Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)


DI RUANG YUDHISTIRA 2 RSUP DR SARDJITO

Tugas Individu
Stase Praktik Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh:
Melinda Wardani
20/469769/KU/22707

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
A. KONSEP DASAR CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)
1. PENGERTIAN
Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah salah satu bentuk dari leukemia
yang ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel
myeloid di dalam sum-sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah. CML
merupakan gangguan mieloproliferatif klonal yang ditandai dengan peningkatan
neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas
sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit (Atul & Victor, 2005).
Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri
granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit
(Fadjari, 2006).
Chronic Myeloid Leukemia merupakan leukemia kronik, dengan gejala
yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel
induk mieloid. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu Chronic
Myelogenous Leukemia da n Chronic Myelocytic Leukemia (Bakta, 2006).
2. KLASIFIKASI
Menurut Bakta (2006), CML terdiri dari enam jenis, yaitu:
a) Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) atau disebut juga chronic
granulocytic leukemia (CGL)
b) Leukemia myeloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)
Pada penyakit ini tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi
BCR-ABL dengan prognosis yang tampaknya lebih buruk daripada leukemia
mielositik kronik Ph positif
c) Juvenile chronic myeloid leukemia
Penyakit ini mengenai anak kecil dan gambaran klinis yang khas
antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatospleenomegali, dan infeksi
rekuren. Pada pemeriksaan apusan darah terlihat adanya monositosis.
Kadar HbF tinggi, kadar fosfatase alkali netrofil normal, dan kromosom
Philadelphia negative. Prognosis buruk dan SCT adalah pengobatan
yang terpilih
d) Chronic neutrophilic leukemia
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel
matur yang relative murni, disamping itu didapatkan splenomegali dan secara
umum prognosisnya baik.
e) Eosinophilic leukemia
Penyakit ini sangat jarang dijumpai dengan terdapat proliferasi sel
matur yang relative murni, disamping itu didapatkan splenomegali dan secara
umum prognosisnya baik
f) Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
Perjalanan penyakit CML dibagi 3 fase (Bakta, 2006; Byrd, 2008), yaitu :
1) Fase kronis
Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blas dan sel promielosit
kurang dari 10% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan
produksi granulosit berlebihan yang didominasi oleh neutrofil segmen. Gejala
yang dialami ringan dan relatif mempunyai respons baik terhadap terapi
konvensional.
2) Fase akselerasi atau transformasi akut
Fase ini sangat progresif, mempunyai blas lebih dari 10% tetapi kurang
dari 20%. Pada fase ini jumlah leukosit bisa mencapai 300 ribu/mm3 yang
didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan
kromosom lebih dari satu (selain kromosom Philadelphia)
3) Fase blastik atau krisis blastik
Pada fase ini pasien mempunyai blas lebih dari 20% pada darah serta
sumsum tulangnya. Sel blas telah menyebar ke jaringan lain dan organ di luar
sumsum tulang. Pada pasien ini, penyakit berubah menjadi leukemia
mieloblastik akut atau leukemia limfositik akut.

3. ETIOLOGI
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan. Agung (2010)
mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu faktor
instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
a) Faktor intrinsik
1. Keturunan dan kelainan kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat
pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada
suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (2006)
yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi
leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang
dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik
(monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas
kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom
yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom
turner.
2. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai
penyebab leukemia (Agung ,2010).
b) Faktor ekstrinsik
1. Faktor radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing
spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan
10 % penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi
terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita
leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup
sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK
sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing
spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads
mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
2. Bahan kimia dan obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah
besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy
et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang
kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik
berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan
Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010).
3. Infeksi virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah
Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang
mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung
,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis
kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar
radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa
penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada
beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab
leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus
onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan
leukemia pada binatang (Agung ,2010).
4. PATOFISIOLOGI
CML termasuk keganasan myeloproliferatif, dimana ditemukan adanya
kromosom Ph pada sel punca pluripoten 95% pasien (Bakta, 2006). Kromosom Ph
disebabkan oleh translokasi resiprok antara kromosom 9 dan 22 dimana onkogen
ABL1 kromosom 9 berpindah ke gen BCR kromosom 22. Kromosom abnormal 22
inilah yang disebut kromosom Ph. Fusi gen BCR-ABL ini selanjutnya mengkode
protein baru yaitu 190, 210, atau 230kDa tergantung dari penghentian kode gen BCR-
ABL. Protein baru ini memiliki aktivitas tyrosine kinase yang berlebihan dibandingkan
produk normal 145kDa ABL1, menyebabkan proliferasi sel yang berlebihan pada sel-
sel myeloid dan menurunnya apoptosis (Hoffbrand dan Moss, 2011). Meskipun
kromosom Ph terlihat dengan pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian
kecil abnormalitas Ph tidak tampak dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan
molecular kromosom ini dapat tampak dengan teknik yang lebih sensitive yaitu
fluorescent in situ hybridization (FISH) atau polymerase chain reaction (PCR).
