
dan persendian
Data objektif:
 Raut wajah tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Skala nyeri 7
 TTV
- Tekanan darah:
90/70mmhg
- Nadi: 110 xmenit
- Pernafasan: 32 x/menit
 Suhu: 36,0ºC

19
 SpO2 : 93%
2 Data subjektif Nyeri tulang dan Risiko jatuh
 Klien mengatakan nyeri sendi
tulang dan persendian serta
tidak berani berjalan tanpa di
bimbing
Data objektif:
 Pasien tampak lemah
 Kekuatan otot 4
 TTV
- Tekanan darah:
100/80mmhg
- Nadi: 97 xmenit
- Pernafasan: 20 x/menit
Ds: Pasien mengatakan sesak Hiperventilasi Ketidak efektifan
Do: pola nafas
 Pasien tampak sesak, napas
pendek
 Irama pernapasan tidak teratur
 Jantung berdebar-debar
 Terlihat penggunaan otot bantu
pernapasan (Sternomastoid)
 TTV: Td: 100/70 mmHg, N: 110
x/m, S: 36 °C dan RR: 32x/m.
SpO2: 90%

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Berhubungan Dengan Imflamasi
- Risiko Jatuh Berhubungan Dengan Nyeri Tulang Dan Kelemahan Otot
- Ketidak Efektifan Pola Nafas Berhubungan Hiperventilasi

20
C. INTERVENSI
TUJUAN DAN
NO DIAGNOSA INTERVENSI
KRITERIA HASIL
1 Gangguan Setelah dilakukan  Anjurkan pasien untuk banyak
rasa nyaman tindakan beristrirahat
nyeri keperawatan 3 x 24  Atur posisi senyaman mungkin
berhubungan jam gangguan rasa  Buat media pengalihan untuk
dengan nyaman dan nyeri mengurangi rasa nyeri
imflamasi teratasi.  Kolaborasi pemberian obat pereda
nyeri.
Kriteria hasil:
 Skala nyeri turun
jadi 3
 Raut wajah
mendjadi tenang

2 Risiko jatuh Setelah dilakukan  Anjurkan pasien untuk dibimbing saat


berhubungan tindakan beraktifitas seperti ke kamar mandi
dengan nyeri keperawatan 3 x 24  Anjurkan pasien untuk selalu memakai
tulang dan jam pasien dapat pembatas tempat tidur
kelemahan terhindar dari jatuh  Edukasi keluarga untuk selalu menjaga
otot klien
Kriteria hasil:
 Pasien tidak
jatuh

3 Setelah dilakukan - Posisikan pasien semi fowler


tindakan - Monitor TTV
keperawatan selama - Monitor pola napas pasien
3 x 24 jam pola - Monitor penggunaan otot bantu
napas pasien dapat pernapasan
efektif. - Monitor saturasi oksigen (SpO2)

21
Kriteria hasil /NOC: - Batasi untuk beraktivitas
Status pernapasan - Kolaborasi dengan tim kesehatan lainya
- Sesak napas dalam pemberian oksigen
berkurang/napas - Kolaborasi dengan tim kesehatan lainya
normal dalam pemberian terapi IV (Blood Set)
- Irama pernapasan - Kolaborasi dengan tim kesehatan lainya
teratur dalam pemberian transfusi darah
- Tidak ada
penggunaan otot
bantu pernapasan
- TTV dalam batas
normal (Td:
120/80mmHg, N:
60-100 x /m, RR:
16-20 x/m, S:
36,5-37,5 °C
SpO2: 95-100%

D. IMPLEMENTASI
N HARI/TANGGAL IMPLEMENTASI
O
1 Rabu. 22 juli 2020  menganjurkan pasien untuk banyak beristrirahat
10:00  mengatur posisi senyaman mungkin
 membuat media pengalihan untuk mengurangi rasa
nyeri
 berkolaborasi pemberian obat pereda nyeri.

2 Rabu. 22 juli 2020  menganjurkan pasien untuk dibimbing saat


12:00 beraktifitas seperti ke kamar mandi
 menganjurkan pasien untuk selalu memakai
pembatas tempat tidur
 mengedukasi keluarga untuk selalu menjaga klien

22
3 Rabu.22 juli 2020 - Memposisikan pasien semi fowler
14:00 - Memonitor TTV
- Memonitor pola napas pasien
- Memonitor penggunaan otot bantu pernapasan
- Memonitor saturasi oksigen (SpO2)
- Membatasi untuk beraktivitas
- Berkolaborasi dengan tim kesehatan lainya dalam
pemberian oksigen
- Berkolaborasi dengan tim kesehatan lainya dalam
pemberian terapi IV (Blood Set)
- Berkolaborasi dengan tim kesehatan lainya dalam
pemberian transfusi darah

E. EVALUASI
N EVALUASI
O
1 S: Klien mengatakan rasa nyeri berkurang
O:skala nyeri berkurang menjadi 4, pasien tampak lebih tenang
A:Masalah teratasi sebagian
P: intervensi dilanjutkan
2 S: klien mengatakan selalu didampingi keluarga saat beraktifitas
O: klien selalu menggunakan alat pelindung saat beraktifitas
A: Masalah teratasi sebagian
P: intervensi dilanjutkan
3 S: Pasien mengatakan tidak sesak
O:
- Pasien tampak tenang
- Irama pernapasan tampak teratur
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan
- TTV: Td: 110/80 mmHg, N: 80 x/m, S:36,5 °C, RR: 20 x/m
- SpO2: 97 %
A: Masalah teratasi

23
P: Intervensi dihentikan

24

Anda mungkin juga menyukai