Anda di halaman 1dari 27

KASUS UJIAN HOME CARE

ASUHAN KEPERAWATAN HOMECARE MENGGUNAKAN TEKNIK SEFT


(SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNICUE) UNTUK PENURUNAN
STRESS PADA IBU HAMIL DENGAN HIV

Dosen Pembimbing :
Ety Nurhayati.,S.Kp.,M.Kep, Ns. Sp. Kep. Mat

Disusun Oleh :
YELI SAFIRAH
20190305027

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2020
A. Latar Belakang
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang tergolong
familia retrovirus, sel sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang terinfeksi
adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV
memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut,
sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur
menurun ( Daili, F.S. , 2009)

Menurut Departemen Kesehatan (2002) home care  adalah pelayanan kesehatan


yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan
keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan,
mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat
kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.

B. KONSEP DASAR
1. Pengertian
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV, dalam
bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh
Dapatan (Zuya Urahman, 2009).
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler
dan Brenda G.Bare, 200 )
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan
ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan
imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan
dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and
Prevention, 2005).

2. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua tipe yaitu tipe
HIV-1 dan HIV-2.Infeksi yang terjadi sebagianbesar disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-
2 benyak terdapat di Afrika Barat. Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya
infeksi oleh HIV-1 jauh lebih mudah ditularkan dan masa inkubasisejak mulai infeksi sampai
timbulnya penyakit lebih pendek (Martono, 2006).HIV yang dahulu disebut virus limpotrofik
sel T manusia atau virus limfadenopati(LAV), adalah suatu retrovirusmanusia sitopatikdari
famili lentivirus. Retro virus mengubah asam ribo nukleatnya(RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat(DNA) setelah masuk ke dalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik,dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia(Sylvia&
Wilson, 2005).
Ciri khas morfologi yang unik dari virus HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindr is dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi
retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus
yang penting dalam pathogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein tat,
berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya.Transaktivasi pada hiv sangat efisien untuk menentukan virulensi dari
infeksi HIV. Proteinrev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein nefmenginduksi produksi
khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

3. Tanda gejala
Menurut KPA (2007), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi).
1. Gejala mayor:
 Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
 Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
 Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
 Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
 Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala Minor
 Batuk menetap lebih dari 1 bulan
 Dermatitis generalisata
 Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
 Kandidias orofaringeal
 Herpes simpleks kronis progresif
 Limfadenopati generalisata
 Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari
HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-
kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita
HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring
dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan
gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang
lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Menurut Sylvia& Wilson (2005) AIDS memiliki beragam manifestasi klinis meliputi:
1. Keganasan
Sarkoma Kaposi (SK) adalah jenis keganasan yang tersering di jumpai pada laki -laki
homoseks atau biseks yang terinfeksi oleh HIV(20%),tetapi jarang pada orang dewasa lain
(kurang dari 2%) dansangat jarang pada anak. Tanda lesi berupa bercak-bercak
merahkekuningandi kulit,tetapi warna juga mungkin bervariasi dari ungutua, merah muda, sampai
merah coklat.Gejala demam, penurunan berat badan, dan keringat malam.
2. Sistem Syaraf Pusat (SSP)
Gejala tanda awal limfoma sistem syaraf pusat (SSP) primer mencakup nyeri kepala,
berkurangnya ingatan jangka pendek, kelumpuhan syaraf kranialis, hemiparesis, dan perubahan
kepribadian.
3. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carini gejala: demam, batuk kering nonproduktif, rasa lemah, dan
sesak nafas.Gastro Intestinal Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya
selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta esophagus dan diare kronis.
4. Neurologik
Manifestasi dini nerologik penyakit AIDS ensefalopati HIV mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia.
5. Integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunis serta malignasi. Infeksi
oportunistik seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan di sertai dengan pembentukan vesikel
yang nyeri dan merusak integritas kulit. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat
memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas
atau dengan dermatitis atopik seperti exzema atau psoriasis.

4. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar
limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus
yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam
respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel
yang terinfeksi.

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah
provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel
T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan
virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus
HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi,
menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan
tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme
yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk
menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.

Menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel
T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat
tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama
waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum
infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan
jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit
baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah.
Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per
ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

5. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya


a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes
dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
b. Serologis

Tes antibody serum


Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan
merupakan diagnosa
Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Sel T limfosit

Penurunan jumlah total


Sel T4 helper

Indikator system imun (jumlah <200>


T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke
T4 ) mengindikasikan supresi imun.
P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
a. Reaksi rantai polymerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
b. Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif.

Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf), dilakukan dengan biopsy pada waktu
PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru

Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun
akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk
dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi
antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi
diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji –
kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes
tersebut, yaitu :

Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)


Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan
bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang
yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
Western Blot Assay
Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan
seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.
Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )
Mendeteksi protein dari pada antibody.
Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk
melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan
p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV– 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan
lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.

c. Pathway

c. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian berdasarkan biopsikospiritual

1. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur
kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada
orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi
kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik
yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik,
kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus
dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut
bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan
hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapiradiasi, defisiens inutrisi, penuaan, aplasia timik, limpoma, kortikosteroid,
globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.

b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)

Limfositik leukemia kronis,mieloma, hipogamaglobulemia congenital, protein –


liosing enteropati (peradangan usus)
2. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas (
Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).

b. Sirkulasi

Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.

