Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked 04054821820045

Pembimbing:
dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SINDROM NEFROTIK

Oleh:

Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked 04054821820045

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 15 April-24 Juni 2019

Palembang, Juni 2019

Pembimbing

dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A (K)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Sindrom Nefrotik”.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hertanti
Indah Lestari, Sp.A (K) atas bimbingan yang telah diberikan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi


penulis pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, Juni 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... 2
KATA PENGANTAR .................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 5
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................ 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 19
BAB IVANALISIS KASUS .......................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 46

4
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada


anak.1 Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa
gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL,
edema, dan hiperkolesterolemia.1
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi.2

Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Kasus terbanyak
didapatkan pada anak kurang dari 14 tahun. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Bagian Anak RSUP Sanglah Denpasar, sekitar 68 anak selama periode 2001-
2007. Usia berkisar 6 bulan sampai dengan 11 tahun, dimana rasio lelaki
dibandingkan perempuan adalah 2,7 : 1. Insiden sindrom nefrotik di Indonesia
dilaporkan mencapai enam kasus per 100.000 anak di Indonesia, sementara Divisi
Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)
mencatat sekitar 130 kasus baru selama tahun 2004-2008.3

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder


mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein, dan lain lain. Pasien SN biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura,
dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu
makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.1

5
Dalam SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia), sindrom nefrotik
termasuk dalam tingkat kemampuan 2 yang artinya dokter mampu membuat
diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya serta dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Oleh karena itu, dibutuhkan
pemahaman mengenai sindrom nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini
sindrom nefrotik dengan harapan dapat mencegah progresivitas dan komplikasi
akibat keterlambatan penatalaksanaan.

6
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. SUL
Umur / Tanggal Lahir : 14 tahun 1 bulan (30 April 2005)
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. TA
Nama Ibu : Ny. SU
Alamat : Dusun 1 Desa Pematang Bungur Kelurahan
Pematang Bungur Kecamatan Pemulutan Selatan
Kabupaten Ogan Ilir
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 24 Mei 2019 / 19.00 WIB

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis diberikan oleh ayah kandung pasien)


Tanggal : 24 Mei 2019 pukul 20.00 WIB
Keluhan utama : Perut bertambah besar
Keluhan tambahan : Kencing sedikit
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 5 minggu SMRS, pasien merasa perut sedikit membesar dan mata
sembab sehabis bangun tidur. Pasien juga mengalami batuk dan pilek.
Dahak (+), nyeri tenggorokan (+), nyeri menelan (+), demam (+) suhu tidak
diukur, sesak (-), mual (-), muntah (-). Pasien tidak berobat. Pasien hanya
minum obat batuk yang dibeli di warung dan pasien lupa nama obatnya.
± 4 minggu SMRS, pasien merasa sembab pada wajah bertambah terutama
saat bangun tidur. Pasien juga mengeluh perut semakin membesar. Pasien
tidak ada batuk dan pilek, demam (-), mual (+), muntah (-), sesak (+)
terutama saat berbaring namun tidak mengganggu aktivitas. BAB tidak ada
keluhan, BAK berwarna teh tua dan berbusa. Frekuensi BAK 3-4 kali

7
perhari, kira-kira seperempat gelas belimbing setiap kali BAK. Nyeri BAK
(-), darah (-).
1 hari SMRS, perut dirasakan semakin membesar dan tungkai juga
membesar. Frekuensi BAK 2-3x/hari, seperempat gelas belimbing setiap
kali BAK. Batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (+), sesak (+) bertambah
terutama saat berbaring dan dirasa sudah mengganggu aktivitas . Anak
kemudian dibawa berobat ke Puskesmas Sungai Keli Pemulutan lalu dirujuk
ke poli nefrologi anak RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan yang sama (+), didiagnosa sindrom nefrotik tahun 2015
- Riwayat darah tinggi disangkal.
- Riwayat sakit jantung bawaan sebelumnya disangkal.
- Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit darah tinggi dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit kencing manis dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit ginjal dalam keluarga disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa Kehamilan : Cukup bulan
Partus : Spontan, per vaginam
Tempat : Rumah
Ditolong oleh : Dukun beranak
Tanggal : 30 April 2005
BB : 3200 g
PB : Tidak ingat
Lingkar kepala : Tidak ingat

8
Riwayat Makanan
ASI : Lahir – 2 tahun
Susu Formula : 2 tahun sampai 4 tahun
Bubur Nasi : 6 - 10 bulan, 3x/hari, +8 sendok makan
Nasi Tim : 10 - 15 bulan, 3x/hari, +8 sendok makan
Nasi Biasa : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, banyaknya ±1 porsi (15-20
sendok makan)
Daging : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, anak sering diberi lauk
berupa daging ikan dan daging ayam, jarang daging sapi.
Potongan daging kecil.
Tempe : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Tahu : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Sayuran : 10 bulan – sekarang; setiap makan.
Buah : Sejak usia 7 bulan frekuensi sering. Anak sering makan
pisang.
Kesan : Kuantitas cukup, Kualitas cukup.
Riwayat Sosial Ekonomi
 Pekerjaan kedua orang tua pasien adalah petani dengan pendapatan ±
Rp1.000.000-Rp3.000.000/bulan
 Berdasarkan penggolongannya yaitu menurut Badan Pusat Statistik termasuk
dalam berpendapatan golongan sedang.
 Kesan: riwayat sosial ekonomi menengah.

Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal


Pasien diasuh oleh : ibu dan ayah kandung
Lingkungan rumah: perkampungan
 Rumah milik sendiri
 Ukuran 5 x 6 meter = 30 m2 untuk 6 orang = < 8 m2/orang  termasuk
dalam golongan padat.

9
 Atap genteng
 Lantai keramik
 Jendela kayu ada 5 buah
 Kamar tidur 2 ruang.
 Dapur 1 buah
 Kamar mandi dan WC ada
Kesan: Secara garis besar kondisi rumah dan lingkungan tidak baik.

10
Riwayat Pertumbuhan

 BB = 40 kg
 TB = 150 cm
 LiLa = 12,5 cm
 BB/U = P10-P5
 TB/U = <P5
𝐵𝐵 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟 40 𝑘𝑔
 BB/TB =𝐵𝐵 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑇𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑥 100% = 41 𝑘𝑔
𝑥 100% = 97%  Normal
𝐿𝑖𝐿𝑎 13
 Status Gizi =𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑥 100% = 150 𝑥 100% = 86%  Gizi baik

Kesan: Gizi Baik Perawakan Pendek

11
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI

Umur Umur Umur Umur


BCG √ 1 bln
DPT 1 √ 2 bln DPT 2 √ 3 bln DPT 3 √ 4 bln
HEPATITIS √ 0 bln HEPATITIS √ 2 bln HEPATITIS √ 6 bln
B1 B2 B3
Hib 1 √ 2 bln Hib 2 √ 3 bln Hib 3 √ 4 bln
Hib 4 √ 15 bln POLIO 5 √ 18 bln
(booster) (booster)
POLIO 1 √ 0 bln POLIO 2 √ 2 bln POLIO 3 √ 3 bln
CAMPAK √ 9 bln POLIO 4 √ 4 bln

KESAN : Imunisasi dasar lengkap hingga usia 18 bulan

Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur Perkawinan : 25 tahun
Pendidikan orang tua : Ibu : SD, Ayah : SMP
Pekerjaan orang tua : Ibu : Petani, Ayah : Petani

Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 8 bulan Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 3 bulan Berjalan : 12 bulan
Tengkurap : 3 bulan Berbicara : 14 bulan
Merangkak : 7 bulan Kesan : Perkembangan baik
Duduk : 7 bulan

Riwayat Perkembangan Mental

12
Isap Jempol : berhenti sejak usia 1 tahun
Ngompol : berhenti sejak usia 5 tahun
Sering Mimpi : tidak
Aktivitas : aktif
Membangkang : tidak
Ketakutan : tidak
Kesan : Perkembangan mental baik

III. Pemeriksaan Fisik (pada tanggal 24 Mei 2019 pukul 20.00 WIB)
a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sembab
Kesadaran : Kompos mentis
Berat Badan : 40 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BB/U : P10-P5
TB(PB)/U : <P5
Status Gizi : Gizi Baik Perawakan Pendek
Suhu : 36,5oC
Respirasi : 20 x/menit
Tipe Pernapasan : Abdominotorakal
Tekanan darah : 110/70 mmHg
50th  106 60
90th  120 75
95th  124 80
99th  131 87
Kesan: Normal blood pressure
Nadi : 88 x/menit
Isi/ kualitas : Isi dan tegangan cukup
Regularitas : Reguler
Kulit : Pucat (-), hiperpigmentasi (-), ikterik (-),

13
ptekie (-), edema (+)

b. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Tidak simetris
Rambut : Hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya
(+/+), visus OD 1/~, visus OS 6/6, injeksi
konjungtiva OD (+)
Hidung : Bentuk normal, kavum nasi lapang, septum
deviasi (-), secret (+) kuning
Telinga : CAE lapang, serumen (+), MT sulit dinilai
Mulut : Tidak ada sianosis, tidak ada cheilitis
Lidah : Simetris, tidak ada atrofi papil, tidak
kering, lidah kotor (-)
Tenggorokan : Faring sulit dinilai, tonsil sulit dinilai
Leher : Massa (-), kelenjar tiroid tidak membesar,
tidak teraba pembesaran KGB
Toraks : Inspeksi  simetris, retraksi (-/-)
Paru : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Cor : Batas jantung normal
Bunyi Jantung I dan II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi  cembung, venektasi (-)
Auskultasi  bising usus (+) normal
Perkusi  shifting dullness (+)
Palpasi  nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba
Lingkar perut maksimal : 71 cm

14
Lingkat perut umbilicus: 67 cm
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3”, pucat (-), sianosis
(-), clubbing finger (-), pitting edema
pretibial (+/+)
KGB inguinal  tidak teraba pembesaran
Genitalia : Edema (-)

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Fungsi
Tungkai Kanan Tungkai Kiri Lengan Kanan Lengan Kiri
Motorik
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Reflek Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflek Patologis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Gejala rangsang meningeal : Tidak ada


