1. Definisi/Pengertian
Batu saluran kemih dapat ditemukan sepanjang saluran kemih mulai
dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini
mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian
bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena
adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat
atau batu uretra yang terbentuk di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada
di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta
seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering
terjadi (Purnomo, 2000).
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa
menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi
(Hassan, 1985)
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam
kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut
urolitiasis, dan
dapat terbentuk pada :
1. Ginjal (Nefrolithiasis)
2. Ureter (Ureterolithiasis)
3. Vesica urinaria (Vesicolithiasis)
4. Uretra (Urethrolithiasis). (Hassan, 1985)
2. Epidemiologi
Epidemiologi batu ginjal di Indonesia masih belum jelas. Di dunia,
prevalensi penyakit ini sekitar 5%. Distribusi usia terkena batu ginjal paling
sering terjadi di usia 20 – 49 tahun dengan puncaknya di usia 35 – 45 tahun.
Meskipun dapat terjadi pada rentang usia yang lain. Jarang ditemukan
serangan batu ginjal pertama pada usia 50 tahun keatas. Batu ginjal lebih
sering terjadi pada pria disbanding wanita (3 ; 1) kecuali pada batu Karen
infeksi (struvit) lebih banyak terjadi pada wanita. Secara global angka
kejadian pada tahun 1990an adalah 5,4%,sedangkan di Thailand timur Laut
berkisar 16.9%.
3. Etiologi
Menurut Williams (2012) Penyebab dari batu terdiri daripada
beberapa hal yang sangat kompleks dan dijelaskan seperti berikut :
- Diet
Defisiensi vitamin A menyebabkan terjadinya deskuamasi lapisan
epitel sehingga terbentuknya nidus yang terdeposisi menjadi batu.
Mekanisme ini biasanya aktif terjadi pada pembentukan batu bulu-bulu
(vesikolithiasis) (Williams, 2012).
- Gangguan pengendapan urin dan koloid
Dehidrasi mengakibatkan larutan urin terkonsentrasi sehingga
terbentuk persipitat. Kurangnya koloid urin yang berfungsi menyerap
bahan larut, atau mukoprotein, yang memecahkan kalsium, akan
terkristalisasi sehingga membentuk batu (Williams, 2012).
- Kekurangan sitrat pada urin
Adanya sitrat pada urin, sekitar 300 – 900 mg per 24 jam (1, 6 – 4, 7
mmol per 24 jam) yang terdiri dari asam sitrus menyebabkan kalsium
fosfat tidak larut dan mempertahankan sitrat dalam larutan (Purnomo,
2003 dan Williams, 2012).
- Infeksi pada ginjal
Infeksi rentan menyebabkan pembentukan batu saluran kemih. Baik
secara klinis maupun eksperimental sudah membuktikan bahwa batu
sangat sering terjadi apaila air kemih terinfeksi dengan adanya
streptococci pemecah-urea, staphylococci dan terutamanya Proteus
spp (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).
- Stasis Urin dan Inadequasi Drainase Urin
Secara teoritis batu dapat terbentuk di saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis
urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan
bawaan pada sistem pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel,
obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna,
striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu (Purnomo, 2003 dan
Williams, 2012).
- Immobilisasi yang Lama
Immobilisasi sangat rentan untuk menyebabkan dekalsifikasi tulang
dan meningkatkan ekskresi kalsium pada urin sehingga memicu
pembentukan batu kalsium fosfat (Purnomo, 2003 dan Williams,
2012).
- Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme yang mengakibatkan terjadinya hiperkalsemia dan
hiperkalsuria ditemukan pada 5 persen atau kurang penderita BSK
dengan gambaran batu radiopak pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada kasus-kasus batu rekuren atau batu multipel, penyebab
ini harus disingkirkan dengan pemeriksaan yang tertentu (Purnomo,
2003 dan Williams, 2012).
4. Klasifikasi
a. Batu kalsium
Kalsium adalah batu yang paling banyak menyebabkan BSK (70%-
80%). Dijumpai dalam bentuk batu kalsium oksalat, batu kalsium
fosfat atau campuran. Terbentuknya batu terkait kadar kalsium
yang tinggi di dalam urine atau darah dan akibat dari dehidrasi,
overdosis vit D, gangguan kelenjar paratiroid, kanker, penyakit
ginjal. Batu kalsium terdiri dari dua tipe : (Purnomo, 2003).
