Anda di halaman 1dari 5

LEVEL OF EVIDENCE

Materi ke-2

Bukti / Evidence dikelompokkan berdasarkan tingkatan kesahihan atau tingkat untuk dapat
dipercaya dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan klinis. Lazimnya diurutkan
dengan gambar piramida (paling bawah tingkat rendah hingga paling atas tingkat tinggi), sbb:

1. Paling bawah adalah penelitian in vitro dan pada hewan. Penelitian in vitro artinya
dilakukan pada tingkat seluler atau jaringan, sementara penelitian pada hewan dilakukan
pada hewan coba. Penelitian seperti ini paling mudah lolos ijin etik-nya dan relatif lebih
mudah dilakukan, karena itu paling banyak dilakukan. Tetapi karena hasil pada sel atau
hewan bisa berbeda dari hasil pada manusia maka penelitian seperti ini diletakkan paling
bawah dalam hierarki. Hasil yang didapat dari penelitian in vitro dan hewan coba harus
dibuktikan dulu pada manusia sebelum bisa dijadikan sebagai terapi atau dasar pelarangan
suatu zat.
Contoh :
https://europepmc.org/abstract/med/7716624
2. Di atas penelitian in-vitro dan hewan coba ada evidence berupa laporan kasus baik kasus
tunggal ataupun kasus serial. Evidence jenis ini biasanya terkait dengan kasus-kasus langka
atau kasus biasa dengan komplikasi/luaran/terapi yang berbeda dari normalnya, yang
dijumpai tanpa sengaja di praktik kedokteran sehari-hari. Bentuknya hanya narasi biasa,
tetapi mencantumkan data-data mengenai kasus terkait yang lengkap. Kasus tersebut
dilaporkan sejak kedatangan sampai hasil akhir, apakah sembuh/meninggal. Di akhir
tulisan, peneliti bisa memberikan ringkasan kasus. Ringkasan itu bisa juga diisi asumsi
pribadi dan saran untuk penelitian selanjutnya. Pada laporan kasus ini, tidak ada desain
penelitian khusus, jadi tidak bisa diambil kesimpulan sebab-akibat. Laporan kasus yang
serupa bisa dikumpulkan dan dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dengan desain yang lebih baik. Untuk laporan kasus terapi baru atau terapi yang berbeda
dengan terapi konvensional, hasil laporan kasus harus dipastikan dengan RCT sebelum
diaplikasikan ke pasien sebagai pengganti terapi konvensional.
Contoh :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/26277176/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4747451/
3. Case control, termasuk jenis penelitian observasional, artinya ya hanya observasi dan
peneliti tidak melakukan intervensi apapun. Di penelitian jenis ini, sekelompok orang yang
sudah didiagnosis dengan penyakit tertentu diambil datanya mulai usia, jenis kelamin,
pekerjaan, kebiasaan sampai riwayat pajanan zat yang dicurigai. Misalnya rokok. Karena
penelitiannya mencari tahu ke masa lalu, dinamakan retrospektif. Penelitian jenis ini
biasanya dilakukan untuk mencari faktor risiko, tetapi kemudian harus dipastikan dengan
model penelitian yang lain, karena bias-nya besar.
Contoh : https://www.sciencedirect.com/.../pii/S0140673697031929
4. Penelitian kohort juga merupakan bentuk penelitian observasional, tetapi disini
sekelompok orang yang terpajan pada faktor risiko diikuti selama beberapa waktu ke depan.
Kemudian dilihat berapa persen yang terkena penyakit, berapa yang tidak. Biasanya
merupakan lanjutan dari penelitian case-control.
Contoh. Dari penelitian case control ditemukan faktor risiko untuk kanker paru adalah
rokok. Maka lanjutan dari penelitian tersebut adalah sekelompok orang yang merokok
diikuti selama 10 tahun, misalnya, kemudian dicatat luarannya. Apakah ada yang terkena
kanker atau penyakit lain dan berapa jumlahnya. Data-data lain juga dicatat, untuk melihat
pengaruhnya pada luaran. Misalnya, apakah jumlah batang rokok per hari berpengaruh
pada beratnya penyakit atau tidak.
5. Tingkat selanjutnya adalah randomized controlled trial (RCT). Penelitian yang ini sudah
tidak masuk dalam jenis observasional, karena peneliti memberikan perlakuan kepada
