Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

HEPATOCELULLAR CARSINOMA

Oleh :
Ardila Arsa 1210311003
Dwiva Try Rakhmawati 1210313010
Dinda Putri Sofiani 1310311185
Raihandi Putra 1310311011

Preseptor :
dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH,FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan

hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan CRS yang berjudul

“Hepatocelullar Carsinoma”. CRS ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR M.

Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Drajad Priyono, Sp.PD-

KGH,FINASIM selaku preseptor. Penulis menyadari bahwa CRS ini masih

banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari

semua pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga

berharap makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta

pemahaman tentang diagnosis dan penatalaksanaan hipertensi terutama bagi diri

penulis dan bagi rekan-rekan sejawat lainnya.

Padang, November 2017

Penulis
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Hepatoma (Hepatocelullar Carsinoma/HCC)


Hepatoma adalah tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit.

Tumor ganas hati lainya, kolangiokarsinoma dan sistoadenokarsinoma berasal

dari sel epitel billier, sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari

sel masenkim. HCC merupakan salah satu tumor ganas hati primer yang sering

ditemukan yang berasal dari sel hepatosit. 1,3

1.2 Epidemiologi Hepatoma


HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta

menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan

sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan ketiga dari kanker sistem saluran

cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio

antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah

kanker pankreas. Secara geografis, di dunia terdapat tiga kelompok wilayah

tingkat kekerapan HCC, yaitu tingkat kekerapan rendah (kurang dari tiga kasus);

menengah (tiga hingga sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari 10 kasus per 100.000

penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi terletak di Asia Timur dan Tenggara

setelah Afrika Tengah, Sedangkan yang terendah di Eropa Utara, Amerika

Tengah, Australia dan Selandia Baru.1,3,4

Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di Negara berkembang seperti

Asia Timur dan Asia tenggara serta Afrika Tengah (Sub-Sahara), yang dikenal

sebagai wilayah dengan prevalensi Hepatitis virus yang tinggi. Di Negara Maju
dengan tingkat kekerapan HCC rendah atau menengah, Prevalensi infeksi HCV

berkorelasi baik dengan angka kekerapan HCC. 1,3

HCC jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang endemik

infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah

dengan kekerapan HCC tinggi, umur pasien HCC 10-20 tahun lebih muda

daripada umur pasien HCC di wilayah dengan angka kekerapan HCC rendah.

Pada semua populasi, kasus HCC laki-laki jauh lebih banyak (dua-empat kali

lipat) daripada kasus HCC perempuan. Di wilayah dengan angka kekerapan HCC

yang tinggi, rasio kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding

satu, masih belum jelas apakah hal ini disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki

terhadap HCC, atau karena laki-laki lebih banyak terpajan oleh factor resiko HCC

seperti virus Hepatitis dan alkohol. 1,3

1.3 Etiologi Hepatoma1,3


2. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan HCC terbukti kuat, baik secara

epidemiologi, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang

hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Juga di

tenggarai bahwa kekerapan HCC yang berikatan dengan HBV pada anak jelas

menurun setelah diterapkan vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat

terjadinya infeksi sangat penting, karena infeksi HBV pada usia dini akan

menyebabkan terjadinya presistensi (kronisitas). Karsinogenesitas HBV

mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi

hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas

protein spesifik –HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan
sel hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi

menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara

tidak langsung melalui kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel

hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang

berubah akibat HBV. Koinsidensi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain

seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis

hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktivasi beberapa promoter selular atau

viral tertentu oleh agen-X HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC,

mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan

akselerasi proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit

oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel. Genotipe HBV

ditengarai memiliki kemampuan yang ebrbeda dalam mempengaruhi proses

perjalanan penyakit. Relevansi genotype HBV semakin jelas diketahui.

Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C, Genotipe B dihubungkan

dengan serokonversi HBeAG yang lebih awal, progresi ke sirosis hepar lebih

lambat serta lebih jarang berkembang menjadi HCC. 1,3

3. Virus Hepatitis C (HCV)


Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko

penting dari HCC. Prevalensi anti-HCV pada pesien HCC di Cina dan Afrika

Selatan sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan jepang 70-80%. Meta

analisis dari 32 penelitian kasus-kelola menyimpulkan bahwa infeksi HCV

adalah 17 kali lipat dibanding resiko pada bukan pengidap. Koeksistensi

infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum alkohol

meliputi 20% dari kasus HCC. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat

transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi hingga
terjadi HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi

HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati. 1,3

4. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan melatar-

belakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun, tiga sampai lima persen

dari pasien SH akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab utama

kematian SH. Otopsi pada pasien SH mendapat 20-80% di antaranya telah

menderita HCC. Pada 60-80% dari SH makronoduler dan tiga sampai sepuluh

persen dari SH mikronodular dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor Utama

HCC pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan alfa feto protein

(AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktifitas proliferasi sel hati. 1,3

5. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di

Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan

terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati

pada kelompok individu dengan berat badan tinggi (indeks masa tubuh: IMT

35-40KG/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMTnya normal.

Sepeti diketahui, obesitas merupakan faktor resiko utama non-alcoholic fatty

liver disease (NAFLD), khususnya non-alkoholic steathohepatis (NASH) yang

dapat berkembang menjadi sirosis hepatis dan kemudian berlanjut menjadi

HCC. 1,3

6. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur

aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui AFB1 bersifat karsinogen.

Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari


kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun

RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsino-genesisnya adalah kemampuan

AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. 1,3

7. Diabetes Melitus
DM merupakan faktor resiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk

HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non alkoholik

(NASH). Disamping itu DM dihubungkan dengan peningkatan insulin dan

insulin like growth factor (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial

untuk kanker. 1,3

8. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat

alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita HCC

melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik

langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya

sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV dan HCV. Sebaliknya, pada

sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien

dengan HBaAg-positif atau anti HCV-positif. Ini menunjukkan adanya peran

sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Efek

hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan sedikit alkohol

tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC. 1,3

9. Non alcolholic steatohepatis (NASH)


Mekanisme yang tepat dibalik pengembangan HCC pada NASH masih belum

jelas, meskipun mekanisme patofisiologi NASH terkait dengan resistensi

insulin dan inflamasi kronis yang kemungkinan berkontribusi terhadap

potensi karsinogenik dari NASH. Obesitas dan diabetes jelas telah ditetapkan
sebagai faktor risiko terjadinya NASH, dan telah terlibat dalam pertumbuhan

beberapa kanker, termasuk HCC. Resistensi insulin terkait dengan obesitas,

sindrom metabolik, dan diabetes yang menyebabkan peningkatan pelepasan

FFA dari adiposit, pelepasan beberapa sitokin proinflamasi termasuk tumor

nekrosis faktor-alpha (TNF-a), interleukin-6 (IL-6), leptin, dan resistin, serta

penurunan jumlah adiponektin. Proses ini mendukung perkembangan steatosis

hati dan inflamasi hati. Hiperinsulinemia mengatur produksi insulin-like

growth factor-1 (IGF1), yang merupakan hormon peptida yang merangsang

pertumbuhan melalui proliferasi sel dan penghambatan apoptosis dalam sel

hepar. Insulin juga mengaktifkan substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang

terlibat dalam jalur sinyal sitokin dan telah terbukti dalam terjadinya HCC.

Mannose 6-phosphate/IGF2 reseptor (M6P/IGF2R) terlibat dalam mengatur

pertumbuhan sel dengan mengaktifkan inhibitor pertumbuhan dan

menonaktifkan IGF2, stimulator pertumbuhan. M6P / IGF2 reseptor berfungsi

sebagai penekan tumor. Mutasi menyebabkan hilangnya heterozigositas pada

reseptor ini telah ditemukan di 61% dari pasien dengan HCC. Adiponektin

adalah spesifik anti-inflamasi polipeptida pada jaringan adiposa yang

menurun dalam insulin-resisten, dan telah terbukti menghambat angiogenesis

melalui modulasi apoptosis pada hewan model. Ini merupakan kompleks

faktor yang berhubungan dengan suatu resisten insulin-, meningkatkan

pertumbuhan sel tanpa hambatan dan tampaknya memainkan peran penting

dalam pengembangan HCC pada NASH. 1,3

Perkembangan NASH juga berhubungan dengan oksidatif stres dan

pelepasan spesies oksigen reaktif (ROS) yang sepertinya memberikan


kontribusi dalam pembentukan HCC. Percobaan pada tikus obesitas dengan

resistensi insulin menunjukkan bahwa produksi ROS meningkat dalam

mitokondria hepatosit dengan infiltrasi lemak, dan stres oksidatif dapat terlibat

dalam hiperplasia hepar. Selama karsinogenesis, epitel hiperplasia dan

displasia umumnya mendahului kanker dalam beberapa tahun. Stres oksidatif

dapat mendukung tumorigenesis melalui proliferasi steatosis, inflamasi, dan

proliferasi sel, atau dapat menyebabkan mutasi sel secara langsung. Trans-4-

hidroksi-2-nonenal, produk peroksidasi lipid, telah terbukti menyebabkan

mutasi dari gen supresor p53. Nuclear respiratory factor-1 (Nrf1) adalah

transkripsi faktor yang penting dalam mediasi oksidatif stres. Dalam model

binatang, Xu et al. Menunjukkan bahwa sel hepatosit yang memiliki sedikit

faktor transkripsi Nrf1 telah meningkatkan kerentanan terhadap stres oksidatif.

Histologi hati pada kasus kurang Nrf1 menunjukkan steatosis, apoptosis,

nekrosis, peradangan, dan fibrosis. 1,3

Hepatokarsinogenesis di NASH dapat juga secara parsial memediasi

melalui peningkatan pelepasan faktor inflamasi dan penghambat sitokin

seperti TNF-a, IL-6, dan NF-kB. Bukti menunjukkan molekul kompleks

saling terkait dengan sitokin inflamasi yang mengarah pada kematian

hepatosit, kompensasi proliferasi, dan akhirnya karsinogenesis. NF-kb

mengatur respon imun dan inflamasi pada beberapa tumor dan menghambat

apoptosis. Penelitian oleh Luedde et al. menunjukkan bahwa penghambatan

NF-kb di hati tikus dapat menginduksi steatohepatitis dan akhirnya terjadi

HCC melalui sensitisasi sel hepatosit untuk spontan apoptosis. Siklus cedera

kronis ini, kematian sel, dan regenerasi melalui kompensasi seluler proliferasi
mungkin berkontribusi terhadap pengembangan HCC. C-Jun amino-terminal

kinase 1 (JNK1) baru-baru ini juga dikaitkan dengan obesitas, resistensi

insulin, NASH, dan pengembangan HCC. JNK1 merupakan mitogen

activated protein kinase. Obesitas dikaitkan dengan aktivitas JNK abnormal.

