Anda di halaman 1dari 985

OPTIMA PREPARATION

CBT 5 AGUSTUS 2020


| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. CEMARA |
| DR. AARON | DR. CLARISSA | DR. OKTRIAN | DR. REZA |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212

Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a m e d i s . c o m
ILMU PENYAKIT
DALAM
1
• Laki-laki 37 tahun keluhan sesak, wajah bengkak,
kemerahan dan gatal seluruh tubuh.
• Riwayat mengonsumsi kacang.
• TD 90/60 mmHg Nadi 120x/ menit RR 24x/menit
T 37.6 C.
TERAPI…
DIAGNOSIS  SYOK ANAFILAKTIK
JAWABAN:
C. POSISI TRENDELENBURG DAN INFUS NACL 0.9%
• Pasien diatas  syok anafilaktik yang
ditandai dengan turunnya TD, sesak,
angioedema, gatal setelah sebelumnya
mengkonsumsi kerang.
• Pada syok anafilaktik tatalaksana awal 
posisi tredelenburg, rehidrasi dengan NaCl
0,9% dan pemberian obat berupa adrenalin
1:1000 IM.
• Piihan A  dapat diberikan setelah tatalasana
awal diatas untuk menghindari berulangnya
syok anafilaktik tersebut.
Syok Anafilaksis
• Anafilaksis adalah reaksi tipe segera yang dimediasi
oleh interaksi antara alergen dengan IgE yang terikat
pada permukaan sel mast atau basofil. Interaksi
tersebut akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis
yaitu gejala sistemik.
• Susah dibedakan dengan reaksi anafilaktoid namun
anafilaktoid secara mekanisme tidak melibatkan IgE.
• Manifestasi klinis yang timbul meliputi gejala pada
kulit, pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, dan
gejala pada sistem organ lain seperti rinitis,
konjungtivitis.
Syok Anafilaksis
• Tatalaksana anafilaksis
– Segera berikan suntikan epinefrin 1:1000 0,3 ml i.m di daerah
deltoid atau vastus lateralis. Dapat diulang 15-20 mg bila
diperlukan
– Hentikan infus media kontras, antibiotika, dan zat lain yang
dicurigai sebagai alergen.
– Berikan difenhidramin 50 mg intravena, ranitidin 50 mg atau
cimetidin 300 mg intravena, oksigen, infus cairan garam,
metilprednisolon 125 mg intravena
– Intubasi bila diperlukan
– Bila terdapat hipotensi segera berikan rehidrasi dan dopamin
atau norepinefrine.
– Bila terdapat sesak napas berikan salbutamol inhalasi dan
oksigen
Anaphylactic Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary
Anaphylactic
Shock

World Allergy Organization


anaphylaxis guidelines:
Summary
2
• Laki-laki 50 tahun keluhan nyeri dada menjalar ke lengan
sejak 30 menit.
• Nyeri juga menembus ke punggung belakang.
• Ada sesak napas.
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu
37C.
ETIOLOGI…
DIAGNOSIS  ANGINA PEKTORIS
JAWABAN:
B. ATEROSKLEROSIS
• Pasien diatas  nyeri dada angina yang
ditandai dengan nyeri dada yang menjalar
menembus punggung dan sesak napas.
• Nyeri dada angina  disebabkan sumbatan
pada pembuluh darah  akibat plak
atheroma yang disebut  atherosclerosis.
• Piihan A  merupakan istilah umum dari
penebalan dan kekakuan pembuluh darah. Jika
penyebabnya adalah plak atheroma maka
disebut dengan aterosklerosis.
• Pilihan C  merupakan peradangan pada
arteri. Dapat ditemukan pada arteritis takayasu,
kawasasi.
• Pilihan D  tidak ada istilah ini.
• Pilihan E  merupakan peradangan pada vena,
contohnya tromboflebitis superfisial dan DVT.
Atherosclerosis
• Disease of cardiovascular system affecting vessel
wall.
• It leads to the narrowing of arteries or complete
blockage.
• Its main components are endothelial disfunction,
lipid deposition, inflammatory reaction in the
vascular wall.
• Remodeling of vessel wall.
Arterial wall
• Normally arterial endothelium repels cells and inhibits
blood clotting.

• The lumen of healthy arterial wall is lined by confluent


layer of endothelial cells.

• Three layers:
1. Intima (subendothelial layer)
2. Media (middle layer) with vascular smooth muscle cells
(VSMC)
3. Adventitia (outer layer) with connective tissue and
nerves
Arterial wall
• Endothelium controls important function:
1. the ability of blood vessels to dilatate (vasodilatation)
2. the ability of blood vessels to constrict (vasoconstriction)
• Endothelium regulates tissue and organ blood flow
• Endothelium releases variety substances to control vasomotor tone:
– prostacyclines
– hyperpolarizing factor
– endothelin
– NO
• Exercise is an important mechanical stimulus mediated by shear stress
to increased blood flow.
• Shear stress –represents the frictional force that the flow of blood
exerts at the endothelial surface of the vessel wall. The flow-
dependent dilatation of pre-capillary resistance as well as conductance
allows blood flow to increase according metabolic demands.
Arterial wall
• In the case of intact endothelium, the stimulus for
vasodilatation:
– mechanical stimulation by  blood flow
– catecholamines, bradykinin, platelets-released serotonin stimulate
specific receptors
• In the case of endothelium disfunction:
– direct vasoconstrictor action of the stimuli on the VSMC outweighs the
endothelium-dependent vasodilatator effect
– this action leads to paradoxial vasoconstriction

(Hypercholesterolemia and other cardiovascular


risk factors are associated with endothelial
disfunction).
The development of atherosclerosis
• The key event – damage to the endothelium caused by excess
of lipoproteins, hypertension, diabetes, components of
cigarette smoke.
• Endothelium becomes more permeable to lipoproteins.
• Lipoproteins move below the endothelial layer (to intima).
• Endothelium loses its cell-repelent quality.
• Inflammatory cells move itno the vascular wall.
3
• Laki-laki 55 tahun keluhan nyeri dada kiri yang tidak bisa
ditunjuk sejak 1 jam.
• Nyeri disertai keringat dingin , mual dan menjalar sampai bahu
kiri.
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu 37C.
• EKG ST elevasi pada lead V1-V4.

TATALAKSANA DEFINITIF…
DIAGNOSIS  STEMI
JAWABAN:
D. TISSUE PLASMINOGEN ACTIVATOR
• Pasien diatas  nyeri dada angina yang
ditandai dengan adanya nyeri dada kiri yang
tidak dapat ditunjuk, keringat dingin, mual.
• Adanya gambaran ST elevasi pada lead V1-
V4  STEMI.
• Pada pasien STEMI dengan onset nyeri dada
< 12 jam  fibrinolitik atau primary PCI.
• Pada pilihan jawaban yang tepat 
fibrinolitik yaitu pemberian tissue
plasminogen activator.
• Piihan A,B dan D  merupakan tatalaksana
awal.
• Pilihan C  yang lebih tepat adalah primary PCI
bukan elektif PCI.
NSTEMI & STEMI
Non-STEMI (NSTEMI, Subendocardial Myocard Infark)
– Myocardial nekrosis tanpa ST segmen elevasi atau Q wave
abnormal
– Ada peningkatan dari enzim jantung
STEMI (Transmural Myocard Infark)
– Nekrosis myocard dengan ST segmen elevasi
– Tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat
sublingual
– Lama > 30 menit
– Infark mengenai seluruh dinding ventrikel
– Ada peningkatan dari enzim jantung
Sindrom Koroner Akut
TATALAKSANA ACS
ACS
Fibrinolitik
Fibrinolitik
4
• Laki - Laki 50 tahun keluhan sesak sejak 6 jam.
• Nyeri dirasakan hanya pada saat pasien beraktivitas berat , dan
menghilang saat pasien beristirahat.
• Sekarang nyeri dirasakan walau hanya berjalan 10 meter, dan tidak
berkurang saat istirahat. Durasi 10-15 menit,
• TD 140/80 mmhg, nadi 84x/mnt, S 36.4C.
• EKG didapatkan ST depresi pada lead V4-V6 dan tidak ditemukan
kenaikan enzim jantung.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  UAP
JAWABAN:
E. UNSTABLE ANGINA PECTORIS
• Pasien diatas  mengalami nyeri dada
angina yang pada awalnya berkurang saat
istirahat namun saat ini sudah dirasakan
sejak 6 jam dan tidak berkurang dengan
istirahat.
• Adanya gambaran ST depresi pada EKG +
tidak ditemukannya kenaikan enzim
jantung  pasien mengalami UAP.
• Piihan A  nyeri timbul saat aktivitas dan
membaik dengan istirahat.
• Pilihan B  ditandai dengan kenaikan enzim
jantung.
• Pilihan C  merupakan istilah lama dari UAP.
• Pilihan D  ditandai dengan gambaran ST
elevasi pada EKG dan kenaikkan enzim jantung.
UAP/NSTEMI
• Ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang
dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung.
– Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah
NSTEMI;
– jika tidak meningkat, diagnosis mengarah UAP
• Mortalitas awal NSTEMI lebih rendah
dibandingkan STEMI
• Namun, secara jangka panjang, mortalitas
NSTEMI lebih tinggi.

