Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ABLASIO RETINA

DISUSUN OLEH :

ALMA SRIWIDYASTUTI

17613073

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan ablasio retina di susun oleh Alma sriwidyastuti

Telah disetujui dalam rangka praktik klinik keperawatan III D3 Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammdiyah Ponorogo di Ruang

Keperawatan Medikal Bedah Umum Dan Kasus Mata Rumah Sakit Saiful Anwar

Malang pada tanggal 22 Juni- 27 juni 2020).

Pembimbing Institusi

Hery Ernawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN

ABLASIO RETINA

A. DEFINISI

Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan

epitel berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina

yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen

pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas

fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne,

2010).

Ablasio berasal dari bahasa Latin ablatio yang berarti pembuangan atau

terlepasnya salah satu bagian badan. Menurut (Vera H. Darling dan Margaret

R. Thorpe, 1996) menjelaskan bahwa ablasio retina lebih tepat disebut dengan

separasi retina. Disebutkan demikian karena terdapat robekan retina sehingga

terjadi pengumpulan cairan retina antara lapisan basilus (sel batang) dan komus

(sel kerucut) dengan sel-sel epitelium pigmen retina. Keadaan ini dapat terjadi

karena lapisan luar retina (sel epitel pigmen) dan lapisan dalam (pars optika)

terletak dalam aposisi tanpa membentuk perlekatan kecuali di sekitar diskus

optikus dan pada tepinya yang bergelombang yang disebut ora serata.

Ablasio Retina adalah pelepasan retina dari lapisan epitelium

neurosensoris retina dan lapisan epitelia pigmen retina (Donna D. Ignativicius,

2011) Ablatio Retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah

posterior mata yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga


mengakibatkan kebocoran cairan, sehingga antara koroid dan retina

kekurangan cairan (Smeltzer, Suzanne C. , 2010).

B. Klasifikasi

1. Non rhemathogen retina detachmen :

a. Malignancy hypertensi

b. Choriodal tumor

c. Chorioditis

d. Retinopati

2. Rhemathogen retina detachmen :

a. Trauma

b. Degenerasi

c. Kelainan vitreus

Dikenal ada tiga bentuk umum ablasi retina yaitu :

1. Ablasi retina regmatogenosa

Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami

likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio

progresif (ablasio retina regmatogenosa). Ablatio Rhegmatogen terjadi

setelah terbentuknya tulang atau robekan dalam retina yang menembus

sampai badan mata masuk ke ruang sub retina, apabila cairan terkumpul

sudah cukup banyak dapat menyebabkan retina terlepas.

Pada ablasi retina regmatogenosa akan memberikan gejala terdapat

gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat seperti tabir yang

menutup. Terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada

lapanganpenglihatan.Ablasi yang berlokalisasi di daerah supratemporal


sangat berbahaya Karena dapat mengagkat macula. Penglihatan akan turun

secara akut pada ablasi retina bila dilepasnya mengenai macula lutea. Pada

pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarana pucat

dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina

berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas

(ablasi) bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen di dalam badan kaca.

Pada pupil terlihat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.

Tekanan bola mata rendah dan dapat meningkat bila telah terjadi

neovaskularisasi glaucoma pada ablasi yang telah lama.

2. Abrasi retina traksi atau tarikan

Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan

retina (misal seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus

(ablasio retina traksional). Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi

akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan

ablasi retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit.

3. Ablasi retina eksudasi

Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang

subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada

kehamilan (ablasio retina eksudatif). Ablatio eksudatif, terjadi karena

penumpukan cairan dalam ruang retina akibat proses peradangan, gabungan

dari penyakit sistemik atau oleh tumor intraocular, jika cairan tetap

berkumpul, lapisan sensoris akan terlepas dari lapisan epitel pigmen.


Ablasi retina eksudasi, ablasi yang terjadi akibat tertimbunnya eksudasi

dibawah retina dan mengangkat retina. Pada ablasi tipe ini penglihatan

dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau

menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang.

Tabir yang menutupi penglihatan dan seperti melihat pijaran api,

penglihatan menurun secara bertahap sesuai dengan daerah yang terkena,

bila makula yang terkena maka daerah sentral yang terganggu.

Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai

dengan rongga vesikel optic embrionik. Kedua jaringan ini melekat longgar

pada mata yang matur dapat berpisah.