Fungsi sensorik : Dalam batas normal
Nervi craniales : Dalam batas normal

IV. Pemeriksaan Penunjang


RSMH (24 Mei 2019)
Pemeriksaan Hasil Rujukan Interpretasi
Hb 12,4 g/dl 11,3-14,1 g/dl Normal
RBC 5,21 x 106/ mm3 4,40-4,48 x 106/ mm3 Meningkat
WBC 14,97 x 103/ mm3 4,5-13,5 x 103/ mm3 Meningkat
Trombosit 606.000/ mm3 217 – 497 x 103 / mm3 Meningkat
Ht 31 % 37 – 48 % Menurun

15
Diff Count 0/3/64/28/5 0–1% Normal
1–6%
50 – 70 %
20 – 40 %
2–8%
LED 45 < 20 Meningkat
Glukosa Sewaktu 108 60-100 mg/dL Meningkat
CRP kuantitatif 14 <5
Urine
Warna Kuning Kuning Normal
Kejernihan Keruh Jernih Tidak Normal
Berat Jenis 1,010 1,003 – 1,030 Normal
pH 7 5-9 Normal
Protein Positive++ Negatif Proteinuria
Ascorbic Acid Negatif
Glukosa Negatif Negatif Normal
Keton Negatif Negatif Normal
Darah Positive++ Negatif Hematuria
Bilirubin Negatif Negatif Normal
Urobilinogen 1 0,1-1,8 EU/dL Normal
Nitrit Negatif Negatif Normal
Lekosit Esterase Negatif Negatif Normal
Assessment: Anemia ringan dengan peningkatan kolesterol disertai hematuria dan
proteinuria dengan hipoalbuminemia

V. RESUME
Pasien An. SUL, laki-laki, 14 tahun 1 bulan dibawa orang tua ke Poli
Nefrologi Anak RSMH dengan keluhan perut bertambah besar sejak 5 minggu
yang lalu. Batuk (+) berdahak, nyeri tenggorokan (+), nyeri menelan (+), demam
(+) suhu tidak diukur. Pasien hanya minum obat warung, lupa nama obatnya.

16
Sejak ± 4 minggu SMRS, sembab bertambah, perut semakin besar. Mual (+),
sesak (+) terutama berbaring, BAK teh tua dan berbusa, 3-4x/hari, seperempat
gelas belimbing per kali. 1 hari SMRS perut dan tungkai makin membesar, BAK
2-3x/hari,seperempat gelas belimbing. Mual (+), muntah (+), sesak (+) dan sudah
mengganggu aktivitas. Anak dibawa berobat ke Puskesmas Sungai Keli
Pemulutan lalu dirujuk ke poli nefrologi anak RSMH.
Riwayat keluhan yang sama (+), didiagnosa sindrom nekrotik tahun 2015.
Pemeriksaan fisik perkusi abdomen shifting dullness (+), ekstremitas pitting
edema pretibial (+/+) . Hasil laboratorium didapatkan Hb 9,5 g/dl (), RBC 3,97
x 106/mm3 (), Trombosit 511.000/mm3 (), Ht 31% (), LED 33 mm/jam (),
Albumin 1,5 g/dL (), kolesterol total 387 mg/dL (), urine keruh, protein urin
++, darah urin ++.

VI. DAFTAR MASALAH


1. Asites
2. Oliguria
3. Hipoalbuminemia berat
4. Proteinuria
5. Hematuria

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Sindroma Nefrotik Relaps Jarang
2. Sindroma Nefritik Akut

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Sindrom Nefrotik Relaps Jarang
IX. PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
- Pengaturan diet rendah garam 1-2 g/hari selama edema atau selama
mendapat terapi steroid
- Diet protein sesuai kebutuhan RDA 2 g/kgBB/hari

17
- Pengaturan intake dan output cairan.

Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 40 mg IV
- Spironolactone 2 x 25 mg PO
- Albumin 25% 100cc dalam 4 jam
- Methylprednisolone 8 mg (2 mg/kgBB = 51 mg dibagi 3 dosis)
24 mg – 24 mg – 12 mg

b. Diet
- Kebutuhan energi = BB x RDA = 51 kg x 50 = 2.550
kkal/hari$
- BMR = 1272,10 kkal/hari
- Rendah garam 1 g/hari
- Diet protein normal sesuai RDA 2 x 40 = 80 gr/hari
- Diberikan dalam bentuk: (anak tidak ada gangguan makan)
Nasi Biasa (NB) kalori 1 porsi = 600 kkal
NB = 3 x 1 porsi (600 kkal) =1800 kkal
Snack + buah = 2 x 350 gr = 700 kkal
2550 kkal
c. Monitoring
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, dan suhu
tubuh) setiap 6 jam
- Asupan nutrisi (jumlah yang habis dan toleransi anak)
- Diet rendah garam
- Balance cairan dan diuresis setiap 6 jam
- Ukur lingkar perut setiap hari

d. Edukasi
1) Memberi informasi pada keluarga bahwa dapat terjadi
komplikasi yang berhubungan dengan sindrom nefrotik.