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


UAP/NSTEMI
• Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20
menit.
– Dialami oleh sebagian besar pasien (80%)
• Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The
Canadian Cardiovascular Society.
– Terdapat pada 20% pasien.
• Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina
progresif atau kresendo)
– menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin
berat, minimal kelas III klasifikasi CCS.
• Angina pascainfark-miokard
– angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard.

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


UAP/NSTEMI
• Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit
sejak kontak medis pertama.
• EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI
dan UAP antara lain:
– Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T;
dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20 menit)
– Gelombang Q yang menetap
– Nondiagnostik
– Normal
• Stratifikasi risiko  TIMI, GRACE, CRUSADE

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015
Terapi UAP/NSTEMI
• Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan
untuk dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan
revaskularisasi.
• Strategi invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan
ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga
sangat tinggi.
– Strategi invasif segera  salah satu risiko sangat tinggi
– Strategi invasif dalam 24 jam  GRACE >140 atau salah satu kriteria
risiko tinggi
– Strategi invasif dalam 72 jam  salah satu kriteria risiko tinggi atau
dengan gejala berulang
– Strategi konservatif  nyeri dada tidak berulang, tidak ada tanda
gagal jantung, EKG tidak ada kelainan, troponin tidak meningkat, tidak
ada iskemia yang dapat ditimbulkan.

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015
Terapi UAP/NSTEMI
• Anti iskemia
Beta blocker
Nitrat
CCB
• Antiplatelet  dual antiplatelet therapy
• Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
• Antikoagulan
• Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor
Angiotensin
• Statin

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


5
• Laki-laki 50 tahun keluahan nyeri dada.
• Keluhan memberat dengan aktifitas dan membaik saat
istirahat.
• Pasien riwayat merokok.
• Riwayat HT dan DM disangkal.
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu 37C.
• Hasil EKG dalam batas normal.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  ANGINA PEKTORIS STABIL
JAWABAN:
D. RUJUK DAN DILAKUKAN TREDMIL
• Pasien diatas  angina pectoris stabil yang
ditandai dengan adanya nyeri dada yang
muncul dengan aktivitas dan membaik
dengan istirahat.
• Karena pemeriksaan EKG saat ini dalam
batas normal  dirujuk untuk dilakukan
treadmill stress test  melihat adanya
tanda-tanda iskemia saat melakukan
exercise.
• ISDN  dapat diberikan sebagai antiangina
• Betabloker  diberikan untuk mencegah
terjadinya angina
• Rujuk dan cek enzim jantung  dilakukan jika
curiga kearah SKA
• Rujuk dan diberi trombolitik  dilakukan jika
SKA sudah tegak
Angina Pektoris Stabil
• Nyeri dada muncul saat aktivitas, stres emosional
• Nyeri dada hilang dengan istirahat atau nitrogliserin
• Nyeri dada muncul <20 menit.
• Disebabkan oleh obstruksi pada arterikoroner
epikardial akibat aterosklerosis.
• Diagnosis
– Stress test
– Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan terapi
yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi.
Pemeriksaan Penunjang
Angina Pektoris Stabil
• Exercise stress test (jika memungkinkan dan EKG
dapat diinterpretasi).
• Pemeriksaan imaging (jika exercise test tidak
memungkinan)
– Echocardiography stress test
– Stress test perfusion scanning
– MSCT (Multislice CT scan)
• Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan
terapi yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi (CCS3-4)
Tatalaksana
• Aspilet 1x80-160mg
• Simvastatin1x20-40 mg atau Atorvastatin 1x 20-
40 mg atau Rosuvastatin1x10-20mg
• Betabloker:
– Bisoprolol 1x5-10 mg/ Carvedilol 2x25 mg/
– Atau Metoprolol 2x50mg,
– Ivabradine 2x5mg jika pasien intoleran dengan beta
bloker
• Isosorbid dinitrat 3x 5-20mg atau Isosorbid
mononitrat 2x 20mg
Terapi Antiangina
• There are three classes of antiischemic drugs commonly used in the
management of angina pectoris: beta blockers, calcium channel
blockers, and nitrates.
• Often, a combination of these agents is used for control of symptoms.
• Beta blockers — 2012 American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association/American College of
Physicians/American Association for Thoracic Surgery/Preventive
Cardiovascular Nurses Association/Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions/Society of Thoracic Surgeons guideline
for the diagnosis and management of patients with stable ischemic
heart disease (SIHD)  recommends beta blockers as first line
therapy to reduce anginal episodes and improve exercise tolerance.
• Calcium channel blockers — In general, calcium channel blockers are
used in combination with beta blockers when initial treatment with
beta blockers is not successful or as a substitute for a beta blocker
when beta blockers are contraindicated or cause side effects.
6
• Laki-laki keluhan nyeri dada, nyeri dada menjalar hingga ke bahu
kiri.
• Nyeri dada dirasakan sekitar 10 menit.
• Nyeri dada memberat saat aktivitas dan mereda setelah istirahat.
• Keluhan juga disertai mual dan keringat dingin.
• EKG didadapatkan normal.
• Pemeriksaan enzim jantung normal.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  STABLE ANGINA PEKTORIS
JAWABAN:
B. STABLE ANGINA PECTORIS
• Pasien diatas  angina pectoris stabil yang
ditandai  nyeri dada yang menjalar ke
bahu kiri yang disertai dengan gejala
otonom seperti mual dan keringat dingin
yang memberat dengan aktivitas dan
membaik dengan istirahat.
• Piihan A  merupakan angina yang ditandai
dengan 2 dari 3 kriteria angina (nyeri dada
substernal, dipicu oleh aktivitas, membaik
dengan istirahat atau pemberian nitrat).
Angina Pektoris Stabil
• Nyeri dada muncul saat aktivitas, stres emosional
• Nyeri dada hilang dengan istirahat atau nitrogliserin
• Nyeri dada muncul <20 menit.
• Disebabkan oleh obstruksi pada arterikoroner
epikardial akibat aterosklerosis.
• Diagnosis
– Stress test
– Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan terapi
yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi.
Pemeriksaan Penunjang
Angina Pektoris Stabil
• Exercise stress test (jika memungkinkan dan EKG
dapat diinterpretasi).
• Pemeriksaan imaging (jika exercise test tidak
memungkinan)
– Echocardiography stress test
– Stress test perfusion scanning
– MSCT (Multislice CT scan)
• Angiografi dan revaskularisasi koroner
• Jika angina mengganggu aktivitas pasien walaupun dengan
terapi yang maksimal.
• Pasien dengan risiko tinggi (CCS3-4)
7
• Wanita 57 tahun keluhan nyeri dada sejak satu hari yang
lalu disertai keringat dingin dan akral dingin.
• TD 80/50mmhg, N 120x/menit, RR 24X/menit, suhu 36,5.
• EKG, didapatkan elevasi segmen ST pada semua sadapan
precordial.