- Whewellite (monohidrat): batu padat, konsentrasi as. oksalat tinggi
pada air kemih.
- Kombinasi kalsium - magnesium menjadi weddllite (dehidrat):
kuning, mudah hancur (Purnomo, 2003).
Faktor terjadinya batu oksalat adalah sebagi berikut: (Purnomo, 2003)
6. Patofisiologi
Terbentuknya batu biasanya terjadi air kemih jenuh dengan garam-
garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan
penghambat pembentukan batu yang normal. Sekitar 80% batu terdiri
dari kalsium sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat,
sistin dan mineral struvit. Terdapat beberapa teori tentang pembentukan
batu pada ginjal, yaitu:
a. Teori inti matrik
Terbentuknya batu ginjal, batu seperti pada saluran kemih atau
ginjal memerlukan substansi organik sebagai inti pebentukan.
Matrik organik berasal dari serum dan protein urine yang
memberikan kemungkinan pengendapan kristal sehingga akan
menjadi pembentukan inti.
b. Teori saturasi
Teori ini berkaitan dengan terjadinya kejenuhan substansi
bembentukan batu di ginjal, dalam urine seperti sistin, vantin, asam
urat, kalsium oksalat akan mengakibatkan pembentukan batu.
c. Teori presipitasi- kristal
Terjadinya perubahan pH urine mempengaruhi substansi dalam
urine. Pada urine yang bersifatasam akan mengendap asam urat,
garam urat, sistin dan santin. Sedangkan urine yang bersifat basa
akan mengendapkan garam-garam fosfat. Pengendapan ini baik
urine yang bersifat asam maupun basa akan menjadi inti
pembentukan batu.
d. Teori berkurangnya faktor penghambat seperti peptisida fosfat,
pirofosfat, sistrat, magnesium akan mempermudah terbentuknya
batu pada ginjal.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi
dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re
evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,
apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,
gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung:periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
3) Telinga:periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap
tekstur, warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah
tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang,
pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya
tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya
respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan,
cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar,
ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah
distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah
kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu
akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD
118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan
penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera
diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol
perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra.
Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum,
prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum
dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi,
jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes
kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila
terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung
janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus
ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin
harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa
denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan
dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan
intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada
penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim
YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam,
lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa
adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung
berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15
detik. Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan
vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa
disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi
menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik
dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan
gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita.
Permasalahan yang muncul adalah :
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol,
sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi
penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian
kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru
dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh).
Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD
118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,
ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan
sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh
kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi
penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita
masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa
seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat
kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan
neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi
adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese
(ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya
vertigo dan respon sensori
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1. Laboratorium
Pada urin biasanya dijumpai hematuria dan kadang-kadang
kristaluria. Hematuria biasanya terlihat secara mikroskopis, dan
derajat hematuria bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan
besar batu atau kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak adanya
hematuria dapat menyokong adanya suatu obstruksi komplit, dan
ketiadaan ini juga biasanya berhubungan dengan penyakit batu
yang tidak aktif. Pada pemeriksaan sedimen urin, jenis kristal yang
ditemukan dapat memberi petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH
urin < 5 menyokong suatu batu asam urat, sedangkan bila terjadi
peningkatan pH (≥7) menyokong adanya organisme pemecah urea
seperti Proteus sp, Klebsiella sp, Pseudomonas spdan batu struvit
(Purnomo, 2003 dan Sjamsuhidayat, 2003).
2. Radiologis
Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis yaitu menurut Purnomo
(2003) dan Sjamsuhidayat (2003).:
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi
Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen.
b. Intravenous Pyelography(IVP)
IVP dapat menentukan dengan tepat letak batu, terutama batu-
batu yang Radiolusen dan untuk melihat fungsi ginjal. Selain
itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi opaque ataupun
batu non opaque yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen.
c. CT Scan
CT Scan (Computerized Tomography)adalah tipe diagnosis sinar
X yang dapat membedakan batu dari tulang atau bahan
radiopaque lain.
d. Retrograde Pielography (RPG)
Dilakukan bila pada kasus-kasus di mana IVP tidak jelas, alergi
zat kontras, dan IVP tidak mungkin dilakukan
e. Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani
pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap
bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang
sedang hamil. USG ginjal merupakan pencitraan yang lebih
peka untuk mendeteksi batu ginjal dan batu radiolusen daripada
foto polos abdomen. Cara terbaik untuk mendeteksi BSK ialah
dengan kombinasi USG dan foto polos abdomen. USG dapat
melihat bayangan batu baik di ginjal maupun di dalam kandung
kemih dan adanya tanda-tanda obstruksi urin.
f. Radioisotop
Untuk mengetahui fungsi ginjal secara satu persatu, sekaligus
adanya sumbatan pada gagal ginjal.
