IKTERUS OBSTRUKSI
RUANG PERAWATAN INTERNA DI RS WAHIDIN SUDIROHUSODO
CI LAHAN CI INSTITUSI
PENDAHULUAN
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang disebabkan oleh sistem
kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri.
Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, misalnya kulit, sendi, sel
darah, paru-paru, jantung. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel,
jaringan dan organ yang sehat (Depkes, 2017)
B. Etiologi
Ariani (2016) menjelaskan bahwa hingga saat ini penyebab SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor
yang terlibat seperti faktor genetic, lingkungn dan infeksi yang ikut berperan sebagai
pencetus SLE (Sistemik Lupus Eritematosusu). Sistem imun tubuh kehilangan
kemaampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus
menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengn kerusakan multiorgan dalam pathogenesis yang
melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktivitas sel
B. Hal ini merupakan faktor sekunder terjadinya lupus:
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita meskipun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang seluruh kalangan usia baik itu pria maupun wanita. Namun
demikian, 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang
menyebabkan wanita lebih sering terserang penyakit lupus dibandingkan pria adalah
hormon esterogen. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone esterogen mungkin
berperan dalam rimbulnya penyakit ini.
C. Manifestasi Klinis
Roviati (2013) menjelaskan bahwa pada awalnya, penyakit ini ditandai dengan
gejala klinis yang tak spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang tidak bisa ditolerir, lesu
berkepanjangan, panas, demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun.
Gejala awal yang tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit lain. Oleh karena itu,
gejala penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, jadi tidak sembarangan
untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus.Akibat gejalanya mirip denan gejala
penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si
penyakit seribu wajah sehingga penderita akan berpindah-pindah dokter sebelum
diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan.
Menurut American College of Rheumatology (1997) dalam Roviati (2013),
diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan
singkat dari 11 gejala tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan
kupu-kupu. Istilah kedokteran dari ruam ini adalah Malar Rash atau Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai dengan adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari
4. Luka dimulut dan lidah seperti sariawan (orl ucers)
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai
pada 90% odapus (orang dengan lupus)
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein dalam urine (proteinuria)
8. Gangguan pada otak/sistem saraf yaitu mulai dari depresi, kejang, stroke dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah dimana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang
sehingga biasanya terjadi anemia
10. Tes ANA (Anti Nuclear Antubody) Positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh
D. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit SLE (Systemic Lupus Erithematosus) adalah sebagai
berikut:
1. Ginjal
Apabila lupus menyerang organ ginjal, maka komplikasi yang mungkin muncul
adalah:
a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urine).
2. Jantung dan paru
Apabila lupus menyerang organ jantung atau paru, maka komplikasi yang mungkin
muncul adalah:
a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau miocardiris
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)
3. Sistem saraf
Apabila lupus menyerang organ jantung atau paru, maka komplikasi yang mungkin
muncul adalah:
a. Sistem saraf pusat
1) Conginitive dysfunction
2) Sakit kepala pada lupus
3) Sindrom anti phospholipid
4) Sindrom otak
5) Fibtomyalgia
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal
ini dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya
permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh pada sistem saraf otonom
4. Kulit
a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut
discoid
b. Ciri-ciri lesi spesifik:
1) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitive
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/cutaneus
lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut
pada koin
2) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area
yang luas di bagian tubuh
c. Rambut rontok (alopecia)
d. Vaskulitis: berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung
jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok
e. Fotosensitivitas
5. Darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
c. Gangguan pembekuan darah
d. Limfositopenia
E. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dean hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan disertai penurunan
berat badan. Kemungkinan terjadinya arthritis, pleuritis dan pericarditis juga termasuk.
Pemeriksaan penunjang berupa tes imunologi diagnostik yang dapat dilakukan atau yang
dianjurkan pada klien yang mengalami SLE (Systemic Lupus Erithemtosus) menurut
Ariani (2016) adalah sebagai berikut:
1. Anti.ds DNA
Batas normal : 70-200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : >200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-70% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik, hepatitis kronik, infeksi mononucleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibody ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran [enyakit terutama lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negative
pada penyakit SLE yang tenang
2. Anti Nuclear Antibodies (ANA)
Batas normal: NOL
ANA sering digunakan untuk diagnose SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu
sel. ANA cukup sensitive untuk mendeteksi adanya SLE. Hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE, akan tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja melainkan
berkaitan juga dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah
pemberian terapi, maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negative, maka pasien belum tentu negative terhadap SLE.