OKLUSI ARTERI…
DIAGNOSIS  STEMI
JAWABAN:
A. LEFT ANTERIOR DESCENDING ARTERY
• Pasien diatas  nyeri dada angina 
STEMI yang ditandai dengan keringat
dingin, akral dingin dan ST elevasi pada
semua lead precordial.
• Adanya ST elevasi pada lead V1 hingga V6
 oklusi pada pasien ini terjadi pada LAD.
• Piihan B  merupakan cabang dari RCA.
– Sumbatan pada arteri ini akan bermanifestasi pada lead
V7, V8, V9.
• Pilihan C  akan menyebabkan infark pada daerah
lateral yang akan terlihat pada lead V5, V6, I dan
aVL.
• Pilihan D  akan menyebabkan infark pada daerah
inferior yang akan terlihat pada lead II, III, aVF.
• Pilihan E  merupakan cabang dari RCA, isolated
occlusion jarang terjadi pada percabangan RCA ini.
STEMI
8
• Laki-laki 50 tahun keluhan sesak nafas sejak 2 hari smrs.
• Riwayat gagal jantung.
• TD 160/80 mmHg, HR 100x/mnt, RR 30x/mnt dan suhu
37C.
• Distensi vena juguler, edema pada tungkai bilateral.

HASIL EKG…
DIAGNOSIS  CHF
JAWABAN:
B. S DI V1 + R DI V6 > 35 MM
• Pasien diatas  CHF yang ditandai dengan
sesak dan tanda-tanda kongesti seperti
distensi JVP, dan edema tungkai bilateral.
• CHF  disebabkan oleh hipertensi yang
tidak terkontrol sehingga akan ditemukan
gejala-gejala gagal jantung kiri terlebih
dahulu yang diikuti oleh gejala gagal
jantung kanan.
• Pada pasien gagal jantung kiri 
pembesaran dari ventrikel kiri yang pada
EKG  kriteria sokolov-lyon  S V1 + R V6
> 35 mm.
• Piihan A  akan ditemukan pada pembesaran
jantung kanan, namun LVH biasanya akan
ditemukan terlebih dahulu.
• Pilihan C  akan ditemukan pada kasus AV blok
derajat 3.
• Pilihan D  akan ditemukan pada AV blok
derajat 1 dan mobitz tipe 1.
• Pilihan E  biasanya ditemukan pada pasien
dengan henti jantung.
Gagal Jantung
• disfungsi jantung berkurangnya aliran darah dan suplai
oksigen ke jaringan  tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh
• Pembagian:
– Gagal jantung kanan (terjadi pada hipertensi pulmonal primer,
tromboemboli), dengan gejala kongesti cairan sistemik dan
Gagal jantung kiri (akibat kelemahan ventrikel kiri) berakibat
pada penurunan perfusi sistemik.
– Low Output Heart Failure (biasanya terjadi akibat hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katub)dan High Output Heart
Failure (ditemukan pada penurunan resistensi vaskular
sistemik, seperti hipertiroid, anemia dan kehamilan)
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
• Adanya 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor
• Kriteria minor dapat diterima bila tidak
disebabkan oleh kondisi medis lain seperti
hipertensi pulmonal, penyakit paru kronik,
asites, atau sindrom nefrotik
• Kriteria Framingham Heart Study 100% sensitif
dan 78% spesifik untuk mendiagnosis
Sources: Heart Failure. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
Archives of Family Medicine 1999.
Neurohormonal Activation in Heart Failure

M yocardial Injury
(CAD,HTN,CM P)

LV Dysfunction
Increase wall stress

Activation of RAS and SNS

LV Rem odeling Fibrosis, apoptosis, hypertrophy Peripheral vasoconstriction


and cellular/molecular alterations, Hemodynamic alterations
progressive LV Dysfunction m yotoxicity

M orbidity/Mortality Heart Failure Sym toms


Arrhythmias Dyspnea
Pum p Failure Fatigue ,Edema
Chest Congestion
Gagal Jantung

• B-type Natriuretic Peptide (BNP) adalah hormon yang dihasilkan


oleh otot jantung ketika otot bilik (ventrikel) jantung meregang
atau mengalami tekanan. BNP berfungsi mengatur keseimbangan
pengeluaran garam dan air, termasuk mengatur tekanan darah.
BNP diproduksi sebagai pre-hormon yang disebut proBNP.
• Jika jantung, khususnya ventrikel kiri fungsinya terganggu, kadar
NT-ProBNP di dalam darah akan meningkat. Karena itu, NT-proBNP
digunakan sebagai penanda untuk deteksi gagal jantung.
Pemeriksaan EKG
• Left ventricular hypertrophy (LVH)
• Kriteria :
– Sokolow-Lyon: S di V1 + R di V5 atau V6 ≥ 35 mm
– Cornell: R di aVL + S di V3 >28 mm laki2 atau >20
mm perempuan
Chest Radiography
• Chest radiography should be performed
initially to evaluate for heart failure because it
can identify pulmonary causes of dyspnea
(e.g., pneumonia, pneumothorax, mass).
• Pulmonary venous congestion and interstitial
edema on chest radiography in a patient with
dyspnea make the diagnosis of heart failure
more likely
TATALAKSANA
• MR antagonist Gagal Jantung
• mineralocorticoid antagonist
or aldosteron antagonist (eg.
Spironolactone)
• CRT-D
• cardiac resynchronization
therapy-defibrillator
• CRT-P
• cardiac resynchronization
therapy-pacemaker
• ICD
• implantable cardioverter
defibrillator
• LVAD
• left ventricular assisting
device
• Ivabradine
• selective heart rate-lowering
agent in If current (sodium
and potassium current) in
pacemaker cells

ESC.2013
Terapi Non Farmakologi
1. Monitoring BB : Target IMT 18 – 25. Bila kenaikan BB > 2 kg dalam
3 hari  waspadai telah terjadi retensi cairan, intake garam
berlebih atau dosis diuretik yang kurang
2. Intake Na : restriksi garam < 2 gr/hari t.u Fungsional Class III-IV
dan bila ada edema perifer
3. Intake Cairan : Pada CHF max 1,5 – 2 lt/hr ttp pertimbangkan k.u
px
4. Hnetikan Merokok
5. Aktivitas Fisik dan seksual : keadaan akut  tirah baring stlh
tertangani  aktif. FC. II-II aktvitas sehari2 biasa slm tdk
mencetuskan gejala. OR yg bersifat isometrik (mendorong,
menarik) & kompetitif hrs dihindari. Max HR : 220 – Umur X 60 %.
FC.III-IV  penggunaan sildanafil atau fosfodiesterase inhibitor
lainnya tidak dianjurkan pada CHF apalagi bg yg masih dalam
therapi dg NITRAT
9
9
• Laki-laki berusia 50 tahun datang ke IGD dengan
penurunan kesadaran.
• Nadi tidak teraba.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  CARDIAC ARREST
JAWABAN:
D. PEA + ADRENALIN
• Pasien diatas  henti jantung yang
ditandai dengan penurunan kesadaran dan
nadi yang tidak teraba.
• Pada gambaran EKG  irama PEA
(pulseless electrical activity)  irama non
shockable.
• Tatalaksana selanjutnya  melanjutkan RJP
dan pemberian obat adrenalin.
• Pilihan jawaban lain tidak tepat.
• Kardioversi  diberikan pada takikardia yang
tidak stabil.
• Defibrilasi  dapat dilakukan pada henti
jantung yg irama shockable seperti VT tanpa
nadi atau VF.
Gambar pada Soal
10
• Laki-laki,35 tahun keluhan batuk berdahak dan sesak sejak 3 hari.
• Batuk disertai dahak yang mukoid.
• Demam dan sudah meminum obat paracetamol namun demam tidak hilang.
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu 38 C.
• Ronkhi seluruh lapangan paru, wheezing tidak dijumpai, perkusi redup pada
lapangan paru bawah.
• Kultur didapatkan Klebsiella Pneumonia ESBL (Extended Spectrum B
Lactamase).