Asam lemak bebas, TNF-a, dan ROS dirilis pada hiperinsulinemia dan semua

itu merupakan aktivator poten dari JNK, yang pada gilirannya merubah

phosphorylates IRS-1. Puri et al. Menunjukkan bahwa pasien manusia dengan

NASH memiliki signifikan peningkatan JNK tingkat terfosforilasi

dibandingkan untuk pasien dengan NAFLD. Temuan menunjukkan bahwa

anti-JNK terapi dapat mencegah pengembangan dari NASH serta

steatohepatitis kronis. Inhibitor JNK telah digunakan dalam pengobatan. Baru-

baru ini, bukti telah mengungkapkan hubungan yang signifikan antara aktivasi

JNK berkelanjutan dan terjadinya HCC. JNK1 terlalu aktif di lebih dari 50%

pada sampel dengan HCC. Aktivasi berlebihan yang berkelanjutan dari JNK1

mengarah ke peningkatan penyimpangan dalam beberapa gen untuk proliferasi

hepatosit. Dengan penelitian lebih lanjut, gen ini berpotensi dapat dijadikan

terapi sepsifik target. 1,3


Gambar 1: Pathogenesis NASH menjadi HCC10
1.4 Klasifikasi Hepatoma1,3
Secara mikroskopis tumor biasanya berwarna putih, padat, kadang nekrotik

kehijauan atau hemorogik. Acap kali ditemukan thrombus tumor di dalam vena

hepatica atau porta intra hepatic. Berdasarkan tipe morfologinya:

1. Ekspansif, dengan batas yang jelas

2. Infiltrative, menyebar/menjalar

3. Multifokal

Tipe ekspansif lebih sering ditemukan pada hati nonserotik. Menurut WHO

secara histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasarkan organisasi structural

sel tumor sebagai berikut:

1. Tubercular (sinusoidal)

2. Pseudoglandular (asiner)
3. Kompak (padat)

4. Sirous

Karakteristik penting untuk memastikan HCC pada tumor yang diameternya

lebih dari 1,5 cm adalah bahwa sebagian besar tumor terdiri semata-mata dari

karsinoma yang berdiferensiasi baik, dengan sedikit atipia selular atau struktural.

Bila tumor ini berproiferasi, sebagai variasi histologik beserta dediferensiasinya

dapat terlihat di dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang berdiameter kurang

dari satu cm seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang berdiferensiasi baik. Bila

diameter tumor antara 1 dan 3 cm, 40% dari nodulnya terdiri atas lebih dari 2

jaringan kanker dengan derajat diferensiasi yang berbeda-beda. 1,3

Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :

 Ia : Tumor tunggal diameter ≤ 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis

kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh

 Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di separuh

hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal

ataupun jauh

 IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10cm di

separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di kedua belahan

hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe

peritoneal ataupun jauh

 IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥ 10 cm di

separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan ≥ 5 cm di kedua

belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar

limfe peritoneal ataupun jauh


 IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh

utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe

peritoneal jauh salah satu daripadan ya

 IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis

(Desen, 2008).

Penyebaran

Metastasis intrahepatik dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe, atau

infiltrasi langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena

porta atau vena cava. Dapat terjadi metastasis pada varises esofagus dan di paru.

Metastasis sistemik seperti kekelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang

terjadi, dan dapat juga sampai kemediastinum. Bila sampai ke peritoneum, dapat

menyebabkan asites hemoragik yang berarti sudah memasuki stadium terminal. 1,3

1.5 Patogenesis Hepatoma 1,3


Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui. Adapun agen

penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan

perputaran (turn-over) sel hati yang diinduksi oleh cidera (injury) dan regenerasi

kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat

menimbulkan perubahan genetic seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen

selular atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang

baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi factor-

faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol dan penyakit

hati metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa 1, mungkin

menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan

sirosis), Dilaporkan bahwa HBV dan mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu
juga berperan langsung pada pathogenesis molekular HCC. Aflatoksin dapat

menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa

factor lingkungan juga berperan pada tingkat molekular untuk berlangsungnya

prose hepato karsinogenesis. 1,3

Hilangnya heterozigositas (LOH= lost of heterozygosity) juga dihubungkan

dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH atau delesi alelik adalah hilangnya

satu salinan (kopi) dari bagian tertentu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi

di banyak bagian kromosom. Infeksi HBV dihubungkan dengan kelainan di

kromosom 17 atau pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasusu HCC, lokasi

integrasi HBV DNA di dalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena

itu, HBV mungkin berperan sebagai agen mutagenic insersional non selektif.

