TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang sistem
imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permukaannya seperti
makrofag dan limfosit T. sementara acquired-immunodeficiency syndrome (AIDS)
merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai
infeksi oportunistik, neoplasma sekunder. Serta manifestasi neurologik tertentu akibat infeksi
HIV. (Risca, Iris, 2014).
Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah singkatan dari AIDS. AIDS adalah
kumpulan gejala klinis akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang timbul akibat infeksi
HIV (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Virus HIV memasuki tubuh seseorang maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai
mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (Sel limfosit T CD4 dan Makrofag). Virus HIV akan
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa
antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium adalah antara 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama
masa jendela, pasien sangat infeksius sehingga mudah menularkan kepada orang lain
meskipun hasil pemeriksaan laboratorium masih negatif (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015).
1.2 Etiologi
Menurut Risca,Iris (2014) HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk
dalam subfamili lentivirus dan famili Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua
tipe HIV-1 yang menyebar luar ke seluruh dunia dan HIV-2 yang hanya ada di afrika Barat
dan beberapa Negara Eropa.
Sumber penularan infeksi HIV
1. Kontak seksual (heteroseksual, homoseksual) lewat mukosa genetal
2. Darah, produk darah ( langsung menyebar hematogen) jaringan transplansi, jarum
suntik, spuit
3. Vertikal dari ibu ke janin / bayi lewat infeksi intrapartum perinatal atau air susu ibu
1.7 Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan HIV
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus,
dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi
skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri
1) Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes
dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis HIV dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi HIV:
a) Serologis
b) Tes antibody serum
Skrining HIV dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
c) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
d) Sel T limfosit
Penurunanjumlah total
e) Sel T4 helper
Indikator sistem imun (jumlah <200> )
f) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 )
mengindikasikan supresi imun.
g) P24 (Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
h) Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
i) Reaksi rantai polimerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
j) Tes PHS
Pembungkushepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif
2) Laboratorium total
Histologis, pemeriksaansitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan
sekresi, untukmengidentifikasiadanyainfeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
3) Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
4) Tes Lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya
komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan memproduksi
antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah
infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang
terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata
tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.
1.9 Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan untuk mencegah
terpajannya HIV, bisa dilakukan dengan :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak
terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status HIV
nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi HIV, maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nosokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan HIV positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3
3. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini
adalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut
4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari
stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
reflikasi HIV
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2013. Pedoman, Pelaksanaan perencaan penularan HIV dan sivilis ibu dan anak
Kemenkes RI. 2014. Pedoman, Pelaksanaan perencaan penularan HIV dan sivilis ibu dan anak
Kemenkes RI. 2015. Pedoman, Pelaksanaan perencaan penularan HIV dan sivilis ibu dan anak