Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN SKIZOFRENIA

PARANOID DENGAN MASALAH PERUBAHAN PERSEPSI


SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR

PUTRA
Nomor Induk Mahasiswa : 18.01.0038

AKADEMI KEPERAWATAN PANGKALPINANG


PANGKALPINANG
TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau

bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya

kualitas hidup manusia yang utuh. Sebagai bagian yang utuh dan kualitas

hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia.

Kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan

sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang mempunyai perasaan sehat dan

bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang

lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri

dan orang lain (Susilowati, 2019).

Menurut UU No.18 Tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana

seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spritual, dan sosial

sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi

tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi

untuk komunitasnya. Salah satu jenis gangguan jiwa yang sering terjadi

adalah skizofrenia.

Skizofrenia merupakan penyakit atau gangguan jiwa kronis yang

dialami oleh 1% penduduk. Gejala –gejala yang serius dan pola perjalanan

penyakit yang kronis berakibat distabilitas pada penderita skizofrenia.

Skizofrenia terjadi pada 15-20/100.000 individu per tahun, dengan resiko

seumur hidup 0,7% dan ini lebih besar daripada wanita (1.4:1) dan puncak

7
kejadian terjadi pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Gejala awal pada

skizofrenia meliputi halusinasi (Saptarani, 2020).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien

mengalami penghayatan dan mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak

terjadi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren persepsi palsu. Penyebab

pasien mengalami halusinasi adalah ketidakmampuan pasien dalam

menghadapi stressor dan kurang kemampuan dalam mengontrol halusinasi.

Pada pasien halusinasi dampak yang akan terjadi adalah munculnya histeria,

rasa lemah, pikiran buruk, ketakutan yang berlebihan dan tidak mampu

mencapai tujuan (Aisyah, 2019).

Jumlah penderita skizofrenia di dunia mencapai 21.000.000 orang.

Gangguan jiwa terdiri dari beberapa masalah, gejala yang berbeda dengan

ciri-ciri kombinasi pemikiran abnormal, emosi, perilaku, dan hubungan

orang lain. Seperti skizofrenia, depresi, cacat intelektual, dan gangguan

penyalagunaan narkoba (WHO, 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan bahwa di

Indonesia terdapat 7,1 ‰ rumah tangga yang memiliki penderita gangguan

jiwa. Angka ini mengindikasikan terdapat 7 rumah tangga dengan penderita

ODGJ di tiap 1.000 rumah tangga, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar

450 ribu ODGJ berat. Kemenkes RI mencatat selama pandemi covid-19,

hingga Juni 2020, ada sebanyak 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia.

Jumlah kasus iini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019 yang

hanya 197 ribu orang, Terjadinya peningkatan kasus kesehatan jiwa tersebut
diakibatkan terbatasnya akses dan permasalahan sosial yang dialami

masyarakat sehingga mereka mengalami depresi (Kemenkes RI, 2020).

Livana, (2018) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan

oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya.

Pasien akan mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi.

Pada situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh

orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan Untuk memperkecil

dampak yang ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.

Dengan banyaknya angka kejadian halusinasi, semakin jelas bahwa

dibutuhkan peran perawat untuk membantu pasien agar dapat mengontrol

halusinasinya. Peran perawat dalam menangani halusinasi di rumah sakit

antara lain melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas

kelompok, dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi.

Standar asuhan keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan

halusinasi. Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan

keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk

mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Livana, 2018).

Berdasarkan data dan permasalahan yang sering timbul pada klien

yang mengalami halusinasi, maka penulis tertarik untuk mengangkat

masalah ini dan membuat Proposal tugas akhir dengan judul: ”Asuhan

Keperawatan Jiwa pada Pasien Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi

Pendengaran”.
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien

Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penulis mampu mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata

tentang pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada pasien gangguan

persepsi sensori halusinasi pendengaran dengan menggunakan pendekatan

proses keperawatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Melakukan pengkajian pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran yang meliputi pengumpulan data, pengelompokkan data,

analisa masalah, serta membuat pohon masalah.

1.2.2.2 Melakukan diagnosa keperawatan pada pasien gangguan persepsi sensori

halusinasi pendengaran untuk mengatasi atau mengurangi masalah

pasien.

1.2.2.3 Merencanakan tindakan keperawatan, mampu menyusun rencana

keperawatan pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran untuk mengatasi atau mengurangi masalah pasien.

1.2.2.4 Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan

pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran.

1.2.2.5 Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan

berdasarkan tujuan pada klien dengan masalah utama gangguan persepsi

sensori halusinasi pendengaran.


1.2.2.6 Mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan secara narasi

pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran.

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan/Akademi Keperawatan Pangkalpinang

Sebagai referensi bagi mahasiswa, mengenai pelaksanaan asuhan

keperawatan jiwa pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi

pendengaran.

1.4.2 Bagi Perawat

Dapat menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan gambaran

dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien :halusinasi

pendengaran serta mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang telah didapatkan selama pendidikan ke lahan praktek

secara langsung dan nyata.

1.4.3 Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan suatu karya penelitian baru yang dapat mendukung

dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan

jiwa.

1.4.4 Bagi Klien dan Keluarga

Supaya pasien dan keluarga dapat mengetahui gambaran umum

tentang gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran beserta

perawatan yang benar bagi klien agar penderita mendapat perawatan yang

tepat dalam keluarganya


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Definisi

Skizofrenia Paranoid adalah sindrom heterogen kronis yang

ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan

prilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial (Nurarif

& Kusuma, 2015). Penyakit skizofrenia Paranoid atau schizophrenia artinya

kepribadian yang pecah antara pikiran, perasaan dan perilaku. Dalam artian

apa yang dilakukan tidak sesuai dengan pikiran dan perasaannya (Prabowo,

2014).

Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat dan

menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga

merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak jaman dahulu.

Meskipun demikian, pengetahuan tentang sebab –musabab dan

patogenisnya sangat kurang. Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai

kontak dengan realitas sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal

(Sutejo, 2017).