9. Penatalaksanaan Medis
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus
segera dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada BSK adalah apabila batu
telah menimbulkan obstruksi, infeksi atau harus diambil karena sesuatu
indikasi sosial (Purnomo, 2003).
BSK dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan
dengan ESWL, melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi
ataupun pembedahan terbuka (Purnomo, 2003).
- Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk BSK dengan ukuran
kurang dari 5mm karena diharapkan batu dapat keluar spontan,
terutama batu pada ureter. Batu pada ureter dengan ukuran 4-5mm
memiliki kemungkinan sekitar 40-50% untuk keluar spontan.
Sedangkan batu ureter dengan ukuran lebih dari 6mm memiliki
kemungkinan sekiar 15% untuk keluar spontan. Terapi
medikamentosa atau biasa disebut Medical Expulsive Therapy
(MET) ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri, memperlancar
aliran urin untuk membantu batu keluar spontan. Obat-obatan yang
biasa diberikan berupa alpha-blocker, obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS), agen diuretikum dan steroid dosis rendah
(Purnomo, 2003 dan Stoller, 2013).
- Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL)
ESWL adalah alat pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali
oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal,
batu ureter proksimal atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan
invasif dan tanpa pembiusan. Melalui gelombang kejut, batu
dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Namun tidak jarang pecahan-
pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan rasa nyeri kolik
dan menyebabkan hematuria (Purnomo, 2003).
- Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu dan kemudian
mengeluarkannya melalui alat yang dimasukkan langsung ke
dalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau
melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu
dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik,
energi gelombang suara atau dengan insersi laser. Beberapa
tindakan endourologi menurut Purnomo (2003) dan Stoller (2013),
antara lain :
1) PCNL (Percutaneous Nephro Lithotomy) yaitu
usaha pengeluarkan batu yang berada di ginjal dan
ureter proksimal dengan memasukkan alat
endoskopi kedalam sistem kalises melalui insisi
pada kulit. PCNL biasanya dilakukan pada BSK
dengan ukuran lebih dari 2,5cm, BSK yang resisten
terhadap ESWL, batu kaliks inferior dengan bentuk
infundibulum yang sempit dan panjang serta adanya
tanda-tanda obstruksi.
2) Litotripsi adalah memecah batu buli-buli atau batu
uretra dengan memasukkan alat pemecah batu
(litotriptor) kedalam buli-buli. Pecahan batu
dikeluarkan melalui evakuator Ellik.
3) Ureteroskopi atau Uretero-renoskopi adalah
memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna
melihat keadaan ureter atau sistem pelviokaliks
ginjal. Dengan menggunakan energi tertentu, batu
dalam ureter atau sistem pelviokaliks ginjal dapat
dipecah.
4) Bedah Terbuka
Di rumah sakit yang belum memiliki fasilitas untuk
melakukan tindakan endourologi, laparoskopi
maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan
melalui tindakan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka meliputi pielolitotomi atau nefrotomi untuk
mengambil batu pada saluran ginjal, dan
ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang
pasien harus menjalani nefrektomi atau
pengangkatan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya
sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan
akibat BSK yang menimbulkan obstruksi dan
infeksi menahun (Purnomo, 2003).