C. Etiologi

Ablasio retina dapat terjadi secara spontan  atau sekunder setelah trauma,

akibat adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan mendorong

retina (rhematogen) atau terjadi penimbunan eksudat dibawah retina sehingga

retina terangkat (non rhegmatogen), atau tarikan jaringan parut pada badan

kaca (traksi).  Penimbunan eksudat terjadi akibat penyakit koroid, misalnya

skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia

gravidarum.  Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan

DM,  proliferatif, trauma, infeksi atau pasca bedah.

Ablation retina dapat terjada dari beberapa penyebab, antara lain :

1. Malformasi kongenital 

2. Kelainan metabolisme 
3. Penyakit vaskuler 

4. Inflamasi intraokuler 

5. Neoplasma 

6. Trauma 

7. Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina (C. Smelzer, Suzanne,

2002).

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya 

2. Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/rumah laba-laba 

3. Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang

pandang ketika retina benar-benar terlepas dari epitel berpigmen 

4. Penurunan tajam pandangan sentral aau hilangnya pandangan sentral

menunjukkan bahwa adanya keterlibatan makula 

E. PATOFISIOLOGI

Retina adalah jaringan tipis dan transparan yang peka terhadap cahaya,

yang terdiri dari sel-sel dan serabut saraf. Retina melapisi dinding mata bagian

dalam seperti kertas dinding melapisi dinding rumah. Retina berfungsi seperti

lapisan film pada kamera foto: cahaya yang melalui lensa akan difokuskan ke

retina. Sel-sel retina yang peka terhadap cahaya inilah yang menangkap

“gambar” dan menyalurkannya ke otak melalui saraf optik.


Sebab dan gejala lepasnya retina sebagian besar lepasnya retina terjadi

akibat adanya satu atau lebih robekan-robekan kecil atau lubang-lubang di

retina. Kadang-kadang proses penuaan yang normal pun dapat menyebabkan

retina menjadi tipis dan kurang sehat, tetapi yang lebih sering mengakibatkan

kerusakan dan robekan pada retina adalah menyusutnya korpus vitreum, bahan

jernih seperti agar-agar yang mengisi bagian tengah mata. Korpus vitreum erat

melekat ke retina pada beberapa lokasi di sekeliling dinding mata bagian

belakang. Bila korpus vitreum menyusut, ia dapat menarik sebagian retina

bersamanya, sehingga menimbulkan robekan atau lubang pada retina.

Walaupun beberapa jenis penyusutan korpus vitreum merupakan hal yang

normal terjadi pada peningkatan usia dan biasanya tidak menimbulkan

kerusakan pada retina, korpus viterum dapat pula, menyusut pada bola mata

yang tumbuh menjadi besar sekali (kadang-kadang ini merupakan akibat dari

rabun jauh), oleh peradangan, atau karena trauma.

Pada sebagian besar kasus retina baru lepas setelah terjadi perubahan besar

struktur korpus vitreum. Bila sudah ada robekan-robekan retina, cairan encer

seperti air dapat masuk dari korpus vitreum ke lubang di retina dan dapat

mengalir di antara retina dan dinding mata bagian belakang. Cairan ini akan

memisahkan retina dari dinding mata bagian belakang dan mengakibatkan

retina lepas. Bagian retina yang terlepas tidak akan berfungsi dengan baik dan

di daerah itu timbul penglihatan kabur atau daerah buta.

Perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis lepasnya retina yang disebabkan

oleh penyakit mata lain, seperti tumor, peradangan hebat, atau sebagai

komplikasi dari diabetes. Ini disebut ablasio retina sekunder. Dalam hal ini
tidak ditemukan robekan ataupun lubang-lubang di retina, dan retina hanya

bisa kembali ke posisinya yang normal dengan mengobati penyakit yang

menyebabkan lepasnya retina.

F. Pathway

G. Pemeriksaan diagnostik

Pada pemeriksaan Funduskopi terlihat retina yang terangkat berwarna

pucat dan adanya retina yang berwarna merah, sering ditemukan pada daerah

temporal superior. Bila bola mata bergerak terlihat robekan retina bergoyang,
terdapat defek aferen pupil tekanan bola mata rendah. Bila tekanan bila mata

meningkat maka terjadi glaukoma neomuskular pada Ablasi yang lama.