Integrasi acap kali menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan selanjutnya

menyebabkan proses translokasi, duplikasi terbalik, penghapusan (delesi) dan

rekombinasi. Semua perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi

tumor maupun gen-gen selular penting lain. Dengan analisis southern blot,

potongan (sekuen) HBV yang telah terintegrasi ditemukan didalam jaringan

tumor/HCC, tidak ditemukan diluar jaringan tumor. Produk gen X dari HBV,

lazim disenut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari

berbagai gen selular yang berhubungan dengan kontrol pertumbuhan. Ini

menimbulkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis

oleh HBV. 1,3

Di wilayah endemic HBV ditemukan hubungan yang bersifat dose-

dependent antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutasi pada kodon 249 dari

p53. Mutasi ini spesifik untuk HCC dan tidak memerlukan integrasi HBV
kedalam DNA tumor. Mutasi gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus HCC di

dunia, dengan frekuensi dan tipe mutasi yang berbeda menurut wilayah geografik

dan etiologi tumornya. 1,3

Infeksi kronik HCV dapat berjuang pada HCC setelah berlangsung puluhan

tahun dan umumnya didahului oleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan peranan

penting dari proses cidera hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada

proses hepatokarsinogenesis oleh HCV. 1,3

Selain yang disebutkan diatas, mekanisme karsinogenesis HCC juga

dikaitkan dengan peran dari

1. Telomerase

2. Insulin-like growth factor (IGFs)

3. Insulin receptor substrate 1 (IRS1)

Untuk proliferasi HCC yang diduga berperan penting adalah vascular

endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bFGF),

berkat peran keduanya pada proses angiogenesis.

Gambar 2: risk factor for HCC and different pathways of pathogenesis


1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi HCC sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga gejala dan

tanda yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering

dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas

abdomen. Pasien sirosis hati yang semakin memburuk kondisinya, disertai

keluhan nyeri dada di kuadran kanan atas; atau teraba pembengkakan lokal di

hepar patut di curigai menderita HCC. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan

pada asites , perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat;

atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti HCV positif yang

mengalami perburukan kondisi mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada

keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan

dengan atau tanpa demam. 1,3

Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi dan

diare. Sesak nafas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan

diafragma, atau karena sudah adanya metastasis ke paru. Sebagian besar pasien

HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi,

maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise,

anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus. 1,3

Temuan fisik tersering pada HCC adalah hepatomegaly dengan atau tanpa

‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari

pasien yang dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau

peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu

laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% pasien HCC telah menderita asites
hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga

40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya

produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya

kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.1,3

1.7 Pemeriksaan Penunjang1,3


 Penanda tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel

hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.

Rentang normal AFP serum adalah 0-20ng/ml. Kadar AFP meningkat pada

60% sampai 70% dari pasien HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah

diagnostic atau sangat sugestif untuk HCC. Nilai normal dapat ditemukan juga

pada HCC stadium lanjut. Hasil positif-palsu dapat juga ditemukan oleh

Hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk

HCC adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang

kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien HCC, namun juga dapat

meningkat pada defisiensi Vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis

karsinoma. Ada beberapa lagi penanda HCC seperti AFP-L3 (suatu subfraksi

AFP), alfa-L-fucosidase serum, dll. Tapi tidak ada yang memiliki agregat

sensitivitas & spesifisitas melebihi AFP, AFP-L3 dan PIVKA-2.3

Sensitivitas alphafenoprotein (AFP) untuk mendiagnosis pasien HCC adalah

60-70%, artinya hanya 60-70% pasien dengan HCC yang mengalami

peningkatan AFP, sedangkan pada 30-40% penderita memiliki nilai AFP

normal. Nilai normal sering ditemukan pada HCC stadium lanjut. Spesifisitas

AFP hanya 60%, artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai

AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan pasien tersebut menderita HCC, sebab
AFP dapat meninggi pada keadaan sirosis hepatis, hepatitis kronis, kanker

testis, dan terratoma.14

 Aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy)


Aspirasi jarum halus terutama ditujukan untuk menilai apakah lesi yang

ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu

benar pasti suatu HCC. Tindakan biopsi ini hendaknya dipandu dengan

menggunakan peralatan ultrasonografi atau CT scan fluoroscopy sehingga

hasil yang diperoleh akurat.13

 Gambaran radiologi
Foto toraks perlu dikerjakan secara rutin dan berguna untuk melihat

peninggian diafragma kanan dan ada tidaknya gambar metastasis ke paru.

Pada umumnya tumor hati yang letaknya dekat diafragma, bila mengalami

pembesaran akan mendesak diafragma. Kanker hepatoselular ini bisa dijumpai

di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan ( nodule ) satu buah, dua

buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse ( merata pada seluruh hati

atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar

yang bisa berkapsul.13

 Ultrasonografi abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati

dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap 3 bulan. Untuk tumor kecil

pada pasein dengan resiko tinggi USG lebih sensitif daripada AFP serum

berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70% hingga

80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran Mosaik,

formasi septum, bagian perifer senolusen (ber-‘halo’), bayangan lateral yang

dibentuk oleh pseudokapsul fibrotic, serta penyangkatan eko posterior.


Berbeda dari tumor metastasis, HCC dengan diameter kurang dari 2

sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color

Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor hepatic lainnya.