18
2) Membantu anak menjaga asupan nutrisi yang baik.
3) Mengajak kerja sama kepada keluarga untuk rajin kontrol
kesehatan anak pasca perawatan (sebaiknya tiap minggu, tapi
bila tidak memungkinan diharapkan pada minggu ke-4 untuk
monitoring penggunaan dan dosis steroid)

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
Tanggal, Jam Keterangan
25 Maret 2019 S : Perut mulai mengecil, BAK meningkat (3-4x/hari)
06.30
O : Sensorium: compos mentis
BP: 110/60 mmHg; N: 76 x/menit; RR :20x/menit
T: 36,6oC

Kepala: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),


edema palpebra (+)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: cembung, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (+), Lingkar perut maksimal : 69,5
cm, Lingkar perut umbilicus 66 cm
Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial
(+/+)

19
Balance Diuresis (18.00 – 00.00):
I = 160 cc
O = 120 cc
IWL = 112,5
Balance = -72,5
Diuresis = 0,5 cc/KgBB/jam
Balance Diuresis (00.00 – 06.00):
I = 270 cc
O = 180 cc
IWL = 112,5
Balance = -22,5
Diuresis = 0,75 cc/KgBB/jam

A : Sindroma Nefrotik Relaps

P:
Non farmakologis :
- Monitor keadaan umum, tanda-tanda
vital
- Tirah baring
- Cek ulang darah tepi lengkap, urinalisa,
albumin
- Balance Diuresis setiap 6 jam
Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 40 mg IV
- Spironolactone 2 x 25 mg PO
- Albumin 25% 100cc dalam 4 jam
- Methylprednisolone
24 mg – 24 mg – 12 mg

20
26 Maret 2019 S : Perut mengecil, BAK mulai banyak, sembab pada
06.30 mata berkurang, kaki bengkak (-)

O : Sensorium: compos mentis


BP: 100/60 mmHg; N: 72 x/menit; RR :20x/menit
T: 36,6oC

Kepala: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),


edema palpebra (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: cembung, lemas, BU (+) normal, hepar dan
lien tidak teraba, nyeri tekan (-), shifting
dullness (+), Lingkar perut maksimal : 68,5
cm, Lingkar perut umbilicus 64 cm

Ekstremitas: akral hangat, CRT<3”, edema pretibial(-/-)

Balance Diuresis (18.00 – 00.00):


I = 150 cc
O = 600 cc
IWL = 112,5
Balance = -562,5
Diuresis = 2,5 cc/KgBB/jam

Balance Diuresis (00.00 – 06.00):


I = 0 cc
O = 500 cc
IWL = 112,5

21
Balance = -612,5
Diuresis = 2,1 cc/KgBB/jam

A : Sindroma Nefrotik Relaps

P:
Non farmakologis :
- Monitor keadaan umum, tanda-tanda
vital
- Rencana pulang
- Edukasi makan obat teratur
- Edukasi diet sesuai petunjuk
- Edukasi untuk kontrol sekali seminggu
ke instalasi rawat jalan
Farmakologis :
- Methylprednisolone
24 mg – 24 mg – 12 mg

22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada
anak.1 Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa
gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL,
edema, dan hiperkolesterolemia.2
Penyakit ini berlaku secara tiba-tiba justru berlanjut secara progresif dan
tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak berusia 3-
4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1. Biasanya dijumpai oliguria
dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.
Kadang -kadang terdapat juga hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal.
Sedimen urin bisa juga normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20
eritrosit per lapangan pandang besar) dicurigai adanya lesi glomerular misalnya
sklerosis glomerulus.

II. Epidemiologi
Prevalensi SN idiopatik pada anak-anak berkisar 16 kasus per 100.000 anak
dengan rata-rata 2-7 kasus baru per 100.000 anak. Insidens dan tipe histologi
berbeda sesuai lokasi geografi dan etnis. Penelitian di Inggris menyebutkan anak
yang berasal dari Asia yang tinggal di Inggris enam kali lebih sering mengalami
sindrom nefrotik idiopatik dibandingkan anak Eropa yang tinggal di Inggris.
Kejadian sindrom nefrotik di Amerika Serikat hampir seimbang antara berbagai
latar belakang etnis. Usia berhubungan dengan frekuensi dan hasil biopsi sindrom
nefrotik, dimana usia yang paling sering yaitu 2 tahun dan 70-80% kasus terjadi
pada anak kurang dari 6 tahun. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
mencapai 79,6%, Fokal Segmental Glomerulosklerosis (FSGS) 50% dan hanya
2,6% yang dengan Membranoproliferatif Glomerulonefritis (MPGN). Usia yang
semakin besar menurunkan kejadian SNKM, sebaliknya meningkatkan kejadian

19
FSGS dan MPGN.

Insiden SN pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per
tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1. Kasus terbanyak
didapatkan pada anak kurang dari 14 tahun. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Bagian Anak RSUP Sanglah Denpasar, sekitar 68 anak selama periode 2001-
2007. Usia berkisar 6 bulan sampai dengan 11 tahun, dimana rasio lelaki
dibandingkan perempuan adalah 2,7 : 1.

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan


bahwa 78,1% anak yang didiagnosis SN berespon terhadap terapi inisial
prednison selama 8 minggu. Berdasarkan histopatologi, ISKDC melaporkan
39,9% anak dengan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) adalah
perempuan. Insidens SN primer pada anak sekitar 2-7 per 1000 anak, dan lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki (perbandingan 2:1). Sindrom nefrotik
primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer sering
dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu (HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-
B12). Usia, ras, dan geografis juga turut mempengaruhi insidens SN.