H. PENATALAKSANAAN

Menghindari robekan lebih lanjut dengan memperhatikan penyebabnya,

seperti:

1. Tirah baring dan aktivitas di batasi.

2. Kedua mata di balut dan perlu bantuan orang lain untuk mencegah cedera.

3. Pengobatan :

- Prosedur laser, untuk menangani ablasio retina eksudatif/serosa

sehubungan dengan proses yang berhubungan dengan tumor atau

inflamasi yang menimbulkan cairan subretina yang tanpa robekan retina.

Tujuannya untuk membentuk jaringan parut pada retina sehingga

melekatnya ke epitel berpigmen.

- Pembedahan, retinopati diabetika/trauma dengan perdarahan vitreus

memerlukan pembedahan vitreus untuk mengurangi gaya tarik pada

retina yang di timbulkan. Pelipatan (buckling) sclera merupakan prosedur

bedah primer untuk melekatkan kembali retina.

- Krioterapi transkleral, dilakukan pada sekitar tiap robekan retina

menghasilkan adhesi korioretina yang melipat sehingga cairan vitreus tak

mampu lagi memasuki rongga subretina. Sebuah / beberapa silicon

(pengunci) dijahitkan dan dilipatkan ke dalam sclera, secara fisik akan

menngindensi/melipat sklera, koroid, dan lapisan fotosensitif ke epitel

berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke


jaringan pendukung di bawahnya, maka fungsi fisiologisnya normalnya

dapat dikembalikan.

4. Usaha Pre-operatif :

Sedikitnya 5 – 7 hari sebelum operasi, penderita sudah harus masuk

rumah sakit, harus tirah baring sempurna (Bedrest total).  Kepala dan mata

tidak boleh digerakan, mata harus di tutup segera, segala keperluan pen-

derita dibantu. Kedua mata ditetesi midriatik sikloplegik seperti: Atropin

tetes 1 % jangan menggunakan obat-obat mata dalam bentuk salep mata

karena akan menghalangi jalannya operasi (kornea akan keruh akibat

salep).  Persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi katarak, operasi

ablasio retina mengguna kan anestesi umum tetapi bila menggunakan

anestesi lokal maka 1 jam sebelum operasi diberikan luminal (100 mg) atau

largactil (100 mg) IM, kemudian ½ jam sesudahnya diberi pethidine (50

mg) dan phenergan (25 mg) IM.

5. Usaha Post-operatif :

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam perawatan adalah posisi

kepala, per-gerakan mata, obat-obat, lamanya mobilisasi dan pemeriksaan

lanjutan (follow –up). Posisi kepala dan badan, arah miringnya kepala,

tergantung posisi/keadaan sewaktu operasi yaitu kearah mana punksi cairan

subretina dilakukan. Pada robekan yang sangat besar, posisi kepala dan

badan  dipertahankan sedikitnya 12 hari.  Pergerakan mata, bila operasi

dilakukan dengan kombinasi cryo atau diathermi koagulasi dengan suatu

implant atau scleral buckling, maka kedua mata ditutup selama 48 – 72 jam

sedang badan boleh bergerak untuk mencegah pergerakan matanya. Bila


hanya menggunakan cryo atau diathermi saja mata ditutup selama 48 jam

samapai cairan subretina diabsobsi. Bila robekan belum semua tertutup,

maka kedua mata harus ditutup selama 12 – 14 hari, retina menempel

kembali dengan kuat pada akhir minggu ketiga setelah operasi, karena itu

selama periode 3 minggu itu diberikan instruksi sebagai berikut :

a. Jangan membaca.

b. Melihat televisi hanya boleh dari jarak 3 meter.

c. Mata diusahakan untuk melihat lurus kedepan, bila berkendaran

hendaknya mata di tutup.

6. Obat – obat :

Selama 24 jam post-operasi diberikan obat anti nyeri (analgesik) 3 X

500 mg, bila mual muntah berikan obat anti muntah.  Sesudah 24 jam tidak

perlu diberikan obat-obat, kecuali bila merasa sakit.  Penggantian balut

dilakukan setelah 24 jam, saat itu mata ditetesi dengan Atropin tetes steril 1

%.  Bila kelopak mata bengkak, diberikan Kortikosteroid lokal disertai

babat tindih (druk verban) dan kompres dingin. 