Data klinis dan tes laboratorium lain juga perlu dipertimbangkan dan pasien
dianjurkan untuk melakukan test serologi. Sebaliknya, jika didapatkan hasil tes
positif, maka sebaiknya dlakukan tes laboratorium yang lain.
3. Tes laboratorium lain
Tes laboratorium lain yang digunakan untuk menunjang diagnose serta untuk
monitoring pada penyakit SLE antara lain antiribosomal P, antikardiolpin, lupus
antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin dan test fungsi hepar.
F. Penatalaksanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting untuk diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE. Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, perlu
diketahui apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-
organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif seperti kortikosteroid dosis
tinggi dan umunopresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Jadi,
tujuan terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi
peradangan atau tingkat aktivitas autoimun dalam tubuh. Adapun bentuk penanganan
umum pada pasien dengan SLE menurut Sukmana (2004) dalam Ariani (2016) adalah
sebagai berikut:
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Perawat harus mengetahui
apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu:
anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan
emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah:
cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. SLE dianjurkan
untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES,
akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada
penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan
obat yang mengandung estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan yang
ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid namun
tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap system
gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis
tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan SLE adalah sebagai berikut:
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
4. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
5. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
6. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat (plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
7. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan
sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, vaskulitis dan
gangguan pada SSP
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hambatan ekspansi dada
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
6. Keletihan berhubungan dengan anemia
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi
Pemberian obat
1. Kaji adanya riwayat alergi
terhadap obat tertentu
2. Pastikan mengikuti prinsip 6
benar pemberian obat
3. Cek tanggal kadaluarsa obat
4. Monitor respon klien
Pengurangan Kecemasan
1. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan
terhadap perilaku klien
3. Jelskan semua prosedur
termasuk sensasi yang akan
dirasakan yang mungkin akan
dialami klien selama prosedur
4. Pahami situasi krisis yang
terjadi dari perspektif klien
5. Berikan informasi factual
terkait diagnosis, perawatan
dan prognosis
Diagnosis Keperawatan Definisi
Ketidakefektifan pola Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tdak memberi ventilasi adekuat.
napas
Batasan kerakteristik Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)
(NOC)