5. MANIFESTASI KLINIS
Tidak seperti bentuk leukemia lainnya, CML adalah penyakit yang tumbuh lambat
dan tidak sepenuhnya mengganggu perkembangan sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit. Oleh karena itu, pasien mungkin mengalami CML, tetapi tidak
memiliki gejala. Mereka yang memiliki gejala sering melaporkan:
 Menjadi sangat lelah atau mudah lelah
 Sesak napas saat melakukan aktivitas dasar sehari-hari
 Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
 Limpa atau nyeri membesar atau rasa terseret di sisi kiri atas perut di bawah
tulang rusuk
 Pucat karena anemia (penurunan dalam sel darah merah)
 Berkeringat di malam hari
 Ketidakmampuan untuk mentolerir suhu hangat.
Sedangkan berdasarkan fasenya, manifestasi klinis CML adalah sebagai berikut:
1) Fase kronik
 Gejala hiperkatabolik: berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
 Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
 Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
 Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
 Gangguan penglihatan dan priapismus.
 Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
 Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
2) Fase akselerasi
Kriteria untuk mendiagnosis fase ini adalah adanya sel blast >15%, sel
blast dan promyelocytes sebanyak >30%, basophil >20%, platelet <100x109
.Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah.
Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai
tempat, antara lain epistaksis, menorhagia) (American Cancer Society, 2017).
3) Fase blast (krisis blast)
Fase ini secara morfologi adalah sama seperti leukemia akut. Untuk
mendiagnosis seseorang pada fase ini memerlukan adanya minimal 20% sel
blast pada sumsum tulang menurut WHO. Pada beberapa penderita fase ini
ditandai dengan temuan deposit extrameduler dari sel-sel leukemik dan paling
sering di Sistem Saraf Pusat (SSP), kelenjar limfe, kulit dan tulang. Biasanya
pasien pada fase blastik akan meninggal dalam janka waktu 3-6 bulan. Sekitar
70% dari fase blastik mempunyai fenotipe myeloid, 25% limfoid, 5%
undifferentiated. Prognosis lebih baik untuk fenotipe limfoid dari yang myeloid
dan undifferentiated (American Cancer Society, 2017).
6. DIAGNOSIS
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang dapat
menegakkan diagnosis adanya CML, tetapi pada beberapa pasien CML kadang tidak
ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan
suatu diagnosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya splenomegali (pada
95% pasien), hepatomegali, sternal tenderness, purpura, dan mungkin perdarahan
retina.
Kelainan laboratorium pada pasien CML dapat berupa (Bakta, 2006; Hoffbrand
dan Moss, 2011)
a) Leukositosis biasanya lebih dari 50.000/mm3 , dapat lebih dari 500.000/mm3 .
Terlihat gambaran lengkap dari sel-sel myeloid pada darah perifer. Jumlah
neutrofil dan mielosit melebihi sel blast dan promielosit. Sel blast kurang dari 5%.
b) Peningkatan basofil yang bersikulasi.
c) Anemia sering ditemui tipe normokromik normositik yang bersifat ringan pada
awal dan dapat menjadi progresif pada fase lanjut.
d) Trombosit paling sering meningkat terutama pada fase awal namun dapat normal
atau menurun.
e) Pada apusan sumsum tulang ditemukan keadaan hiperseluler dengan dominasi
sistem granulosit, menunjukkan spectrum lengkap seri myeloid dengan komponen
paling banyak neutrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%.
f) Ditemukan kromosom Ph positif pada 98% kasus dengan pemeriksaan
sitogenetik, terdapat gen gabungan BCR-ABL1 pada pemeriksaan PCR pada 99%
kasus.
Menurut Bakta (2006), perubahan CML dari fase kronik ke fase transformasi akut
ditandai oleh:
 Timbulnya demam dan anemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
 Respon penurunan leukosit terhadap terapi yang semula baik menjadi tidak
adekuat.
 Splenomegali membesar yang sebelumnya sudah mengecil
 Blast dalam sumsum tulang <10%
Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
 Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang
berinti.
 Basofil darah tepi >20%.
 Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan
terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
 Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
 Bukti sitogenik evolusi klonal
Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
 Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
 Proliferasi blast ekstrameduler.
 Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang
7. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan leukemia adalah sebagai berikut:
 Infeksi: risiko infeksi meningkat pada leukemia
 Gangguan perdarahan: autoimmune hemolytic anemia, disseminated
intravascular coagulation, leukostasis
 Richter Transformation pada CLL
 Gangguan neurologis: massa intraparenkimal, infiltrasi meningeal
 Perdarahan: intrakranial, pulmonari, gastrointestinal
 Infertilitas: akibat dari regimen terapi kemoterapi dan radiasi
 Osteonekrosis sendi pada anak dengan leukemia
 Gagal jantung
 Gangguan endokrin
 Neoplasma lainnya
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
 Fase kronik
a) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun
setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai
jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa aplasia
sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia
akut
b) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dan
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg
sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai
leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit Interferon α juga
dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda onset
transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun. IFN-
α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh
hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita
leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum
tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok.
Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan
(Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah
leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien menderita
gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama pengobatan.
Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia.
Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka
panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun
gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al.,
2005).
c) Imatinib (Gleevec), nilotinib (Tasigna), dasatinib (Sprycel) adalah obat
tyrosine-kinase inhibitor yang merupakan pengobatan standar bagi pasien
CML pada fase kronik (American Cancer Society, 2017).
d) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi (Turgoen, 2012)
 Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia
akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan.
Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang
dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat
perkembangan penyakit (Druker, 2001).
2) Non-medikamentosa
a) Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang
9. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a) Anamnesis
Pengkajian Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Riwayat penyakit sekarang
f. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
Pucat, kelemahan
g. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
Demam, infeksi
h. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
Ptechiae, purpura, perdarahan membrane mukosa
i. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
j. Kaji adanya :
 Hematuria, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi disekitar rectal, nyeri
(Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178).
k. Kaji aktifitas kehidupan sehari-hari
Persepsi dan tatalaksana hidup sehat, nutrisi, eliminasi, aktivitas, tidur
dan istirahat, personal hygiene
b) Pemeriksaan penunjang
a) Darah rutin
1. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/dL
b) Gambaran darah tepi
1. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2. Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast
sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil
(hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast
juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus
3. Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4. Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
5. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
c) Gambaran sumsum tulang
1. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid,
dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
2. Sitogenikkonvensional : Pemeriksaan ini menilai kromosome yang juga
dikenali sebagai karyotype. Pemeriksaan ini akan mengambil waktu
karena proses divisi dari sel dalam sumsum tulang akan mengambil jangka
waktu yang cukup lama. Sel-sel normal memiliki 23 kromosome, namun
pasien dengan CML memiliki kromosome yang abnormal yaitu
Philadelphia (Ph1) kromosom yang terlihat sebagai kromosome 22 tetapi
lebih pendek. Keadaan ini terjadi karena perubahan posisi dari kromosome
9 dan 22. Pemeriksaan ini membantu diagnosis CML namun, jika hasil ini
negative pemeriksaan oncogene BCR-ABL dapat membantu.
3. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction), pemeriksaan yang
supersensitive dapat mendeteksi adanya oncogene BCR-ABL pada 99%
kasus. PCR juga boleh digunakan untuk memantau progress pengobatan,
dengan adanya BCR-ABL membuktikan leukemia masih ada.