III. Etiologi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.1
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan
hiperkolesterolemia.2
1. Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah3 :
 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
 Denys-Drash syndrome (WT1)
 Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)

20
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut:
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 Nefropati Membranosa (GNM)

3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut :
 lupus erimatosus sistemik (LES)
 keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura
Henoch Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

21
IV. Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindromnefrotik2:
1. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2. Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis
penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
7. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan
terjadi 2 kali berturut-turut.

V. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi


Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit
(tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom

22
nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun,
terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmentalglomerulosclerosis
(FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosityang teraktivasi,
bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu,
mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit)
dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).Sindrom nefrotik
resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1,
serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan
termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.1

1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik.Apabila
ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan
protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria
pada pasien bukan sindrom nefrotik.4

2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik
pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5
g/dL.Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari
(130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme terjadi pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi.
Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi
dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan
katabolisme albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan
konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun
demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien
sindromnefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga

23
kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui
urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga
diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia,
tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu,
terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan
laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.5

3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari
albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.6

Bagan 1. Teori Underfill


Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi padamekanisme intrarenal

24
primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial
menyebabkanterbentuknya edema.6

Bagan 2. Teori Overfill

4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme
lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma,
sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.6

VI. Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis
 Tentukan adanya edema, gangguan pada urin serta onset
terjadinya gejala
 Cari gejalanya terutama pada gejala sindroma nefritis
 Cari faktor penyebab
 Cari komplikasi (hipotensi, syok, hipertensi, thrombosis, infeksi,
gagal ginjal).
2. Pemeriksaan Fisik

25
Pemeriksaan terhadap keadaan umum pasien (tekanana darah, frekuensi
nafas, frekuensi nadi, suhu, edea, asites, efusi pleura, anemia, kelainan
jantung kelainan kulit dan sebagainya. Penting juga untuk mengukur
diuresis dan menghitung ballans cairan setiap harinya. 4

3. Pemeriksaan Penunjuang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik,
antara lain7 :
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah
pada infeksi saluran kemih (ISK).
2) Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3) Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit, trombosit, hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran laju filtrasi dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun


dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk
memperkirakanlaju filtrasi glomerulus (LFG).8
eLFG = k x L/Scr

eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)


L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
K : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja
putra:0,7)
VII. Kriteria Diagnosis

26
a) SN: edema, hipoproteinemia (protein serum < 5,5 g/dl),
hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia
(kolesterol serum> 200 mg/dl), proteinuri masif (kadar proteinuni > 0,05-
0,1 g/kgBB/24 jam atau ++ atau lebih pada pemeriksaan semi kualitatif)
b) SN idiopatik/primer: bila etiologi SN tidak diketahui
c) SN sekunder: bila dtemukan penyebab
d) SN kongenital: bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari
kehidupan
e) SN sensitif steroid: terjadi remisi berupa urin bebas protein (<4
mg/jam/m2 LPT) atau negatif/ trace dengan pemeriksaan asam
sulfosalisilat 3 hari berturut-turut.
f) SN resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke-4
pengobatan sterold penuh
g) SN relaps jarang: proteinuria ≥+2 muncul kembali kurang dari 2 kali
dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan
h) SN relaps sering: proteinuna ≥+2 muncul kembali 2 kali dalam 6 bulan
atau 3 kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan
i) SN dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2
kali berturut-turut.

VIII. Komplikasi
Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan
sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk
menderita infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B
properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi
imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitis
adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan
infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia

27
merupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif
sepertiEscherichia coli, mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.1

IX. Tatalaksana
Tatalkasana umum:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit
sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-
Schonlein.
5. Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada
setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.
6. Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan
isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Indikasi Rawat
a. SN serangan pertama kali
b. SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-
muntah, diare, hipovalemia, hipertensi, tromboemboli, GGA)
c. SN steroid resisten untuk evaluasi
d. SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan.

28
I. Sindroma Nefrotik Primer
 Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika edema
anasarka, dispneu, hipertensi dianjurkan tirah baring.
 Dietetik
 Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hari
 Rendah garam (1-2 g/hari) selama edema/ mendapat terapi steroid
 Pengaturan Calran
 Bila dijumpai edema berat dan oliguria: retriksi cairan 30
ml/kgBB/hari (bila belum dapat dihitung output cairan)
 Bila dijumpai edema berat tanpa oliguria: retriksi cairan ¾ dan
berat badan saat pertama kali dirawat.
 Diuretika
Loop diuretic (furosemid 1-2 mg/kgBB/hari), bila kadar kalium
rendah < 3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton (1-2
mg/kgBB/hari) diberikan pada edema berat/anasarka. Diuretika lebih
dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium plasma.