Tanda : Perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis,


perpanjangan pengisian kapiler.

c. Integritas dan Ego

Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan mengkuatirkan penampilan,


mengingkari doagnosa, putus asa, dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d. Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal,
nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri
tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah, warna,dan
karakteristik urine.
e. Makanan / Cairan

Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia


Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk,
edema.
f. Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g. Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental, kerusakan status indera,
kelemahan otot, tremor, perubahan penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal, tremor,
kejang, hemiparesis, kejang.
h. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak, pincang.
i. Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada. Tanda : Takipnea,
distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan,luka, transfuse darah, penyakit defisiensi imun, demam
berulang, berkeringat malam.

k. Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe,
menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
l. Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya libido, penggunaan pil pencegah
kehamilan.
Tanda : Kehamilan, herpes genetalia
m. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya trauma AIDS
Tanda : Perubahan interaksi
n. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan, prilaku seks beresiko tinggi, penyalahgunaan obat-obatan
IV, merokok, alkoholik.
Diagnosa Keperawatan

a. Resikotinggiinfeksiberhubungandenganimunosupresi, malnutrisidanpolahidup yang beresiko.


b. Resikotinggiinfeksi (kontakpasien) berhubungandenganinfeksi HIV,
adanyainfeksinonopportunisitik yang dapatditransmisikan.
c. Intoleransaktivitasberhubungandengankelemahan, pertukaranoksigen, malnutrisi, kelelahan.
d. Perubahannutrisikurangdarikebutuhantubuhberhubungandengan intake yang kurang,
meningkatnyakebutuhan metabolic, danmenurunnyaabsorbsizatgizi.
e. Diareberhubungandenganinfeksi GI
f. Tidakefektifkopingkeluargaberhubungandengancemastentangkeadaan yang orang dicintai

Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan


Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Resikotinggiinfeksiberhubungandenganimunosupresi, Pasien akan 1.  Monitor 1.Untuk
malnutrisidanpolahidup yang beresiko. bebas infeksi tanda-tanda pengobatan dini
oportunistik infeksi baru.
dan gunakan
komplikasinya teknik aseptik 2.Mencegah
dengan pada setiap pasien terpapar
kriteria tak tindakan oleh kuman
ada tanda- invasif. patogen yang
tanda infeksi 2. Cuci tangan diperoleh di
baru, lab tidak sebelum rumah sakit.
ada infeksi meberikan 3.Mencegah
oportunis, tindakan. bertambahnya
tanda vital infeksi
dalam batas
normal, tidak
ada luka atau 3.Anjurkan 4.Meyakinkan
eksudat. pasien metoda diagnosis akurat
mencegah dan pengobatan
terpapar
terhadap 5.Mempertahan
lingkungan kan kadar darah
yang patogen. yang terapeutik
4. Kumpulkan
spesimen
untuk tes lab
sesuai order.
5.Atur
pemberian
antiinfeksi
sesuai order  

Resikotinggiinfeksi (kontakpasien) Infeksi HIV 1.  1. Anjurkan 1.Pasien dan


berhubungandenganinfeksi HIV, tidak pasien atau keluarga mau
adanyainfeksinonopportunisitik yang dapatditransmisikan. ditransmisikan orang penting dan
, tim lainnya memerlukan
kesehatan metode informasikan ini
memperhatika mencegah
n universal transmisi HIV 2.Mencegah
precautions dan kuman transimisi
dengan patogen infeksi HIV ke
kriteriaa lainnya. orang lain
kontak pasien2.  2. Gunakan
dan tim darah dan
kesehatan cairan tubuh
tidak terpapar precaution bila
HIV, tidak merawat
terinfeksi pasien.
patogen lain Gunakan
seperti TBC. masker bila
perlu.

Intoleransaktivitasberhubungandengankelemahan, Pasien    1. Monitor 1.Respon


pertukaranoksigen, malnutrisi, kelelahan. berpartisipasi respon bervariasi dari
dalam fisiologis hari ke hari
kegiatan, terhadap 2. Mengurangi
dengan aktivitas kebutuhan
kriteria bebas   2. Berikan energi
dyspnea dan bantuan
takikardi perawatan 3. Ekstra
selama yang pasien istirahat perlu
aktivitas. sendiri tidak jika karena
mampu meningkatkan
   3. Jadwalkan kebutuhan
perawatan metabolik
pasien
sehingga tidak
mengganggu
isitirahat.

Perubahannutrisikurangdarikebutuhantubuhberhubungande Pasien 1. Monitor 1. Intake


ngan intake yang kurang, meningkatnyakebutuhan mempunyai kemampuan menurun
metabolic, danmenurunnyaabsorbsizatgizi. intake kalori mengunyah dihubungkan
dan protein dan menelan. dengan nyeri
yang adekuat tenggorokan
untuk dan mulut
memenuhi 2. Monitor 2. Menentukan
kebutuhan BB, intake dan data dasar
metaboliknya ouput 3. Mengurangi
dengan 3. Atur muntah
kriteria mual antiemetik 4. Meyakinkan
dan muntah sesuai order bahwa makanan
dikontrol, 4. Rencanakan sesuai dengan
pasien makan diet dengan keinginan
TKTP, serum pasien dan pasien
albumin dan orang penting
protein dalam lainnya.
batas normal,
BB mendekati
seperti
sebelum sakit.

