Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

CHORNIC MYELOID LEUKEMIA

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Stase Keperawatan Anak

DISUSUN OLEH:
KASNIATI
A1C121040

CI INSTITUSI CI LAHAN

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit mieloproliferatif
menahun dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada
pluripoten sel stem. Kelainan tersebut mengenai lineage mieloid,
monosit, eritroid, megakariosit. Perubahan patologik yang terjadi
berupa gangguan adhesi sel imatur di sumsum tulang, aktivasi mitosis
sel stem dan penghambatan apoptosis yang mengakibatkan terjadinya
proliferasi sel mieloid imatur di sumsum tulang, darah tepi dan terjadi
hematopoiesis ekstramedular.
Penyakit ini ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa
gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat
dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit (bahkan mieloblas), metamielosit, mielositsampai
granulosit.
2. Etiologi
Menurut Corwin, 2009 faktor risiko untuk leukemia antara lain adalah
predisposisi genetik yang digabungkan dengan inisiator (mutasi) yang
diketahui atau tidak diketahui. Saudara kandung dari anak yang
menderita leukemia memiliki kecenderungan dua sampai empat kali
lipat untuk mengalami penyakit ini dibandingkan anak-anak lain.
Kromosom abnormal tertentu dijumpai dalam presentase yang tinggi
pada pasien pengidap leukemia. Sebaliknya, individu yang mengidap
abnormalitas kromosom tertentu, termasuk sindrom Down, memiliki
peningkatan risiko menderita leukemia. Pajanan terhadap radiasi,
beberapa jenis obat yang menekan sumsum tulang, dan berbagai obat
kemoterapi telah dianggap meningkatkan risiko leukemia. Agens-
agens berbahaya di lingkungan juga diduga dapat menjadi faktor
risiko.
Riwayat penyakit sebelumnya yang berkaitan dengan hematopoiesis
(pembentukan sel darah) telah terbukti meningkatkan risiko leukemia.
Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah penyakit limfoma
Hodgkin, mieloma multipel, polisitemia vera, anemia sideroblastik dan
sindrom mielodisplastik. Riwayat leukemia kronis meningkatkan
risiko leukemia akut.
Penyebab dari sebagian besar leukemia tidak diketahui. Pemaparan
terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya
benzena) dan pemakaian obat anti kanker meningkatkan risiko
terjadinya leukemia (Nurarif, 2013).
3. Patofisiologi
LGK dianggap sebagai suatu gangguan mieloproliferatif karena
sumsum tulang hiperselular dengan proliferasi pada semua garis
diferensiasi sel (Price & Wilson, 2006).
Kromosom Philadelphia ditemukan pada 95% pasien leukemia mieloid
kronis, 5% pasien mengalami translokasi kompleks atau varian yang
melibatkan kromosom tambahan yang akhirnya mengakibatkan fusi
gen BCR-ABL, dimana gen tersebut memiliki aktivitas tyrosine kinase
yang memicu pertumbuhan dan replikasi sel leukemik (Lawrenti,
2017).
Perjalanan penyakit ini dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase kronik
dan transformasi akut, perjalanannya bersifat progresif yang diawali
dengan fase kronik yang jinak berjalan perlahan-lahan sekitar empat
sampai enam bulan selama tiga sampai lima tahun, dan dapat
berkembang dengan cepat dalam hitungan minggu ke arah krisis
blastik yang bersifat fatal dan menyerupai gejala klinik leukemia akut
(Suega, 2010).
Selama fase evolusi ini, sel-sel matang mulai mengalami
dediferensiasi, dan semakin banyak sel imatur yang terlihat (Price &
Wilson, 2006).
4. Klasifikasi
Leukemia mieloid kronik mencakup enam tipe leukemia yang berbeda
yaitu
a. Leukemia mieloid kronik Ph positif (CML, Ph +/ Leukemia
Granulositik Kronik; CGL)
b. Leukemia mieloid kronik Ph negatif (CML, Ph -)
c. Leukemia mieloid kronik juvenilis
d. Leukemia netrofilik kronik
e. Leukemia eosinofilik
f. Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
5. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis CML, tergantung pada fase yang dijumpai pada
penyakit tersebut, yaitu:
a. Fase kronik terdiri atas :
1) Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
2) Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3) Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4) Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh
hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat
menimbulkan masalah.
5) Gangguan penglihatan dan priapismus.
6) Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan
gambaran pucat, dispneu dan takikardi.
7) Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada
saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase accelerasi terdiri atas
Kriteria untuk mendiagnosis fase ini adalah adanya sel blast >15%,
sel blast dan promyelocytes sebanyak >30%, basophil >20%,
platelet Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama
6 bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru,
antara lain : demam, lelah. Respons terhadap kemoterapi menurun,
lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi
abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara
lain epistaksis, menorhagia)
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Fase ini secara morfologi adalah sama seperti leukemia akut.
Untuk mendiagnosis seseorang pada fase ini memerlukan adanya
minimal 20% sel blast pada sumsum tulang menurut WHO. Pada
beberapa penderita fase ini ditandai dengan temuan deposit
extrameduler dari sel-sel leukemik dan paling sering di Sistem
Saraf Pusat (SSP), kelenjar limfe, kulit dan tulang. Biasanya pasien
pada fase blastik akan meninggal dalam janka waktu 3-6 bulan.
Sekitar 70% dari fase blastik mempunyai fenotipe myeloid, 25%
limfoid, 5% undifferentiated. Prognosis lebih baik untuk fenotipe
limfoid dari yang myeloid dan undifferentiated.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Leukositosis biasanya >50 x 109 /L dan terkadang >500 x 109 /L.
Suatu gambaran lengkap dari sel mieloid terlihat pada darah tepi.
Jumlah neutrofil dan mielosit melebihi sel blast dan promielosit.
b. Peningkatan basofil yang bersirkulasi.
c. Anemia normositik normokrom sering ditemui.
d. Jumlah trombosit dapat meningkat (paling sering), normal, atau
menurun.
e. Sumsum tulang hiperseluler dengan dominasi granulopoietik.
f. Terdapat gen gabungan BCR-ABL 1 pada pemeriksaan PCR dan
pada 98% kasus pada pemeriksaan sitogenetik ditemukan
kromosom Philadelphia.
g. Asam urat serum biasanya meningkat.
h. Pemeriksaan sumsum tulang memperlihatkan proliferasi klonal dan
penimbunan sel darah.
i. Cairan spinal serebral diperiksa untuk menyingkirkan keterlibatan
sistem saraf.
7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1) Fase Kronik
a) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari.
Leukosit diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan
setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat di
hentikan jika leukosit 20.000/mm3 . Terapi dimulai jika
leukosit naik menjadi 50.000/mm3 . Efek samping dapat
berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis
paru, bahaya timbulnya leukemia akut
b) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan
penyakit dan mempertahankan hitung leukosit yang normal
pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur
hidup. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg.
Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai
leukosit 10.000-15.000/mm3 . Efek samping lebih sedikit
Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih
dan dapat menunda onset transformasi akut,
memperpanjang harapan hidup 11 menjadi 1-2 tahun. IFN-
α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali
oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan bagi
kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang
terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau
yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok.
Interferon alfa diberikan pada ratarata 3-5 juta IU / d
subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar
4x109/l). Hampir semua pasien menderita gejala penyakit
”mirip flu” pada beberapa hari pertama pengobatan.
Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi,
dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin
mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya
kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et
al., 2005).
c) Imatinib (Gleevec), nilotinib (Tasigna), dasatinib (Sprycel)
adalah obat tyrosine-kinase inhibitor yang merupakan
pengobatan standar bagi pasien CML pada fase kronik.
d) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell
transplantation, SCT) sebelum usia 50 dari saudara
kandung yang HLA-nya cocok memungkinkan
kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi 6
e) Fase Akselerasi dan Fase Blast Terapi untuk fase akselerasi
atau transformasi akut sama seperti leukemia akut, AML
atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat
diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini,
sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit.
b. Non-Medikamentosa
1) Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi
sinarsinar tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk
menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang
diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang
8. Patway