Bagan 3. Algoritma pemberian diuretik pada SN

29
 Tatalaksana Hipoalbuminemia
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemla berat: kadar albumin
≤ 1,5 gr/dl) berikan infus albumin 20-25 % 1 g/kgBB atau plasma
sebanyak 15-20 ml/kgBB dalam 1-2 jam. Bila albumin tidak tersedia,
15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai, diberikan furosemid
1-2 mg/kgBB intravena. Pemberian albumin dapat diulang hingga
hipoalbuminemia berat dan hipovolemia teratasi.
 Antibiotik/ antiviral
Antibiotika diberikan bila:
 Edema anasarka + laserasi kulit, berikan amoksisilin, eritromisin,
sefaleksin
 Infeksi, berikan antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat
infeksi
 Infeksi varicella ditatalaksana dan pengobatan kortikosteroid
dihentikan sementara.

 Imunisasi
 Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan
steroid selesai
 Kontak dengan penderita varicella sebaiknya diberikan
Imunoglobulin varicella-zoster dalam waktu < 72 jam
 Tuberkulostatika
 Test Mantoux (+) dengan tidak ada manifestasi klinis, terapi
sesuai pedoman tatalaksana tuberculosis
 Jika didapati TBC aktif, terapi sesuai pedoman tatalaksana
tuberculosis

30
Bagan 4. Tatalaksana sindrom nefrotik

Pengobatan Kortikosteroid
i. Terapi Inisial7
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik
tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2LPB/hari
atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam
empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan
menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang
satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila
setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka
pasien dinyatakan resisten steroid.

31
Gambar 3. Terapi inisial kortikosteroid16

ii. Terapi Sindrom Nefrotik Relaps7


Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison
dosis penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan
dengan pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien
terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan
tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang
biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum
diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps
tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang
disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan
prednison pada pasien.

Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps16

iii. Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid7

32
Perlu pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah atau kecacingan. Penjelasan mengenai empat opsi di
atas adalah sebagai berikut:
a. Steroid jangka panjang
Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen
steroid pada anak, setelah remisi dengan prednison dosis penuh,
pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid dosis 1,5 mg/kgBB
secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara
bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating.
Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat
dipertahankanselama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu
dicoba untuk dihentikan. Pada anak usia sekolah umumnya dapat
menoleransi prednison dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia
pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara
alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/
kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi.
Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb di-
berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada
saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yangberat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).

b. Levamisol

33
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.4
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang
sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
c. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan
SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis
tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan
dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se-
lama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman
bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari
selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas
karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
d. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan
steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan

34
dosis 4-mg/kgbb/hari (100 -150 mg/m 2 LPB). 15 Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian
steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.
e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol
atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis
800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan
penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.7 Efek samping MMF
adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

iv. Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid


Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau
kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA
puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah
500-750 mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval
1 bulan.

v. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid


Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid
yang memuaskan. Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid
sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi
anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan mempengaruhi
prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:

35
a. Siklofosfamid (CPA)
b. Siklosporin (CyA)
c. Metilprednisolon puls

II. Sindroma Nefrotik Kongenital


 Prednison diberikan dengan pertimbangan khusus
 Pengobatan konservatif lainnya (dietetik, penanggulangan infeksi,
koreksi hipoalbuminemia)
 ACE inhibitor: Captopril 0,3 mg/kgBB/kali dibagi 2-3 dosis atau
lisinopril 0,1-1 mg/kgBB/hari satu kali pemberian, dengan tujuan
untuk mengurangi proteinuria dan menghambat terjadi gagal ginjal
terminal.
 Koreksi hipoalbuminemia dengan albumin 20% 3-4 g/kgBB/hari
dapat diberikan 3-4 kali sejak lahir, atau bila usia lebih dari 1 bulan

36
diberikan 1 kali selama 6-8 jam. Pertahankan agar albumin serum
berada dalam kisaran 1,5 g/dL.
 Nefrektomi dapat dipertimbangkan jika kebutuhan albumin makin
bertambah sering
 Penderita SN kongenital merupakan indikasi transplantasi ginjal jika
memungkinkan

III. Sindroma Nefrotik Sekunder


Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan
terhadap penyakit yang mendasarinya

Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik7


1) Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang
terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-
noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb).28 Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat
asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral
dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari,9 dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

37
2) Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps
menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi
yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang
asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,
dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan
tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan.

3) Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL
dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup
dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten ste-roid, dianjurkan
untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan
diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun
lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).

4) Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid
jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian
suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125- 250

38
IU).32 Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.

5) Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera
diberi infus.
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb
(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan
pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensinreceptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis
β adrenergik,sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7) Efek samping steroid


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping
yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien
dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu
makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko
infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-
gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan
dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak
setiap tahun sekali.

39
X. Tindak Lanjut
 Pemantauan berat badan, intake-output, lingkar perut, tekanan darah
setiap hari.
 Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan pemeriksaan
protein semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace, diulangi 3 kali
berturut-turut).
 Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit (Na, K, Ca, P) selama perawatan
sekali dua minggu.
 Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pasien dirawat. Bila ditemukan, harus ditanggulangi.
 Biopsi ginjal dengan indikasi:
 Usia > 6 tahun atau < 1 tahun, dengan manitestasi sindrema nefritis
 C3 menurun secara persisten
 Steroid resisten/relaps sering (selama atau pasca terapi steroid).

XI. INDIKASI PULANG


 Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan komplikasi teratasi
serta pasien telah teredukasi untuk menjalankan pengobatan di rumah.
 Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu ke instalasi rawat jalan.
 Setelah steroid dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas
gejala.

XII. EDUKASI
Makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemanlauan volume urin dan
tekanan darah serta kapan harus kontrol.

XIII. PROGNOSIS
Sejak diperkenalkannya kortikosteroid, angka kematian SN secara
keseluruhan menurun secara drastis dari 50% menjadi sekitar 2-5%. SN
dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi multipel, termasuk edema,

40
infeksi, trombosis, hiperlipidemia, gagal ginjal akut, dan kemungkinan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Prognosis bervariasi, tergantung
pada apakah SN sensitif terhadap steroid atau resisten steroid.

SN sensitif steroid
Pasien yang masih sensitif terhadap steroid dengan proteinuria, bahkan
sering relaps, umumnya memiliki prognosis yang baik. ISKDC menemukan
bahwa 93% pasien SN yang sensitif steroid, biopsi ginjal menunjukkan
MCNS. Sebaliknya, 75% pasien yang awalnya tidak sensitif steroid memiliki
histologi selain MCNS.

Sekitar 90% anak-anak dengan MCNS (tetapi hanya 20% anak-anak


dengan glomerulosklerosis fokal segmental [FSGS]) mencapai remisi setelah
terapi steroid awal. Sebagian besar anak-anak dengan SN sensitif steroid
mencapai remisi jangka panjang, relaps dapat berlanjut hingga dewasa.Dalam
sebuah penelitian retrospektif, Vivarelli et al., Lamanya waktu antara inisiasi
pengobatan steroid dan remisi sindrom merupakan indikator prognostik awal
untuk anak-anak dengan SN.

SN resisten steroid
Kebanyakan pasien yang tidak mencapai remisi dengan steroid memiliki
temuan biopsi ginjal selain MCNS. Diagnosis yang paling umum pada
pasien-pasien ini adalah FSGS. Pasien dengan SN resisten steroid memiliki
prognosis yang baik jika remisi dapat dicapai dengan obat lain. Kegagalan
mencapai remisi dan insufisiensi ginjal merupakan prediksi dapat
berkembang menjadi ESKD.

41
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien An. SUL, laki-laki, 14 tahun 1 bulan dibawa orang tua ke Poli
Nefrologi Anak RSMH dengan keluhan perut bertambah besar sejak 5 minggu
yang lalu. Batuk (+) berdahak, nyeri tenggorokan (+), nyeri menelan (+), demam
(+) suhu tidak diukur. Pasien hanya minum obat warung, lupa nama obatnya.
Sejak ± 4 minggu SMRS, sembab bertambah, perut semakin besar. Mual (+),
sesak (+) terutama berbaring, BAK teh tua dan berbusa, 3-4x/hari, seperempat
gelas belimbing per kali. 1 hari SMRS perut dan tungkai makin membesar, BAK
2-3x/hari,seperempat gelas belimbing. Mual (+), muntah (+), sesak (+) dan sudah
mengganggu aktivitas. Anak dibawa berobat ke Puskesmas Sungai Keli
Pemulutan lalu dirujuk ke poli nefrologi anak RSMH. Riwayat keluhan yang sama
(+), didiagnosa sindrom nekrotik tahun 2015. Pemeriksaan fisik perkusi abdomen
shifting dullness (+), ekstremitas pitting edema pretibial (+/+) .
Berdasarkan anamnesis keluhan perut dan tungkai makin membesar.
Kondisi edema dapat diperoleh dari proses metabolik, gangguan fungsi
kardiovaskular dan renal, serta hepar. Kelainan pada jantung dan hepar dapat
dibantu untuk disingkirkan melalui pemeriksaan fisik dimana pada pasien tidak
ditemukan adanya pembesaran jantung (batas jantung melebar), tidak ada
pembesaran hati (peranjakan hati normal). Kemudian juga, dari auskultasi jantung
tidak ditemukan adanya bising dan suara jantung tambahan. Apabila edema
disebabkan oleh kelainan jantung, terutama congestive heart failure, pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan edema yang bermula dari ekstremitas inferior
(edema pretibial) dan disertai dengan adanya hepatomegali, terkadang disertai
juga dengan adanya asites, serta sesak. Pada kasus ini, diyakini terjadi gangguan
fungsi ginjal yakni kerusakan glomerulus dalam menyaring protein yang lewat
sehingga tidak terjadi uptake protein yang menyebabkan kondisi edema. Edema
anasarka pada kasus dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dimana diperoleh
shifting dullness (+) yang menandakan adanya asites dan adanya edema pretibial.
Keluhan BAK yang semakin sedikit dapat kita artikan sebagai oliguria.