Diareberhubungandenganinfeksi GI Pasien merasa 1. Kaji 1.Mendeteksi


nyaman dan konsistensi adanya darah
mengnontrol dan dalam feses
diare, frekuensi  fese
komplikasi s dan adanya 2.Hipermotiliti
minimal darah. mumnya dengan
dengan diare
kriteria perut 2.Auskultasi 3.Mengurangi
lunak, tidak bunyi usus motilitas
tegang, feses usus, yang
lunak dan pelan,
warna normal, 3.Atur agen memperburuk
kram perut antimotilitas perforasi pada
hilang, dan psilium intestinal
(Metamucil) 4.Untuk
sesuai order menghilangkan
distensi

   4. Berikan
ointment A
dan D, vaselin
atau zinc oside
Tidakefektifkopingkeluargaberhubungandengancemastenta Keluarga atau 1. Kaji koping 1. Memulai
ngkeadaan yang orang dicintai. orang penting keluarga suatu hubungan
lain terhadap sakit dalam bekerja
mempertahan pasein dan secara
kan suport perawatannya konstruktif
sistem dan dengan
adaptasi keluarga.
terhadap 2. Biarkan 2. Mereka tak
perubahan keluarga menyadari
akan mengungkapk bahwa mereka
kebutuhannya ana perasaan berbicara secara
dengan secara verbal bebas
kriteria pasien 3.
dan keluarga 3. Ajarkan Menghilangkan
berinteraksi kepada kecemasan
dengan cara keluaraga tentang
yang tentang transmisi
konstruktif penyakit dan melalui kontak
transmisinya. sederhana.

Stress

Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan penglaman subjektif dri seseorang.
Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorng tidak nyaman dan
terbagi dalam beberapa tingkatan. Jdi, cemas berkaitan dengan
 persaan tiidak pasti dan tidak berdaya. (Kususmawati, 2010)

Ansietas merupakan keadaan ketika individu atau kelompok mengalami

 perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi sistem saraf autonom dalam

 berespons terhadap ancaman yang tidak jelas, nonspesifik (Carpenito, 2011).

Kejadian dalam hidup seperti menghadapi tuntutan, persaingan, serta bencana dapat
membawa dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu
contoh dampak psikologis adalah timbulnya kecemasan atau ansietas. (AH. Yusuf,
2015)
1.   Tanda dan gejala

Tanda dan gejala kecemasan yang di tunjukkan atau di temukan oleh seseorang
bervariasi tergantung dari beratnya atatu tingkatan yang dirasakan oleh individu
tersebut (Eko Prabowo. 2014) Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat
mengalami kecemasan secara umum (Eko Prabowo. 2014), antara lain adalah sebagai
berikut:
a.  Cemas, kawatir, firasat buruk, takut akan pikirannyasendiri, mudah

tersinggung,

 b.  Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c.   Takutsendiriaan, takut pada keramaian, dan banyak orang.

d.   Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

e.   Gangguan kosentrasi daya ingat

Gejala somatikrasa sakit pada oto dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dngin dan lembab, dan
lain sebagainya (Eko prabowo, 2014: 124-125).
2.   Tingkat kecemasan

Tingkat ansietas sebagai berikut:


a.  Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan menghasilkan


lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi bekpar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreatifitas.
 b.  Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami


perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
c.   Ansietas berat, sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak
dapat berfikir pada hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak
 pengarahan untuk dapat memusatkan pada satu area lain.

d.   Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan terperangah,


ketakutan dari orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi
kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas
motorik,menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan juga
 berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat,
bahkan kematian.
3.   Faktor predisposisi dan faktor presipitasi a. 
Faktor predisposisi 

Strepredisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan


timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa:
1)   Peristiwa trumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan
dengan krisis yang di alami individu baik krisis perkembangan
atausituasiona.

2)   Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan


 baik, id dan super ego atau antar

3)   Konsep diri tergangggu akan menimbulkanketidakmampuanindividu


 berpikir secara realitas sehinga akan menimbulkankecemasan.

4)   Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untukmengambil


keputusan yang berdampak terhadapego.
5)   Gangguan fisik akan menimbulkankecemasan karenamerupakan
ancaman terhadap integritas fisik yang dapatmempengaruhi konsep
diriindividu.
6)   Pola mekanisme keluarga atau pola keluarga menangani stress akan
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflikyang di
alami
karena pola mekanisme koping individu banyak di pelajari dalam keluarga.
7)   Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan
mempengaruhirespons individu dalam berespons terhadap konflik dan
mengatasi kecemasannya (Eko prabowo, 2014:123-124).
 b.  Faktor prespitasi

Faktor prespitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat


mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor prespitasi kecemasan di
kelompokkan menjadi du abagian, yaitu:
1)   Ancaman terhadap integritas kulit ketegangan yang mengancam

integritas fisik yang meliputi:


a) Sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisisologis sistem
imun, regulasi suhu tubuh, perubhan biologisnormal
 b)  Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

 bakteri, polusi lingkunag, kecelakaan, kekuranagan nutrisi,


tidakadekuatnya tempat tinggal
2) Anacaman terhadap harga diri meliputi sumber internal daneksternal

a)   Sumber internal kesulitan dalam berhubungan interpersonal


dirumah tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai
ancamanterhadap integritas fisisk juga dapat mengancam hargadiri.
 b)  Sumber eksternalorang yang dicinta berperan, perubahan status

 pekerjaan tekanan kelompok social (Eko prabowo, 2014:124).

4.   Mekanisme koping

Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping yaitu
sebagai berikut.

