BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.10,17
Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang
menjadi lebih rentan terhadap infeksi.2 Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV
telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).(3)
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.19 Sebagian besar orang yang
terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda
AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa
infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium
penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator
AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila
diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati. (3)
seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk
antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus
HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus
tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung
dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan
demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.(4)
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut
dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak
seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa
inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium
kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat
gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada
sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil
penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun
dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).(4)
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV
akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak
akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga
penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.(4)
5
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
(10).
sulit ditangani Penyebab kelainan ini bisa karena infeksi, non-infeksi
maupun proses keganasan (8).
Di beberapa negara seperti Australia, Eropa Barat, dan Amerika Utara,
terdapat penurunan angka infeksi oportunistik dan keganasan kulit pada pasien
HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan di negara tersebut sudah sangat tinggi akses
(10).
untuk mendapatkan HAART (highly active antiretroviral therapy) Secara
global, lebih dari 95% penderita HIV belum mempunyai akses intervensi
pengobatan sehingga banyak manifestasi kulit yang berkaitan dengan penyakit
HIV menjadi kronis dan progresif (4).
2.7.2 Jenis Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS
Kelainan kulit yang terjadi pada pasien HIV/AIDS sangat banyak
dengan spektrum yang sangat luas (4). Kelainan kulit tersebut meliputi:
a) Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik terjadi akibat pertumbuhan berlebih flora normal
Candida albicans, peningkatan kolonisasi (Dermatofitosis), reaktifasi
infeksi laten virus (virus Herpes) atau perubahan infeksi subklinis menjadi
klinis. Selama tujuh tahun terakhir telah terjadi penurunan prevalensi
infeksi oportunistik karena terapi HAART (8). Infeksi oportunistik menjadi
lebih sering terjadi pada penyakit HIV stadium lanjut yang tidak diobati.
Infeksi oportunistik meliputi:
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik
(8).
pada penyakit HIV Insidensi stafilokokus primer termasuk
selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Bakteri
oportunistik lainnya adalah Bartonella henselae yang
menyebabkan Bacillary Angiomatosis dengan lesi angioproliferatif
menyerupai cherry hemangioma atau Sarkoma Kaposi.
Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan
Pseudomonas Aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis (4).
10
b) Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Karposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik
angioproliferatif dan merupakan tumor yang sering didapatkan
(4)
pada infeksi HIV . Kelainan ini muncul pada pasien dengan
kadar CD4+ < 800 sel/l. Lesi biasanya berupa makula, papula,
pustula, nodul, atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda
khas infeksi HIV. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di
Asia tidak mendapatkan pasien HIV/AIDS yang mempunyai
kelainan kulit Sarkoma Kaposi (4).
terpapar cahaya matahari yang ekstensif (>6 jam per hari selama
10 tahun) (8).
c) Erupsi Obat (Adverse Drug Reaction)
Reaksi obat sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi
obat sulfonamide. Gambaran klinis berupa erupsi makula papular yang
menyebar luas. Gambaran lain dapat berupa urtikaria, eritema
multiformis, dan reaksi sistemik lainnya. Antibiotik seperti penisilin dapat
menyebabkan reaksi yang lebih berat pada pasien HIV. Obat- obat
antiretrovirus merupakan penyebab tersering kelainan kulit akibat erupsi
obat. Karena itu, perlu dilakukan pemilihan kombinasi obat retrovirus (4).
d. Psoriasis Vulgaris
Proses patologis merupakan gabungan dari hiperproliferasi
(11).
epidermis dan akumulasi sel radang Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan histopatologi. Lesi kulit yang
pertama kali timbul biasanya pada tempat- tempat yang mudah
terkena trauma, antara lain: siku, lutut, sakrum, kepala, dan
genitalia. Lesi kulit berupa makula eritematus dengan batas jelas,
tertutup skuama tebal dan transparan yang lepas pada bagian tepi
dan lekat di bagian tengah. Bisa terjadi kelainan kuku, di mana
permukaan kuku menjadi keruh, kekuningan dan terdapat
cekungan (pitting), menebal, dan terdapat subngual hyperkeratosis
sehingga kuku terangkat dari dasarnya (4).
f. Fotosensitif
Fotosensitif pada pasien HIV/AIDS lebih sering disebabkan
obat antiretrovus. Gambaran klinis tampak pada wajah, area vee
leher, lengan dan tungkai, dan bagian tubuh lainnya yang sering
terpapar cahaya matahari (12).
a. Dermatofitosis
Tersedia bermacam pengobatan topikal ataupun sistemik untuk
berbagai macam tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi
dermatofita ke dalam folikel rambut, maka infeksi yang mengenai daerah
berambut memerlukan pengobatan oral. Selama ini pengobatan standar
untuk tinea kapitis di Amerika adalah griseofulvin, sedangkan golongan
triazol dan alilamin menunjukkan keamanan, efikasi dan manfaat lebih
karena penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, namun
semenjak tahun 2007, terbinafin juga direkomendasikan untuk
pengobatan tinea kapitis (14).
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum,
gliseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dosis 0,5-1 g
20
untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/kgBB. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjuttkan hingga 2
minggu untuk mempercepat waktu penyembuhan (14).
Obat per oral, yang juga efektif untuk pengobatan dermatofitosis
yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
gliseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama
10 hari sampai 2 minggu. Ketokonazol merupakan kontrakindikasi ntuk
kelainan hepar (14).
b. Kandidosis
Pengobatan infeksi kandida bergantung pada spesies penyebab,
sensitifitas terhadap obat anti jamur, lokasi infeksi, penyakit yang
mendasari, dan status imun pasien (14).
1) Upayakan untuk menghindari atau menghilangkan faktor
pencetus dan presdiposisi.
2) Pengobatan topikal untuk :
Selaput lendir
o Larutan ungu gentian 0,3-1 % untuk selaput lendir,
1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3
hari
o Nistatin : berupa krim, suspensi (untuk kelainan
kulit dan mukotan)
o Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan
kotrimazol 500mg per vaginam dosis tunggal,
sistemik bila perlu dapat diberikan ketokonazol
1x200mg dosis tunggal.
Kelainan kulit
o Grup azol antara lain : mikonazol 2% berupa
krim/bedak, klotrimazol 1% berupa bedak, larutan,
dan krim
21
3) Pengobatan sistemik
Pengobatan ini diberikan untuk berbagai kelainan, antara lain
kasus refrakter, kandida diseminata dan kandidosis mukokutan
kronik. Flukonazol adalah lini pertama untuk pasien non-
neutropenik, dengan kandidemia atau kandidosis invasif (dosis
100-400mg/hari). Pilihan lain adalah itrakomazol dengan dosis
harian 200mg/hari (14).
c. Herpes zoster
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga
mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.
1. Obat antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan dursi lesi herpes zoster
dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya
dalam mencegah NPH masih kontroversial (14).
Tiga antiviruss yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk herpes zoster, famsiklovis,
valasiklovir hidrokhlorida, dan asiklovir. Dosis famsiklovir 3 x
500mg, valasiklovir 2 x 1000mh, dan asiklovir 5 x 800 mg selama
7 hari pemberian (14).
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun
berbagai penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang
digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini
disebabkan penurunan drajat neuritis akibat infeksi virus dan
kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang
terlibat (14).
3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik
terhadap AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non-opioid (14).
22
d. Psoriasis
Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal
maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini
memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen
pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan
(14).
psoriasis
Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga
bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata
biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu.
Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan,
tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar
ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan memberikan manfaat. 1
25 Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala
sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja
cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis
eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis
pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin
diperlukan. Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan
berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan (10%
luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada
psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan
sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti
alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas
permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik (14).
e. Dermatitis Seboroik
Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi
dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara
lain :
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus
bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut
limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus.10,17 Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.2 Tingkat
HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired
Imunnodeficiency Syndrome)(3).
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.19 Sebagian besar
orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan
menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4
tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling
terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar
keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh
orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati (3).
Orang dengan penyakit HIV/AIDS dapat mengalami infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi akibat adanya kesempatan
untuk muncul pada kondisi kondisi tertentu yang memungkinkan, yang
bisa disebabkan oleh organisme non patogen. Infeksi ini dapat menyerang
otak (Toxoplasmosis, Cryptococcal), paru paru (Pneumocytis
pneumonia, Tuberculosis), mata (Cytomegalovirus), mulut dan saluran
napas (Candidiasis), usus (Cytomegalovirus, Mycobacterium avium
25
DAFTAR PUSTAKA