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  PNEUMONIA
JAWABAN:
B. MEROPENEM
• Pasien diatas  pneumonia yang ditandai dengan:
– batuk berdahak dan sesak akut
– Demam
– PF ditemukan adanya ronchi pada seluruh lapang paru
dan perkusi redup pada lapangan paru bawah.
– Pada hasil kultur  bakteri ESBL  menghidrolisis
extended spectrum cephalosporin
• Antibiotic yang dipilih hendaknya juga dapat
mencover bakteri ESBL
– Golongan carbapenemmeropenem
– cefepime,
– quinolone dan
– B lactam ditambah dengan B lactamase inhibitor.
• Pilihan jawaban yang lain tidak dapat
mengatasi bakteri ESBL.
Pneumonia
• Diagnosis pneumonia komunitas:
Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala:
1. Batuk progresif
2. Perubahan karakter dahak/purulen
3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam
4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi
5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500

• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Berdasarkan agen penyebab, pneumonia dibagi
menjadi:
– Pneumonia bakterial atau tipikal (terjadi pada
semua usia)
– Pneumonia atipikal (disebabkan Mycoplasma,
Legionella dan Chlamydia)
– Pneumonia virus
– Pneumonia jamur (immunocompromised)
MIKROORGANISME PENYEBAB PNEUMONIA LOBARIS

Cough, particularly cough productive of sputum, is the most


consistent presenting symptom of bacterial pneumonia and
may suggest a particular pathogen, as follows:
• Streptococcus pneumoniae: Rust-colored sputum
• Pseudomonas, Haemophilus, and pneumococcal species:
May produce green sputum
• Klebsiella species pneumonia: Red currant-jelly sputum
• Anaerobic infections: Often produce foul-smelling or bad-
tasting sputum
http://emedicine.medscape.com/article/300157-overview
Pneumonia
Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
• Rawat jalan
– Sebelumnya sehat atau tanpa riwayat antibiotik 3 bulan sebelumnya:
• β laktam atau β laktam + anti β laktamase
• Makrolid baru (klaritromisin, azitromisin)
– Dengan komorbid atau riwayat antibiotik 3 bulan sebelumnya:
• Fluorokuinolon respirasi: levofloksasin 750 mg, moksifloksasin
• β laktam + anti β laktamase
• β laktam ditambah makrolid

• Rawat inap non-ICU


– Fluorokuinolon respirasi: levofloksasin 750 mg, moksifloksasin
– β laktam ditambah makrolid

• ICU, tanpa faktor risiko infeksi pseudomonas: β laktam ditambah


makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi IV
Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014.
Faktor Komorbid Pneumonia
Faktor modifikasi pada terapi pneumonia:
• Pneumokokus resisten terhadap penisilin
– Umur lebih dari 65 tahun
– Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
– Pecandu alkohol
– Penyakit gangguan kekebalan
– Penyakit penyerta yang multipel
• Bakteri enterik Gram negatif
– Penghuni rumah jompo
– Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
– Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
– Riwayat pengobatan antibiotik
• Pseudomonas aeruginosa
– Bronkiektasis
– Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
– Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
– Gizi kurang
Pasien Keterangan
Rawat Jalan Pasien yg sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya :
• Golongan β laktam atau β laktam ditambah anti β laktamase
ATAU
• Makrolid baru (Klaritromisin, azitromisin)
Pasien dgn komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya.
• Florokuinolon respirasi (levofloksasin 750 mg, moksifloksasin)
ATAU
• Golongan β laktam ditambah anti β laktamase
ATAU
• β laktam ditambah makrolid

Rawat Inap non ICU Floroquinolon respirasi : levofloksasin 750 mg, moksifloksasin
ATAU
β laktam ditambah makrolid
Ruang Rawat Intensif Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
• β laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin sulbaktam) ditambah makrolid baru atau
floroquinolon respirasi IV
Pertimbangan Khusus Bila ada faktor risiko pseudomonas:
• Antipneumokokal, antipseudomonas β laktam (piperacilin-tazobaktam, sefepime,
imipenem atau meropenem) ditambah levofloksasin 750 mg
ATAU
• β laktam seperti disebut diatas ditambah aminoglikosida dan azitromisin
ATAU
• β laktam seperti disebut diatas ditambah aminoglikosida dan antipneumokokal
fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, β laktam diganti dengan aztreonam)
Bila curiga disertai infeksi MRSA
• Tambahkan vankomisin atau linezolid
ESBL
• Extended-spectrum beta-lactamases (ESBL) are
enzymes that confer resistance to most beta-
lactam antibiotics, including
– penicillins, cephalosporins, and the monobactam
aztreonam.
• ESBLs have been found exclusively in gram-
negative organisms, primarily in
– Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, and
Escherichia coli but also in Acinetobacter,
Burkholderia, Citrobacter, Enterobacter, Morganella,
Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Serratia, and
Shigella spp
Tatalaksana Bakteri ESBL
• The best therapeutic option for severe infections caused
by ESBL-producing organisms is a carbapenem (imipenem,
meropenem, doripenem, and ertapenem).
• Cefepime may be effective against ESBL-producing
organisms that test susceptible if administered in high
doses (ie, 2 g every eight hours).
• Use of other cephalosporins and piperacillin-tazobactam
has been associated with treatment failures.
• Ceftolozane-tazobactam and ceftazidime-avibactam
combinations appear promising, but further clinical data
are needed to establish their efficacy relative to
carbapenems.
• Resistance to aminoglycosides and fluoroquinolones is also
common in these organisms
11
• Laki laki 48 tahun keluhan sesak nafas, mual dan muntah.
• Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yg lalu dan rutin mengonsumsi
valsartan 80 mg dan amlodipin 10 mg.
• Seminggu terakhir pasien mengaku tidak meminum obat tersebut.
• TD 180/100 mmHg, RR 35x/menit, HR 120x/mnt, Suhu 37C
• Ronki di seluruh lapang paru.
• Peningkatan JVP.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  EDEMA PARU AKUT
JAWABAN:
D. DIURETIK
• Pasien diatas  edema paru karena
ditemukan adanya gejala seperti sesak
napas yang memberat.
• Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
hipertensi, peningkatan JVP dan ronchi di
basal paru.
• Tatalaksana yang tepat  obat diuretic
seperti  furosemid.
• Piihan A  diberikan pada pasien dengan
aritmia.
• Pilihan B dan C  tidak dianjurkan pemberian
CCB karena dapat memperburuk gejala kongesti
pada pasien.
• Pilihan E  pemberian captopril dapat
dilakukan setelah pemberian furosemide
dengan syarat TD sistolik > 100 mmHg.
Penanganan Edem Paru
• Posisi ½ duduk.
• Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila
perlu dengan masker.
– Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi
bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
• Infus emergensi.
– Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila
ada.
Penanganan Edem Paru
• Nitrogliserin sublingual atau intravena
– Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit
– Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
• Morfin sulfat
– 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit
– total dosis 15 mg> pemberian ini bertujuan untuk menenangkan
pasien
• Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus
– followed by continuous I.V.
– infusion doses of 10-40 mg/hour
– If urine output is <1 mL/kg/hour, double as necessary to a
maximum of 80-160 mg/hour.
• Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) :
– Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik
Drug Dose range Adverse effects¶ RoleΔ
Vasodilators
Fenoldopam Initially 0.1 mcg/kg per minute◊ Tachycardia, headache, nausea, Most hypertensive emergencies.
as IV infusion titrated to a flushing Use caution or avoid with glaucoma or
maximum of 1.6 mcg/kg per increased intracranial pressure.
minute
Hydralazine 10 to 20 mg IV Sudden precipitous drop in blood In general, hydralazine should be
pressure, tachycardia, flushing, avoided due to its prolonged and
10 to 20 mg IM (40 mg headache, vomiting, aggravation of unpredictable hypotensive effect.
maximum per labeling) angina Labetalol and nicardipine are generally
preferred choices for treatment of
eclampsia.
Nicardipine 5 to 15 mg/hour as IV infusion. Tachycardia, headache, dizziness, Most hypertensive emergencies,
Some patients may require up nausea, flushing, local phlebitis, edema including pregnancy induced.
to 30 mg/hour. Avoid use in acute heart failure.
Caution with coronary ischemia.