1.   Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
 berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi

stres, misalnya perilaku menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan


pemnuhan kebutuhan. Menarik diri untuk memindahkan darisumber stres.
Kompromi untuk mengganti tujuan atau mengorbankan kebutuhanpersonal.
2.   Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan
sedang, tetapi berlangsung tidak sadar, melibatkan penipuan diri, distorsi, dan
bersifat meladaptif.(AH.yusuf,2015:87-88)
5.   Penyebab

Menurut (Savitri Ramaiah, 2003: 11) ada beberapa faktor ynag menunjukkan reaksi
kecemasan, diantaranya yaitu:
a.  Lingkungan atau sekitar tempat tinngal mempengaruhi cara berpikir
individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini di sebabkan karena
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga,
sahabat, ataupun rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman
terhadap lingkungannya.
 b.  Emosi yang ditekan, kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu

menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan

 personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam

 jangka waktu yang sangatlama.

c.  Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan.
Menurut (Zakiah Daradjat dan Kholi Lur Romchman, 2010: 167)
mengemukakan beberapa penyebab dari kecemasan yaitu:
a.  Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam

dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat
jelas didalam pikiran.
 b.  Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal

yang berlawanan dengan keyakinan atau hatinurani.

c.  Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Kecemasan
ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak

 berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan takut yang
mempengaruhi kesehatan kepribadianpenderitanya.
Menurut (Stuart dan Sundeen, 1998: 177)Beberapa teori penyebab kecemasan pada
individu antara lain:

a.  Teori psikoanalatik terjadi karna adanya konflik yang terjadi antara emosinal
elemen kepribadian , yaitu id dan super ego. Id mewakili insting, super ego
mewakili hati nurani, sedangkan ego berperan menengahi konflik yang terjadi
antara dua elemen yang bertentangan. Timbulnya kecemasn merupakan upaya
peningkatan ego dan bahaya.
Teori interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap adanaya penolakan dan tidaka
adanya penerimaan interpersonal.
c.   Teori perilaku(Bevarior)

Kecemasan merupakan prodk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu


kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan.
d.   Teori prespektif keluarga

Kajian keluaraga menunjukkan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga.


Kecemasan menunjukkan adanya pola interaksi yang maladaptive dalam system
keluarga.
SEFT

Karakteristik responden yang diteliti meliputi usia, pekerjaan, pendidikan, agama, suku
bangsa, status pernikahan dan lamanya terdiagnosa HIV. Sebagian besar responden
adalah ibu rumah tangga pada usia dewasa madya (56,67%) dimana usia ini termasuk
dalam usia produktif, dengan status menikah (76,67 %). Seseorang yang telah memasuki
usia produktif dituntut peran yang lebih besar, karena bagi sebagian orang, masa ini
merupakan puncak dari kesehatan fisik dan kesempatan untuk meninggal karena
penyakit cukup kecil. Selain itu pada masa ini kesempatan reproduksi berada pada
tingkat tertinggi (Feldman, 2011). Seseorang yang mengalami penyakit kronis pada
masa ini apalagi penyakit yang dinyatakan belum dapat disembuhkan seperti HIV,
menyebabkan penderita lebih sulit untuk menerima sakitnya. Seringkali wanita dengan
HIV harus merawat pasangannya dan atau anaknya yang mengalami penyakit yang sama
dan sangat tergantung pada ibunya (Spritia, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Trilistya, 2006), hasil penelitian Trilistya ini menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan status pernikahan dimana
wanita lebih cenderung mengalami depresi daripada laki-laki dengan perbandingan
rasio 2:1. Prevalensi kejadian depresi juga lebih tinggi pada orang yang menikah
dibandingkan dengan yang tidak menikah (Trilistya, 2006). Penelitian yang dilakukan
oleh Yaunin dkk (2014) juga menemukan bahwa kejadian depresi banyak terjadi
pada penderita HIV dengan status menikah yaitu 50% dari 24 responden yang diteliti.
Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Unnikrishnan dan kawan-kawan (2012),
hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa gangguan depresi yang terbanyak terjadi
pada orang dengan status menikah (44,6%). Hal ini disebabkan karena pada pasien
HIV/AIDS yang sudah menikah pada umumnya memiliki banyak kendala
dalam kehidupannya seperti permasalahan rumah tangga, permasalahan
ekonomi keluarga, ditambah lagi dengan kurangnya dukungan dari keluarga
dekat dan lingkungan. Sehingga dapat menyebabkan meningkatnya stress mental pada
pasien HIV/AIDS yang apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadi gangguan
depresi (Yaunin; Hidayat,
2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu rumah tangga dengan HIV mengalami
depresi mulai rentang garis batas depresi klinis sampai depresi berat. Kurang lebih 5–
10% masyarakat umum mengalami depresi, namun angka depresi pada penderita HIV
dapat mencapai 60% (Spiritia, 2008). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Darussalam (2011). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa penyakit penyerta
yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan depresi pada penderitanya. Kaplan
(2012) juga menyebutkan bahwa faktor psikososial yang salah satunya adalah penurunan
kesehatan dapat menyebabkan depresi Depresi merupakan kondisi psikiatrik yang paling
banyak ditemui pada penderita HIV (Candra, Desai dan Ranjan, 2005) angkanya dapat
mencapai 33–50%, hal ini sangat tergantung pada kriteria diagnostik yang digunakan
(Ciesla & Roberts, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Pyne, dkk., (2007) dan Ofovwe
(2013) yang dilakukan pada 113 responden, menemukan bahwa penderita HIV
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi. Bahkan diperkirakan penderita
HIV positif memiliki risiko dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan
orang-orang dengan HIV negatif. Wanita memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
untuk mengalami depresi dibandingkan dengan pria. Kurang lebih seperempat dari
seluruh wanita cenderung mengalami depresi pada saat yang sama dalam kehidupan
mereka (Feldman, 2011). Apalagi jika yang mengalaminya adalah ibu rumah tangga
yang terkena HIV. Ibu rumah tangga bukan merupakan populasi yang memiliki perilaku
berisiko. Mereka hanya melakukan hubungan dengan pasangannya, tidak mengenal
narkoba, tetapi tiba-tiba harus menerima vonis terkena HIV karena tertular dari suami
mereka (Suriyani, 2006). Hal tersebut dapat memperburuk keadaan depresinya.

Beck (2009) dalam bukunya menjelaskan bahwa faktor penyebab depresi adalah
adanya penyimpangan atau distorsi kognitif dari penderitanya. Terdapat pikiran-pikiran
yang buruk mengenai dirinya, ditandai dengan adanya penilaian diri yang negatif dan
harga diri yang rendah, memiliki harapan-harapan yang negatif. Cenderung
menyalahkan dan mengkritik diri sendiri serta sulit untuk mengambil keputusan.
Penderita depresi memiliki sikap pesimis yang disebabkan karena merasa tidak
berharga, memiliki bayangan yang buruk tentang masa depannya dan sangat
mengkhawatirkan adanya sebuah penolakan akibat perubahan yang dialaminya. Mereka
berkeyakinan bahwa keadaan buruk yang dialaminya akan berlangsung terus menerus
dan akan menjadi semakin buruk. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Stuart
& Sundeen (2010) dalam Rahayu (2012) yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab
dari depresi adalah kurangnya rasa harga diri atau terjadinya harga diri rendah. Sebagian
besar penderita HIV menghadapi problema rendah diri atau mempunyai gambaran diri
yang negatif. Penelitian yang mendukung hal tersebut dilakukan oleh Rahayu (2012) di
Poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh penderita HIV maka tingkat depresi yang
dialami semakin ringan. Namun sebaliknya semakin rendah harga diri yang dimiliki
maka tingkat depresi yang dialami semakin berat. Penelitian lain yang mendukung
dilakukan oleh Lewis, dkk pada tahun 2012. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
kebanyakan responden menyalahkan diri sendiri, diikuti dengan perasaan kecil hati,
hilangnya kesenangan, dan perasaan gagal pada kehidupannya, serta merasa sesuatu
yang buruk terjadi pada dirinya (Lewis, Mosepele, Seloilwe, Lawler, 2012).
Penyimpangan kognitif lain yang dialami responden yaitu keluarga besarnya belum
mengetahui status kesehatannya saat ini. Hal ini mengakibatkan responden merasa
sangat tersiksa, karena sampai saat ini ia berusaha untuk menutupi statusnya tersebut.
Ada rasa khawatir jika keluarga mengetahui keadaannya, ia akan di usir oleh keluarga
besarnya, sedangkan suami yang selama ini memberinya suport, telah meninggal
terlebih dahulu akibat HIV/AIDS yang dideritanya. Keadaan tersebut diakibatkan
karena masih adanya stigma dan deskriminasi di masyarakat kepada penderita HIV yang
sangat tinggi, sehingga lebih memperberat keadaan penderita HIV untuk dapat hidup
secara layak dan normal di masyarakat (Chandra, 2006; Depkes, 2012; Rasmini,
2006).

Stigma dan diskriminatif yang dihubungkan dengan penyakit dapat menimbulkan efek
psikologi yang berat bagi orang dengan HIV. Hal ini dalam beberapa kasus mendorong
terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan (Rasmini, 2006). Hal
ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarikusumah dan Nurhasanah
(2012). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pemaknaan subjektif konsep
diri orang dengan HIV yang menerima label negatif dan diskriminasi dari lingkungan.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa konsep diri penderita HIV sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, penderita dengan HIV mengalami pelabelan
negatif oleh lingkungan sosialnya (seperti mayat hidup, kutukan, aib), penderita
mengalami berbagai bentuk diskriminasi (seperti dijauhi keluarga, pemisahan
peralatan makan, dikucilkan oleh warga kampung dan lingkungan kerja), sehingga
sebagai konsekuensi dari pemberian label negatif dan diskriminasi terbut, penderita
HIV memandang, berpikiran, dan merasa negatif terhadap diri (seperti perasaan putus
asa, depresi, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, menarik diri dari
lingkungan, dan berkeinginan bunuh diri) (Sarikusumah dan Nurhasanah, 2012).
Mayoritas responden dalam penelitian ini menjawab bahwa merasa berkecil hati
terhadap masa depannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beck bahwa gejala
kognitif yang diperlihatkan oleh seseorang dengan depresi yaitu memiliki harapan
yang negatif, dimana ia akan memiliki sikap pesimis serta adanya keyakinan adanya
bayangan buruk tentang masa depannya (Beck, 2009). Hawari (2006) juga
menyebutkan bahwa penderita depresi memiliki sikap pesimis dalam menghadapi
masa depannya (Hawari 2006). Selain itu menurut Cervone dan Pervin (2012)
penderita depresi mengalami model cognitive triad (tiga pandangan negatif), salah
satu diantaranya adalah adanya pandangan yang suram akan masa depannya (Cervone
dan Pervin, 2012).

Sebagian ibu rumah tangga dengan HIV yang mengalami depresi menyatakan
bahwa terkadang mereka mempunyai pikiran-pikiran untuk bunuh diri, walaupun
tidak akan melaksanakannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Beck bahwa
pada penderita HIV terdapat gejala motivasional yang pada keadaan terburuk dapat
memiliki ide dan keinginan untuk mengakhiri hidup yang muncul baik secara pasif
maupun aktif. Selain itu didukung pula oleh Hawari (2006) yang menyatakan bahwa
di Amerika Serikat banyak penderita HIV yang mengalami depresi berkeinginan
untuk melakukan bunuh diri. Katzenstein (1998) dalam Hawari (2006) menemukan
bahwa 5%–15% dari penderita depresi melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Lam, Michalak, Swinson (2005) bahwa pada penderita
depresi terdapat pikiran tentang kematian dan keinginan bunuh diri.
Temuan lain yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagian besar ibu rumah
tangga dengan HIV yang mengalami depresi memerlukan usaha yang lebih keras
untuk memulai suatu pekerjaan, tidak dapat tidur nyenyak dan lebih merasa lelah
daripada biasanya, terdapat penurunan selera makan sampai kehilangan berat badan
2,5 kg lebih dan merasa cemas dengan keadaan fisiknya yang sering merasa nyeri,
sakit perut atau sembelit serta kurang berminat terhadap seks dibandingkan dengan
biasanya. Hawari (2006) menyebutkan bahwa pada orang dengan depresi terdapat
penurunan gairah hidup, tidak memiliki semangat hidup dan merasa tidak berdaya.
Selain itu mengalami pula gangguan tidur, dapat berupa insomia atau sebaliknya
hipersomnia, gangguan tidur ini dapat disertai dengan mimpi buruk. Penderita
depresi kerap sekali merasa mudah lelah, lemah, lesu dan kurang energik. Selain itu
nafsu makan menurun sehingga menyebabkan berat badan menurun, seringkali
mengeluhkan sakit di berbagai tempat dalam tubuhnya (keluhan psikosomatik) dan
terdapat gangguan fungsi seksual (terjadi penurunan libido) (Hawari, 2006). Hal
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lewis, dkk (2012) yang
menemukan bahwa wanita HIV positif yang mengalami depresi mengalami gejala
somatik seperti perubahan nafsu makan (48%), masalah tidur (47%), dan kelelahan
(47%) serta terdapat responden yang melaporkan bahwa mereka mengalami hal yang
buruk tentang diri mereka (40%), kesulitan dalam berkonsentrasi (31%) (Lewis,
Mosepele, Seloilwe, Lawler, 2012). Lam, Michalak, Swinson, 2005) juga
menyatakan bahwa penderita depresi mengalami juga kelelahan, perubahan
psikomotor, gangguan tidur dan penurunan nafsu makan.

Tingkat Depresi setelah dilakukan Intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom


Technique) pada Kelompok Intervensi, hal ini selaras dengan Beck (2009) menyatakan
bahwa depresi yang terjadi pada seseorang diakibatkan oleh adanya peyimpangan
atau distorsi kognitif. Secara sistematis orang dengan depresi salah dalam
mengevaluasi pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kininya, sehingga dia
menganggap dirinya dan masa depannya negatif. Pada umumnya menurut konsep ini
penderita akan memandang dan menganggap dirinya tidak sempurna, merasa tidak
adekuat, tidak berguna dan cenderung menganggap pengalaman yang tidak
menyenangkan sebagai suatu kekurangan mental atau sosial yang terdapat pada
dirinya (Beck, 2009). Masalah-masalah pikiran, skema negatif dan kesalahan kognitif
inilah yang menyebabkan depresi (Cervone dan Pervin, 2012). Sehingga Beck
berpendapat bahwa, terapi yang tepat dalam menangani masalah depresi ini adalah
dengan cara mengidentifikasikan dan mengkoreksi konseptualisasi atau pemikiran-
pemikiran yang terdistorsi serta mereposisi keyakinan-keyakinan yang disfungsional
tersebut (Beck, 1993; Brewin, 1996 dalam Cervone dan Pervin, 2012).

Hal tersebut selaras dengan prinsip terapi yang terdapat di dalam SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Technique). Terapi ini memiliki prinsip dasar spiritual power
yaitu yakin, ikhlas, pasrah, syukur dan khusyu (Zainudin, 2012). Ketika seseorang
dalam keadaan yakin bahwa apa yang terjadi pada kehidupan ini adalah atas izin
Allah SWT, dan semua kejadian dalam hidup ini adalah yang terbaik untuk dijalani.
Yakin pada Maha kuasanya Allah SWT dan Maha sayangnya Allah pada mahluknya
maka seseorang akan menjalani kehidupan ini dengan lebih tenang dan ringan
(Zainudin, 2012). Gymnastiar (2008) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki
kayakinan akan pertolongan Allah SWT, maka pertolongan itu pasti datang, jika
seseorang yakin bahwa kesulitannya akan dilapangkan oleh Allah SWT maka Dia
akan melapangkannya, karena Allah SWT akan sesuai dengan prasangka hambanya
(Gymnastiar, 2008). Keyakinan bahwa Allah SWT telah mengukur ujian yang
menimpa termasuk penyakit yang ditimpakan pada seseorang, telah disesuaikan
dengan kadar kemampuannya dan telah disesuai dengan kesanggupannya. Keyakinan
bahwa setiap kesulitan selalu disertai dengan berbagai kemudahan yang diberikan
Allah SWT (Gymnastiar, 2008) maka hal tersebut dapat memperbaiki penyimpangan
kognitif yang terjadi pada penderita depresi.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa terdapat penurunan
secara signifikan tingkat depresi pada kelompok intervensi setelah diberikan
intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique). Penurunan tersebut
terjadi dari tingkat depresi berat saat sebelum intervensi menjadi depresi sedang
ketika telah diberikan intervensi, kemudian dari tingkat depresi sedang menjadi
menjadi gangguan mood biasa, dan dari garis batas klinis depresi menjadi wajar atau
normal. Bahkan ada salah satu responden yang mengalami depresi berat, setelah
dilakukan intervensi tingkat depresinya menurun menjadi tingkat depresi wajar.