subjek. Di RCT ada kelompok kontrol dan ada kelompok perlakuan, subjek kelompok
kontrol dan perlakuan memiliki karakteristik yang sama. penelitian RCT masih dibedakan
lagi menurut ada tidaknya blinding-nya. Blind = buta, maksudnya disini adalah ketika
pembagian subjek ke kelompok kontrol atau perlakuan apakah subjek tahu dia masuk yang
mana, kemudian juga saat perlakuan dan pengolahan hasil, apakah peneliti tahu kelompok
mana yang diberi perlakuan dan hasilnya. Dari sini akan ada sebutan blind, double-blind,
sampai triple –blind. Bingung ? Tenang, ada contoh.
Misalkan seorang peneliti mau membuat penelitian RCT mengenai pengaruh vitamin C
pada angka kejadian sariawan. Untuk subjeknya, ia memilih 20 orang remaja, usia 15-17
tahun, sehat, tidak memiliki penyakit kronis (dipastikan dengan pemeriksaan dokter).
Duapuluh orang ini akan dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol (yang tidak diberi
vitamin C) dan kelompok perlakuan (diberi vitamin C). Kalau subjeknya tahu dia masuk
kelompok kontrol, maka berarti RCT tidak blind. Kalau subjek tidak tahu, bahkan yang di
kelompok kontrol juga diberi placebo (kapsul isi tepung), berarti RCT-nya ada blind-nya.
Kedua kelompok ini kemudian diikuti selama 2 tahun, setiap sebulan sekali diperiksa
dokter dan ditanya apakah sariawan. Kalau dokter ini ketika memeriksa subjek, tidak
mengetahui dari kelompok mana subjek ini berasal, maka dinamakan double-blind. Hasil
pemeriksaan akan dicatat dan dikelompokkan untuk kemudian diolah peneliti di akhir
penelitian. Jika sampai saat mengolah data peneliti tidak tahu asal data dari kelompok mana,
maka dinamakan triple-blind. Semakin tinggi blinding-nya, semakin rendah bias dan
semakin berkualitas penelitiannya.
Tetapi RCT ini tidak selalu bisa dilakukan. Hambatan biasanya dari segi etik. Misalnya
seperti permintaan antivax, supaya anak divaksin dan tidak divaksin dibandingkan
ketahanannya dalam melawan infeksi (difteri, misalnya). RCT seperti ini tidak bisa
dilakukan karena secara teori dan evidence dari penelitian yang lebih rendah, tidak
vaksinasi jelas berbahaya.
Contoh RCT : https://academic.oup.com/ije/article/39/suppl_1/i48/699532
6. Dua tingkat paling atas piramida dinamakan penelitian sekunder, karena penelitinya
“hanya” mengumpulkan penelitian-penelitian lain yang sudah dipilih untuk diambil
kesimpulannya. Contoh :
https://jamanetwork.com/.../jamapediat.../fullarticle/481371
Paling mudah dengan mencari guideline dari organisasi kesehatan atau profesi terkait, karena
itu yang paling puncak. Panduan atau guideline itu dibuat oleh sekumpulan orang yang
memang dianggap ahli oleh orang-orang yang seprofesi dengan mereka, dibuatnya juga
berdasarkan hasil penelitian terbaik, jadi mutunya terjamin.
Sebenarnya ada macam-macam hirerarki evidence, ada yang pembagian evidence seperti di
tabel gambar kedua berikut, semua dasarnya sama saja, berdasarkan kelemahan dan kekuatan
desain penelitian.
Kalau untuk yang model di gambar kedua bisa dijumpai di panduan WHO, misalnya,
disebutkan level of evidence 1a atau 2a, nah konversinya bisa dilihat di tabel. Di tingkat paling
bawah untuk yang model tabel adalah pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis.
Ini misalnya, ada profesor yang sudah membuat ratusan judul penelitian, sudah jadi dokter
puluhan tahun, sudah menangani ratusan ribu pasien, kemudian mengeluarkan opini, misalnya
saat kuliah atau waktu seminar atau menuliskan opininya di suatu jurnal. Nah, kalau opini
seorang ahli ini saja masih masuk di tingkat paling bawah di hierarki evidence, kira-kira "kata
nenek" masuk level berapa ?
Referensi :
- https://libguides.gwumc.edu/ebm
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3124652/
- https://ebm.bmj.com/content/21/4/125

Anda mungkin juga menyukai