Tumor yang berada dibagian atas-belakang lobus kanan mungkin tidak dapat

terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan

isoeskoik.1,3

Dengan USG hitam putih (gray scale) yang sederhana (konvensional) hati

yang normal tampak keabu-abuan dan tekstur merata (homogen). Bila ada

kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodul) berwarna

kehitaman atau berwarna kehitaman bercampur keputihan dan jumlahnya

bervariasi pada tiap pasien, bisa satu, dua atau lebih atau banyak sekali dan

merata pada seluruh hati, ataukah satu nodul yang besar dan berkapsul atau

tidak berkapsul. USG konvensional hanya dapat memperlihatkan benjolan

dengan diameter 2-3 cm, tapi bila USG konvensional dilengkapi perangkat

lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan dengan ukuran 1-2 cm,

namun nilai akurasi ketepatan diagnosisnya hanya 60%. Rendahnya nilai

akurasi ini disebabkan karena USG konvensional tidak dapat menilai adanya

neovaskuler. Neovaskuler merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah

yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk

menghantarkan oksigen dan makanan ke sel kanker tersebut. Semakin banyak

neovakuler maka semakin ganas kankernya. Walaupun USG color sudah

dapat memberikan warna dan mampu memperlihatkan neovaskuler

disekeliling nodul, tetapi belum dapat memastikan keberadaan neovaskuler.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi kini sudah ada alat USG yang lebih
canggih, yaitu color Doppler flow imaging (CDFI), yaitu USG yang selain

mampu memperlihatkan neovaskuler disekitar sel kanker, juga dapat

memperlihatkan kecepatan dan arah aliran darah di dalam neovaskuler

tersebut, selain itu juga dapat melihat adanya portal vein tumor trombosis.

Dari hasil USG ini sudah dapat diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan

yang akan dilakukan, apakah akan dilakukan operasi membuang sebagian hati

(reseksi hepatektomi parsial) atau tidak, apakah bisa diembolisasi atau tidak

ataukah hanya dilakukan infus kemoterapi intra arterial. Tapi bila sudah jelas

adanya tumor trombus didalam vena porta dan sudah menyumbat vena, maka

tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satu-

satunya cara untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi

hati.15

Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati

dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan sekali. Untuk tumor

kecil pada pasien dengan risiko tinggi, USG lebih sensitif daripada AFP serum

berulang. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang

diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa kelebihan, USG

masih tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat.3.

 Strategi skrining dan surveilans


Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada populasi

umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan

diagnostic pada populasi yang beresiko untuk suatu penyakit sebelum ada

bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi.Karena sebagian dari pasien HCC,

dengan atau tanpa sirosis, adalah tanpa gejala, untuk mendeteksi dini HCC

diperlukan strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg
atau anti-HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan

(doubling time) diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan (rerata

6 bulan), dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG

abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik

B atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC

yang terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil

(dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga

terjadi penurunan mortalitas (liver-related mortality).1,3

1.8 Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebik dari 2cm, adanya penyakit hati kronik,

hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP

serum ≥400ng/mL adalah: 1,3

Table.1.1 Kriteria diagnostic HCC menurut Barcelona EASL Conference.1


Kriteria sito histologis

Kriteria non-Invasif (khusus untuk pasien sirosis hati):

Kriteria radiologis: koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-


spiral/MRI/angiografi)
 Lesi fokal >2cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kriteria kombinasi : satu cara imaging dengan kadar AFP serum:
 Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
 Kadar AFP serum ≥400ng/mL

Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi

berdiameter > 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan

terapi. Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit menegakkan diagnosis

secara non-invasif karena beresiko tinggi terjadinya diagnosis negative palsu

akibat belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara
imaging dan biopsy tidak diperoleh diagnosis defenitif, sebaiknya ditindaklanjuti

dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat

ditegakkan.1,3

Dengan perkembangan teknologi yang kian canggih dan kian maju pesat,

maka berkembang pulalah cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan

dewasa ini. HCC yang kecil pun sudah bisa dideteksi awal terutamanya dengan

pendekatan radiologi yang akurasinya 70%-95% dan pendekatan laboratorium

alphafetoprotein yang akurasinya 60%-70%.

Kriteria diagnosis HCC menurut PPHI ( Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ),

yaitu :13

1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.

2. AFP ( Alphafetoprotein ) yang menigkat lebih dari 500 mg/ml.

3. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scan

(CT Scann), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy, ataupun

Positron Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan adanya Kanker

Hati Selular.

4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.

5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya Kanker

Hati Selular.

Diagnosis HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya

satu kriteria empat atau lima.13

Sistem staging pada HCC2,3,8


Terdapat banyak sistem staging yang dipakai pada HCC. Sistem yang

banyak digunakan untuk menilai status fungsional hati dan prediksi pada pasien
sirosis adalah sistem Child-Turcotte-Pugh. Namun sekarang ini, sistem staging

yang banyak digunakan dalam HCC adalah Okuda staging system dan Barcelona

Clinic Liver Cancer (BCLC) staging system. Sistem staging ini bermanfaat dalam

memberikan terapi yang tepat pada pasien HCC.

Tabel 1.2 sistem Okuda staging HCC6

Tabel 1.3 sistem Child-Turcotte-Pugh HCC6


Tabel 1.4 sistem BCLC (Barcelona Clinic Liver Cancer) staging HCC6

Tabel 1.5 American Joint Comitte Cancer (AJCC) TNM Staging for Liver
Tomors6

1.9 Penatalaksanaan
Pilihan terapi yang diberikan pada pasien HCC didasarkan pada staging

yang diperoleh dari penilaian pada pasien tersebut. Karena sirosis hati yang

melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multinodularitas, resektabilitas

HCC sangat rendah. Beberapa terapi yang digunakan dalam penanganan HCC

adalah. 1,3

1. Reseksi

Tujuan terapi reseksi hepatik yaitu menghilangkan keseluruhan tumor dari

jaringan hepar. Terapi ini dapat dilakukan pada pasien yang mempunyai tumor

kurang 3 cm dan fungsi hepar masih baik, idealnya tanpa adanya sirosis

karena dapat memicu timbulnya gagal hati dan menurunkan angka harapan

hidup. Oleh karena itu diperlukan kriteria seleksi pada pasien dengan sirosis.

Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah scor child pugh dan

derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi

portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang

bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi

tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, HCC difus atau

multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat

mempengaruhi ketahanan pasien selama menjalani proses operasi reseksi. 1,3

2. Transplantasi

Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan

untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami

disfungsi. Dilaporkan angka harapan hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan

perbaikan seleksi pasien dan terapi preoperatif dengan obat antiviral dapat

dicapai angka harapan hidup 5 tahun sebesar 92%.1,3


3. Ablasi

Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam

asetat) atau dengan modifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser,

dan crioablation). Injek etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk

tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif

murah. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan

yang lebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih

besar dari 3 cm, namun tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien.

Guna mencegah terjadinya rekurensi dari tumor, pemberian asam poliprenoik

(polypreoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka

rekurensi secara bermakna. 1,3

4. Terapi paliatif

Sebagian pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah sampai lanjut

(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan

metaanalisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial

embolization/chemoembolization) saja yang menunjukkan penurunan

pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan angka harapan hidup pasien

HCC yang tidak resektabel. 1,3

Beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel adalah

imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, androgen, okreotid, radiasi

internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan. 1,3


Medika mentosa

1. Sorafenib

Sorafenib merupakan inhibitor tirosin kinase. Sorafenib bekerja dengan

cara membidik sel tumor dan sistem pendarahan tumor. Dalam uji preklinis,

Sorafenib terbukti mampu menghambat dua jenis kinase yakni profilerasi sel dan

angiogenesis (pembentukan pembuluh darah) di mana keduanya berperan besar

dalam proses pertumbuhan kanker. Proses ini penting pula bagi sel normal,

sehingga terapi target dari Sorafenib juga bisa mempengaruhi beberapa sel

normal. Sorafenib sudah menjadi sistem standar untuk terapi kanker hati stadium

lanjut. Obat ini adalah satu-satunya terapi yang telah menunjukkan adanya

peningkatan survival rate bagi para penderita kanker hati hingga 47 persen.

2. Bevacizumab

Bevacizumab merupakan suatu rekombinan monoklonal antibody yang

mengalami humanised dan berikatan pada vascular endothelial growth factor

(VEGF), suatu protein yang telah diidentifikasi sebagai mediator kunci

angiogenesis tumor. Ini adalah anti-angiogenic yang pertama dan satu-satunya

yang terbukti meningkatkan harapan hidup penderita kanker pada studi fase 3.

Dengan menghambat VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) maka akan

menghambat pertumbuhan tumor, mencegah penyebaran ke seluruh tubuh

(metastasis) dan meningkatkan efektifitas kemoterapi pada tumor.

3. Erlotinib

Erlotinib memiliki mekanisme kerja yang disebut HER1/EGFR TKI atau

Human Epidermal Receptor 1 /Epidermal Growth Factor Receptor Tyrosine

Kinase Inhibitor atau secara sederhana dapat dijelaskan sebagai penghambat


aktivasi enzim tyrosine kinase yang dilepas dari reseptor nya yang disebut

HER1/EGFR, sehingga Tarceva akan menghambat terjadinya mekanisme

proliferasi, metastasis, angiogenesis dan merangsang proses apoptosis. Erlotinib

ini tergolong dalam biological targeted therapy´.Yang dimaksud dengan

biological targeted therapyadalah golongan obat anti kanker yang bersifat

memusnahkan hanya pada selkanker saja tanpa merusak sel-sel sehat.

Tindakan Non-bedah Hati

1. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)

Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang

datangnya bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul

banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan

demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang

merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh

darah pemberi makanan (feedingartery). Tindakan TAE ini menyumbat feeding

artery. Caranya dimasukkan katetermelalui pembuluh darah di paha (arteri

femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta

abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica)

dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat

(di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah

dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker

akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Sebelum dilakukan embolisasi

dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi

melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang

mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi. Dengan dasar inilah embolisasi dan

injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan.

2. Infus Sitostatika Intra-arterial

Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal

berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas

mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena

porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan

terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti alasan pasien cepat

meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-

arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai kecabang besar tertutup oleh sel-sel

tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi

hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena ketidak

mampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 ± 20 Mg

kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 ±

200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 FluoroUracil). Metoda ballon

occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika intra-arterial,

hanya kateter yang dipakai adalah double lumen ballon catheter yang di-insert

(dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi

sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon

mengembang selama ± 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika

dengan tumor.

3. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)

Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua

tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu
membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-

satunya. Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman,efek

samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI

hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut.

Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor

mengalami nekrosis yang lengkap.