Nitroglycerin 5 to 100 mcg/minute as IV Hypoxemia, tachycardia (reflex Potential adjunct to other IV


(glyceryl infusion sympathetic activation), headache, antihypertensive therapy in patients
trinitrate) vomiting, flushing, with coronary ischemia (ACS) or acute
methemoglobinemia, tolerance with pulmonary edema.
prolonged use
Nitroprusside 0.25 to 10 mcg/kg per minute Elevated intracranial pressure, In general, nitroprusside should be
as IV infusion. decreased cerebral blood flow, reduced avoided due to its toxicity.
coronary blood flow in CAD, cyanide Nitroprusside should be avoided in
and thiocyanate toxicity, nausea, patients with AMI, CAD, CVA, elevated
vomiting, muscle spasm, flushing, intracranial pressure, renal impairment,
sweating or hepatic impairment.
Drug Dose range Adverse effects¶ RoleΔ
Adrenergic inhibitors
Esmolol 250 to 500 mcg/kg loading dose Nausea, flushing, bronchospasm, Perioperative hypertension.
over one minute; then initiate IV first-degree heart block, infusion-site Avoid use in acute
infusion at 25 to 50 mcg/kg per pain; half-life prolonged in setting of decompensated heart failure.
minute; titrate incrementally up to anemia
maximum of 300 mcg/kg per minute

Labetalol Initial bolus of 20 mg IV followed by Nausea/vomiting, paresthesias (eg, Most hypertensive emergencies
20 to 80 mg IV bolus every 10 scalp tingling), bronchospasm, including myocardial ischemia,
minutes (maximum 300 mg) dizziness, nausea, heart block hypertensive encephalopathy,
or pregnancy, and postoperative
0.5 to 2 mg/minute as IV loading hypertension.
infusion following an initial 20 mg IV Avoid use in acute
bolus (maximum 300 mg) decompensated heart failure.
Use cautiously in obstructive or
reactive airway.

Metoprolol Initially 1.25 to 5 mg IV followed by Refer to labetalol Myocardial ischemia,


2.5 to 15 mg IV every three to six perioperative hypertension.
hours Avoid use in acute
decompensated heart failure.
12
• Laki-laki 45 tahun keluhan perut terasa berdenyut sejak 1
tahun.
• Perut berdenyut hilang timbul dan 1 bulan terakhir makin
sering. P
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu 37C.
• Bruit pada epigastrium tengah.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  ANEURISMA AORTA
JAWABAN:
C. ANEURISMA AORTA
• Pasien diatas  aneurisma aorta
abdominal yang ditandai dengan adanya
perut yang terasa berdenyut serta adanya
suara bruit pada epigastrium tengah.
• Aneurisma aorta abdominal  penonjolan
dari dinding lumen pembuluh darah aorta
abdominal yang sewaktu-waktu dapat
pecah.
• Piihan A  akan ditemukan gejala sesak,
edema tungkai atau asites.
• Pilihan C  akan ditemukan gejala seperti nyeri
pada dada seperti disobek. Biasanya terjadi
pada cabang-cabang utama aorta dan jarang
terjadi pada aorta abdominal.
• Pilihan D  biasanya ditandai dengan nyeri
pada dada
• Pilihan E  ditandai dengan nyeri dada angina.
Abdominal Aorta Aneurysm (AAA)
• Risk factors:
– men older than 65 years
– peripheral atherosclerotic vascular disease.
• Usually asymptomatic until they expand or rupture.
• Expanding AAA signs and symptoms:
– severe, constant low back, flank, abdominal, or groin pain.
Syncope may be the chief complaint.
– Physical exam: pulsatile abdominal mass (fewer than half of all
cases)
• Ruptured AAA:
– shock (cyanosis, mottling, altered mental status, tachycardia,
hypotension),
– pain due to ruptured AAA.
– Patients may have normal vital signs in the presence of a
ruptured AAA as a consequence of retroperitoneal containment
of hematoma
Pemeriksaan Penunjang
• USG
– standard imaging technique for AAA
• Plain radiography
– aortic wall calcification, seen less
than half of the time
• Computed tomography (CT) and CT
angiography (CTA)
– This form of imaging is the main
modality for defining and planning
open or endovascular AAA repair;
– CT offers certain advantages over
ultrasonography in defining aortic CT demonstrates abdominal aortic
size, rostral-caudal extent, aneurysm (AAA). Aneurysm was noted
involvement of visceral arteries, and during workup for back pain, and CT was
extension into the suprarenal aorta ordered after AAA was identified on
radiography. No evidence of rupture is seen.
Pemeriksaan Penunjang
• Magnetic resonance imaging
– This permits imaging of the aorta comparable to
that obtained with CT and ultrasonography,
without subjecting the patient to dye load or
ionizing radiation
• Angiography
– With the fine resolution afforded by CTA,
conventional angiography is rarely indicated to
define the anatomy
Tatalaksana
• Surgical repair.
• The primary methods of AAA repair are as
follows:
– Open - This requires direct access to the aorta via a
transperitoneal or retroperitoneal approach
– Endovascular - This involves gaining access to the
lumen of the abdominal aorta, usually via small
incisions over the femoral vessels; an endograft,
typically a polyester or Gore-Tex graft with a stent
exoskeleton, is placed within the lumen of the AAA,
extending distally into the iliac arteries
13
• Laki-laki 56 tahun datang dengan riwayat batuk batuk
terkadang disertai darah.
• Batuk darah sudah dirasakan sejak 6 bulan smrs.
• Perokok berat dan sudah merokok sejak 30 tahun smrs.
• TD 150/70 mmHg, HR 89x/mnt, RR 22x/mnt, dan suhu 37C.
• Dada barrel chest.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  ASPERGILLOMA
JAWABAN:
A. ASPERGILLOMA
• Pasien diatas mengalami aspergiloma
karena ditemukan adanya gambaran fungus
ball pada kavitas di paru kanan.
• Adanya riwayat hemoptysis serta PPOK 
menunjukkan faktor risiko adanya kavitas
yang sebelumnya sudah terbentuk 
kemudian diinfeksi oleh aspergillus.
• Piihan B  akan ditemukan adanya gambaran
air fluid level pada foto rontgen.
• Pilihan C  akan ditemukan adanya kavitas
tanpa vaskularisasi.
• Pilihan D  akan ditemukan adanya infiltrate
pada apeks paru.
• Pilihan E  akan ditemukan adanya infiltrate
pada parenkim paru.
Aspergilosis
• Definisi
– Aspergillosis refers to several forms of a broad range of illnesses
caused by infection with Aspergillus species

• Etiologi
– A. fumigatus is the usual cause.
– A. Flavus is the second most important species, particularly in
invasive disease of immunosuppressed patients and in lesions
beginning in the nose and paranasal sinuses. A. niger can also
cause invasive human infection.

• Faktor Risiko
– The clinical syndrome depends on the underlying lung architecture,
the host’s immune response, and the degree of inoculum.
– Aspergillosis refers to several forms of a broad range of illnesses
caused by infection with Aspergillus species
Aspergilloma (Fungus Ball)
• In the absence of invasion or significant immune
response, Aspergillus can colonize a preexisting
cavity, causing pulmonary aspergilloma.
• Forms masses of tangled hyphal elements, fibrin,
and mucus.
• Patients typically have a history of chronic lung
disease, tuberculosis, sarcoidosis, or emphysema.
• Manifests commonly as hemoptysis.
• Many are asymptomatic
Pemeriksaan Lab
• Sputum culture
• Serum precipitating antibody
Imaging
Gambar Pada soal

Fungus Ball
Tatalaksana
• Controversial and problematic; the optimal treatment
strategy is unknown.
• Up to 10% of aspergillomas may resolve clinically
without overt pharmacologic or surgical intervention.
• Observation for asymptomatic patients.
• Surgical resection/arterial embolization for those
patients with severe hemoptysis or life-threatening
hemorrhage.
• For those patients at risk for marked hemoptysis with
inadequate pulmonary reserve,consider itraconazole
200 to 400 mg/day PO.
14
• Laki-laki 55 tahun keluhan pingsan.
• Pingsan dirasakan 4 kali dalam 1 bulan.
• Setelah pingsan pasien sadar kembali, tidak ada kelemahan pada
anggota gerak. Riwayat stroke dan DM disangkal pasien.
• TD 120/80 mmHg, HR 80x/mnt, RR 20x/mnt dan suhu 37C.
• GDS normal.
• Tekanan darah pada tangan kanan dan tangan pasien berbeda 20
mmHg.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  SUBCLAVIAN STEAL SYNDROME
JAWABAN:
C. SUBCLAVIAN STEAL SYNDROME
• Pasien diatas  subclavian steal syndrome
yang ditandai dengan adanya pingsan,
tanpa adanya kelemahan anggota gerak.
• Adanya pemeriksaan fisik berupa
perbedaan tekanan darah antara kiri dan
kanan yang lebih dari 10 mmHg
mengkonfirmasi diagnosis ini.
• Piihan A  ditandai dengan adanya deficit
neurologis yang membaik dalam waktu 24 jam.
• Pilihan B  ditandai dengan pingsan yang
dipicu akibat rasa takut, stress emosional atau
nyeri.
• Pilihan D  deficit neurologis yang terjadi lebih
dari 24 jam dan akan membaik dalam waktu 72
jam.
• Pilihan E  ditandai dengan penurunan kadar
GDS.
Subclavian Steal Syndrome
Definisi
occlusion or severe stenosis of the proximal subclavian
artery leading to decreased antegrade flow or
retrograde flow in the ipsilateral vertebral artery and
neurologic symptoms referable to the posterior
circulation.

Etiologi
• Atherosclerosis
• Arteritis (Takayasu’s disease and temporal arteritis)
Subclavian Steal Syndrome
Manifestasi Klinis
• Many patients are asymptomatic.
• Upper-extremity ischemic symptoms: fatigue, exercise-related
aching, coolness, numbness of the involved upper extremity.
• Neurologic symptoms are reported by 25% of patients with known
unilateral subclavian steal. These include brief spells of:
– Vertigo
– Diplopia
– Decreased vision
– Oscillopsia
– Gait unsteadiness
• These spells are only occasionally provoked by exercising the
ischemic upper extremity (classic subclavian steal).
• Left subclavian steal is more common than right, but the latter is
more serious.
• Posterior circulation stroke related to subclavian steal is rare.
• Innominate artery stenosis can cause decreased right carotid artery
flow and cerebrovascular symptoms of the anterior cerebral
circulation, but this is uncommon.
Pemeriksaan Fisik
• Physical findings:
– Delayed and smaller volume pulse (wrist or
antecubital) in the affected upper extremity
– Lower blood pressure in the affected upper extremity
– Supraclavicular bruit

• Pemeriksaan penunjang :
– Noninvasive upper-extremity arterial flow
studies
– Doppler sonography of the vertebral, subclavian, and
innominate arteries
– Arteriography, magnetic resonance arteriogram
15
• Laki-laki, 55 tahun, keluhan sesak sejak 1 minggu terakhir, sesak semakin berat saat
aktifitas.
• Batuk berdahak kekuningan.
• Pasien seorang perokok aktif selama 20 tahun terakhir, pasien menghabiskan 2 bungkus
rokok sehari.
• TD 110/80 mmHg, HR 84 x/menit, RR 30 x/menit, suhu 37C.
• Bibir sianosis dan pemeriksaan pulmo didapatkan suara tambahan wheezing dan
ekspirasi memanjang, bentuk dada barrel chest.
• Pada pemeriksaan spirometri didapatkan PPOK FEV1/FVC <70%, FEV1 60 %.

DERAJAT PENYAKIT…
DIAGNOSIS  PPOK
JAWABAN:
B. MODERATE
• Pasien diatas  PPOK karena ditemukan
sesak, batuk berdahak dan riwayat merokok
lama.
• Adanya hasil pemeriksaan fisik berupa
sianosis, wheezing dan dada barrel chest
semakin menguatkan diagnosis PPOK.
• Spirometeri FEV1/FVC < 70%  kelainan
obstruktif.
• FEV 1 60%  PPOK derajat sedang.
• Piihan A  FEV1 >80% prediksi.
• Pilihan C  30% < FEV1 < 50% prediksi.
• Pilihan D  FEV1 <30% prediksi.
• Pilihan E  tidak ada klasifikasi ini.
PPOK
• Definisi PPOK
– Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
– Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya
– Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit

• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh


gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi
bronkiolitis) & obstruksi parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu.

• Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK


karena:
– Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas
distal)
– Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3
bulan berturut-turut, dalam 2 tahun)
PPOK
Anamnesis Pengukuran gejala sesak napas
• Sesak yang bersifat progresif dengan atau dapat dilakukan dengan
tanpa bunyi mengi beberapa kuesioner, yaitu:
• Riwayat merokok atau bekas perokok – COPD Assessment Test (CAT TM
dengan atau tanpa gejala pernapasan )
• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna – Chronic Respiratory
di tempat kerja Questionnaire
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga – (CCQ® )
• Terdapat faktor predisposisi pada masa – St George’s Respiratory
bayi/anak, mis berat badan lahir rendah – Questionnaire (SGRQ)
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, – Chronic Respiratory
lingkungan asap rokok dan polusi udara Questionnaire
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak – (CRQ)
• Penyakit komorbid seperti jantung, – Modified Medical Research
osteoporosis, keganasan Council
• Keterbatasan aktivitsd – (mMRC) questionnaire
• Riwayat pengobatan akibat penyakit paru

PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2016


Pemeriksaan Fisik PPOK
Inspeksi
• Pink puffer
– Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
– Gambaran yang khas pada emfisema, mencucu)
penderita kurus, kulit kemerahan dan – Barrel chest (diameter antero - posterior dan
pernapasan pursed transversal sebanding)
– lips breathing – Penggunaan otot bantu napas
• Blue bloater – Hipertropi otot bantu napas
– Gambaran khas pada bronkitis kronik, – Pelebaran sela igaku
penderita gemuk sianosis, terdapat – Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut
edema tungkai dan ronki basah di basal
– vena jugularis di leher dan edema tungkai
paru, sianosis sentral dan perifer
• Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga
• Pursed - lips breathing melebar
– Adalah sikap seseorang yang bernapas • Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung
dengan mulut mencucu dan ekspirasi mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
yang memanjang. Sikap ini terjadi • Auskultasi
sebagai mekanisme tubuh untuk – suara napas vesikuler normal, atau melemah
mengeluarkan retensi CO2 yang yang – terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
terjadi pada gagal napas kronik. bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa ekspirasi
memanjang
– bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan
– terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
– tungkai
PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2016
Pemeriksaan Penunjang PPOK
• Uji spirometri  merupakan gold standar
– FEV1 / FVC < 70 % (GOLD); <75% (pneumobile Indonesia)
• Uji bronkodilator harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas
dari infeksi pernapasan:
– FEV1 pasca bronkodilator < 80 % prediksi dan FEV1/FVC < 75%
menandakan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible
– Obstruksi saluran napas dinyatakan reversibel bila setelah pemberian
bronkodilator didapatkan FEV1 meningkat > 12% dan 200 ml dari nilai
awal
• Apabila spirometri tidak ada atau tidak memungkinkan:
– APE (arus puncak ekspirasi/ PEF Peak Expiratory Flow) dapat dipakai
sebagai alternatif untuk menunjang diagnosis
– memantau variabilitas harian pagi dan sore tidak lebih dari 20%
• Laboratorium darah: HB, Ht, trombosit, Leukosit, dan AGD
• Radiologi foto thoraks: Foto toraks PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain.
Penyakit Paru

Spirometri penyakit obstruktif


paru:
• Forced expiratory volume/FEV1 ↓
• Vital capacity ↓
• Hiperinflasi mengakibatkan:
– Residual volume ↑ Normal COPD
– Functional residual capacity ↑
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
1. Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000.
2. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003.
3. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005.
4. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
PPOK (klasifikasi)
Dalam penilaian derajat PPOK diperlukan beberapa penilaian
seperti
• Penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner COPD
Assesment Test (CAT) serta The modified British Medical
Research Council (mMRC) untuk menilai sesak nafas;
• Penilaian derajat keterbatasan aliran udara dengan
spirometri
– GOLD 1: Ringan: FEV1 >80% prediksi
– GOLD 2: Sedang: 50% < FEV1 < 80% prediksi
– GOLD 3: Berat: 30% < FEV1 < 50% prediksi
– GOLD 4: Sangat Berat: FEV1 <30% prediksi
• Penilaian risiko eksaserbasi
Radiologi PPOK
A. Pada emfisema terlihat:
– Hiperinflasi, Hiperlusen,
– Ruang retrosternal
melebar,
– Diafragma mendatar,
Jantung menggantung
(jantung
pendulum/teardrop/eye
drop).

B. Pada bronkitis kronik:


– Normal, Corakan
bronkovaskular bertambah
pada 21% kasus.
16
• Seorang pasien perempuan 22 tahun bernama
Ashley Graham.
• Saat memeriksa nadi dokter curiga karena pasien
memiliki HR hanya 50x/menit.

TERAPI PADA PASIEN INI ADALAH…


DIAGNOSIS  AV BLOK GRADE III/ TOTAL AV BLOK
JAWABAN:
E. OBSERVASI SAJA
R R R R
P P P P

TOTAL AV BLOCK
• Pada pasien didapatkan gambaran
bradikardia dengan total AV blok
• Akan tetapi pada pasien tidak ditemukan
gejala tidak stabil seperti penurunan
kesadaran, hipotensi, atau tanda syok
lainnya karena dilihat pasien bisa datang ke
dokter sendiri, jadi ini termasuk stable
bradikardia
• Pada stable bradikardia cukup dilakukan
observasi
• Sulfas Atropine digunakan pada kasus AV block
grade 1 dan AV block grade 2 morbitz 1 yang
tidak stabil
• Transcutanous pacing digunakan pada kasus AV
block grade 2 morbitz 2 atau total AV blok yang
tidak stabil
• Manuver vagal adalah kontraindikasi pada
bradikardia
• Manuver kristeller adalah manuver untuk
membantu melahirkan bayi dengan menekan
abdomen ibu
AV Block Derajat 1
Pneumonia
• Diagnosis pneumonia komunitas:
Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala:
1. Batuk progresif
2. Perubahan karakter dahak/purulen
3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam
4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi
5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500

• Gambaran radiologis:
– Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran
bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti.
– Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak
karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.

Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
AV Block Derajat 2, Morbitz 1
AV Block Derajat 2, Morbitz 2
AV Block Derajat 3, Total AV Block
Pneumonia
17
• Laki-laki, 32 tahun keluhan nyeri perut kanan
atas.
• Dirasakan sejak 1 minggu terakhir
• Pasien obesitas, riwayat DM tidak terkontrol
• USG : bright liver

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  NON ALCOHOLIC FATTY LIVER
JAWABAN:
B. NON ALCOHOLIC FATTY LIVER
• Pada pasien didapatkan nyeri perut kanan atas
yang kemungkinan menandakan hepatitis.
• Karena pasien terdapat obesitas,
kemungkinan terjadi hepatitis akibat
perlemakan hati, disebut juga Non alcoholic
steatohepatisis (NASH)
• Akan tetapi pilihan ini tidak ada jadi dipilih
Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD).
• NAFLD adalah stadium sebelum NASH, dimana
biasanya hanya terjadi perlemakan hati tanpa
gejala
• Hal ini diperkuat dengan gambaran bright liver
pada pemeriksaan USG.
• Pilihan Adiabetes memperburuk gejala fatty
liver tapi tidak secara langsung membuat
sclerosis pada liver jadi tidak dipilih
• Hepatitis alkoholik  tidak ada gambaran
alkoholik pada pasien, atau hasil pemeriksaan
lab dimana terdapat peningkatan SGOT 2x SGPT
• Hepatitis B kronik  tidak ada dikatakan di soal
• Hepatoma  didapatkan hepatomegaly dan
gambaran liver berbenjol-benjol, yang tidak ada
di soal
Non Alcoholic Steatohepatitis/
Fatty Liver Disease
• Penyakit hati berlemak non-alkohol (NAFLD)
– kelainan yang sangat umum dan merujuk pada sekelompok
kondisi di mana ada akumulasi lemak berlebih di hati orang
yang minum sedikit atau tanpa alkohol.
• Bentuk NAFLD yang paling umum adalah kondisi tidak
serius yang disebut fatty liver.
– Di hati berlemak, lemak menumpuk di sel-sel hati.
• Sekelompok kecil orang dengan NAFLD dapat memiliki
kondisi yang lebih serius bernama steatohepatitis non-
alkohol (NASH)
• Pada NASH, akumulasi lemak menyebabkan peradangan
sel hati dan berbagai tingkat jaringan parut
– berpotensi serius yang dapat menyebabkan jaringan parut
dan sirosis hati
https://gi.org/topics/fatty-liver-disease-nafld/
Spektrum NAFLD

https://gi.org/topics/fatty-liver-disease-nafld/
Gambaran USG

• Gambaran USG pada liver NAFLD menunjukkan gambaran


hiperekoik atau dikenal juga dengan “bright liver”
18
• Pasien laki2 usia 35 tahun bernama dr. Salvador
datang dengan keluhan demam, nyeri otot dan
mata kemerahan.
• Nyeri otot dirasakan terutama di daerah betis.
• Pasien mendapatkan keluhan ini setelah kehujanan

TERAPINYA ADALAH…
DIAGNOSIS  LEPTOSPIRA
JAWABAN:
E. AMPICILLIN 4 X 500 MG PO
• Pada pasien gejala yang terdapat adalah
demam, dan nyeri otot terutama daerah
betis atau m.gastrocnemius, karena tidak
ada ikterik berarti kasus ini adalah infeksi
leptospira ringan
• Terapi pada kasus ini bisa rawat jalan,
dengan ampicillin 4 x 500 mg
• Klorampenikol 3 x 500 mg PO  obat typhoid
• Ceftriaxon 1 x 2 gram IV dan Penisilin G 1,5 juta
Unit IM  obat leptospira berat atau weil
disease
• Ciprofloxacin 2 x 500 mg PO  Untuk
pengobatan E.Coli pada kasus ISK atau
gastroenteritis
Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
Tatalaksana Leptospira
19
• Pasien laki laki 48 tahun bernama William Birkins dengan
DM,
• datang ke UGD dengan keluhan lemas dan berkeringat
dingin.
• Pasien sebelumnya tidak sarapan namun tetap meminum
obat DM glibenclamid dan metformin.
• Pada GDS didapatkan hasil 65 mg/dl.