Factor Etiologi
Virus, abnormalitas, kromosom, sinar radioaktif & sinar X,
bahan kimia, infeksi

Leukosit Immature Yang


Berlebihan

Menelan Produksi Elemen


Darah

LEUKIMIA
Sel-Sel Leukimia Kemoterapi

Infiltrasi Efek terapi


v
Disfungsi sumsun tulang Peningkatan Menumpuk
konsumsi disumsung Ke Oragn-
kalori tulang Organ Kompens
Limfoid Mual asi tubuh
Menurunkan Menurunkan
Neutropil eritrosit
Sel neoplastic Nyeri Anoreksia , muntah
Pembesaran
cepat Tulang
Neutropenia Eritropeni membelah
Gangguan Rasa
Keluaran
Menurunkan Hb menurun Nyaman: Nyeri Deficit
yang
system Peningka Nutrisi
berlebihan
pertahanan Sel tan laju
Suplai O2 normal
tubuh metaboli
dalam darah Risiko Kekurangan
sekunder sme
menurun Volume Cairan

Risiko Tinggi Penuru Kelelahan


Anemia nan BB Perlawanan dari tubuh
Infeksi

Pucat Malaise
Hipertermia Perawatan dirumah

Kelelahan Kelemahan
umum Kurang informasi

Intoleransi aktivitas
Kurang pengetahuan
tentang penyakit
progonosis & perawatan
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
b. Keluhan utama meliputi alasan
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat kesehatan keluarga.
f. Riwayat kesehatan lingkungan
2. Pemeriksaan Diagnostik
Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik.
Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml.
Retikulosit : jumlah biasanya rendah.
Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP
imatur (“menyimpang ke kiri”). Mungkin ada sel blast leukemia
PT/PTT : memanjang.
LDH : mungkin meningkat.
Asam urat serum/urine : mungkin meningkat. Biopsi sumsum tulang :
SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada
sumsum tulang. Sering 60–90% dari sel blast, dengan prekusor
eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibata
3. Diagnosa Keperawatan
a. Deficit nutrisi b/d factor psikologis
b. Risiko Infeksi dibuktikan dengan Faktor risiko : Efek Prosedur
invasif
4. Rencana Keperawatan

5. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tindakan yang harus dilakukan atau
penatalaksanaan dari sebuah intervensi yang telah ditentukan
sebelumnya pada intervensi berdasarkan diagnosa keperawatan.
Penatalaksanaan dilaksanakan dengan tindakan secara mandiri,
melakukan observasi, melakukan edukasi, dan kolaborasi dengan
tenaga medis lainnya.
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap untuk melihat hasil atau menilai sejauh
mana tercapainya suatu intervensi yang dilakukan dan respon klien
terhadap pemberian asuhan keperawatan yang diberikan (Perry Potter,
2005).
Dalam evaluasi keperawatan terdapat beberapa langkah untuk
mengevaluasi keperatan yang sudah dilakukan, yakni:
a. Mengumpulakan data-data dalam pemberian asuhan keperawatan.
b. Membandingkan data dari hari kehari dari sebelum pemberian
asuhan keperawatan hingga sesudah pemberian asuhan
keperawatan sesuai dengan rencana tindakan yang sudah
ditetapkan.
c. Melihat perkembangan pasien setelah diberikan asuhan
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai