PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rheumatoid Arhritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronis yang
belum diketahui pasti sebabnya yang ditandai dengan poliarthritis simetris
dan perifer. Hal itu merupakan akibat dari inflamasi arthritis kronis dan
sering menimbulkan kerusakan sendi dan kelemahan fisik. Karena RA
merupakan penyakit sistemik, RA dapat menimbulkan berbagai
manifestasi dari ekstraartikulasi, termasuk kelemahan, nodul
subcutaneous, pericarditis, neuropati perifer, vasculitis, dan abnormal
hematologi (Braunwald, 2012).
Pemahaman yang diperoleh dari sejumlah hal mendasar dan
penelitian kesehatan selama lebih dari dua dekade telah merubah
paradigma tentang diagnosis dan manajemen RA saat ini. Serum antibodi
untuk cyclic citrullinated peptides (anti-CCPs) sekarang telah menjadi
penanda penting dari diagnosis dan prognosis. Selain itu, kemajuan akan
penggunaan suara ultrasonik dan resonansi magnetik dapat meningkatkan
kemampuan kita untuk mendeteksi inflamasi dan kerusakan sendi pada
Rheumatoid Arthritis. Ilmu pengetahuan mengenai RA telah mengambil
lompatan besar dengan mengidentifikasi penyakit baru yang berhubungan
dengan genetik dan menguraikan lebih lanjut mengenai jalur molekuler
dari patogenesis penyakit. Hal yang relatif penting dari beberapa
perbedaan mekanisme telah digambarkan melalui penelitian baru
mengenai terapi biologis dengan target tinggi. Disamping kemajuan
tersebut, pemahaman yang belum sempurna mengenai pengenalan jalur
patogen dari RA menjadi penghalang yang cukup besar dalam pengobatan
dan pencegahan (Braunwald, 2012).
Pada dua dekade terakhir terlihat peningkatan hasil yang luar biasa
dari Rheumatoid Arthritis. Deskripsi mengenai kelumpuhan persendian
pada saat ini telah jarang ditemukan. Banyak dari kemajuan tersebut yang
dapat ditelusuri untuk terapi yang lebih luas dan mengadopsi terkait
pengobatan dini. Perubahan strategi pengobatan menentukan pemikiran
1
baru pada praktisioner primary care, salah satu yang menuntut penyerahan
pasien dengan inflamasi arthritis untuk rheumatologist dengan tujuan
mendukung diagnosis dan permulaan terapi. Dan kemudian mereka akan
memperoleh hasil yang terbaik dari beberapa strategi pengobatan tersebut
(Braunwald, 2012).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
1. Faktor Genetik
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis (RA) belum
diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting
terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi
penyakit sebesar 60%. Hubungan HLA class II histocompatibility
antigen, DRB1-9 beta chain (HLA-DRB1) dengan kejadian RA
telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA
juga berhubungan dengan RA seperti daerah 18q21 dari gen
TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor
kappa B (NF-κB) (Suarjana, 2009).
Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada RA.
Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi RA karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan
thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methoraxate dan
azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar
monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya
RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA yang
3
mengekspresikan HLA-DL1 atau HLA-DR4 mempunyai angka
kesesuain sebesar 80% (Suarjana, 2009).
2. Hormon Seks
Prevelansi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga diduga hormon seks berperanan dalam
perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa
terjadi perbaikan gejala RA selama kehamilan. Perbaikan ini
diduga karena adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang
menyerang HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop
HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. Selain itu,
terdapat juga perubahan profil hormon. Placental corticotropin
releasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi
dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama
pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus
(Suarjana, 2009).
Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun
selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam
sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi
respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular
(Th1). Oleh karena pada RA respon Th1 lebih dominan sehingga
estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan RA. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkan mencegah kemungkinan RA atau berhubungan dengan
penurunan insiden RA yang lebih berat (Suarjana, 2009).
3. Faktor Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab.
Organisme diduga menginfeksi sel induksi sel (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya
penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara
nyata terbukti sebagai penyakit (Suarjana, 2009).
4
Tabel 1. Agen Infeksi yang Diduga sebagai Penyebab RA
5
Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.
Macam-macam persendian berdasarkan pergerakannya :
Sinartrosis
Adalah persendian yang tidak memperbolehkan pergerakan.
6
Amfiartosis
Persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan sehingga
memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Misalnya sendi sacro iliaka dan
sendi- sendi antara corpus vertebra. Sendi sinovial umumnya dijumpai pada
ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi, rawan sendi,
membran sinovium serta kapsul sendi
Simfisis
Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi
cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang. (Velyn C. Pearce.
2006)
7
sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan komposisi dari sel yang
secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit, fibroblast, makrofag, sel
mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi sel- sel tertentu ke
dalam sinovium .Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada berbagai penyakit
memiliki mekanisme yang berbeda. Pada RA ditemukan pada sinovium adanya
hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit B pada bagian
luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi yang meningkat
dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang merupakan peran
utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya kerusakan sendi terletak
pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang (pannus) dengan rawan sendi
dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat kerusakan periartikuler dan erosi tulang
(16). (Bermawan, Penyakit Radang Sendi 2011)
E. Patofisiologi
8
Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel
sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi
determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan
dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang
9
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular
juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah
lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada
membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan
dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi
dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.
10
Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.
11
Gambar 2. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR
12
F. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.
G. Penegakan Diagnosis
13
mengeluh "bengkak" pada persendian tangan, bengkak tersebut terjadi
dikarenakan untuk peningkatan aliran darah ke daerah meradang. Otot di
dekat sendi meradang sering atrofi. Kekakuan pada pagi hari yang
berlangsung setidaknya 45 menit sebelum melakukan aktivitas. Pada
umunya persendian dengan posisi fleksi dapat meminimalkan distensi
menyakitkan dari kapsul sendi. Beberapa penelitian mengatakan,
Seseorang dapat didiagnosis AR jika onsetnya telah 6 bulan dengan
beberapa kriteria gejala AR. Biasanya diagnosis disertai dengan gejala-
gejala non spesifik seperti, malaise, kelemahan otot, berat badan turun,
demam ringan, kelelahan, dan keluhan sistemik lainnya mungkin timbul,
terutama dalam presentasi akut (Chan, 2004 ; Harris, 2005).
1. Anamnesis :
14
d. Nyeri sendi, nyeri merupakan keluhan utama pada pasien dengan
reumatik.. Pada pasien RA, nyeri paling sering terjadi pada pagi
hari, membengkak disiang hari, dan sedikit lebih berat dimalam
hari.
e. Kaku sendi, merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar
untuk menggerakan sendinya. Keadaan ini biasanya akibat desakan
cairan yang berada disekitar jaringan yang mengalami inflamasi.
f. Bengkak sendi dan deformitas, pasien sering mengalami bengkak
sendi, perubahan warna, perubahan bentuk, dan perubahan posisi
struktur ekstremitas (dislokasi atau sublukasi).
g. Disabilitas dan handicap, disabilitas terjadi apabila suatu jaringan,
organ, atau sistem tidak dapat bekerja secara adekuat. Handicap
adalah apabila disabilitas menyebakan aktivitas sehari-hari
terganggu, termasuk aktivitas sosial.
h. Gejala siskemik, penyakit sendi inflamator baik yang disertai
maupun tidak disertai keterlibatan multisystem akan menyebabkan
peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP.
Selain itu akan disertai dengan gejala siskemik seperti panas,
penuruanan berat badan, kelelahan, lesu, dan mudah terangsang.
Kadang-kadang pasien mengeluhkan hal yang tidak spesifik seperti
merasa tidak enak badan. Pada orang tua disertai dengan gangguan
mental.
i. Gangguan tidur dan depresi, ganguan tidur dapat disebabkan oleh
adanya nyerikronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi
nonsteroid.
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:
1) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan
segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformasi,
sementara tungkai yang nyeriakan lebih lama diletakkan
dilantai, biasanya diikut oleh gerakan lengan yang asimetris,
disebut gaya berjalan antalgik.
15
2) Sikap/postur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan
artikular pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendiri
tersebut senyaman mungkin, biasanya dalam posisi fleksi.
3) Deformasi, akan lebih terlihat pada saat bergerak.
4) Perubahan kulit, kemerahan disertai dengan kemerahan disertai
deskuamasi pada kulit disekitar sendi menunjukan adanya
inflamasi pada sendi.
5) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses
inflamasi di daerah sendi tersebut.
6) Bengkak sendi bisa disebabkan karena cairan, jaringa lunak,
atau tulang.
7) Nyeri raba
8) Pergerakan sinovitis menyebabkan berkurangnya luas gerak
sendi pada semua arah.
9) Krepitus, merupakan bunyi yang dapat diraba sepanjang
gerakan struktur yang diserang.
10) Atrofi dan penurunan kekuatan otot.
11) Ketidakstabilan.
12) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan
observasi pada penggunaan normal seperti bangkit dari kursi
atau kekuatan menggenggam.
13) Nodul sering ditemukan dalam berbagai atopic, umunya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku,
tumit belakang, sacrum).
14) Perubahan kuku, adanya jari tangan, timble pitting onycholysis
atau serpihan darah.
15) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang
pergerakan sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
16) AR mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya yaitu :
a) Kulit : nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada
banyak pasien dengan RA yang nilai RF-nya normal, sering
lebih dari titik-titik tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit
16
dapat bermanifestasi sebagai purpura teraba atau ulserasi
kulit).
b) Jantung : morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang
meningkat pada pasien RA. Faktor resiko non tradisional
tampak memainkan peran penting. Serangan jantung,
disfungsi miokard, dan efusi perikrdial tanpa gejala yang
umum dan gejala perikarditis konstriktif jarang.
Miokarditis, vaskulitis koroner, penyakit katup, dan cacat
konduksi kadang-kadang diamati.
c) Paru : RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk
termasuk efusi pleura, fibrosis interstisial, nodul (Caplan
sindrom), dan obliterans bronchiolitis-pengorganisasian
pneumonia.
d) Ginjal : ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA
langsung. Umumnya akibat pengaruh obat-obatan
(misalnya : obat anti-inflamatory peradangan
(amyloidosis)).
e) Vascular : lesi vaskuler dapat terjadi diorgan mana saja
namun yang paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat
hadir sebagai perpura gambling, borok kulit, atau infak
digital.
f) Hematologi : sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit
anemia kronis, termasuk anemia normokromik-normositik,
trombositiosis, dan eosinofilik, meskipun yang terakhir ini
sering terjadi. Leukopenia ditemukan pada pasien dengan
sindrom Felty.
g) Neurologis : biasanya saraf jeratan, seperti padasaraf
median di carpal, lesi vasculitis, multiple mononeuritis, dan
myelopathy leher rahim dapat menyebabkan konsekuensi
serius neurologis.
h) Okular : keratoconjunctivitis siscca adalah umum pada
orang dengan RA dan sering manifestasi awal dari sindrom
17
Sjogren sekunder. Mata mungkin juga episkleritis uveitis,
dan scleritis nodular yang dapat menyebabkan
scleromalacia.
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratoris
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik
untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji
serologis laboratorium menunjukan adanya kenaikan titer
antibodi IgM yang bereaksi terhadap perubahan IgG α-1
dan IgG α-2 yang juga meningkat. Faktor reumatoid (RF)
ditemukan negatif (<5%) pada 30% penderita AR stadium
dini, meskipun begitu tidak serta-merta mematahkan
diagnosis AR selama masih memenuhi 4 dari 7 kriteria
utama. Kenaikan C-Reactive Protein (CRP) umumnya
terjadi sampai >0,7 pg/mL (Suarjana, 2009).
Pada pemeriksaan darah rutin sering ditemukan
kenaikan laju endap darah (LED) hingga >30mm/jam.
Kenaikan CRP atau LED dapat digunakan untuk
memonitor perjalanan penyakit (Suarjana, 2009). Pada AR
sering pula ditemukan penurunan kadar Hb yang bila
kemudian diperiksa melalui apusan darah tepi menunjukan
anemia normositik normokrom akibat pengaruhnya pada
sumsum tulang (Price, 2005). Hitung sel leukosit (WBC)
meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75%
leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan
pada artritis, namun hal tersebut tidak mendiagnosis RA
(Kasper et al., 2005).
Pemeriksaan cairan sinovial diperlukan bila
diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal,
kultur negatif, dan kadar glukosa rendah (Suarjana, 2009).
Analisi cairan sinovial tidak menunjukkan satupun temuan
spesifik untuk artritis reumatois, namun menunjukkan
18
keadaan inflamasi pada sendi. Cairan sinovial biasanya
keruh, dengan kekentalan yang menurun, dan peningkatan
kandungan protein (Kasper et al., 2005).
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos sendi mungkin normal atau tampak
adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium dini penyakit, Foto pergelangan tangan dan
pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai
pembanding dalam penelitian selanjutnya (Suarjana, 2009).
Setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat
terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya struktur
rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi
dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini
biasanya irreversibel (Price, 2005).
c. Pemeriksaan MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan
gambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,
kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang
dihubungkan dengan artritis reumatoid. MRI mampu
mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan
dengan foto polos dan dilengkapi dengan tampilan struktur
sendi yang lebih rinci (Suarjana, 2005).
19
Gambar 1. Pasien RA menunjukkan adanya penebalan jaringan ikat
dan penyempitan celah sendi interphalanx proksimal
(sumber: American Journal of Roentgenology)
20
a. Kaku pagi hari di sendi dan sekitarnya, sekurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
b. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) 3
daerah sendi atau lebih secara bersamaan yang diobservasi
oleh dokter.
c. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi
satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
pergelangan tangan.
d. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
e. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler yang diobservasi dokter.
f. Faktor rheumatoid serum positif, terdapat titer abnormal
faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
membrikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol
yang diperiksa.
21
H. Diagnosis Banding
Gambaran Artritis
Gout Osteoartritis
Radiologi Reumatoid
Intermitten,
Soft tissue Periartrikular, Esentrik,
tidak sejelas
swelling simetris tophi
yang lain
Subluksasi Ya Tidak biasa Kadang-kadang
Menurun di
Mineralisasi Baik Baik
periartrikular
Kadang-
Kalsifikasi Tidak kadang pada Tidak
tophi
Baik hingga
Celah sendi Menyempit Menyempit
menyempit
Punched out
Ya, pada
Erosi Tidak dengan garis
intraartikular
sklerotik
Produksi Menjalar ke
Tidak Ya
tulang tepi korteks
Bilateral,
Simetri Asimetri Bilateral, simetri
simetri
Kaki,
Proksimal ke pergelangan Distal ke
Lokasi
distal kaki, tangan proksimal
dan siku
Seagull
Karakteristik
Pembentukan appearance pada
yang Poliartrikular
kristal sendi
membedakan
interfalangeal
I. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi yang cukup penting bagi pasien, keluarga, dan orang-
orang yang berhubungan dengan penderita.:
1) Pengertian tentang patofisiologi
2) Penyebab penyakit
3) Prognosis penyakit
4) Semua komponen program penatalaksanaan termasuk
regimen obat yang kompleks
22
5) Sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini
6) Metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan (Price,2005)
b. Istirahat
c. Latihan-latihan spesifik
Latihan spesifik ini dapat berupa :
1) Gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
minimal dua kali dalam sehari.
2) Kompres panas pada sendi. Tujuan dari kompres panas ini
untuk mengurangi nyeri pada sendi.
3) Mandi parafin dengan suhu yang dapat diatur. Latihan ini
paling baik diatur dan diawasi oleh tenaga kesehatan yang
sudah mendapat latihan khusus, seperti fisioterapi
atauterapis kerja.
23
a. Aspirin dan semua golongan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid
(OAINS)
Tujuan : terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan
(Suarjana, 2009).
b. Glukokortikoid
Steroid dengan prednisone dengan dosis kurang 10 mg/hari.
Mekanisme kerja : untuk meredakan gejala dan memperlambat
kerusakan sendi. Pemberian glukokortikoid harus disertai
pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU/hari
(Suarjana, 2009).
c. DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs)
Pemberian DMARD harus mempertimbangkan aspek :
1) Kepatuhan pasien
2) Beratnya penyakit
3) Pengalaman dokter
4) Adanya penyakit penyerta
24
reduktase, IM atau kelemahan
hambat SC per , ulkus
kemotaksis, efek minggu mulut,
anti inflamasi gangguan
fungsi
hati, dll
d. Terapi kombinasi
Kombinasi terbukti memiliki efikasi terapi yang lebih tinggi
daripada terapi tunggal. Beberapa kombinasi yang sudah banyak
diteliti dan memiliki efektivitas yang lebih besar yaitu :
1) MTX + hidroksiklorokuin
2) MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine
3) MTX + sulfasalazine + prednisolon
25
4) MTX + leflunomide
5) MTX + infiximab
6) MTX + etanercept
7) MTX + adalimumab
8) MTX + anakinra
9) MTX + rituximab
Terapi kombinasi ini memberikan respon yang lebih baik dan
efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan
radiografi (Suarjana, 2009).
e. Emas
Natrium auritiomalat diberikan melalui injeksi IM dengan dosis 50
mg/minggu sampai terdapat bukti remisi (biasanya setelah
pemberian 500 mg). pasien yang memberikan respons, interval
dosis ditingkatkan secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bisa
dilanjutkan sampai mencapai 5 tahun. Diperlukan pemeriksaan
darah dan urinalisis rutin. Leucopenia dan trombositopenia atau
proteinuria biasanya bersifat reversible jika pemberian emas
dihentikan (Rubenstein, David. et al., 2005).
f. Penatalaksanaan bedah
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan bila :
1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi
yang ekstensif
2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi
yang berat
3) Ada ruptur tendon
(Suarjana, 2009).
Sinovektomi, khususnya pada sendi lutut berguna untuk
meluruskan kembali dan memperbaiki tendon. Sendi buatan dapat
dilakukan misalnya pada sendi panggul, lutut, jari-jari tangan.
Artrodesis mungkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas
yang berat (Rubenstein, David. et al., 2005).
26
J. Kriteria Remisi
K. Prognosis
27
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Sudoyo,
2009).
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001
Osteoporosis adalah kelainan tulang, ditandai dengan kekuatan
tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya
risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan
gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang
(Junaidi, 2007).
2. Carpal Tunnel Sydrome (CTS)
Carpal tunnel syndrome, atau neuropati saraf medianus di
pergelangan tangan, adalah kondisi medis di mana saraf median
dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parestesia, mati
rasa dan kelemahan otot di tangan. Bangun di malam hari
merupakan karakteristik gejala carpal tunnel syndrome (Shiel,
2006).
Pengobatan definitif untuk sindrom carpal tunnel adalah
rilis operasi dekompresi saraf. Metode ini efektif menghilangkan
gejala dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut, hanya saja
disfungsi saraf biasanya dalam bentuk statis (konstan) mati rasa,
atrofi, atau kelemahan yang bersifat permanen (Shiel, 2006).
Kebanyakan kasus CTS adalah idiopatik (tanpa alasan
tertentu). Beberapa pasien secara genetik cenderung untuk
mengembangkan kondisi tersebut. Diagnosis CTS sering
dihubungkan pada pasien yang memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan nyeri lengan, seperti RA (Shiel, 2006).
28
BAB III
KESIMPULAN
1. Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik yang
tidak diketahui pasti penyebabnya yang ditandai dengan poliarthritis
perifer dan simetris.
2. Beberapa faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi dari
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah faktor genetik, hormon seks, faktor
infeksi, serta Protein heat shock (HSP).
3. Pada pasien penderita reumatoid artritis, membran sinovial telah
mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan infiltrasi dari
sel-sel pemicu inflamasi, terutama sel T CD4+. Untuk menegakkan
diagnosis dapat berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association), diagnosa AR ditegakkan jika sekurang-kurangnya
memenuhi 4 dari 7 kriteria dan kriteria 1 sampai 4 harus ada minimal
6 minggu.
4. Penatalaksanaan untuk penyakit Rheumatoid Arthritis (RA) dapat
berupa tatalaksana non- farmakologis dan farmakologis
a. Non-farmakologis : pendidikan, istirahat, latihan-latihan
fisik, alat-alat pembantu dan adaptif serta terapi-terapi yang
lain.
b. Farmakologis : Obat - obatan antiinflamasi
nonsteroid, glukokortikoid, DMARD, Terapi kombinasi, emas
serta tatalaksana bedah.
5. Komplikasi dari Rheumatoid Arthritis (RA) dapat berupa osteoporosis
dan Carpal Tunnel Sydrome (CTS). Prognosis penyakit ini buruk
dengan beberapa faktor menjadi penyebabnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
30