Beck (2009) bahwa seseorang dengan depresi mengalami juga disfungsi keyakinan
akan pengalaman-pengalaman negatif, hal tersebut dapat di reposisi dengan keikhlasan
seseorang dalam menjalani setiap episode kehidupannya. Ikhlas mengandung arti
menerima semua ketentuan yang telah Allah tentukan untuk seseorang dengan
sepenuh hati. Ikhlas juga mengandung arti tidak mengeluh, tidak pula menentang
atas apa yang telah ditentukan olehNya. Zainudin menyebutkan bahwa yang membuat
seseorang merasa berat menjalani kehidupannya lebih dikarenakan tidak mau
menerima dengan ikhlas masalah yang ia hadapi. Ketika seseorang dapat mereposisi
disfungsi keyakinannya tersebut dengan keikhlasan maka ikhlas tersebut menjadikan
masalah menjadi sarana mensucikan diri dari dosa dan kesalahan yang pernah
dilakukannya (Zainudin, 2012). Sentanu (2007) dalam bukunya tentang quantum
ikhlas menyatakan bahwa ketika seseorang benar-benar berada dalam keikhlasan, saat
itulah do’a atau niatnya melakukan kolaborasi dengan vibrasi energi quanta, sehingga
melalui mekanisme kuantum yang tak terlihat, kekuatan Tuhanlah yang sebenarnya
sedang bekerja. Inilah arti sebenarnya dari quantum ikhlas, sehingga ikhlas dapat
membantu seseorang dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya (Sentanu,
2007). Pada kondisi hati yang ikhlas akan membuat seseorang menjadi tenang dan
tahan dengan berbagai ujian, sehingga dapat menjadikan proses ikhtiar untuk
mempertahankan kesehatannya lebih positif dan optimal (Gymnastiar, 2008).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pargement, dkk yang meneliti
tentang hubungan antara struggle of religious (ketahanan keagamaan) dengan kejadian
penyakit dan risiko kematian pada lansia baik laki-laki maupun perempuan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa para lansia yang memiliki masalah dengan agama
cenderung mengalami peningkatan risiko kematian lebih besar walaupun telah
dilakukan usaha untuk mengontrol kesehatan mereka baik fisik maupun mental.
Sebaliknya mereka yang memiliki keyakinan agamanya yang baik memiliki
kemungkinan memiliki umur yang lebih panjang (Pargament, Koenig, Tarakeshwar,
Hahn, 2001).
Menurut Beck (2009) seseorang yang mengalami depresi mengalami juga disfungsi
keyakinan terhadap masa depan dan kehidupan yang akan datang, hal ini dapat koreksi
dengan sikap pasrah. Pasrah mengandung arti menyerahkan apa yang akan terjadi di
masa datang hanya kepada Allah SWT. Pasrah bukan pula mengandung arti menyerah
pada keadaan, akan tetapi pasrah yang sejati disertai dengan usaha yang optimal untuk
mencari solusinya. Berusaha semaksimal mungkin sambil menyerahkan hasilnya
kepada Allah SWT. Pasrah akan memberikan ketenangan dan kedamaian pada jiwa,
karena keyakinan bahwa semua permasalahan yang dihadapi akan diselesaikan oleh
Allah SWT (Zainudin, 2012).

Beck (2009) juga menyatakan bahwa seseorang dengan depresi akan mengalami
disfungsi keyakinan tentang cara pandang yang menganggap bahwa dirinya tidak
sempurna, merasa tidak adekuat, tidak berguna serta cenderung menganggap
pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai suatu kekurangan mental atau sosial,
hal dapat di reposisi dengan rasa syukur dan khusyu. Syukur adalah rasa
berterimakasih kepada Allah SWT atas semua yang telah diberikanNya. Bersyukur
pada saat seseorang memiliki masalah atau dalam keadaan sakit memang tidak
mudah, karena biasanya akan lebih fokus pada masalah yang dia hadapi sehingga
lupa untuk melihat sisi positif lainnya. Padahal masih banyak nikmat lain yang
dapat disyukuri ketika seseorang tidak hanya fokus memikirkan masalahnya.
Keyakinan seseorang yang percaya bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik
dapat membuat seseorang menjadi lebih tenang. Hal ini akan lebih baik jika disertai
dengan kekhusyuan dalam berdoa. Berdoa dan meminta kepada Allah SWT jalan
terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut (Zainudin, 2012). Jika semua
penjelasan di atas dapat dilakukan oleh ibu rumah tangga dengan HIV yang
mengalami depresi, maka hal-hal tersebut membantu mengembalikan penyimpangan
kognitif yang dialaminya sehingga depresi yang mereka alami dapat teratasi.
Terdapat perbedaan skor tingkat depresi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol setelah dilakukan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) pada
kelompok intervensi. Hal ini disebabkan karena adanya lima prinsip utama SEFT
(Spiritual Emotional Freedom Technique), yaitu syukur, ikhlas, sabar, yakin dan pasrah.
Jika hal tersebut dapat di jalani dengan baik oleh ibu rumah tangga dengan HIV yang
mengalami depresi, maka akan sangat membantu untuk menurunkan tingkat depresi. Hal
tersebut dikarenakan kelima prinsip tersebut merupakan cara-cara yang dapat dilakukan
untuk mereposisi distorsi kognitif atau difungsional keyakinan yang biasa terjadi pada
orang dengan depresi (Cervone dan Pervin, 2012).