4. Terapi Non-bedah Lainnya

Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya

dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun

Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak

mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation

Therapy (RFA), Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal

Radiotherapy(3DCRT), Cryosurgery yang ke semuanya ini bersifat palliatif bukan

kuratif keseluruhannya.
Gambar 3: Algoritma penanganan HCC berdasarkan staging14,15,16

1.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis HCC adalah jelek. Tanpa pengobatan biasanya

terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien HCC

stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan pemberian sitostatik,

umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun, sebaliknya HCC stadium lanjut

mempunyai masa hidup yang lebih pendek. 1,3


BAB 2
LAPORAN KASUS
Anamnesis

Identitas pasien :

Nama : Tn. A

Umur : 43 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Pesisir selatan .

MR : 994079

Seorang laki-laki umur 43 tahun datang ke IGD RSUP M. DJAMIL PADANG

pada tanggal 25 Oktober 2017 dengan :

Keluhan utama :

Bengkak pada perut kanan atas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Bengkak pada perut kanan atas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah

sakit nyeri (+), hilang timbul.

 Perut terasa cepatt penuh apabila diisi makanan.

 Demam (-)

 Batuk(-)

 Mual (+), muntah (-)

 Nafsu makan (-) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah saki, pasien hanya

makan 3-4 sendok makan/kali

 Penurunan berat badan (+) sekitar 7 kg sejak 1 bulan yang lalu

 BAK seperti teh pekat

 BAB warna dan konsistensi normal


 Sesak afas (+) terus menerus, tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, dan

makanan

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat DM (-)

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat kuning (-)

Riwayat mengkonsumsi narkoba dan minuman alkohol sebelumnya (-).

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti ini.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, Kebiasaan

Pekerjaan pasien swasta.

Riwayat minum alkohol (-)

Pasien merokok (+), I bungkus sehari, sejak 20 tahun yang lalu

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis :

- Keadaan umum : sedang

- Kesadaran : Composmentis

- Frekuensi nadi : 96 x/mnt

- Frekuensi nafas : 22 x/menit

- Tekanan Darah : 130/80 mmHg

- Suhu : 36,50C

- BB : 50 kg

- TB : 160 cm
Pemeriksaan sistemik :

Kulit : Teraba hangat, turgor baik, ptekie (-)

Kelenjer getah Bening : Tidak ada pembesaran KGB

Kepala : Normochephal

Rambut : Hitam, Tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telingga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal

Tenggorok : Tonsil T1 – T1 tidak hiperemis dan faring tidak hiperemis

Gigi dan Mulut : Caries (+)

Leher : JVP 5 – 2 cmH2O

Thorak

Paru :

- Inspeksi : pergerakan tidak simetris kanan tertinggal dari kiri, retraksi (-),

venektasi (+)

- Palpasi : fremitus kanan lebih lemah dibandingkan kiri

- Perkusi : kiri sonor, kanan sonor kemudian redup dari ric III kebawah

- Auskultrasi : suara nafas bronkovesikuler , rhonki (+/+), wheezing (-/-), suara

nafas kanan melemah di ric III

Jantung :

- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus teraba satu jari medial LMCS RIC V

- Perkusi : Batas atas jantung : RIC II

Batas kanan jantung : LSD


Batas kiri jantung : 1 jari medial RIC LMCS RIC V

- Auskultasi : irama reguler, bising (-), murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

- Inspeksi : tampak membuncit

- Palpasi : hepar teraba 5 jari dari arcus costarum, 6 jari dari prosessus

xipoideus konsistensi keras, pinggi tumpul, permukaan tidak

rata. lien tidak teraba

- Perkusi : pekak

- Auskultasi : bising usus (+) normal, brui positif di perut kanan atas

Punggung : nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)

Alat Kelamin : tidak diperiksa

Anus :

Inspeksi : laserasi (-), jaringan parut (-)

RT : (-)

Sfingter : menjepit kuat

Mukosa : licin

Hemoroid : tidak ada

Tumor : tidak ada

Ulcera : tidak ada

Fistel : tidak ada

Prostat : tidak membesar

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, udem (-), refleks fisiologis (++/+

+), refleks patologis (-/-)


LABORATORIUM:

Hb : 13,3gr/dl

Leukosit : 17.460/ mm3

Ht : 39 %

Trombosit : 465.000 / mm3

GDS : 85 mg/dl

Na / K /Cl/ Ca : 136 / 4,6 / 102 / 9.1

Ur / Cr : 53 / 1,0

Alb / Glob : 3,0 / 4,0

SGOT / SGPT : 279 / 30

HBsAG : reaktif

Anti HCV : non reaktif

Rapid test : positif

DIAGNOSIS KERJA :

- Hepatoma

- Hepatitis B Kronis

- Efusi pleura dekstra

DIAGNOSIS BANDING :

- Abses hepar

TERAPI

- Istirahat, diet DH II

- O2 3 l/i

- Triofusin:NaCl 0,9% 1:1, 8 jam / kolf

- Lactulac syr 3xCTH II (PO)


- Balance cairan

- Paracetamol 3x500 mg (po)

PEMERIKSAAN ANJURAN :

- Rontgen thoraks

- Usg Abdomen

- Biopsi
BAB 3
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 43 tahun dengan

keluhan bengkak pada perut kanan atas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah

sakit. Bengkak pada perut kanan atas dengan nyeri yang hilang timbul. Perut

terasa cepat penuh apabila diisi makanan. Pasein sering mual dan nafsu makan

menurun sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien hanya makan 3-4

sendok makan/kali. Penurunan berat badan (+) sekitar 7 kg sejak 1 bulan yang

lalu. BAK seperti teh pekat namun BAB warna dan konsistensi normal. Pasien

juga mengeluh sesak nafas terus menerus, tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, dan

makanan. Pasien merokok satu bungkus sehari, sejak 20 tahun yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tampak membuncit. Hepar teraba 5

jari dari arcus costarum, 6 jari dari prosessus xipoideus konsistensi keras, pinggir

tumpul, permukaan tidak rata dengan perkusi pekak. Dari auskultasi ditemukan

bising usus (+) normal, brui positif di perut kanan atas.

Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan leukositosis ( Leukosit : 17.460/

mm3), trombositosis (Trombosit : 465.000 / mm3), gula darah sewaktu menurun

(GDS : 85 mg/dl), ureum meningkat (Ur / Cr : 53 / 1,0), albumin meningkat dan

globulin menurun (Alb / Glob : 3,0 / 4,0), SGOT meningkat (SGOT / SGPT :

279 / 30), HbsAG reaktif, anti HCV non reaktif, dan rapid test positif.

Diagnosa yang ditegakkan pada pasien adalah hepatoma, hepatitis B kronis

dan efusi pleura dekstra dengan diagnosa banding abses hepar. Pasien diberikan

terapi Istirahat, diet DH II, O2 3 l/I, Triofuin:NaCl 0,9% 1:1, 8 jam / kolf,

Lactulac syr 3xCTH II (PO), Balance cairan, dan Paracetamol 3x500 mg (po).
Pemeriksaan lebih lanjut yang dianjurkan adalah Rontgen thoraks, Usg Abdomen

dan biopsi.

Hepatoma ditegakan berdasarkan pada anamnesis dengan pasien, dimana

pasien merasakan bengkak pada perut kanan atas dengan nyeri yang hilang timbul.

Perut terasa cepat penuh apabila diisi makanan. Pasein sering mual dan nafsu makan

menurun sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien hanya makan 3-4

sendok makan/kali. Penurunan berat badan (+) sekitar 7 kg sejak 1 bulan yang lalu

dan BAK seperti teh pekat. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan SGOT

meningkat, bilirubin direk meningkat, HBsAg kualitatif reaktif. Hepatoma pada

pasien ini dapat ditentukan kemungkinan kausanya, bisa terjadi dikarenakan

pasien sudah pernah terkena hepatitis B.

Kriteria diagnosis HCC menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia),

yaitu :13

1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa

disertai bising arteri.

2. AFP ( Alphafetoprotein ) yang menigkat lebih dari 500 mg/ml.

3. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography

Scan (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy,

ataupun Positron Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan

adanya Kanker Hati Selular.

4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.

5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya

Kanker Hati Selular.


Diagnosis HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya

satu kriteria empat atau lima.13 Oleh karena itu, rencana diagnostik untuk masalah

ini adalah USG , aspirasi biopsi halus dan pemeriksaan AFP.

Diet hepar II diberikan kepada pasien dengan nafsu makannya cukup.

Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein

diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi

total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi,

zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya

retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadiasubrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.

2. Parikh S, Hyman D. Hepatocellular cancer: a guide for the internist. AJM.


2007. [ cited 2017 Oct 31 ]

3. Budihusodo U. Karsinoma hati dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Aru W,
Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S editor. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007: 455-9

4. Price SA, Lorraine MW. Hepatocellular carcinoma. Patofisiologi : Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol. 1. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2009 : 493-501.

5. Axelrod DA. Hepatocellular carcinoma. Emedicine. 2012. [ cited 2017 Oct 31].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/197319

6. Schafer DF, Sorrel MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet. 1999

7. Smith CS, Paauw. Hepatocellular carcinoma identifying and screening


populations at increased risk. Postgrad. Med. 1993.

8. El-serag HB, Marero JA, Rudolph J, Reddy KR. Diagnosis and treatment of
hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2008; 134: 1752-1763.

9. Davila JA, et.al. use of surveilence for hepatocellular carcinoma among


patients with cirrhosis in the United States. Hepatology. 2010; 52 (1). 132-141

10. Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy and prevention. World J.


gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400

11. Hamid NA. Update to risk factors for hepatocellular carcinoma. Int J. Med.
Med. Sci. 2009; 1 (3): 038-043Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy
and prevention. World J. gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400

12. Starley BQ, Calcagno CJ, Harrison SA. Nonalcoholic fatty liver disease and
hepatocellular carcinoma: a weight connection. Hepatology. 2010. [ cited 2017
Oct31].Availablefrom:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/hep.23594/pdf

13. Rasyid A. pentingnya peranan radiologi dalam deteksi dini dan pengobatan
kanker hati primer. USU press.2006
14. Soresi M, Maglirisi C, Campgna P. alphafetoprotein in diagnosis of
hepatocellular carcinoma. Anticancer Research. 2003.

15. Richard LB, Mark S, Peterson. Screening the cirrhotic liver for hepatocellular
carcinoma with CT and MRI imaging opportunities and pitfalls RSNA. 2001

16. Ryder SD. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular
carcinoma (HCC) in adults. 2003.

17. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 60th ed. Sugiharto L,Hartanto
H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jajarta: EGC. 2006

18. Putz R., Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi . 22 nd ed. Suvono J.Sugiharto L.
Novrianti A. Liena, Penerjemah. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22.
Jakarta: EGC, 2007

Anda mungkin juga menyukai