1. Dyspnea Setelah diberikan intervensi Manajemen jalan napas
2. Fase ekspirasi keperawatan selama …klien 1. Buka jalan napas dengan teknik
memanjang akan menunjukkan pola napas chin lift atau jaw thrust, sebagai
3. Pennggunaan otot bantu yang efektif, dibuktikan oleh mana mestinya.
pernapasan indikator sebagai berikut 2. Posisiskan pasien untuk
4. Penggunaan posisi tiga Respon penyapihan ventilasi memaksimalkan ventilasi
titik mekanik: Dewasa 3. Identifikasi kebutuhan
5. Pernapasan bibir 1. Tingkat pernapasan actual/potensial pasien untuk
6. Pola napas abnormal spontan memasukan alat membuka jalan
(mis., irama, frekuensi, 2. Irama pernapasan spontan napas
kedalaman) 3. Kedalaman pernapasan 4. Motivasi pasien untuk bernapas
7. Takipnea spontan pelan, dalam, berputar, dan
4. Apikal denyut jantung batuk
Faktor yang apikal 5. Instruksikan bagaimana agar
berhubungan: 5. Ppaco2 (tekanan parsial bisa melakukan batuk efektif
Hambatan ekspansi dada oksigen dalamm darah 6. Auskultasi suara napas, catat
arteri) area yang ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara
Status pernapasan tambahan
6. Frekuensi pernapasan 7. Ajarkan pasien bagaimana
7. Irama pernapasan menggunakan inhaler sesuai
8. Kedalaman inspirasi resep, sebagaimana mestinya
9. Suara auskultasi nafas 8. Kelola pengobatan aerosol,
10. Kepatenan jalan napas sebagaimana mestinya
11. Volume tidal 9. Kelola nebulizer ultrasonik,
12. Pencapaian tingkatt sebagaimana mestinya
insentif spinometri 10. Regulasi asupan cairan untukk
13. Kapasitas vital mengoptimalkan keseimbangan
14. Saturasi oksigen cairan
1. 10. Tes faal paru 11. Posisikan untuk meringankan
sesak napas
12. Monitor status pernapasan dan
oksigen, sebagaimana mestinya
Monitor pernapasan
1. Monitor kecepatan, irama,
kedalaman, dan kesulitan
bernapas
2. Catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu napas, dan
retraksi pada otot
supraclaviculas dan interkosta
3. Monitor suara napas tambahan
seperti ngorok atau mengi
4. Monitor pola napas (misalnya,
bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, pernapasan
kusmaul, pernapasan 1:1,
apneustik, respirasi biot, dan
pola ataxic)
5. Monitor saturasi oksigen pada
pasien yang tersedasi (seperti,
sao2, svo2, spo2) sesuai dengan
protokol yang ada
6. Pasang sensor pemantauan
oksigen non-invasif (misalnya,
pasang alat pada jari, hidung,
dan dahi) dengan mengatur
alarm pada pasien berisiko
tinggi (misalnya, pasien yang
obesitas, melaporkan pernah
mengalami apnea saat tidur,
mempunyai riwayat penyakit
dengan terapi oksigen menetap,
usia ekstrim) sesuai dengan
prosedur tetap yang ada
7. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
8. Perkusi torak anterior dan
posterior, dari apeks ke basis
paru, kanan dan kiri
9. Catat lokasi trakea
10. Auskultasi suara napas, catat
area dimana terjadi penurunan
atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara napas
tambahan
11. Kaji perlunya penyedotan, pada
jalan napas dengan auskultasi
suara napas ronki di paru
12. Auskultasi suara napas setelah
tindakan, untuk dicatat
13. Monitor nilai fungsi paru,
terutama kapasitas vital paru,
volume inspirasi maksimal,
volume ekspirasi maksimal
selama 1 detik (fevi) dan
fevi/fvc sesuai dengan data yang
tersedia
14. Monitor hasil pemeriksaan
ventilasi mekanik, catat
peningkatan kelelahan,
kecemasan, dan kekurangan
udara pada pasien
15. Catat perubahan pada saturasi
o2, volume tidal akhir co2, dan
perubahan nilai analisa gas
darah dengan tepat
16. Monitor kemampuan batuk
efektif pasien
17. Catat onset, karakteristik, dan
lamanya batuk
18. Monitor sekresi pernapasan
pasien
Diagnosis Keperawatan: Definisi:
Kerusakan integritas Perubahan pada dermis dan atau dermis
kulit
Pengurangan kecemasan
1. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaannya
2. Dorong keluarga untuk
mendampingi pasien
3. Ciptakan atmosfer yang
nyaman untuk meningkatkan
kepercayaan pasien
4. Identiifkasi pada saat terjadi
perubahan tingkat kecemasan
5. Bantu klien mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
6. Kaji tanda verbal dan non
verbal kecemasan pada pasien
7. Ajarkan teknik relaksasi atau
terapi non farmakologi untuk
mengurangi kecemasan
Behavior Management
Activity Therapy
Nutrition Management
Ariani, N. F. (2016). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Klen Systemaic
Lupus Eritematous. Malang: Universitas Brawijaya.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.
Depkes (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Diakes pada tanggal 13 Mei 2018 di halaman
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Lupus-
2017.pdf
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions
and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.
Mahendrasari, D., & Fandika, R. A. (2016). Unnes Journal of Public Health 5 (3), Hubungan
keparahan penyakit, aktivitas dan kualitas tidur terhadap kelelahan pasien systemic lupus
erythematosus.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier
Roviati, E. (2013). Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan auto imun bawaan yang
langka dan mekanismme, molekulernya. Jurnal Scientiae Educatia Volume 2 Edisi 1, 20-
33.