Keefektifan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) tidak hanya terletak pada
Spiritual Power seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, akan tetapi SEFT
merupakan gabungan antara Spiritual Power dengan Energy Psychology. Energy
Psychology merupakan bidang ilmu yang relatif baru, namun prinsipnya sama dengan
prinsip Energy Healing yang dikenal sejak lama di Tiongkok, Cina lebih dari 5000 tahun
yang lalu. Energy Psychology adalah seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan
sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein
dalam Zainudin, 2012). Ketidakseimbangan kimia dan gangguan energi dalam tubuh
manusia turut berperan dalam timbulnya berbagai gangguan emosi, termasuk di
dalamnya adalah depresi. Intervensi pada sistim energi tubuh dapat mengubah kondisi
kimia di dalam otak (neurotransmitter) yang selanjutnya dapat mengubah kondisi emosi
seseorang termasuk kondisi depresi (Zainudin, 2012). Setiap atom dalam sebuah benda
termasuk manusia sebagai mahluk hidup memiliki energy electromagnetic yang
mengalir di seluruh tubuhnya. Dokter- dokter tiongkok menyakini bahwa salah satu
energy yang berperan dalam kesehatan tubuh manusia adalah energy “Chi”.
Energy Chi mengalir di sepanjang 12 jalur yang disebut energy meridian, dan jika aliran
energi ini terganggu maka akan menimbulkan masalah emosi (termasuk di dalamnya
depresi) atau masalah fisik. Energy meridian ini dikenal juga dengan titik-titik akupuntur
yang terdiri dari 361 titik dan di dalam SEFT kemudian lebih disederhanakan menjadi 18
titik. Hampir semua masalah emosi maupun fisik dapat di atasi dengan cara merangsang
titik-titik tersebut (Zainudin, 2012). Cara merangsang titik-titik tersebut berbeda dengan
akupuntur dan acupressure. Jika akupuntur menggunakan jarum dan acupressure
menggunakan tekanan- tekanan yang kuat untuk merangsang titik- titik tersebut, maka
SEFT menggunakan cara mengetuk ringan dengan ujung jari (disebut dengan istilah
tapping) pada titik- titik energy meridian tersebut. Cara ini dapat membebaskan aliran
energi di dalam tubuh penderita depresi sehingga dapat menurunkan tingkat depresinya.
Kombinasi kedua hal tersebut yaitu spiritual power dan Energy Psychology sungguh
sangat efektif dalam menurunkan tingkat depresi pada ibu rumah tangga dengan HIV.

Jika dilihat dari aspek reaksi fisiologis terhadap SEFT, maka perangsang dengan
cara mengetuk-ngetuk ringan (tapping) pada titik 12 titik meridian tubuh tersebut
dapat menstimulasi gland pituitary untuk mengeluarkan hormon endorphins
(Johnson, 1999; Nopadow etc 2008 dalam Rokade, 2011), dimana hormon
endorphins tersebut dapat memberikan efek menenangkan serta menimbulkan
perasaan bahagia (Goldstein dan Lowry, 1975 dalam Rokade, 2011), sehingga dapat
menurunkan tingkat depresi pada penderitanya. Titik-titik yang lebih spesifik dapat
menurunkan tingkat depresi adalah titik Cr (Crown) yang terletak pada titik dibagian
atas kepala, titik EB (Eye Brow) yaitu titik yang terletak pada titik permulaan alis
mata dan titik IF (Index Finger) yaitu jari telunjuk di samping luar di bagian bawah
kuku, di bagian yang menghadap ibu jari (Yinyanghouse, diunduh pada tanggal 20
November 2014).
Tidak terdapat perubahan tingkat depresi pada kelompok kontrol, bahkan
cenderung mengalami sedikit peningkatan. Hal tersebut dikarenakan pada kelompok
kontrol tidak diberikan intervensi SEFT seperti pada kelompok intervensi. Seseorang
dengan depresi dan tidak segera ditangani akan menyebabkan penderitanya
mengalami insomnia dan kelelahan. Depresi menyebabkan sulit tidur atau gangguan
tidur yang dikenal sebagai insomnia. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan ekstrem
yang menguras energi dan kesulitan dalam konsentrasi dan pengambilan keputusan
(Wahyuningsih, 2011). Hawari (2006) juga menyatakan bahwa orang dengan depresi
akan mengalami penurunan gairah hidup, merasa tidak berdaya dan tidak memiliki
semangat hidup. Terdapat penurunan nafsu makan sehingga menyebabkan berat
badan menurun (Hawari, 2006; Wahyuningsih 2011). Dampak lainnya adalah
menarik diri (isolasi sosial). Kondisi depresi yang berkepanjangan tanpa penanganan,
dapat menciptakan ketidakseimbangan serotonin, zat kimia penting dalam otak yang
bertanggung jawab untuk membuat orang bahagia dan berjiwa sosial (Rokade, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2004. Diagnosa Kperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,
Jakarta : EGC Doengos, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Nanda. 2005. Nursing Diagnosis Definition and Classification 2005-2006. Philadephia :
Nanda Internasional
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 3. Jakarta : EGC.
Zuya Urahman. 2009. Asuhan Keperawatan HIV. (online).
available. http://www.indonesianurse.com/2009/12/14/asuhan-keperawatan-
hivaids. 1 maret 2011.

Anda mungkin juga menyukai