Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS HIV AIDS


DI RUANG EMERALD RSUD DR H. MOCH. ANSARI SALEH
BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :

NAMA : Yogi Feby Pebria Bayu Pradana


NIM : 11409719075
TINGKAT : II (DUA)
SEMESTER : III (TIGA)

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA


AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA
TAHUN AJARAN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Yogi Feby Pebria Bayu Pradana


NIM : 11409719075
Ruangan : Emerald

Saya yang bertanda tangan dibawah ini telah menyelesaikan laporan pendahuluan
dengan kasus HIV AIDS di ruang Emerald, RSUD dr. H.Moch.Ansari Saleh Banjarmasin

Banjarmasin, Desember 2020

Yogi Feby Pebria Bayu Pradana


NIM : 11409719075

Menyetujui

Pembimbing Lahan Pembimbing Akadaemik

Hj. Fauziah S.Kep.,Ns Wahyu Asnuriyati.,S.Kep.,Ns.,MM


NIP : 19730323 199703 2 011 NIK : 1105068201
LAPORAN PENDAHULUAN

HIV AIDS

A. PENGERTIAN

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi


retrovirus RNA yang dulunya disebut sebagai “human T lymphotrophic
virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan merusak limfosit T, terutama CD4+,
yang akan menyebabkan imunodefisiensi. Hal ini akan menjadi
predisposisi terhadap infeksi virus, fungi, mycobacteria atau parasit.
Seiring dengan waktu, HIV akan menjadi Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS), apabila limfosit T CD4+ di bawah 200 cells/μl disertai
infeksi HIV (Scully, 2004).
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yaitu HIV-1 yang
sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di
Afrika Barat. Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui
darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan
juga pada oral cavity (Scully, 2002).

B. Anatomi dan Fisiologi

Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu


infeksi dari benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan
jaringan asing dari binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini
disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari 2
proses yang kompleks yaitu : Kekebalan humoral dan kekebalan cell-
mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat
menghindari mekanisme pertahanan tubuh.
Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan
bebas atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan
terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-
positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper.
Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel
T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing
tersebut, reseptor sel T helper. Tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah
dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper
dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan.
HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper
sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel
lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan
membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang
RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse
transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik
dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA
(DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.

Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah


dilumpuhkan, genom dari HIV ¬ proviral DNA ¬ dibentuk dan
diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga menumpang ikut
berkembang biak sesuai dengan perkembanganbiakan sel T helper.
Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi
virus lain) maka HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper
dan menyerang sel lainnya untuk menimbulkan penyakit AIDS.
Karena sel helper sudah lumpuh maka tidak ada mekanisme
pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan
mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekeban
C. ETIOLOGI

Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV, yang hanya mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis, manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis
yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar
terutama di Afrika Barat (Scully, 2004).
Pada individu yang terinfeksi, biasanya virus akan membentuk antibody
dalam waktu 6-12 minggu. Kebanyakan individu yang terinfeksi HIV akan
berada dalam fase viremia selama 2-6 minggu. Pada kasus yang langka, bisa
selama 35 bulan.periode inkubasi AIDS pada kebanyakan individu yang
terinfeksi HIV adalah 10-12 tahun. Kira- kira 30% penderita AIDS yang
meninggal setelah 3 tahun didiagnosa AIDS dan kira-kira 50% hidup selama
10 tahun (Little dkk., 2002).
Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa
yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity. HIV
yang masuk ke dalam tubuh menuju kelenjar limfe dan berada dalam sel
dendritik selama beberapa hari (Greenberg dkk., 2008)
Kemudian terjadi sindrom retroviral akut seperti flu disertai viremia hebat
dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Sindrom ini akan hilang sendirir
setelah 1-3 minggu, karena kadar virus yang tinggi dalam darah dapat
diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu
sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya
eliminasi respon imun. Titik keseimbangan disebut set point. Apabila angka ini
tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung cepat (Tjay, 2000).
Tahap selanjutnya adalah serokonversi yaitu perubahan antibodi negative
menjadi positif, terjadi 1-3 bulan setelah infeksi dan pasien akan memasuki
masa tanpa gejala. Pada masa ini terjadi penurunan CD4 secara bertahap
(CD4 normal =800-1.000/mm3) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV
dengan kadar RNA virus realtif konstan. Mula-mula penurunan jumlah CD4
sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi
cepat sekitar
50-100/tahun sehingga jika tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV
sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun saat jumlah CD4 akan mencapai di bawah
200 (Tjay, 2000).