42
Oliguria pada pada pasien mungkin dapat disebabkan dari input cairan yang
sedikit, kemudian akibat dehidrasi, serta dapat juga berasal dari gangguan ginjal,
Mengingat sebelumnya pasien pernah didiagnosa sebagai sindroma nefrotik, maka
kemungkinan penyebab oliguria adalah kondisi sindroma nefrotik yang berulang
atau relaps Kondisi oliguria pada sindroma nefrotik merupakan mekanisme
kompensasi tubuh akibat kerusakan membrana basalis glomerulus. Kebocoran
protein atau proteinuria masif menyebabkan penurunan tekanan onkotik sehingga
akan terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial. Sebagai
kompensasinya, akan terjadi retensi natrium dan air akibat kekurangan cairan di
intravaskular. Kondisi ini kita sebut sebgai teori under-fill dan over-fill, sehingga
secara klinis akan ditemukan kondisi oliguria akibat upaya tubuh untuk menjaga
volume cairan intravaskular, serta kondisi edema anasarka akibat perpindahan
cairan dari intravaskular ke interstitial yang masif.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu pada kasus ini adalah


pemeriksaan serum albumin, protein urin, fungsi ginjal, dan pemeriksaan kolestrol
total. Pada kasus ini, diperoleh hasil albumin 1,5 g/dL, hasil protein urin diperoleh
positif (++) dan darah urin ++. Kondisi ini sesuai dengan penjabaran di atas
mengenai terjadinya kebocoran protein sehingga akan ditemukan protein urin
yang positif serta hipoalbuminemia. Selain itu juga terjadi kerusakan pada dinding
kapiler yang menyebabkan hematuria.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dibantu
pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan diagnosis sindroma nefrotik pada
pasien. Selanjutnya, karena kondisi ini pernah berulang pada pasien, perlu kita
tentukan jenis relaps pada kasus ini. Kekambuhan terakhir yang dialami pasien
terjadi sekitar 4 tahun yang lalu, sehingga dapat kita kategorikan bahwa saat ini
pasien mengalami sindroma nefrotik relaps jarang. Sindorma nefrotik relaps
jarang ditandai dengan adanya proteinuria ≥ +2 dan muncul kembali kurang dari 2
kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
Etiologi infeksi dapat menjadi penyebab terjadinya SN relaps. Infeksi
saluran nafas atas umumnya menjadi pemicu SN relaps. Pada kasus, saat datang
batuk dan pilek pasien tidak ada lagi. Antibiotik/antiviral dapat diberikan dalam

43
keadaan seperti edema anasarka + laserasi kulit, infeksi dan infeksi varicella.
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan beratnya derajat infeksi dan diberikan 5-
7 hari.
Selain itu, pasien diberikan terapi furosemid 2 x 40 mg IV, spironolakton 2
x 25 mg PO, albumin 25% 100cc dan metilprednisolon 24mg-24mg-12mg.
Menurut konsensus IDAI tatalaksana sindroma nefrotik relaps pada anak
seharusnya diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi
yang mengalami proteinuria kembali ≥ +2 tetapi tanpa edema sebelum pemberian
prednisone harus dicari terlebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas
atas.

Bila terdapat infeksi diberikan anitbiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria >++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednisone mulai diberikan. Pengobatan SN relaps dengan
prednisone dosis penuh / FD setiap hari sampai remisi maksimal 4 minggu
kemudian dila jutkan dengan prednisone intermittent atau alternating / AD selama
4 minggu.

Sementara pemberian diuretik di kasus diberikan furosemid 2 x 40 mg dan


spironolakton 2 x 25 mg dan sesuai dengan teori konsensus IDAI yaitu diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Albumin pada pasien didapatkan menurun yaitu 1.5 g/dL, oleh
sebab itu dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4

44
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.

Selain itu, diperlukan juga monitor balance diuresis setiap 6 jam, follow
up lingkar perut. Pasien dapat dipulangkan bila keadaan umum baik dan
komplikasi teratasi serta edukasi pada pasien dan orangtua. Edukasi yang
diberikan antara lain edukasi makan obat teratur, edukasi diet sesuai petunjuk,
serta edukasi untuk kontrol sekali seminggu ke instalasi rawat jalan.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Subandiyah K, Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak.


Dalam Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali
2009.
2. Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet
2003;362:629- 39.
3. Nilawati, GAP. (2016). Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 14. 269.
10.14238/sp14.4.2012.269-72.
4. Wigati, R., Laksmi E. 2010. Alternatif Terapi Inisial Sindrom Nefrotik
untuk Menurunkan Kejadian Relaps. Sari Pediatri 2010; 11 (6): 415-
419.
5. Allison A., E., jordan, M., S. 2003. Nephrotic Syndrome in Childhood.
The Lancet (362): 629-639.
6. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2013. Nephrotic Syndrome.
Australia: 50 Flemington Road Parkville.
7. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.
1801-7.
8. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Diponegoro; 2011.p. 252-9.
9. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome 2013 [cited 2013 27
November]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/982920-
overview#aw2aab6b2b3aa.
10. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2004.p. 383.
11. Perico N, Remuzzi A, Remuzzi G. Mechanism and Consequences
of Proteinuria. In: Brenner and Rector’s The Kidney [Internet].

46
12. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2004.p. 385-9.
13. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
14. Schwartz GJ, Work DF. Measurement and estimation of GFR in
children and adolescents. Clin J Am Soc Nephrol [Internet]. 2009 [cited
2013 Nov 27];4(11):1832-43. Available from:Pubmed.

47

Anda mungkin juga menyukai