7. Follow Up:

Setelah pulang, penderita kontrol tiap 1 minggu, 3 minggu, 6 minggu

kemudian tiap 3, 6 dan 12 bulan.  Refraksi stabil setelah 3 bulan pasca

bedah.  Visus terlihat kemajuannya setelah 1 tahun pasca bedah.

8. Prognosis :

90 % detachmen retina setelah enam bulan melekat baik tidak akan lepas

lagi.

I. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal setelah pembedahan

a. Peningkatan TIO 

b. Glaukoma 

c. Infeksi 

d. Ablasio koroid 

e. Kegagalan pelekatan retina 

f. Ablasio retina berulang 

2. Komplikasi lanjut

a. Infeksi 

b. Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola

mata 

c. Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina) 

d. Diplopia 

e. Kesalahan refraksi 

f. Astigmatisme
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Pengumpulan data

Identitas klien meliputi : nama, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa,

pekerjaan, bahasa, nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa

medis.

2. Riwayat penyakit sekarang

Adanya keluhan pada pengelihatan seperti : pengelihatan menurun melihat

seperti ada kilat cahaya dalam lapangan pandang adanya tirai hitam yang

menutupi pengelihatan.

3. Riwayat penyakit dahulu

Apakah klien pernah menderita penyakit ablosio retina sebelumnya miopi,

retinopati serta pernahkan klien mengalami trauma.

4. Riwayat penyakit keluarga

Adakah riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita

ablosio retina ataupiun yang menderita miopi.

5. Riwayat psikososial dan spiritual

Bagaimana hubungan pasien dengan orang-orang disekitarnya serta

bagaimana koping mekanisme yang digunakan oleh pasien dalam


menghadapi masalah serta bagaimana tentang kegiatan ibadah yang

dilakukan.

6. Pola-pola funsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup

Kemampuan merawat diri pasien menurun dan juga terjadi perubahan

pemeliharaan kesehatan.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Pada klien tidak mengalami perubahan nutrisi dan metabolisme.

c. Pola aktivitas dan latihan

Biasanya pada pola ini pasien mengalami ketidak aktifan diri dan

ganguan.

d. Pola eliminasi

Pada klien tidak mengalami gangguan dan perubahan eliminasi.

e. Pola tidur dan istirahat

Pola tidur klien berubah sampai berkurangnya pemenuhan kebutuhan

tidur klien.

f. Pola persepsi dan kognitif

Pengelihatan klien kabur, adanya tirai dan adanya kilatan cahaya pada

pengelihatan.
g. Pola pesepsi dan konsep diri

Klien merasa resah dan cemas akan terjadi kebutaan.

h. Pola hubungan dan peran

Hubungan klien dengan orang disekitarnya menurun begitu juga dalam

melaksanakan perannya.

i. Pola reproduksi dan seksual

Pola ini tidak mengalami gangguan.

j. Pola penanggulangan stress

Biasanya klien sering bertanya kapan akan dilakukan tindakan operasi

dan merasa cemas karena takut terjadinya kecacatan pada penglihatan.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Pola ini tidak mengalami gangguan.

7. Pemeriksaan

a. Status kesehatan umum

Bagaimana keadaan penyakit dan tanda-tanda vitalnya.

b. Pemeriksaan mata

Pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen, yaitu

1) Pemeriksaan segmen anterior :


a) Adanya pembengkakan pada palpebrae atau tidak, biasanya pada klien

post operasi ablasio retina, palpebraenya akan bengkak.

b) Keadaan lensa, bila tidak ada konplikasi lain, maka keadaan lensanya

adalah jernih.

c) Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang

telah masuk rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian

atropin.

d) Kamera Okuli Anteriornya biasanya dalam.

e) Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi

akan mengalami hiperemi pada konjungtivanya.

2) Pemeriksaan segmen posterior

a) Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.

b) Ada atau tidak pupil syaraf optiknya.

3) Pemeriksaan diagnostik

a) Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau

tidak dan untuk mengetahui sisa penglihatan yang masih ada.