10. Konsep Perioperatif (Pre Operasi, Intra Operasi dan Post Operasi)
Perawatan perioperatif adalah periode sebelum, selama dan
sesudah operasi berlangsung. Keperawatan perioperatif adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan
yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Keperawatan
perioperatif adalah fase penatalaksanaan pembedahan yang merupakan
pengalaman yang unik bagi pasien. Kata perioperatif adalah suatu
istilah gabungan yang mencangkup 3 fase pengalaman pembedahan
yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif.
a. Fase Praoperatif
Merupakan ijin tertulis yang ditandatangani oleh klien untuk
melindungi dalam proses operasi yang akan dilakukan. Prioritas
pada prosedur pembedahan yang utama adalah inform consent
yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan
yang akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan
klien tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga
rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien dan keluarganya
mengenai tindakan tersebut. Pada periode pre operatif yang lebih
diutamakan adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi
b. Fase Intraoperatif
Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan
berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup
aktifitas keperawatan, memasang infus, memberikan medikasi
intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang
prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Perawat
yang bekerja di ruang bedah harus telah mengambil program
Proregristation Education Courses in Anasthetic and Operating
Teather Nursing . Dalam pembedahan perawat disebut scrubbed
nurse yang bertindak sebagai asisten ahli bedah. Perawat
bertanggung jawab akan pemeliharaan sterilitas daerah
pembedahan dan instrumen dan menjamin ketersediaan peralatan
ahli bedah untuk terlaksananya pembedahan yang direncanakan.
- Perlindungan terhadap injury
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah macam aktivitas
yang dilakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang
operasi oleh perawat difokuskan pada pasien yang menjalani
prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau
menghilangkan masalah – masalah fisik yang mengganggu
pasien. Tentunya pada saat dilakukan pembedahan akan muncul
permasalahan baik fisiologis maupun psikologis pada diri
pasien. Untuk itu keperawatan intra operatif tidak hanya
berfokus pada masalah fisiologis yang dihadapi oleh pasien
selama operasi, namun juga harus berfokus pada masalah
psikologis yang dihadapi oleh pasien. Sehingga pada akhirnya
akan menghasilkan outcome berupa asuhan keperawatan yang
terintegrasi
- Safety Management merupakan tindakan keamanan bagi pasien
selama prosedur pembedahan tindakan yang dilakukan yaitu :
Pengaturan posisi pasien, yang bertujuan untuk
memberikan kenyamanan pada pasien dan memudahkan
pembedahan
Monitoring fisiologis, diantaranya melakukan balance
cairan,memantau kondisi kardiopulmonal,pemantauan
terhadap vital sign,
Monitoring dukungan psikologis (sebelum indikasi dan
bila pasien sadar), mengkaji status emosional pasien.
- Pengaturan dan koordinasi nursingcare dengan mempertahankan
teknik asepsis
c. Fase Postoperatif
Dimulai pada saat pasien masuk ke ruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di
rumah. Lingkup aktifitas keperawatan, mengkaji efek agen
anestesi, membantu fungsi vital tubuh, serta mencegah komplikasi.
Peningkatan penyembuhan pasien dan penyuluhan, perawatan
tindak lanjut, rujukan yang penting untuk penyembuhan yang
berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan.
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk
mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan mucul
pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat
sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama
perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien.
Memperhatikan hal ini, asuhan keperawatan postoperatif sama
pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri
Faktor yang Berpengaruh Postoperatif :
- Mempertahankan jalan nafas dengan mengatur posisi,
memasang suction dan pemasangan mayo/gudel.
- Mempertahankan ventilasi/oksigenasi ventilasi dan oksigenasi
dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui
ventilaot mekanik atau nasal kanul.
- Mempertahakan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan
pemberian caiaran plasma ekspander.
- Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui
keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau
muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi
sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase
sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan
kondisi perdarahan yang dialami pasien.
- Balance cairan harus diperhatikan untuk mengetahui input dan
output caiaran klien. Cairan harus balance untuk mencegah
komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan atau
justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung
dan juga mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
- Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury.
Tindakan Postoperatif yang harus perawat lakukan, yaitu :
- Monitor tanda – tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage,
tube/selang, dan komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal
langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan ini merupakan
pemmeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah
postoperatif.
- Manajemen Luka amati kondisi luka operasi dan jahitannya,
pastikan luka tidak mengalami perdarahan abnormal. Observasi
discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen
luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan
jahitan.
- Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas
dalam dan juga batuk efektif yang penting untuk mengaktifkan
kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan
lendir.
- Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi
pasien kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam
latihan spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi
pasien seperti sedia kala.
a) General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk
memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien
yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien
antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
Lakukan intubasi
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala
nyeri.
3. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Pre operatif
Intra Operatif
5. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal,
intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi
yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis.
Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi
intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan.
Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai
setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.
OLEH:
IDA AYU MAS NARAYANI 15060140079