2.1.2 Etiologi

Prabowo (2014) menjelaskan penyebab dari skizofrenia dalam model

diathesis-stres, bahwa Skizofrenia Paranoid timbul akibat faktor psikososial

dan lingkungan. Di bawah ini pengelompokkan penyebab skizofrenia yaitu :


2.1.2.1 Faktor Biologi

1) Komplikasi kelahiran

Bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan

sering mengalami skizofrenia Paranoid, hipoksia perinatal akan

meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.

2) Infeksi

Perubahan anatomi pada susunan syaraf puat akibat infeksi

virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia Paranoid.

Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester

kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia

Paranoid.

3) Hipotesis Dopamin

Dopamin merupakan neurotransmitter pertama yang

berkontribusi terhadap gejala skizofrenia Paranoid. Hampir semua

obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor

dopamine D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di system

dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan

pengamatan diatas dikemukanan bahwa gejala-gejala skizofrenia

Paranoid disebabkan oleh hiperaktivitas system dopaminergik.

4) Hipotesis Serotonin

Gaddum Woodley dan Show tahun 1954 mengobservasi efek

lysergic acid diethylamide yaitu suatu zat yang bersifat campuran

agonis/ antagonis reseptor 5-HT. Ternyata zat ini menyebabkan

keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin


berperan pada skizofrenia kembali mengemuka karena penelitian obat

antipsikotik atipikal clozapine yang ternyata mempunyai afinitas

terhadap reseptor serotonin 5-HT lebih tinggi dibandingkan

reseptordopamin D2.

5) Struktur Otak

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah

system limbic dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia

terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat

melebar, penurunan aktifitas metabolik. Pemeriksaan mikroskopis dan

jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak

yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditmukannya sel gila,

biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.

2.1.2.2 Faktor Genetika.

Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan

1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai

hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun

perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan

derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan

lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai

65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12 %.

Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40% satu orang

tua 12%.

Sebagai ringkasan hingga sekarang kita belum mengetahui dasar

penyebab Skizofrenia. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan


mempunyai pengaruh/ faktor yang mempercepat yang menjadikan

manifestasi/ faktor pencetus seperti penyakit badaniah/ stress psikologis.

2.1.3 Tipe Skizofrenia

Pembagian skizofrenia menurut Prabowo (2014) antara lain :

2.1.3.1. Skizofrenia Simplek

Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa

kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir

sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini

timbulnya perlahan-lahan (Probowo, 2014).

2.1.3.2. Skizofrenia Bebefrenik

Permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa

remaja/antara 15-25 tahun gejala yang menyolok adalah proses berfikir,

gangguan kemauan dan adanya derpersonalisasi/ manerism/ perilaku

kekanak-kanakan sering terdapat pada bebefrenik, waham dan halusinasi

banyak sekali (Prabowo, 2014).

2.1.3.3. Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta

sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah

katatonik atau stupor katatonik (Prabowo, 2014).

2.1.3.4. Stupor katatonik

Pada stupor katatonik penderita tidak menunjukan perhatian sama

sekali terhadap lingkungannya.


2.1.3.5. Jenis Paranoid

Gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai dengan waham-

waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata

adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan kemauan

(Prabowo, 2014).

2.1.3.6. Episode Skizofrenia akut

Gejala skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam

keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini

timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah,

semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus baginya

(Prabowo, 2014).

2.1.3.7. Skizofrenia Residual

Keadaan skizofrenia dengan gejala primernya Blueler, tetapi tidak

jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa

kali serangan skizofrenia (Prabowo, 2014).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Prabowo (2014), adapun gejala-gejala skizofrenia yang dapat

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :

2.1.4.1. Gejala Primer

1) Gangguan Proses Pikir (bentuk, langkah dan isi pikiran).

Pada Skizofrenia ini gangguan memang terdapat pada proses

pikiran yang terganggu terutama ialah asosiasi, kadang-kadang satu

ide belum selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Seseorang dengan

Skizofrenia juga mempunyai kecendrungan untuk menyamankan hal-


hal, kadang-kadang pikiran seakan-akan berhenti, tidak timbul ide

lagi. Keadaan ini dinamakan “Blocking” biasanya berlansung

beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.

2) Gangguan Afek Emosi

Gangguan ini pada skizofrenia mungkin, berupa :

(1) Kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting )

(2) Parathim : Apa yang seharusnya menimbulkan rasa sayang dan

gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah.

(3) Paramimi : Penderita senang dan gembira, akan tetapi menangis.

Kadang-kadang emosi dan efek serta ekspresinya tidak

mempunyai kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya

penderita menangis berhari-hari tetapi mulutnya tertawa.

(4) Emosi yang berlebihan sehingga kelihatan seperti dibuat-buat

seperti sedang sandiwara.

3) Gangguan Kemauan

Banyak penderita dengan Skizofrenia mempunyai kelemahan

kemauan mereka tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat

bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memerikan alasan,

meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat atau mereka menganggap

hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.

4) Gejala Psikomotor

Gejala ini juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau

gangguan perbuatan kelompok, gejala ini oleh Bleuker dimasukkan


kedalam kelompok gejala Skizofrenia yang sekunder sebab didapati

juga pada penyakit lain.

5) Gejala Sekunder

(1) Waham

Pada Skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan

sangat bizar Mayer-gross membagi dalam 2 kelompok yaitu

waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa

penyebab apa-apa dari luar dan waham sekunder biasanya logis

kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita

untuk menerangkan gejala-gejala Skizofrenia lain.

(2) Halusinasi

Pada Skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran

timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu

gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain. Paling

sering pada Skizofrenia ialah halusinasi pendengaran (aditif dan

akustik). Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman

(olfaktoris), halusinasi cita rasa (gustatorik) atau halusinasi

singguran (taktik). Halusinasi penglihatan agak jarang pada

Skizofrenia, lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan

dengan sindroma atau organik.

2.1.5 Penatalaksanaan

2.1.5.1. Penggunaan Obat Antipsikosis

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut

antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan


perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat

mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau

kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien (Nurarif

& Kusuma, 2015).

Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu:

1) Antipsikotik Konvensional

Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya disebut

antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik

konvensional seiring menimbulkan efek samping yang serius. Contoh

obat antipsikotik konvensional anatara lain:

(1) Haldol (haloperidol) Sediaan Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5

mg, dan Injeksi 5 mg/ml, dosis 5-15 mg/hari

(2) Stelazine (trifluoperazine) sediaan Trifluoperazin Tablet 1 mg dan

5 mg, dosis 10-15 mg/hari

(3) Mellaril (thioridazine} sediaan Tioridazin tablet 50 dan 100 mg,

dosis 150-600 mg/hari

(4) Thorazine (chlorpromazine) Sediaan klorpromazin Tablet 25 dan

100 mg dan Injeksi 24 mg/ml, dosis 150-600mg/hari

(5) Trilafon (perphenazine) Sediaan perfenazin Tablet 2, 4, 8 m,

dosis 12-24

mg/hari

(6) Prolixin (fluphenazine) Sedian Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg,

dosis 10-15 mg/hari Sediaan Flfenazin dekanoat Injeksi 25 mg/ml,

dosis 25 mg/24 minggu. Akibat brbagai efek samping yang


ditimbulkan olen antipsikoik konvensiona, banyak ahli lebih

merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycoic. Ada 2

pengecualian (harus dengan antipsikotik konvensional). Pertama,

pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang

pesat mengunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping

yang berarti. Kedua, bila pasin mengalami kesulitan minum pil

secara regular.

2) Newer atypical antipsycotics

Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena

prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping

bila dibandngkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa

contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain:

(1) Risperdal (risperidone) Sediaan Tablet 1, 2, 3 mg, dosis 26 mg/

hari

(2) Seroquel (quetiapine) Sediaan Tablet 1, 2 mg, dosis 25 mg/ hari

(3) Zyprexa (olanzapine) Sediaan Tablet 1, 2 mg, dosis 20 mg/ hari

(4) Clozaril (clozapine) Sediaan Tablet 1, 2 mg, dosis 12,5 mg/ hari

Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius

dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clorazil dapat menurunkan

jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya,

pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah

putihnya secara regular.


2.1.5.2. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Merupakan suatu jenis pengobatan untuk gangguan jiwa dengan

menggunakan aliran listrik yang dialirkan ke tubuh.

2.1.5.3. Pembedahan bagian otak

Merupakan sebuah tidakan medis yang bertujuan utama untuk

memperbaiki gangguan atau adanya masalah struktural pada otak.

2.1.5.4. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)

Untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu

dalam upaya peningkatkan kesehatan.

2.1.5.5. Psikoterapi

Mengurangi gangguan psikologis, mengatasi pola perilaku yang

terganggu, mengembangkan potensi klien.

1) Terapi Psikoanalisa

Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep

Freud. Tujuan psikoanalisa adalah menyadarkan individu akan konflik

yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya

untuk mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling penting pada

terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita.

2) Terapi Perilaku (Behavior)

Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian

klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata.

Para terapist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon

malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau

mempertahankan prilaku itu dalam masyarakat. Paul dan Lentz


menggunakan dua bentuk program psikososial untuk mengingatkan

fungsi kemandirian.

(1) Social Learning Program.

Menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari perilaku-

perilaku yang sesuai.

(2) Social Skills Training.

Terapi ini melatih penderita mengenai keterampilan atau keahlian

sosial.

(3) Terapi Humanistik

Terapi kelompok dan terapi keluarga.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien

Perubahan Persepsi : Halusinasi Pendengaran terbagi 2 yaitu:

1) Pemeriksaan psikiatri

Pemeriksaan gangguan jiwa berbeda dengan pemeriksaan medis

pada umumnya karena pasien tidak sepenuhnya mempunyai

kemampuan untuk menyadari adanya gangguan jiwa.

2) Pemeriksaan psikometri

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengevaluasi bakat, kepribadian,

tingkah laku, kemampuan seseorang.

2.1.6.2. Pemeriksaan lain jika diperlukan;

Darah rutin, Fungsi hepar, Faal ginjal, Enzim hepar, EKG, CT scan, EEG.
2.1.7 Riwayat Klinis Skizofrenia

Prabowo (2014) menyebutkan bahwa riwayat klinis Skizofrenia sering

kali rumit dan cenderung terjadi dalam 3 fase, yaitu :

1.1.7.1 Fase Prodomal

1) Kemunduran dalam waktu lama (6 sampai 12 bulan) dalam tingkat

fungsi perawatan diri, social, waktu luang, pekerjaan, atau akademik.

2) Timbul gejala positif dan negative.

3) Periode kebingungan pada klien dan keluarga.

1.1.7.2 Fase Aktif

1) Permulaan intervensi asuhan kesehatan, khususnya hospitalisasi.

2) Pengenalan pemberian obat dan modalitas terapeutik lainnya.

3) Perawatan difokuskan pada rehabilitasi psikiatrik saat klien belajar

untuk hidup dengan penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan,

dan perilaku.

2.1.7.3 Fase Residual

1) Pengalaman sehari-hari dengan penanganan gejala.

2) Pengurangan dan penguatan gejala.

3) Adaptasi

3.1.7 Masalah Keperawatan yang Muncul

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), masalah yang sering muncul sebagai

berikut:

2.1.8.1 Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain


2.1.8.2 Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
2.1.8.3 Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
2.1.8.4 Ketidakefektifan koping
2.1.8.5 Resiko pelemahan martabat
2.1.8.6 Resiko gangguan identitas diri

2.1.9 Discharge Planning

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Discharge Planning yang harus

dilakukan:

2.1.9.1 Hindari kebiasaan menyendiri

2.1.9.2 Berusaha untuk menceritakan masalah yang ada dengan teman terdekat

2.1.9.3 Kenali gejala-gejala penyakit dan konsultasikan ke dokter

2.1.9.4 Konsumsi makanan yang bergizi

2.1.9.5 Observasi secara ketat perilaku klien

2.1.9.6 Singkirkan semua benda yang berbahaya

2.1.9.7 Berikan obat dan berkesinambungan

2.1.9.8 Menurunkan ketegangan

2.1.9.9 Periksa mulut penderita setelah minum obat

2.1.9.10 Alihkan jika halusinasi

2.1.9.11 Fokus dan kuatkan realita

2.2 Halusinasi

2.2.1 Definisi Halusinasi

Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa, dimana klien

merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami

perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan perabaan atau penciuman (Sutejo, 2017).

Menurut Prabowo (2014), halusinasi merupakan gangguan atau

perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang


sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indera tanpa ada

rangsangan dari luar.

Halusinasi adalah pengideraan tanpa rangsangan eksternal yang

berhubungan dengan salah satu jenis indera tertentu yang khas (Dermawan

& Rusdi, 2013).

2.2.2 Etiologi

Menurut Dermawan & Rusdi (2013), etiologi halusinasi dapat dilihat

dari 5 dimensi, yaitu :

2.2.2.1 Dimensi fisik

Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tetapi yang paling sering

ditemukan adalah halusinasi pendengar, halusinasi dapat ditimbulkan dari

beberapa kondisi seperti kelelahan yang luar biasa. Pengguna obatobatan,

demam tinggi hingga terjadi delirium intoksikasi, alkohol dan kesulitan-

kesulitan untuk tidur dan dalam jangka waktu yang lama.

2.2.2.2 Dimensi emosional

Terjadinya halusinasi karena ada perasaan cemas yang berlebih yang

tidak dapat diatasi. Isi halusinasi berupa perintah memaksa dan

menakutkan yang tidak dapat dikontrol dan menentang, sehingga

menyebabkan klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

2.2.2.3 Dimensi intelektual

Penunjukkan penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan

usaha ego sendiri melawan implus yang menekan dan menimbulkan

kewaspadaan mengontrol perilaku dan mengambil seluruh perhatian klien.


2.2.2.4 Dimensi sosial

Halusinasi dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang tidak

memuaskan sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan

kecemasan akibat hilangnya kontrol terhadap diri, harga diri, maupun

interaksi sosial dalam dunia nyata sehingga klien cenderung menyendiri

dan hanya bertuju pada diri sendiri.

2.2.2.5 Dimensi spiritual

Klien yang mengalami halusinasi yang merupakan makhluk sosial,

mengalami ketidakharmonisan berinteraksi. Penurunan kemampuan untuk

menghadapi stress dan kecemasan serta menurunnya kualitas untuk menilai

keadaan sekitarnya. Akibat saat halusinasi menguasai dirinya, klien akan

kehilangan kontrol terhadap kehidupanya.

Menurut Dermawan & Rusdi (2013), terjadinya halusinasi

disebabkan karena

1) Teori psikoanalisa

Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan

rangsangan dari luar yang mengancam, ditekan untuk muncul akan

sabar.

2) Teori biokimia

Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress

yang mengakibatkan dan melepaskan zat halusinogenik neurokimia

seperti bufotamin dan dimetyltransferase.


Dermawan & Rusdi (2013), mengemukakan beberapa teori yaitu:

1) Teori psikofisiologi

Terjadi akibat ada fungsi kognitik yang menurun karena

terganggunya fungsi luhur otak, oleh karena kelelahan, karacunan dan

penyakit.

2) Teori psikodinamik

Terjadi karena ada isi alam sadar dan akan tidak sadar yang masuk

dalam alam tak sadar merupakan sesuatu atau respon terhadap konflik

psikologi dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi

adalah gambaran atau proyeksi dari rangsangan keinginan dan

kebutuhan yang dialami oleh klien.

3) Teori interpersonal

Teori ini menyatakan seseorang yang mengalami kecemasan berat

dalam situasi yang penuh dengan stress akan berusaha untuk

menurunkan kecemasan dengan menggunakan koping yang biasa

digunakan.

2.2.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap

klien adalah sebagai berikut Sutejo, 2017).

2.2.3.1 Data Subjektif

1. Mendengar suara-suara atau kegaduhan

2. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap

3. Mendengar suara yang menyuruh melakukan tindakan berbahaya


4. Melihat bayangan sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat

hantu atau monster

5. Mencium dan merasakan bau-bauan, seperti darah, urine atau feses

6. Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.

2.2.3.2 Data Objektif

1. Bicara atau tertawa sendiri

2. Marah-marah tanpa sebab

3. Mengarahkan telinga kearah tertentu

4. Menutup telinga

5. Menunjuk-nunjuk kearah tertentu

6. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas

7. Mencium sesuatu seperti sedang membau-bauan tertentu

8. Menutup hidung

9. Sering meludah

10. Muntah

11. Menggaruk-garukan permukaan kulit

2.2.4 Fase-fase Teradinya Halusinasi

Depkes RI (2000) dalam Dermawan & Rusdi (2013), menyatakan

fase halusinasi adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Fase-Fase Terjadinya Halusinasi

Fase/Tahap Karakteristik Perilaku Klien


Fase I : Comforting - Mengalami anesiatas - Tertawa/tersenyum yang
- Menyenangkan atau kesepian, rasa bersalah tidak sesuai
memberi rasa nyaman dan ketakutan - Menggerakkan bibir tanpa
- Tingkat anesietas - Mencoba berfokus suara
sedang secara umum pada pikiran yang - Pergerakan mata yang
halusinasi merupakan dapat menghilangkan cepat
suatu kesenangan anesietas - Respon verbal yang lambat
- Pikiran dan - Diam dan dipenuhi sesuatu
pengalaman sensori yang mengasyikan
masalah ada dalam
kontrol kesadaran non
psikotik
Fase II : Condeming - Pengalaman sensorik - Ansietas : terjadi
Halusinansi menjadi menakutkan peningkatan denyut
menjijikan - Merasa dilecehkan oleh jantung RR dan TD
- Menyalahkan alam sensorik tersebut - Perhatian dengan
- Tingkat kecemasan - Mulai merasa lingkungan kurang
berat secara umum kehilangan kontrol - Penyempitan kemampuan
halusinasi - MD dari orang lain konsentrasi
menyebabkan rasa Non Psikotik - Kehilangan kemampuan
antipati membedakan halusinasi
dengan realita
Fase III : Controling - Klien menyerahkan - Perintah halusinasi ditaati
- Tingkat kecemasan dan menerima - Sulit berhubungan dengan
berat pengalaman sendiri orang lain
- Mengontrol/mengendali (Halusinasi) - Perhatian terhadap
kan - Isi halusinasi menjadi lingkungan kurang atau
- Pengalaman sensori atraktif hanya beberapa detik
(halusinasi) tidak dapat - Kesepian bila - Gejala fisik ansietas berat:
ditolak lagi pengalaman sensori berkeringat, tremor,
berakhir psikotik ketidakmampuan
mengikuti pentunjuk
Fase IV : Conquering - Pengalaman sensorik - Perilaku panik
- Klien panik menakutkan jika klien - Resiko tinggi menciderai :
- Menakutkan tidak mengikuti bunuh diri/membunuh
- Klien sudah dikuasai perintah halusinasi orang lain
oleh halusinasi - Bisa berlangsung dalam - Refleksi isi halusinasi :
beberapa jam atau hari amuk, agitasi,menarik diri
apabila tidak ada terapi atau katatonik.
terapeutik - Tidak mampu berespon
- Psikotik berat terhadap petunjuk yang
komplek.
- Tidak mampu berespon
terhadap lebih dari satu
orang.

2.2.5 Jenis-Jenis Halusinasi

Jenis – jenis halusinasi Menurut Dermawan & Rusdi (2013), yaitu:

2.2.5.1 Halusinasi Non Patologis

Menurut NAMI (National Alliance For Mentally III) halusinasi dapat

terjadi pada seseorang yang bukan penderita gangguan jiwa. Pada


umumnya terjadi pada klien yang mengalami stress yang berlebihan atau

kelelahan, bisa juga karena pengaruh obat-obatan (halusinasinogenik).

Halusinasi ini antara lain:

1) Halusinasi hiponogonik: persepsi sensori palsu yang terjad saat

sebelum seseorang jatuh tertidur.

2) Halusinasi hipnoponik: persepsi sensori palsu yang terjadi pada saat

seseorang terbangun tidur.

2.2.5.2 Halusinasi Patologis

Halusinasi ada 5 macam, yaitu:

1) Halusinasi Pendengar (Auditory)

Klien mendengar suara dan bunyi tidak berhubungan dengan

stimulasi nyata dan orang lain tidak mendengarnya..

2) Halusinasi Penglihatan (Visual)

Klien melihat gambar yang jelas atau samar tanpa stimulus yang

nyata dan orang lain tidak melihat.

3) Halusinasi Pencium (Olfactory)

Klien mencium bau yang muncul dari sumber tentang tanpa stimulus

yang nyata dan orang lain tidak mencium.

4) Halusinasi Pengecapan (Gusfactory)

Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata. Biasa merasakan

makanan yang tidak enak.

5) Halusinasi Perabaan (Taktil)

Klien merasakan sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata.


2.2.6 Rentang Respon Neurobiologi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang

berada dalam rentang respon neurobiologi (Prabowo, 2014). Ini

merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat

persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan

stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera

(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien

dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun

sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Diantara kedua respon tersebut

adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan

persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang

disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi yang

dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus

yang diterima. Rentang respon halusinasi dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

Respon Adaktif Respon Maladaptif

Pikiran logis Pikiran kadang menyimpang Kelalaian pikiran


Persepsi akurasi Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosional berlebihan Ketidakmampuan
Perilaku sesuai Perilaku tidak lazim untuk Emosi
Hubungan sesuai mengalami
Ketidakteraturan Menarik diri

Skema 2.1 Rentang Respon Halusinasi (Stuart & Sundeen, 1998


dalam Prabowo, 2014)
2.2.7 Mekanisme Koping

Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi

menurut Prabowo (2014) meliputi:

2.2.7.1 Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari.

2.2.7.2 Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk

mengalihkan tanggung jawab kepaada orang lain.

2.2.7.3 Menarik diri : sulit mempercayai orang lain.

2.2.8 Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri,


Effect
orang lain dan lingkungan

Perubahan sensori persepsi:


Care Problem
Halusinasi

Gangguan konsep diri:


Harga diri rendah Causa

Skema 2.2 Pohon Masalah (Nurarif & Kusuma, 2015).


2.3 Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Utama Persepsi

Halusinasi Pendengaran.

2.3.1 Pengkajian

2.3.1.1 Pengkajian Keperawatan

Menurut Dermawan dan Rusdi (2013), pengkajian keperawatan

pada halusinasi sebagai berikut :

1. Faktor presipitasi

1) Sosial budaya

Teori ini mengatakan bahwa stres lingkungan dapat menyebabkan

terjadi respon neurobiologis yang maladaptif, misalnya

lingkungan yang penuh dengan kritik (bermusuhan); kehilangan

kemandirian dalam kehidupan; kehilangan harga diri; kerusakan

hubungan interpersonal dan gangguan dalam hubungan

interpersonal; kesepian; tekanan dalam pekerjaan dan kemiskinan.

Teori ini mengatakan bahwa stres yang menumpuk dapat

menunjang terhadap terjadinya gangguan psikotik tetapi tidak

diyakini sebagai penyebab utama gangguan (Dermawan dan

Rusdi, 2013).

2) Biokimia

Dopamine, noreprineprin, zat halusinogen dapat menimbulkan

persepsi yang dingin oleh klien sehingga klien cenderung

membenarkan apa yang dikhayal (Dermawan dan Rusdi, 2013).


2. Predisposisi

1) Faktor biologis

Adanya hambatan dalam perkembangan otak khususnya konteks

lobus provital, temporal dan limbik yang disebabkan gangguan

perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat, sehingga

menyebabkan hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan

mungkin perilaku menarik diri. Perilaku menarik diri dapat

menyebabkan orang tidak mau bersosialisasi sehingga

kemampuan dalam menilai dan berespon dengan realita dapat

hilang dan sulit membedakan rangsang internal dan eksternal

(Dermawan dan Rusdi, 2013).

2) Faktor psikologis

Halusinasi dapat terjadi pada orang yang mempunyai keluarga

yang over protektif sangat cemas. Hubungan dalam keluarga

yang dingin dan tidak harmonis, perhatian dengan orang lain

yang sangat berlebih ataupun yang sangat kurang sehingga

menyebabkan koping individu dalam menghadapi stres tidak

adaptif (Dermawan dan Rusdi, 2013).

3) Faktor sosial budaya

Kemiskinan dapat sebagai faktor terjadi halusinasi bila individu

mempunyai koping yang tidak efektif maka ia akan lama-

kelamaan suka berkhayal. (Dermawan dan Rusdi, 2013).


3. Perilaku

Pengkajian pada klien dengan halusinasi perlu ditekankan pada

fungsi kognitif (proses pikir), fungsi persepsi, fungsi emosi,

fungsi motorik dan fungsi sosial (Dermawan dan Rusdi, 2013).

1) Fungsi kognitif

Pada fungsi kognitif terjadi perubahan daya ingat, klien

mengalami kesukaran dalam menilai dan menggunakan

memorinya atau klien mengalami gangguan daya ingat jangka

panjang/pendek. Klien menjadi pelupa dan tidak berminat

(Dermawan dan Rusdi, 2013).

(1) Cara berpikir magis dan primitif : klien menganggap bahwa

dirinya dapat melakukan sesuatu yang mustahil bagi orang

lain, misalnya dapat berubah menjadi spiderman. Cara berpikir

klien seperti anak pada tingkat perkembangan anak

prasekolah.

(2) Perhatian : klien tidak mampu mempertahankan perhatiannya

atau mudah teralih, serta konsentrasi buruk, akibatnya

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas dan

berkonsentrasi terhadap tugas.

(3) Isi pikir : klien tidak mampu memproses stimulus interna dan

eksterna dengan baik sehingga terjadi curiga, siar pikir, sisip

pikir dan somatik.


Bentuk dan pengorganisasian bicara : klien tidak mampu

mengorganisasikan pemikiran saat menyusun pembicaraan yang

logis serta koheren. Gejala yang sering ditimbulkan adalah

kehilangan asosiasi, kongensial, inkoheren/ neologisme

sirkumfansial dan tidak masuk akal. Hal ini dapat diidentifikasi

dari pembicaraan klien yang tidak relevan, tidak logis dan bicara

yang berbelit (Dermawan dan Rusdi, 2013).

2) Fungsi emosi

Emosi digambarkan dengan istilah mood adalah suasana emosi

sedangkan afek adalah pengacu kepada ekspresi emosi yang dapat

diamati dalam ekspresi wajah. Gerakan tangan, tubuh dan nada

suara ketika individu menceritakan perasaannya. Pada proses

neurologis yang maladaptif terjadi gangguan emosi yang dapat

dikaji melalui perubahan afek. (Dermawan dan Rusdi, 2013).

(1) Afek tumpul : kurangnya respon emosional terhadap pikiran,

orang lain atau pengalaman klien tampak apatis.

(2) Afek datar : tidak tampak ekspresi aktif, suara menahan,

wajah datar dan tidak ada keterlibatan perasaan.

(3) Afek tidak sesuai : afek tidak sesuai dengan isi pembicaraan.

(4) Reaksi berlebihan : reaksi emosi yang berlebihan terhadap

suatu kejadian.

(5) Ambivalen : timbulnya dua perasaan yang bertentangan pada

saat yang bersamaan.


3) Fungsi motorik

Respon neurologis maladaptif menimbulkan perilaku aneh,

membingungkan dan kadang nampak tidak kenal dengan

orang lain. Perubahan tersebut adalah : (Dermawan dan

Rusdi, 2013).

(1) Impusif

Cenderung melakukan gerakan yang tiba-tiba dan spontan.

(2) Manerisme

Dilihat melalui gerakan dan ucapan seperti grimasentik.

(3) Stereobipik

Gerakan yang diulang tidak bertujuan dan tidak

dipengaruhi oleh stimulus yang jelas.

(4) Katatonia

Kekacauan psikomotor pada skizofrenia tipe katatonik

(catatonic excitement, stupor, catalepsy,), imobilitas

karena faktor psikologis, kadangkala ditandai oleh periode

agitasi atau gembira, klien tampak tidak bergerak, seolah-

olah dalam keadaan setengah sadar.

4) Fungsi sosial

Perilaku yang terkait dengan hubungan sosial sebagai

akibat orang lain respon neurobiologis yang maladaptif

adalah sebagai berikut: (Dermawan dan Rusdi, 2013).

(1) Kesepian
Perasaan terisolasi dan terasing, perasaan kosong dan

merasa putus asa sehingga klien terpisah dengan orang

lain.

(2) Isolasi sosial

Terjadi ketika klien menarik diri secara fisik dan

emosional dari lingkungan. Isolasi diri klien tergantung

pada tingkat kesedihan dan kecemasan yang berkaitan

dalam berhubungan dengan orang lain. Rasa tidak

percaya pada orang lain merupakan inti masalah pada

klien. Pengalaman hubungan yang tidak menyenangkan

menyebabkan klien menganggap hubungan saat ini

berbahaya. Klien merasa terancam setiap ditemani

orang lain karena ia menganggap orang tersebut akan

mengontrolnya, mengancam, menuntutnya oleh karena

itu, klien tetap mengisolasi diri dari pada pengalaman

yang menyedihkan terulang kembali.

(3) Harga diri rendah (Dermawan dan Rusdi, 2013).

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan kontrol dirinya

sehingga bisa membahayakan dirinya, orang lain maupun lingkungan. Hal

ini terjadi jika halusinasinya sudah sudah sampai fase IV di mana klien

mengalami panik dan prilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya.

Klien benar-benar kehilangan kemampuan realitas terhadap lingkungan.


Dalam situasi ini, klien dapat melakukan bunuh diri, membunuh orang lain

bahkan merusak lingkungan. Selain masalah yang diakibatkan oleh

halusinasi, klien biasanya juga mengalami masalah-masalah keperawatan

yang menjadi penyebab munculnya halusinasi. Diagnosa keperawatan

ditetapkan berdasarkan data subjektif dan objektif yang ditemukan pada

pasien adalah Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran

(Dermawan & Rusdi, 2013).


2.3.3 Intervensi Keperawatan Dengan Klien Halusinasi

Rencana asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi adalah sebagain berikut: (Sutejo, 2017)

Table 2.2 Intervensi dengan Klien Halusinasi

Diagnosis Perencanaan
Keperawatan Tujuan (TUK/TUM) Kriteria evaluasi Intervensi Rasional
Gangguan perubahan TUM : 1. Klien dapat ekspresi wajah Bina hubungan saling percaya Hubungan saling percaya
senseri persepsi klien tidak menciderai diri bersahabat, menunjukkan dengan mengungkpkan prinsip merupakan dasar untuk
halusinasi dengar sendiri, orang lain dan rasa senang, ada kontak komunikasi terapeutik : memperlancar interaksi yang
(auditor) mata, mau berjabat tangan, a. Sapa klien dengan ramah baik selanjutnya akan dilakukan
lingkungan
mau menyebut nama, mau verbal maupun non verbal
menjawab salam, klien mau b. Perkenalkan diri dengan sopan
TUK 1
berdampingan dengan c. Tanyakan nama lengkap klien
klien dapat membina perawat dan mau dan nama panggilan yang disukai
hubungan saling percaya mengutarakan masalah yang
d. Jelaskan tujuan pertemuan
dihadapi.
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan
menerima klien apa adanya
g. Beri perhatian kepada klien dan
perhatikan kebutuhan dasar klien
TUK 2 1. Klien dapat menyebutkan 1. Adakan kontak sering singkat - Selain membina
waktu, isi, frekuensi secara bertahap hubungan saling
Klien dapat mengenal percaya, kontak sering
timbulnya halusinasi
halusinasinya dan singkat dapat
2. Observasi perilaku verbal dan
memutus halusinasi
nonverbal yang berthubungan - Mengenal perilaku klien
dengan perilaku halusinasinya pada saathalusinasi
3. Bantu klien mengenal terjadi memudahkan
halusinasinya dengan cara: perawat dalam
melakukan intervensi
a. Jika menemukan klien - Mengenal halusinasi
sedang berhalusinasi memeungkinkan klien
tanyakan apakah ada suara menghindari faktor
yang didengarkannya timbulnya halusinasi
b. Jika klien menjawab ada,
lanjutkan apa yang
dikatakan suara itu katakan
perawat percaya klien
mendengar suara itu, namun
perawat tidak
mendengarnya.
c. Katakan bahwa klien lain
juga ada yang seperti klien
d. Katakan bahwa perawat
akan membantu klien - Pengetahuan tentang
4. Diskusikan dengan klien: waktu, isi dan frekuensi
halusinasi dapat
a. Situasi yang menimbulkan mempermudah perawat
atau tidaknya halusinasi
b. Waktu dan frekuensi - Mengidentifikasi
terjadinya halusinasi pengaruh halusinasi pada
5. Diskusikan dengan klien tentang klien
apa yang dirasakan jika terjdi
halusinasi

TUK 3 1. Klien dapat menyebutkan 1. bersama klien mengidentifikasi - Usaha untuk memutus
tindakan yang biasa apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
Klien dapat mengontrol - Penguatan dapat
dilakukan untuk halusinasi
halusinasinya meningkatan harga diri
mengendalikan 2. Diskusikan manfaat dan cara
klien
yang digunakan klien, jika
halusinasinya bermanfaaat beri pujian - Memberikan alternatif
2. Klien dapat cara baru 3. Diskusikan cara baru untuk pilihan untuk mengontrol
dalann mengontrol mencegah/ mengontrol halusinasi
- Meningkatkan
halusinasinya halusinasi:
pengetahuan klien dalam
3. Klien dapat 4. Bersama klien merencanakan memutus halusinasi
mendemontrasikan cara kegiatan untuk mencegah - Harga diri klien
menghardik/mengusir terjadinya halusinasi meningkat
halusinasi 5. Beri pujian dan penguatan - Memberi klien
terhadap tindakan yang positif kesempatan untuk
6. Dorong klien untuk memilih cara mencoba cara yang telah
dipilih
yang digunakan dalam menhadapi
- Memudahkan klien
halusinasi mengedalikan halusinasi
7. Susun jadwal latihan klien dan - Dengan mengetahui efak
minta klien untuk mengisi jadwal samping, klien akan tahu
latihan apa yang harus
8. Diskusikan bersama klien hasil dilakukan setelah minum
upaya yang telah dilakukan obat
9. Anjurkan klien untuk bicara
dengan dokter mengenai manfaat
dan efek samping obat

TUK 4 1. Keluarga dapat 1. Bina hubungan saling percaya - Untuk meningkatkan


Keluarga dapat merawat menyebutkan pengertian dengan keluarga (ucapkan salam, pengetahuan seputar
klien dirumah dan menjadi tanda dan tindakan untuk perkenalkan diri, sampaikan halusinasi dan
sistem pendukung yang perawatannya pada pihak
mengendalikan halusinasi tujuan, buat kontrak dan
efektif untuk klien keluarga
eksplorasi perasaan - Stimulasi persepsi dapat
2. Diskusikan dengan anggota mengurangi perubahan
keluarga tentang: interprestasi realitas
a. Perilaku halusinasi akibat adanya halusinasi
b. Akibat yang akan terjadi jika
perilaku halusinasi tidak
ditanggapi
c. Cara keluarga menghadapi
klien halusinasi
d. Cara merawat anggota
keluarga yang mengalami
halusinasi
e. Dorong anggota keluarga
untuk memberikan
dukungan kepada klien
untuk mengontrol
halusinasinya

2. Keluarga dapat 1. Diskusikan dengan keluarga - Dengan mengetahui


menyebutkan jenis, dosis, tentang jenis, dosis, waktu prinsip penggunaan obat,
waktu pemberian, manfaat pemberian, manfaat dan efek maka kemandirian klien
samping obat dalam hal pengobatan
serta efek samping obat
dapat ditingkatkan
- Dengan menyebutkan
2. Anjurkan kepada keluarga untuk dosis, frekuensi dan
caranya klien
berdiskusi dengan dokter tentang
melaksanakan program
manfaat dan efek samping obat pengobatan
- Menilai kemampuan
klien dalam
pengobatannya sendiri
2.3.4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan tindakan keperawatan/implementasi keperawatan adalah

serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari

masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang baik dan

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. (Sutejo, 2017).

Tujuan dari tahap pelaksanaan proses keperawatan adalah melakukan,

membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan

arahan keperawatan untuk mencapai tujuan yang terpusat pada klien, mencatat

dan serta melakukan pertukaran informasi yang relevan dengan perawatan

kesehatan yang berkelanjutan dari klien (Sutejo, 2017).

2.3.5. Evaluasi Keperawatan

Sutejo (2017) menyatakan bahwa evaluasi merupakan langkah proses

keperawatan yang memungkinkan perawat untuk menetukan apakah intervensi

keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien. Evaluasi merupakan

langkah terakhir dalam proses keperawatan untuk mengetahui sejau mana tujuan

dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Evaluasi dilakukan dengan

membandingkan antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil

yang dibuat pada tahap perencanaan (Sutejo, 2017)


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Rancangan studi kasus ini adalah gambaran untuk menggambarkan

masalah Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran . Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan

asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

3.2 Subyek Studi Kasus

Subyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian keperawatan

adalah individu dengan kasus yang diteliti secara rinci dan mendalam.

Adapun subyek penelitian yang diteliti berjumlah dua pasien dengan kasus

dan masalah keperawatan yang sama, yaitu dengan gangguan persepsi

sensori: halusinasi pendengaran.

3.3 Fokus Studi

Fokusi pada Studi Kasus ini ialah pada Pasien Skizofrenia dengan

Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran.

3.4 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional pada studi kasus ini ialah:

1) Skizofrenia Paranoid adalah sindrom hiterogen kronis yang ditandai

dengan pola fikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan prilaku

yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial. Gangguan

pemikiran tidak saling berhubungan secara logis; persepsi dan perhatian

yang keliru; afek yang datar tidak sesuai; dan berbagai gangguan aktifitas

40
motorik dan bizzare. ODS (Orang dengan skizofrenia ) menarik dari orang

lain dan kenyataan, sering kali masuk dalam kehidupan fantasi yang penuh

delusi dan halusinasi (Nurarif & Kusuma, 2015).

2) Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa, dimana klien

merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami

perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara,

penglihatan, pengecapan perabaan atau penciuman (Sutejo, 2017).


3)

3.5 Lokasi dan Waktu

Studi kasus ini akan dilakukan pada kasus dan pasien.dengan masalah

keperawatan yang sama. Waktu pengambilan data akan dilakukan pada

tanggal 26 April 2021- 08 Mei 2021, studi kasus ini lokasi di area Wilayah

kerja Puskesmas Sinar Baru Kabupaten Sungailiat.

3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Setiadi (2012) dijelaskan terkait metode pengumpulan data

yang digunakan yaitu:

1) Wawancara: hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama,

riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga. Sumber data dari pasien,

keluarga, tetangga dan perawat lainnya

2) Observasi: dapat dilakukan melalui apa yang dilihat dan dilakukan klien,

kemudian dibandingkan dengan apa yang dikeluhkan atau dinyatakan.

3) Pemeriksaan fisik (dengan pendekatan IPPA: Inspeksi, Palpasi, Perkusi,

Auskultasi) pada sistem tubuh klien.


3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrumen pengumpulan data akan menggunakan format

pengkajian asuhan keperawatan sesuai ketentuan yang berlaku.

3.7 Penyajian Data

Teknik penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan

data sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca. Untuk studi kasus

ini, data akan disajikan secara tekstular atau narasi dan dapat disertai dengan

ungkapan verbal dari skizofrenia paranoid dengan gangguan persepsi sensori :

halusinasi Pendengaran yang merupakan data pendukungnya.

3.8 Etika Studi Kasus

Masalah etika dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam studi kasus, mengingat studi kasus keperawatan akan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika studi kasus harus

diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan studi kasus

(Hidayat, 2010). Masalah etika yang harus diperhatikan ialah sebagai berikut:

1) Lembar Persetujuan (Informed consent)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden studi kasus dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum studi kasus dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan studi

kasus, mengetahui dampaknya.


2) Tanpa Nama (anomity)

Peneliti tidak memberikan atau tidak mencantumkan nama responden

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan

data atau hasil studi kasus yang akan disajikan.

3) Kerahasian (Confidentiality)

Peneliti memberikan jaminan dalam kerahasiaan hasil studi kasus,

baik informasi yang telah dikumpulkan dan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D dan Rusdi. 2013. Keperawatan jiwa konsep dan kerangka kerja
asuhan keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Hidayat, A.A., 2010. Metode penelitian kesehatan paradigma kuantitatif. Jakarta:


Heath Books.

Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

___________. 2019. Infodatin. Kesehatan Jiwa di Indonesia tahun 2019. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

____________. 2020. Data kesehatan jiwa di Indonesia selama pandemi Covid-


19. https://mediaindonesia.com/humaniora/352006/kasus-gangguan-jiwa-
di-indonesia-meningkat-selama-masa-pandemi. Diakses pada tanggal 26
Februari 2021.

Livana, P.H. 2018. Peningkatan kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi


melalui terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Jurnal Ners Widya
Husada. Volume 5 No 1, Hal 35 - 40, Maret 2018, p-ISSN 2356-3060

Nurarif. A.H., & Kusuma. H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan


diagnosa medis dan nanda nic-noc jilid 3. Jogjakarta: Mediaction

Prabowo, E. 2014. Buku ajar keperawatan jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika

_________. 2014. Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Jakarta : Nuha
Medika.

Setiadi. 2012. Konsep dan penulisan dokumentasi asuhan keperawatan.


Yogyakarta : Graha Ilmu.
Saptarani, N. 2020. Studi kasus aktivitas menggambar dalam mengontrol gejala
halusinasi di RSJ Prof. Dr. Soerodjo Magelang. Jurnal Keperawatan dan
Fisioterapi (JKF), Vol. 3 No.1 Edisi Mei –Oktober 2020. e-ISSN 2655-
0830

Sutejo. 2017. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Konsep dan Praktik Asuhan


Kesehatan Jiwa dan Psikososial.. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
______. 2017. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Prinsip dan Praktik Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Trimelia, S. (2011). Asuhan keperawatan klien halusinasi. Jakarta: CV.Trans Info
Media.

WHO.(2018). Mental Disorder, (online) from WHO: https://www.who.int/


mental_health/management/schizophrenia/en/ Diakses pada tanggal 14
Februari 2021.

Anda mungkin juga menyukai