D. PATOFISIOLOGI

Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari


benda asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari
binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal
(immune response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu :
Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV)
mempunyai cara tersendiri, sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan
tubuh. “ber-aksi” bahkan kemudian dilumpuhkan.

Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas
atau berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+)
mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh,
benda asing ini segera dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper
menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya;
bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper tersebut. Jadi,
sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV ia lebih dahulu sudah
dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper
sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya
sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV
akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom
dari HIV - proviral DNA - dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga
menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.
E. PATHWAY

HIV Masuk Ke Tubuh

Menginfeksi sel yg mempunyai molekul CD4 (limfosit,T4, Monosit, sel dendrite)

Mengikat molekul CD4

Memiliki sel target dan memproduksi virus

Sel limfosit T4 hancur


Imunitas tubuh menurun

Infeksi opurtinistik

System pernafasan System pencernaan System integument System neurologis

Peradangan pada infeksi jamur peristaltic peradangan kulit infeksi ssp


Jaringa paru

Sesak , demam perdangan mulut diare kronis lesi bercak putih kejang,nyeri
Kepala

gg. pertukaran gas sulit menelan cairan output gatal, nyeri, sisik perubahan
peningkatan suhu mual, muntah proses pikir

intake kurang bibir kering gangguan rasa nyaman

gangguan nutrisi kekurangan cairan


Resiko tinggi infeksi b.d imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko

Resiko tinggi infeksi b.d infeksi HIV,.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran


oksigen, malnutrisi, kelelahan.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.

Diare berhubungan dengan infeksi GI

Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang


keadaan yang orang dicintai.
F. TANDA DAN GEJALA

a. Gejala mirip flu, termasuk demam ringan, nyeri badan, menggigil,


dapat muncul beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi.
Gejala menghilang setelah respons imun awal menurunkan
jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat bertahan pada
sel-sel lain yang terinfeksi (Corwin, 2009).
b. Selama periode laten, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak
memperhatikan gejala, atau pada sebagian kasus mengalami
limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening) persisten.
c. Antara 2 sampai 10 tahun setelah infeksi HIV, sebagian besar
pasien mulai mengalami berbagai infeksi oportunistik, bila tidak
ditangani. Penyakit-penyakit ini mengisyaratkan munculnya AIDS
dan berupa infeksi ragi pada vagina atau mulut, dan berbagai
infeksi virus misalnya varisela zoster (cacar air dan cacar ular),
sitomegalovirus, atau herpes simpleks persisten. Wanita dapat
menderita infeksi ragi kronik atau penyakit radang panggul
(Corwin, 2009).
d. Setelah terbentuk AIDS, sering terjadi infeksi saluran napas oleh
organisme oportunistik Pneumocystis carinii. Dapat timbul
sarcoma Kaposi yang resisten bermacam-macam obat karena
pasien AIDS tidak mampu melakukan respons imun yang efektif
untuk melawan bakteri, walaupun dibantu sarcoma Kaposi.
Pasien AIDS yang mengidap sarcoma Kaposi biasanya
mengalami perjalanan penyakit yang cepat memburuk yang
menyebabkan kematian dalam beberapa bulan. Penyakit
biasanya cepat menyebar ke luar paru termasuk otak dan tulang
(Corwin, 2009).
e. Gejala pada Susunan Saraf Pusat adalah sakit kepala, defek
sarkoma, kejang, perubahan kepribadian, dan demensia. Pasien
dapat menjadi buta dan akhirnya koma. Banyak dari gejala
tersebut timbul karena infeksi bakteri dan virus oportunistik pada
SSP, yang menyebabkan peradangan otak. HIV juga dapat
secara langsung merusak sel-sel otak.
f. Diare dan berkurangnya lemak tubuh sering terjadi pada pasien
AIDS. Diare terjadi akibat infeksi virus dan protozoa. Infeksi jamur
(thrush) di mulut dan sarcoma Kaposi dan menyebabkan nyeri
hebat saat menelan dan mengunyah, dan ikut berperan
menyebabkan berkurangnya lemak dan gangguan pertumbuhan
(Corwin, 2009).

g. Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS akibat tidak adanya


respons imun selular terhadap sel-sel sarcoma Kaposi. Kanker
yang sebenarnya jarang dijumpai, sarcoma Kaposi sering terjadi
pada pasien AIDS. Sarkoma Kaposi adalah kanker yang ditandai
oleh lesi kulit berwarna merah. Sebagian besar individu pengidap
sarkoma Kaposi terinfeksi melalui hubungan homoseks. Hasil
riset terkini menunjukkan bahwa ko- infeksi disertai virus herpes
yang unik, human herpesvirus 8, memicu munculnya sarcoma
Kaposi. Human herpesvirus 8 jarang terjadi kecuali di kalangan
homoseks Amerika Serikat (Corwin, 2009).
h. Tuberkulosis BTA Positif, BTA Negatif dan MDR pada Pasien
Koinfeksi TB-HIV, Diantara semua pasien yang dikumpulkan,
hasil terbanyak didapatkan adalah hasil BTA negatif. Hal ini
diakibatkan oleh status imunitas yang turun pada pasien HIV.
Banyaknya kasus BTA negative sebesar 66%, turunnya derajad
imunosupresi akan mempengaruhi gambaran bakteriologis
pasien koinfeksi TB-HIV sehingga sering memberikan hasil
sputum BTA negatif pada pasien dengan status imunitas yang
rendah. Menurut Pozniak, menyatakan bahwa 16 infeksi HIV bisa
meningkatkan insidens MDR-TB. Hal ini berdasarkan penelitian di
New York tahun 1987 sampai 1992. Sedangkan kasus MDR-TB
secara kebetulan ditemukan 1 kasus pasien dengan sputum BTA
positif. Pasien koinfeksi TB-HIV stadium lanjut yang ditandai
dengan kadar CD4 rendah lebih sering menimbulkan lesi
ekstraparu dan menimbulkan lesi yang minimal pada gambaran

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Hoffmann dkk (2007), pengujian antibodi HIV paling tidak


membutuhkan 2 uji, yaitu:
a. Screening test, yaitu ELISA

b. Confimatory test, yaitu Western blot atau immunofluorescence assay (IFT


or IFA)

Untuk mengekslusi terjadinya pencampuran sampel, sampel darah


kedua dari pasien yang sama harus di uji. Baru kemudian diagnosis
infeksi HIV dapat dikomunikasikan kepada pasien dengan hasil
seropositif (Hoffmann dkk, 2007).
Menurut Anonim (2010), tes HIV ELISA dan HIV Western blot
digunakan untuk mendeteksi virus HIV dalam darah. Menurut Nisyrios
(2005), ELISA dilakukan untuk mendeteksi HIV p24 antigen dan antibodi
HIV. Beberapa interpretasi uji ELISA dan Western Blot, antara lain:
a. Tes ELISA yang menunjukkan hasil positif harus dikonfirmasi dengan
uji Western blot. Jika keduanya menunjukkan hasil yang positif maka
menegaskan suatu infeksi HIV. Pemeriksaan lebih lanjut harus
diulang dalam interval 3-6 bulan.
b. Jika hasil Western blot menunjukkan hasil negatif, maka hasil ELISA
dipertimbangkan sebagai hasil false positive, hal ini menunjukkan
pasien tidak
terinfeksi HIV. Pengulangan tes dilakukan jika pasien memiliki resiko
dalam tiga bulan dari tes pertama.
c. Jika Western blot menunjukkan hasil yang tidak tentu, pasien
mungkin baru terinfeksi HIV dan dalam proses seroconverting.
Skrining HIV ELISA harus diulang setiap interval 2 minggu untuk
menentukan apakah uji Western blot menjadi positif.
d. Jika HIV ELISA dan Western blot menunjukkan hasil positif, tes
darah lainnya dapat dilakukan untuk menentukan banyaknya HIV
pada aliran darah. Pada suatu infeksi HIV, hasil uji CBC (complete
blood count) dan sel darah putih akan menunjukkan suatu
abnormalitas. Selain itu, jumlah sel CD4 yang lebih rendah dari
rentang normal juga menjadi tanda bahwa virus sedang merusak
sistem pertahanan tubuh (Anonim, 2010).
e.
H. PROGNOSIS
Prognosis infeksi HIV (human immunodeficiency virus) ditentukan
oleh diagnosis dini dan pengobatan pemeliharaan dengan terapi
antiretroviral (ARV). Hingga kini belum terdapat penatalaksanaan yang
bersifat kuratif untuk menangani infeksi HIV.

I. PENATALAKSANAAN

a. Medis

i. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan


menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan
pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan
kritis.
ii. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk
penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS,
iii. obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
iv. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang
meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1. Didanosine

2. Ribavirin

3. Diedoxycytidine

4. Recombinant CD 4 dapat larut.

v. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun


dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan
keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
vi. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang,
makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang
kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi
imun.

b. Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara
lain:
i. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup,
hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada

ii. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti


golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang
dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke
DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
iii. Mengatasi dampak psikososial

iv. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV,


perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh
tenaga medis
v. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga
kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan
universal (universal precaution)

II. Konsep Asuhan Keperawatan

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi nama, umur ,jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
perkawinan, suku bangsa, nomor registrasi tanggal masuk rumah sakit dan
diagnosa medis.

2. Keluhan Utama
Pada keluhan utama kasus ini sesuai dengan tinjauan teoritis dimana
keluhan utama klien masuk rumah sakit adalah demam hilang timbul sejak 2
bulan sebelum masuk rumah sakit , hal ini sama dengan tinjauan teoritis
pada manifestasi klinis gejala mayor yaitu demam lebih dari 1 bulan
(kontinu atau intermiten)

3.Riwayat Kesehatan Sekarang


Secara teoritis dilihat dari manifestasi klinis pada klien dengan HIV AIDS
ditemukan adanya mual muntah, mencret,demam hilang timbul, batuk lebih
dari 1 bulan, sedangkan di dalam kasus pasien mengatakan demam hilang
timbul sejak 2 bulan terakhir, klien mengatakan badan letih,klien mengatakan nafsu
makannya kurang, makan klien selama dirumah sakit hanya 2 sendok
makan,muntah ( - ) ,mual (+ ) klien mengatakan tenggorokannya sakit saat
menelan klien mengatakan tidur sering terbangun pada malam hari.klien kadang
merasakan pusing, klien mengatakan badan nya terasa lemas , nyeri pada perut
nyeri tekan ( + ) sakala nyeri 5-6, pasien merasakan nyeri pada persendian saat
istirahat dan aktivitas. klien mengatakan batuk berdahak, klien mengatakan dada
sakit jika batuk, nafas sesak,pendengaran pasien mulai terganggu pada telingga
bagian kanan, pasien mengatakan dia tidak mampu untuk beraktivitas dari
berbaring ke posisi duduk sangat lemah, pasien mengalami penurunan berat
badan 74 seberat 8 Kg, klien tampak pucat.BAB ( - ) sejak 1 hari saat pengkajian
Selama dirawat dirumah sakit klien tampak tidak menghabiskan porsi makan nya,
hanya 2 sendok makan, klien tampak lemah dan letih, klien tampak susah untuk
beraktifitas secara mandiri, klien tampak kurus, klien tampak meringis menahan
sakit, klien tampak pucat, mulut klien tampak ada sariawan dan kering, klien
tampak terbaring, klien juga mempunyai riwayat sering berhubungan sex bebas
sejak 3 tahun yang lalu.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu


Pada tinjauan kasus riwayat kesehatan dahulu klien belum pernah dirawat
dengan penyakit yang sama dan belum pernah juga di rawat dengan keluhan
penyakit lainya.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada pengkajian riwayat kesehatan keluarga dari genogram keluarga tidak
ada mengalami riwayat penyakkit yang sama dengan yang diderita klien dan
tidak memiliki penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, Jantung. Penyakit
menular seperti, TBC, HIV, Hepatitis, dll

6. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik jika dibandingkan dengan pemerikasaan fisik secara
teoritis pada kasus ini ditemukan sama dan tidak ada kesenjangan. Dimana
pada tinjauan teoritis dijelaskan bahwah penurunan berat badan pada klien,
pasien mudah lelah, demam, diare, tidak ada nafsu makan, infeksi jamur pada
mulut dan batuk produktif . Sedangkan pada tinjauan kasus terdapat
penurunan berat badan dari 51kg menjadi 43kg, pasien juga mudah lelah,
menderita diare, nafsu makan tidak ada, infeksi jamur pada kelamin, demam
hilang timbu

7. Data Pisikologis
Pada tinjaun teoritis dan tinjauan kasus tidak terdapat kesenjangan. Dimana
pada tinjauan teoritis terdapat tingkat stress dan kecemasan. Sedangkan pada
tinjauan kasus Tn. R mengalami tingkat stress tinggi, cemas dengan
penyakitnya Tn. R mempunyai harapan bisa cepat pulang kerumah dan
berkumpul kembali bersama keluarganya.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pada tinjaun teoritis dan tinjauan kasus penulis megalami hambatan dalam
pengkajian. Dimana pada tinjauan teoritis yang dilakukan pemeriksaan tes
diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan
laboraturium. Tes Serology tes antibody serum, tes blot westem. Tes
Neurologis : EEG, MRI, CT Scan otak, EMG. Sedangakan pada tinjauan
kasus TN.R tidak melakukan pemeriksaan EEG,dan EMG karena
keterbatasan dalam perlengkapan alat dari rumah sakit.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan


pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan
menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI

6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang


keadaan yang orang dicintai.