Pengujian ini dengan menggunakan kartu snelen yang dibuat

sedemikian rupa sehingga huruf tertentu yang dibaca dengan pusat

optik mata membentuk sudut 500 untuk jarak tertentu. Pada ablasio

retina didapatkan penurunan tajam penglihatan.


b) Fundus kopi, untuk mengetahui bola mata seperti warna retina,

keadaan retina, reflek dan gambaran koroid.

B. Diagnosa

1. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d penurunan ketajaman

penglihatan.

2. Resiko tinggi infeksi b.d robekan retina.

C. Intervensi

1. Gangguan persepsi sensori : penglihatan

Definisi : Perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun

eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau

terdistorsi.

Penyebab : Gangguan penglihatan

Outcome/Luaran : Persepsi sensori membaik (L.09083)

Intervensi keperawatan : Minimalisasi rangsangan (i.08241)

1) Observasi

- Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (mis.

nyeri, kelelahan)

2) Terapeutik

- Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (mis. bising,

terlalu terang).
- Batasi stimulus lingkungan (mis. cahaya, suara, aktivitas).

- Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat.

- Kombinasikan prosedur/tindakan dalam satu waktu, sesuai kebutuhan

3) Edukasi

- Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis. mengatur pencahayaan

ruangan, mengurangi kebisingan, membatasi kunjungan)

4) Kolaborasi

- Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan.

- Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus.

2. Resiko infeksi

Definisi : Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.

Faktor Resiko : Penyakit Kronis, efek prosedur infasif, malnutrisi,

peningkatan paparan organisme patogen lingkungan, ketidakadekuatan

pertahanan tubuh perifer : gangguan peristltik, kerusakan integritas kulit,

perubahan sekresi PH, penurunan kerja siliaris, ketuban pecah lama,

ketuban pecah sebelum waktunya, merokok, statis cairan tubuh,

ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder, penurunan hemoglobin,

imunosupresi, leukopenia, supresi respon inflamasi, vaksinasi tidak adekuat.

Outcome/Luaran : Tingkat infeksi menurun (L. 14137)


Intervensi keperawatan

 Pencegahan infeksi (i.14539)

1) Observasi

- Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi

- Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi

- Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan

kesehatan

2) Terapeutik

- Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral

- Dokumentasikan informasi vaksinasi

- Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat

3) Edukasi

- Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek

samping

- Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah

- Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun

saat ini tidak diwajibkan pemerintah

- Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus


- Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti

mengulang jadwal imunisasi kembali

- Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang

menyediakan vaksin gratis

 MANAJEMEN IMUNISASI/ VAKSIN (I. 14508)

4) Observasi

- Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi

- Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi

- Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan

kesehatan

5) Terapeutik

- Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral

- Dokumentasikan informasi vaksinasi

- Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat

6) Edukasi

- Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek

samping

- Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah


- Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun

saat ini tidak diwajibkan pemerintah

- Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus

- Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti

mengulang jadwal imunisasi kembali

- Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang

menyediakan vaksin gratis

D. Implementasi

Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah

ditentukan, meliputi tindakan dependent, independent, dan interdependent,

usaha tersebut dilakukan untuk membantu klien dalam mencegah masalahnya

serta membantu untuk memenuhi kebutuhan klien. Tahap pelaksanaan

dilakukan berdasarkan rencana tindakan yang telah ditentukan pada tahap

perencanaan dan juga harus disesuaikan dengan kondisi klien saat dilakukan

tindakan.

E. Evaluasi.

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, tahap ini

dimaksudkan untuk menilai apakah tujuan, kriteria hasil sudah tercapai atau

belum dan untuk melakukan pengkajian ulang. Evaluasi berhasil bila tujuan

dan kriteria hasil sudah tercapai, begitu pula sebaliknya.


DAFTAR PUSTAKA

Bachruddin, M. dan Najib, M., 2016. Keperawatan Bedah Medikal. Kementrian

kesehatan republik Indonesia. Pusat pendidikan sumber daya manusia

kesehatan. Badan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia

kesehatan.

Darling, Vera H., dan Thorpe, Margaret R. 1996. Perawatan Mata. Terjamahan

Hartono. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.

Smeltzer, Suzanne C. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &

Suddart. Alih Bahasa: Agung Waluyo. Edisi: 12. Jakarta: EGC.

Ignatavicius, Donna D and Workman M. Linda. (2011). Medical Surgical

Nursing:Patient Centered Collaborative Care. 6 th Edition. Canada: WB

Saunders Company.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia

(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai