OLEH :
Muhammad Redyansyah
P07120220027
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARBARU
2022
Nama : Muhammad Redyansyah
Nim : P07120220027
1. PENGERTIAN
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang
dulunya disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan
merusak limfosit T, terutama CD4+, yang akan menyebabkan imunodefisiensi. Hal ini
akan menjadi predisposisi terhadap infeksi virus, fungi, mycobacteria atau parasit.
Seiring dengan waktu, HIV akan menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS), apabila limfosit T CD4+ di bawah 200 cells/μl disertai infeksi HIV (Scully,
2004).
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling
umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika Barat. Pintu masuk utama
HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva,
rectum, penis dan juga pada oral cavity (Scully, 2002).
2. ETIOLOGI
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV, yang hanya mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis, manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis yaitu HIV-1
yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika
Barat (Scully, 2004).
Pada individu yang terinfeksi, biasanya virus akan membentuk antibody dalam
waktu 6-12 minggu. Kebanyakan individu yang terinfeksi HIV akan berada dalam fase
viremia selama 2-6 minggu. Pada kasus yang langka, bisa selama 35 bulan.periode
inkubasi AIDS pada kebanyakan individu yang terinfeksi HIV adalah 10-12 tahun. Kira-
kira 30% penderita AIDS yang meninggal setelah 3 tahun didiagnosa AIDS dan kira-kira
50% hidup selama 10 tahun (Little dkk., 2002).
Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang
terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity. HIV yang masuk ke
dalam tubuh menuju kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari
(Greenberg dkk., 2008).
Kemudian terjadi sindrom retroviral akut seperti flu disertai viremia hebat dengan
keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Sindrom ini akan hilang sendirir setelah 1-3 minggu,
karena kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh.
Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara
pembentukan virus baru dan upaya eliminasi respon imun. Titik keseimbangan disebut
set point. Apabila angka ini tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung
cepat (Tjay, 2000).
Tahap selanjutnya adalah serokonversi yaitu perubahan antibodi negative menjadi
positif, terjadi 1-3 bulan setelah infeksi dan pasien akan memasuki masa tanpa gejala.
Pada masa ini terjadi penurunan CD4 secara bertahap (CD4 normal = 800-1.000/mm3)
yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus realtif konstan.
Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir
penurunan jumlah menjadi cepat sekitar 50-100/tahun sehingga jika tanpa pengobatan,
rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun saat jumlah CD4 akan
mencapai di bawah 200 (Tjay, 2000).
3. PATOFISIOLOGI
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda
asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun
manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang
terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu :
Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai
cara tersendiri, sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh. “ber-aksi”
bahkan kemudian dilumpuhkan.
Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel
yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit,
makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera
dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing
tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke
dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV,
ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di
permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang
sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper,
HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom
dari HIV - proviral DNA - dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga
menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.
Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka
HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk
menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada
mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan
mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekebalan.
Sumber : Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius
4. PATHWAY
Infeksi opurtinistik
Sesak , demam perdangan mulut diare kronis lesi bercak putih peningkatan
kesadaran
Kejang,
nyeri kepala
gg. pertukaran gas sulit menelan cairan output gatal, nyeri, sisik prbhn
prss pikir
pningktan suhu mual, muntah
sumber : Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala mirip flu, termasuk demam ringan, nyeri badan, menggigil, dapat muncul
beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Gejala menghilang setelah respons
imun awal menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat bertahan
pada sel-sel lain yang terinfeksi (Corwin, 2009).
b. Selama periode laten, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak memperhatikan
gejala, atau pada sebagian kasus mengalami limfadenopati (pembengkakan kelenjar
getah bening) persisten.
c. Antara 2 sampai 10 tahun setelah infeksi HIV, sebagian besar pasien mulai
mengalami berbagai infeksi oportunistik, bila tidak ditangani. Penyakit-penyakit ini
mengisyaratkan munculnya AIDS dan berupa infeksi ragi pada vagina atau mulut,
dan berbagai infeksi virus misalnya varisela zoster (cacar air dan cacar ular),
sitomegalovirus, atau herpes simpleks persisten. Wanita dapat menderita infeksi ragi
kronik atau penyakit radang panggul (Corwin, 2009).
d. Setelah terbentuk AIDS, sering terjadi infeksi saluran napas oleh organisme
oportunistik Pneumocystis carinii. Dapat timbul sarcoma Kaposi yang resisten
bermacam-macam obat karena pasien AIDS tidak mampu melakukan respons imun
yang efektif untuk melawan bakteri, walaupun dibantu sarcoma Kaposi. Pasien AIDS
yang mengidap sarcoma Kaposi biasanya mengalami perjalanan penyakit yang cepat
memburuk yang menyebabkan kematian dalam beberapa bulan. Penyakit biasanya
cepat menyebar ke luar paru termasuk otak dan tulang (Corwin, 2009).
e. Gejala pada Susunan Saraf Pusat adalah sakit kepala, defek sarkoma, kejang,
perubahan kepribadian, dan demensia. Pasien dapat menjadi buta dan akhirnya koma.
Banyak dari gejala tersebut timbul karena infeksi bakteri dan virus oportunistik pada
SSP, yang menyebabkan peradangan otak. HIV juga dapat secara langsung merusak
sel-sel otak.
f. Diare dan berkurangnya lemak tubuh sering terjadi pada pasien AIDS. Diare terjadi
akibat infeksi virus dan protozoa. Infeksi jamur (thrush) di mulut dan sarcoma Kaposi
dan menyebabkan nyeri hebat saat menelan dan mengunyah, dan ikut berperan
menyebabkan berkurangnya lemak dan gangguan pertumbuhan (Corwin, 2009).
g. Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS akibat tidak adanya respons imun selular
terhadap sel-sel sarcoma Kaposi. Kanker yang sebenarnya jarang dijumpai, sarcoma
Kaposi sering terjadi pada pasien AIDS. Sarkoma Kaposi adalah kanker yang ditandai
oleh lesi kulit berwarna merah. Sebagian besar individu pengidap sarkoma Kaposi
terinfeksi melalui hubungan homoseks. Hasil riset terkini menunjukkan bahwa ko-
infeksi disertai virus herpes yang unik, human herpesvirus 8, memicu munculnya
sarcoma Kaposi. Human herpesvirus 8 jarang terjadi kecuali di kalangan homoseks
Amerika Serikat (Corwin, 2009).
h. Tuberkulosis BTA Positif, BTA Negatif dan MDR pada Pasien Koinfeksi TB-HIV,
Diantara semua pasien yang dikumpulkan, hasil terbanyak didapatkan adalah hasil
BTA negatif. Hal ini diakibatkan oleh status imunitas yang turun pada pasien HIV.
Banyaknya kasus BTA negative sebesar 66%, turunnya derajad imunosupresi akan
mempengaruhi gambaran bakteriologis pasien koinfeksi TB-HIV sehingga sering
memberikan hasil sputum BTA negatif pada pasien dengan status imunitas yang
rendah. Menurut Pozniak, menyatakan bahwa 16 infeksi HIV bisa meningkatkan
insidens MDR-TB. Hal ini berdasarkan penelitian di New York tahun 1987 sampai
1992. Sedangkan kasus MDR-TB secara kebetulan ditemukan 1 kasus pasien dengan
sputum BTA positif. Pasien koinfeksi TB-HIV stadium lanjut yang ditandai dengan
kadar CD4 rendah lebih sering menimbulkan lesi ekstraparu dan menimbulkan lesi
yang minimal pada gambaran radiologisnya (Murrey, 1996).
Tabel 2. Kategori Klinis Pada Klasifikasi CDC untuk Orang Yang Terinfeksi HIV
(Hoffmann dkk., 2007)
Kategori Tanda
Kategori A - Infeksi HIV asimptomatis
- Akut (primer) infeksi HIV yang disertai dengan
penyakit atau riwayat infeksi HIV akut
- Lymphadenopathy yang persisten dan menyeluruh
Kategori B - Kondisi simptomatik* yang tidak termasuk pada kondisi
Dalam Kategori C. Contohnya, namun tidak tebatas
pada:
Bacillary angiomatosis
Candidiasis, oropharyngeal (thrush)
Candidiasis, vulvovaginal; persistent, frequent, or
poorly responsive to therapy
Cervical dysplasia (sedang atau parah)/cervical
carcinoma in situ
Constitutional symptoms, misalnya demam (38.5° C)
atau diare yang lebih dari 1 bulan
Hairy leukoplakia, oral
Herpes zoster (shingles), melibatkan paling tidak dua
episode yang terpisah atau lebih dari satu dermatome
Idiopathic thrombocytopenic purpura
Listeriosis
Pelvic inflammatory disease, khususnya jika terdapat
komplikasi dengan tuboovarian abscess
Peripheral neuropathy
Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah limfosit T CD4+ yang ditunjukkan pada tabel 3.
Klasifikasi lesi oral pada infeksi HIV ditunjukkan pada tabel 4.
7. KOMPLIKASI
a. Oral Lesi karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh
bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis
oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang
menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum
(nyeri retrosternal).
b. Neurologik a.ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS
(ADC; AIDS dementia complex).
1) Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.
stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon
verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis
spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
2) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
c. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB >
10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang
kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang
dapat menjelaskan gejala ini.
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
3) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.
d. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi
infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal,
rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan
herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak
integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam
yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita
AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit
yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan
psoriasis.
f. Sensorik
1) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
2) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Hoffmann dkk (2007), pengujian antibodi HIV paling tidak membutuhkan 2
uji, yaitu:
a. Screening test, yaitu ELISA
b. Confimatory test, yaitu Western blot atau immunofluorescence assay (IFT or IFA)
Untuk mengekslusi terjadinya pencampuran sampel, sampel darah kedua dari pasien
yang sama harus di uji. Baru kemudian diagnosis infeksi HIV dapat dikomunikasikan
kepada pasien dengan hasil seropositif (Hoffmann dkk, 2007).
Menurut Anonim (2010), tes HIV ELISA dan HIV Western blot digunakan untuk
mendeteksi virus HIV dalam darah. Menurut Nisyrios (2005), ELISA dilakukan untuk
mendeteksi HIV p24 antigen dan antibodi HIV. Beberapa interpretasi uji ELISA dan
Western Blot, antara lain:
a. Tes ELISA yang menunjukkan hasil positif harus dikonfirmasi dengan uji Western
blot. Jika keduanya menunjukkan hasil yang positif maka menegaskan suatu infeksi
HIV. Pemeriksaan lebih lanjut harus diulang dalam interval 3-6 bulan.
b. Jika hasil Western blot menunjukkan hasil negatif, maka hasil ELISA
dipertimbangkan sebagai hasil false positive, hal ini menunjukkan pasien tidak
terinfeksi HIV. Pengulangan tes dilakukan jika pasien memiliki resiko dalam tiga
bulan dari tes pertama.
c. Jika Western blot menunjukkan hasil yang tidak tentu, pasien mungkin baru terinfeksi
HIV dan dalam proses seroconverting. Skrining HIV ELISA harus diulang setiap
interval 2 minggu untuk menentukan apakah uji Western blot menjadi positif.
d. Jika HIV ELISA dan Western blot menunjukkan hasil positif, tes darah lainnya dapat
dilakukan untuk menentukan banyaknya HIV pada aliran darah. Pada suatu infeksi
HIV, hasil uji CBC (complete blood count) dan sel darah putih akan menunjukkan
suatu abnormalitas. Selain itu, jumlah sel CD4 yang lebih rendah dari rentang normal
juga menjadi tanda bahwa virus sedang merusak sistem pertahanan tubuh (Anonim,
2010).
9. PENATALAKSANAAN
a. Medis
1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan
pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
2) Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat
antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi
antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
3) Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas
system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut.
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen
tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk
menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
5) Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan
sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun.
b. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
1) Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah
kemungkinan terjadi infeksi
2) Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
3) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT
dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
4) Mengatasi dampak psikososial
5) Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
6) Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
Tabel 5. Pilihan Perawatan Untuk Manifestasi Oral Yang Sering Muncul Pada Pasien HIV
(Vaseliu dkk, 2010)
Lesi Perawatan untuk Dewasa Keterangan
Oral Candidiasis Topikal - Bentuk oral kandidiasis yang
(Erythematous, a. Nystatin (Mycostatin) berbeda dapat terjadi secara
Pseudomembranous b. Gel Oral: aplikasi gel setiap 8 atau 6 jam terus menerus
dan Hyperplastic) sekali selama 10-14 hari - Hiperplastik candidiasis
c. Cream: aplikasi setiap 12 jam, selama 10- membutuhkan perawatan
14 hari sistemik
Sistemik - Ketoconazole dapat
a. Nystatin (Mycostatin) 400.000-600.000 berinteraksi dengan Lopinavir-
U setiap 6 jam selama 14 hari Ritonavir (Kaletra) pada dosis
b. Ketoconazole (Nizoral) 200-400 mg PO >200 mg/hari
q.d - Topikal fluoride harus
c. Fluconazone (Diflucan) 50-100 PO q.d digunakan untuk periode yang
d. Itroconazole (Sporanox) (capsule atau lama untuk menghalangi
solution) 200mg PO qd selama 7 hari kandungan gula yang tinggi
e. Amphotericin B10 mg IV setiap 6 jam, pada beberapa medikasi
selama 10 hari antifungal.
Profilaksis - Amphotericin B dapat
Fluconazole 100mg PO qwk, untuk waktu digunakan pada infeksi yang
yang lama resisten terhadap azole
- Amphotericin B juga terdapat
pada sediaan topical
- Gigi tiruan harus dilepas ketika
dilakukan medikasi
Angular Cheilitis Topikal Lesi cenderung sembuh secara
a. Nystatin-triamcinolone (Mycostatin II) perlahan karena gerakan
ointment yang diaplikasikan pada area membuka mulut yang selalu
yang terkena setelah makan dan waktu berulang-ulang
tidur.
b. Cream Clotrimazole 1% (Mycelex)
c. Cream Miconazole 2% diaplikasikan
setiap 12 jam pada area terkena,
selama 1-2 minggu
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnos keperawatan : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Tujuan dan criteria hasil : Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya
dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda
vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda infeksi baru.
Rasional : untuk pengobatan dini
b. Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan
tindakan.
Rasional : mencegah pasien terpapar kuman pathogen dati rumah sakit
c. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
Rasional : mencegah bertambahnya infeksi
d. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
Rasional : Meyakinkan diagnosis akurat
e. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional : Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
DAFTAR PUSTAKA