Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal


Di Ruang 28 RSUD dr.Saiful Anwar Malang

RESTI RIANDANI
NIM.150070300011128

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1.1 Definisi
CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan
peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas
sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit (Atul & Victor, 2005).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau Chronic Myeloid Leukemia (CML) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal
dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel
induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain
untuk leukemia myeloid kronik, yaitu Chronic Myelogenous Leukemia dan Chronic
Myelocytic Leukemia (I Made, 2006).
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan
supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum:
leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).

Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari leukemia yang ditandai
dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-
sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik
adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu
penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006). Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk
pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (break
cluster region-Abelson) (Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang
ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit,
sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah
disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
Leukemia mieloid kronik (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang
timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML
termasuk kelainan klonal sel induk pluripoten, dan digolongkan penyakit
mieloproliferatif.

1.2 Etiologi
Menurut Markman (2009), Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari 90% kasus.
Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh sebuah translokasi respirokal dari
gen BCR pada kromosom 22 dan gen ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen
BCR-ABL yang dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan gen
tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel ganas.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan
peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang,
hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3
tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut
kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan
anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer,
dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan
apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil
juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi
yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
Panas tanpa penyebab yang jelas.
Spleenomegali progresif.
Trombositosis.
Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau
mononuclear yang besar.
Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel
blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan
limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko
terkena sindrom hiperleukositosis.
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu faktor
instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada
saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara
lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang
menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi
lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang
abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.

b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang

Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel


yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab
leukemia (Agung ,2010).

2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat pelindung),
penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit
Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia
memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli
radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk
Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945
mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula
pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari
2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
b. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar
dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976)
telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan
benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon
diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan
leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010).

c. Infeksi Virus

Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di


laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-
cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA
transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2010).

Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada


binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin,
strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif.
Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia
pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang
menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini
ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA
yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010).

1.3 Epidemiologi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML merupakan 15-
20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering di jumpai di
Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk
CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-
1,4/100.000/tahun. Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar
1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 40-50 tahun.
Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.

1.4 Patofisiologi
Terlampir

1.5 Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi menjadi
beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit
kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over
produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala
ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari
5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini leukosit bisa mencapai
300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik
mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom).

3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada
darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ
diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik
Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005) tergantung
pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada
malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif. ditemukan pada sebagian besar
pasien (90%) dan bersifat masif.Pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak
nyaman, nyeri ataupun gangguan pencernaan (perut terasa penuh). Dengan adanya
pengobatan di awal, maka frekuensi terjadinya splenomegali pada pasien mulai
menurun.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu
dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain
h. Fungsi trombosit yang abnormal menyebabkan gejala memar, epiktaksis,
menoraghia, ataupun perdarahan di tempat-tempat lain.
i. Pemecahan urin yang berlebihan menyebabkan hiperurikemia yang bermanifestasi
sebagai gout atau gangguan ginjal.
j. Gejala yang jarang dijumpai, namun masih ditemukan pada beberapa pasien adalah
gangguan penglihatan dan priapismus.
2. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri tulang
(sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis
meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul
perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
3. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa
pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

1.7 Faktor Resiko


Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis LMK adalah factor radiasi
ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi pada
orang yang bekerja di unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang
mendapat terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun
begitu, hanya 5 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya
paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan
penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang
diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10
tahun. Pada anak muda, khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan
meningkatkan kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi
dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan
yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia.
a. Paparan radiasi dosis tinggiMenjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat
dari ledakan bom atomatau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu-satunya
faktor risiko lingkungan untuk chronic myeloid leukemia
b. U s i a d a n j e n i s k e l a m i n , R isiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan
usia. CML sedikit lebih umum terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak
diketahui alasannya.Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti untuk CML. Risiko
terkena CML tampaknyatidak akan dipengaruhi oleh kebiasaan merokok,
diet, paparan bahan kimia, atau infeksi. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang
faktor predisposisi keturunan.

1.8 Komplikasi
a. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah dan lebam.
Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun pada kulit (petechiae).
b. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang berkembang ketika
terdapat peningkatan sel darah putih.
c. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak disimpan dalam
limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan bengkak. Adanya perbesaran limpa
ini juga dapat menimbulkan rasa penuh pada perut setelah makan atau menyebabkan
nyeri pada sisi kiri di bawah tulang rusuk.
d. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita CML terdapat
juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan, trombositosis ini dapat
menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan menyebabkan stroke.
e. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun fungsi
mereka dalam pertahanan tubuh menurun sehingga imunitas tubuh menurun dan rentan
terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat menurunkan jumlah sel darah
putih (neutropenia) sehingga memudahkan pula infeksi terjadi.
f. Kematian. Terutama jika tidak diobati secara adekuat, dapat menimbulkan kematian.

1.9 Penetalaksanaan Medis


1. Imatinib mesylate (imatinib)
Digunakan sebagai terapi awal pada fase kronik CML. Regimen ini dapat digunakan
setelah atau bersamaan dengan hydroxyurea ketika terdapat peningkatan jumlah sel
darah putih yang bermakna. Selain itu juga dapat dikombinasikan dengan leukapheresis
ketika sindrom hiperleukositik terjadi. Obat ini merupakan golongan inhibitor tirosin
kinase dimana bekerja dengan menghambat BCR-ABL tirosin kinase yang penting
dalam membentuk fungsi BCR-ABL sehingga sel CML pun dapat dihambat. Obat ini
diduga dapat menghasilkan respon hematologik yang lengkap pada hampir semua
pasien yang berada dalam fase kronik dimana dapat terjadi konversi dari Ph positif
menjadi negatif. Oleh karena itu, obat ini dijadikan sebagai obat lini pertama pada CML,
baik digunakan sendiri atau bersamaan dengan interferon atau obat lain.
2 Leukapheresis (suatu prosedur pemisahan sel darah putih dari sampel darah)
Leukapheresis dapat mengontrol CML namun hanya sementara. Sangat bermanfaat
terutama untuk pasien hiperleukositik dan wanita hamil selama kehamilan awal dimana
kemoterapi tidak diperkenankan berkaitan dengan risiko tinggi terhadap kesehatan janin.
3 Hydorxyurea
Merupakan obat kemoterapi yang bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit normal pada fase kronik, tetapi diberikan seumur hidup
pasien. Dosisnya dimulai dengan 1-2 g/hari dan kemudian diturunkan setiap minggu
sampai mencapai dosis rumatan sebesar 0,5-1,5 g/hari. Obat ini kemudian dihentikan
ketika hitung sel darah putih telah mencapai kurang dari 5000/l (5109/liter).
4 Anagrelide
Digunakan untuk menurunkan jumlah trombosit pasien
5 Interferon-
Saat ini masih merupakan obat terpilih pada CML dimana banyak digunakan ketika
jumlah leukosit meningkat. Obat ini bekerja dengan mempertahankan jumlah leukosit
tetap rendah (sekitar 4109/l). Dosis yang digunakan adalah 3-9 megaunit dan diberikan
tiga sampai tujuh kali setiap minggu secara injeksi subkutan.
6 Transplantasi sel induk
Transplantasi yang bersifat alogen banyak digunakan untuk mengobati CML.
Transplantasi ini dapat dilakukan pada saudara kandung dengan 30% saja yang dapat
mentolerir prosedur ini. Setelah ditransplantasikan ketahanan hidup pasien mencapai
50-70% dalam 5 tahun. Hasil akan lebih baik dilakukan pada fase kronik dibandingkan
dengan fase akut.

6.1 Pemeriksaan Diagnostik

a. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-
60.000/mmk. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah
trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat
normal atau menurun. (Fadjari, 2006).
b. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan
maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat,
demikian juga presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
c. Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan
retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
d. Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi
kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9,
+19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :
1. Laboratorium
a. Darah rutin :
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase transformasi
akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya
lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai
netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen) dan
mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast <
5%. Sel darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :


2. Laboratorium
c. Darah rutin :
3) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase transformasi akut),
bersifat normokromik normositer.
4) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
d. Gambaran darah tepi :
6) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya lebih dari
100.000/mm3.
7) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil,
komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit.
Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah
bernukleus.
8) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
9) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
10) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah
e. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan
darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid, dengan komponen paling
banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase
kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric
protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).

Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP
pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel
matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi
adanya kromosom Philadelphia.

1.11Asuhan Keperawatan Umum


Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat
dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan.
(Budi Anna Keliat, 1994)
Pengkajian pada leukemia meliputi :
1. Riwayat penyakit
2. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
a). Pucat
b). Kelemahan
c). Sesak
d). Nafas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
a). Demam
b). Infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
a) Ptechiae
b) Purpura
c) Perdarahan membran mukosa
5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
a). Limfadenopati
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
6. Kaji adanya :
a) Hematuria
b) Hipertensi
c) Gagal ginjal
d) Inflamasi disekitar rectal
e) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 17)
3. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah
trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek
samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,
radioterapi, imobilitas
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada
penampilan.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang
menderita leukemia.
11. Antisipasi berduka berhubungan dengan perasaan potensial kehilangan anak.
4. Rencana keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
a). Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b). Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
c). Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci
tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d). Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasive
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e). Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat
penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f). Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
g). Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h). Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
i) Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
a) Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala
aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
b) Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau
penyambungan jaringan
c) Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervens
d) Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
3. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat
diterima anak
Intervensi :
a. Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau
keefektifan intervensi
b. Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat
akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau
obat
d. Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e. Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi,
radioterapi, imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a) Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b) Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c) Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
d) Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam
area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e) Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f) Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negatif

DAFTAR PUSTAKA

Heslop, Helen E. Leukemia myeloid kronik. In Nelson ilmu kesehatan anak, editor: Nelson,
Waldo E.ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005.

Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 4th Edition. London;
Elsevier Academic Press; 2006.

Roberts, Irene A.G. Chronic myeloid leukemia. In Pediatric hematology, editor: Arceci, Robert J.
3rd edition. London: Blackwell publishing; 2006 .

Sondheimer, Judith M. Myeloproliferative disease. In Current essentials pediatrics. London:


Lange; 2007 .

Chronic Myeloid Leukemia available from http://www.eMedicine.com/hematology/stem cells and


disorders.Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on January, 14 2009

Anda mungkin juga menyukai