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Diagnos keperawatan : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan


imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Tujuan dan criteria hasil : Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan
komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak
ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau
eksudat.
Intervensi :

a. Monitor tanda-tanda infeksi baru.

Rasional : untuk pengobatan dini

b. Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan


sebelum meberikan tindakan.
Rasional : mencegah pasien terpapar kuman pathogen dati rumah sakit

c. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang


patogen.

Rasional : mencegah bertambahnya infeksi

d. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.

Rasional : Meyakinkan diagnosis akurat

e. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order

Rasional : Mempertahankan kadar darah yang terapeutik

2. Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi infeksi (kontak pasien)


berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang
dapat ditransmisikan.
Tujuan dan Kriteria hasil : Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan
memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien
dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain
seperti TBC.
Intervensi :

a. Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah


transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
Rasional : pasien dan keluarga memerlukan informasi ini

b. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bila merawat pasien.


Gunakan masker bila perlu.
Rasional : mencegah transmisi infeksi ke orang lain

3. Diagnosa keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan


kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Tujuan dan kriteria hasil : Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan
kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
Intervensi :

a. Monitor respon fisiologis


terhadap aktivitas
Rasional : respon bervariasi
dari hari ke hari
b. Berikan bantuan perawatan yang pasien
sendiri tidak mampu Rasional : mengurangi
kebutuhan energi
c. Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

Rasional : Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan


metabolik

4. Diagnosa keperawatan : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan
metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Tujuan dan criteria hasil : Pasien mempunyai intake kalori dan protein
yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria
mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan
protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
Intervensi :

a. Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.

Rasional : intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut

b. Monitor BB,
intake dan ouput
Rasional :
Menentukan data
dasar
c. Atur
antiemetik
sesuai order
Rasional :
mengurangi
muntah
d. Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

Rasional : meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

5. Diagnosa keperawatan : Diare berhubungan dengan infeksi GI


Tujuan dan criteria hasil : Pasien merasa nyaman dan mengnontrol
diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses
lunak dan warna normal, kram perut hilang.
Intervensi :

a. Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.

Rasional : mendeteksi adanya darah dalam feses

b. Auskultasi bunyi usus

Rasional : hipermotiliti umumnya dengan diare

c. Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order

Rasional : mengurangi motilitas usus yang pelan, memperburuk perforasi


intestinal

d. Berikan ointment A dan D, vaselin


atau zinc oside Rasional : untuk
menghilangkan distensi
6. Diagnosa keperawatan : Tidak efektif koping keluarga berhubungan
dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
Tujuan dan criteria hasil : Keluarga atau orang penting lain
mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan
kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan
cara yang konstruktif.
Intervensi :

a. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya

Rasional : memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan


keluarga

b. Biarkan keluarga mengungkapkan perasaan


secara verbal Rasional : agar apa yang
dimaksud dapat dimengerti secara jelas
c. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

Rasional : menghilangkan kecemasan dari transmisi melalui kontak


sederhana.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonima2016,HIVInfection,http://health.nytimes.com/health/guides/disea
se/hivinfection/ overview.html, Accessed 22/4/2017.
2. Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ;
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC,
Jakarta

3. Fauci, A.S. & Lane, H.C., 2000. Penyakit Human Immunodeficiency


Virus (HIV): AIDS dan Penyakit Terkait. Dalam: Asdie, A.H.
4. FDA, 2017, Summary of Safety and
Effectiveness Data,
http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProdu
cts/ApprovedProducts/PremarketApprovalsPMAs/ucm091919.pdf,
Accessed 22/4/2013.
5. Ganda K.M., 2008, Dentist's Guide To Medical Conditions and
Complications, Wiley- Blackwell, USA, h.360-1
6. Greenberg MS., Glick M., Ship J.A., 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th
edition, BC Decker Inc, Hamilton.
7. Hoffman C., Rockstroh J.K., Kamps B.S.,, 2007, HIV Medicine, 15th Ed,
Flying Publisher, Paris
8. http://pphipkabi.org. diakses 22/4.2016

9. Little JW., Falace DA., Miller CS., Rhodus NL., 2002, Dental
Management of The Medically Compromised Patient, 6th edition, Mosby.
10. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius
11. Murray JF. Tuberculosis and HIV Infection : Global Perspectives. Respir
Med 1996; 2:209-13.

Anda mungkin juga menyukai