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit
CML, antara lain :
a) Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih
dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor
eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b) Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
10. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
a) Risiko infeksi b.d immunosupresi
b) Keletihan b.d penyakit
c) Risiko perdarahan b.d koagulasi inheren
d) Nyeri akut b.d agen cedera biologis
e) Defisien volume cairan b.d kehilangan cairan berlebih
f) Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d depresi sumsum tulang
g) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet kurang
h) Risiko cidera b.d penurunan kekuatan tulang
i) Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
j) Kerusakan integritas kulit b.d imunodefisiensi
k) Hipertermia b.d sepsis
B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosis Tujuan/NOC Intervensi/NIC
1 Risiko Infeksi b.d imunosupresi Keparahan Infeksi (0703) Perlindungan Infeksi (6550)
(00004) Definisi: Keparahan tanda dan gejala
Definisi: Pencegahan dan deteksi dini
Definisi: Rentan mengalami invasi dan infeksi infeksi pada pasien berisiko
multiplikasi organisme patogenik yang Indikator: Aktivitas:
dapat mengganggu kesehatan 1. Kemerahan 1. Monitor adanya tanda dan gejala
2. Demam infeksi sistemik dan local
3. Nyeri 2. Batasi jumlah pengunjung
4. Peningkatan jumlahs sel darah putih
3. Pertahankan aspetis untuk pasien
Keterangan Penilaian NOC: berisiko
1: Berat 4. Periksa kulit dan selaput lendir
2: Cukup berat untuk adanya kemerahan,
3: Sedang kehangatan ekstrim atau drainase
4: Ringan 5. Tingkatkan asupan nutrisi yang
5: Tidak ada cukup
6. Anjurkan istirahat
7. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotic yang diresepkan
8. Ajarkan pasien dan keluarganya
bagaimana cara menghindari infeksi
2 Keletihan b.d penyakit (00093) Tingkat Kelelahan (0007) Manajemen Energi (0180)
Definisi: Keletihan terus menerus dan Definisi: Keparahan kelelahan secara Definisi: Pengaturan energi yang
penurunan kapasitas kerja fisik dan umum berdasarkan pengamatan atau digunakan untuk menangani atau
mental pada tingkat yang lazim laporan mencegah kelelahan dan
Indikator: mengoptimalkan fungsi
1. Kelelahan Aktivitas:
2. Kehilangan selera makan 1. Kaji status fisiologis pasien yang
3. Penurunan morivasi menyebabkan kelelahan
4. Kegiatan sehari-hari (ADL) 2. Anjurkan pasien mengungkapkan
5. Kualitas istirahat dan tidur secara verbal mengenai keterbatasan
Keterangan Penilaian NOC: yang dialami
1: Berat/sangat terganggu 3. Perbaiki deficit status fisiologis
2: Cukup berat/banyak terganggu sebagai prioritas utama
3: Sedang/cukup terganggu 4. Pilih intervensi untuk mengurangi
4: Ringan/sedikit terganggu kelelahan baik secraa farmokologi
5: Tidak ada/tidak terganggu maupun nonfarmakologi
5. Monitor intake nutrisi
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk
menghubungi tenaga kesehatan jika
tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
3 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang Status Nutrisi (1004) Manajemen Nutrisi (1100)
dari kebutuhan tubuh b.d asupan Definisi: Sejauh mana nutrisi dicerna dan Definisi: Menyediakan dan meningkatkan
diet kurang (00002) diserap untuk memenuhi kebutuhan asupan nutrisi yang seimbang
Definisi: Asupan nutrisi tidak cukup metabolik Aktivitas:
untuk memenuhi kebutuhan metabolik Indikator: 1. Tentukan status gizi pasien
1. Asupan gizi 2. Identifikasi adanya alergi atau
2. Asupan makanan intoleransi makanan
3. Asupan cairan\ 3. Tentukan apa yang menjadi
4. Rasio berat badan/tinggi badan preferensi makanan bagi pasien
5. hidrasi 4. Tentukan jumlah kalori dan jenis
Keterangan Penilaian NOC: nutrisi yang dibutuhkan untuk
1: Sangat menyimpang dari rentang memenuhi persyaratan gizi
normal 5. Anjurkan pasien mengenai
2: Banyak menyimpang dari rentang modifikasi diet
normal 6. Monitor kalori dan asupan makanan
3: Cukup menyimpang dari rentang 7. Monitor kecenderungan terjadinya
normal penurunan dan kenaikan berat badan
4: Sedikit menyimpang dari rentang
normal
5: Tidak menyimpang dari rentang normal
C. DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. (2017). Chronic Myeloid Leukemia
Atul, Mehta dan A. Victor Hoffbrand. (2005).At a Glance Hematologi.Edisi 2. Jakarta:
Erlangga
Bakta, I. M. (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Byrd JC, Bloomfield CD, dan WetzlerM. (2008). Acute and Chronic Myeloid Leukemia.
Dalam:Fauci,A.S. dkk(editor).Harrison’s Principles ofInternal Medicine 17th
Edition.USA:TheMcGraw-Hill Companies:965-975
Fadjari H, Sukrisman L. (2014). Leukemia granulositik kronik. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam edisi VI, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 2678-82.
George S, Horvath L, Molokie R, Berry J, Rondelli D, Hoffman R. (2004). Response to
Therapy with Imatinib Mesylate in Patients with CML Is Poor in Non-Caucasian
Patients. Blood Journal: 104:2937
Hoffbrand AV, Moss PAH. (2014). Kapita selekta hematologi edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;p. 178-185
Turgoen LM. (2012). Clinical Hematology Theory and Procedures5 th
Ed.Philadelpia:Lippincott Williams and Wilkins:307 –341

Anda mungkin juga menyukai