TERAPINYA ADALAH…
DIAGNOSIS  HIPOGLIKEMIA RINGAN
JAWABAN:
A. LARUTAN GULA 3 SENDOK
• Pada pasien didapatkan gejala
hipoglikemia berupa lemas dan
berkeringat dingin, namun masih sadar
karena pasien dapat mengatakan
keluhannya di IGD, sehingga kasus ini
termasuk hipoglikemia ringan
• Tatalaksana hipoglikemia ringan adalah
dengan pemberian makanan tinggi
karbohidrat, jadi dipilih pilihan A
• Bila pasien tidak sadar baru dipilih B, tapi lebih
baik menggunakan D20% 50 cc sesuai
rekomendasi Perkeni
• Infus nacl 0.9 1 kolf  digunakan pada kasus
hipotensi
• Infus Dextrose 5% 1 kolf  digunakan pada
individu yang tidak bisa mendapat asupan
makanan secara oral sementara
• Glimipirid  Obat anti hiperglikemia
Analisis soal
• Obat prokinetic adalah obat yang meningkatkan
motilitas saluran cerna dengan meningkatkan
kontraksinya tanpa meningkatkan ritme frekuensinya,
prokinetic membantu pengosongan lambung lebih
cepat, contohnya metoklorpramid, doomperidon
• Obat anti spasmodic adalah untuk mengurangi gejala
nyeri gastrointestinal, seperti papaverine atau
buscopan
• Antihistamin yang digunakan pada golongan ini adalah
golongan H2 blocker, namun tidak sepoten PPI
• Tidak ada rekomendasi pemberian analgetic pada nyeri
ulkus peptikum/duodenum
Tatalaksana
20
• Seorang wanita bernama Jill Valentine 24 tahun datang
dengan bintil-bintil kemerahan setelah makan udang.
• Pasien mengaku sebetulnya sejak kecil memang alergi
udang
• Pada pemeriksaan fisik didapatkan infiltrat multipel di
kedua tangan dan leher.

CARA MENCEGAH KEKAMBUHAN…


DIAGNOSIS  URTIKARIA
JAWABAN:
D. MENGHINDARI MAKANAN PEMICU IGE MEDIATED
• Pada soal di atas didapatkan seorang pasien
dengan infiltrat multipel di kedua tangan
dan leher, setelah memakan udang, maka
kemungkinan diagnosis pada pasien adalah
urtikaria akut.
• Untuk mencegah urtikaria lebih baik
dengan menghindari pencetus.
• Terapi desentisasi saat ini terbukti dapat
mencegah kekambuhan untuk rhinitis allergy
dan asma, tapi pada anak-anak
– Untuk penelitian mengenai terapi desentisasi untuk
food allergy masih banyak hasil yang kontroversial,
terutama pada orang dewasa
• Kortikosteroid, antihistamin  pengobatan
untuk alergi bukan untuk pencegahan
• Siklosporin immunosupresan yang digunakan
untuk terapi penyakit seperti SLE
Urtikaria

• Urtikaria (dikenal juga dengan “hives, gatal-gatal, kaligata, atau


biduran”) adalah kondisi kelainan kulit berupa reaksi vaskular terhadap
bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan oleh suatu reaksi alergi,
• Urtikaria mempunyai ciri-ciri berupa kulit kemerahan (eritema) dengan
sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang
timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan
menghilang perlahan-lahan.
Penanganan Urtikaria
• Antihistamin adalah terapi lini pertama untuk
urtikaria.
• Antihistamin generasi pertama yang memblokir
reseptor H1 adalah terapi lini pertama untuk
urtikaria. Diphenhydramine dan hydroxyzine
adalah yang paling umum digunakan di kelas ini.
• Namun, karena obat-obatan ini diberikan secara
IV dengan potensi efek samping antikolinergik
lainnya, antihistamin generasi lebih dianggap
sebagai lini pertama sekarang ini.
https://emedicine.medscape.com/article/762917-medication
Allergen Immunotherapy
• Imunoterapi alergen, juga dikenal sebagai desensitisasi atau
hipo-sensitisasi, adalah perawatan medis untuk alergi
seperti gigitan serangga dan asma.
• Imunoterapi meliputi pemaparan individu pada alergen
dalam jumlah yang progresif dalam upaya mengubah
respons sistem kekebalan tubuh terutama menurunkan
produksi IgE.
• Meta-analisis telah menemukan bahwa suntikan alergen di
bawah kulit efektif dalam pengobatan rinitis alergi pada
anak-anak dan pada asma.
• Untuk penggunaan allergen immunoterapi pada kasus
lainnya terutama untuk intake makanan secara oral belum
banyak bukti klinis yang mendukung

https://emedicine.medscape.com/article/762917-medication
ILMU BEDAH
21
• Laki-laki 24 thn, nyeri di lutut kanan pasca main basket
• Disertai kaki terasa tidak stabil dan tidak bisa jalan
• Bila ditekuk, lutut berbunyi PLOP!! Serta kaku dan sulit
diluruskan
• PF: regio genu dextra tampak eritema, swelling, serta
hematom. Anterior drawer test (+).
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  RUPTUR ACL
JAWABAN:
C. RUPTUR ANTERIOR CRUCIATE LIGAMENT
• Laki-laki 24 tahun, mengeluhkan nyeri lutut
kanan saat olahraga basket. Lutut terasa
tidak stabil, lutut berbunyi ‘plop”, sulit
berjalan dan sulit untuk diluruskan. PF lutut
kanan tampak kemerahan, bengkak, dan
anterior drawer test (+).
• Diagnosis yang paling sesuai berdasarkan
gejala dan tanda tersebut adalah ruptur
anterior cruciate ligament.
• Dislokasi patella  gejala utama tentunya tampak patella
tergelincir keluar dari tempatnya (bergeser).
– Keluhan disertai rasa nyeri dan lutut terasa tidak stabil.
• Ruptur meniscus medial  gejala utama pada ruptur
meniscus adalah lutut terasa terkunci.
– Keluhan dapat disertai nyeri, kaku, dan tidak stabil.
– Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain . Mc Murray
test, Apley test, dsb.
• Osteoarthritis genu  merupakan suatu penyakit generatif
sehingga tentunya usia tidak sesuai dengan pasien pada
soal.
– Keluhan utama sendi lutut terasa kaku dan nyeri.
– Tanda-tanda peradangan seperti kemerahan ataupun bengkak
jarang terlihat.
• Fraktur tertutup suprakondiler femoral  pada kasus ini
tentunya dapat terlihat deformitas, disertai nyeri dan
krepitasi di atas lutut/ femur distal.
RUPTUR ANTERIOR CRUCIATUM LIGAMENT

• Anterior Cruriatum
Ligament adalah salah satu
dari empat major ligament
di lutut. ACL berfungsi
sebagai stabilitator dan
pembatas gerak pada lutut.
• Ruptur ACL ( Anterior
Cruriatum Ligament ) adalah
robeknya satu ligamen pada
lutut yg menghubungkan
tulang kaki bg atas ( distal
femur ) dan tulang kaki bg
bawah ( proksimal tibia )
• 80% of knee ligament injury
is on ACL.
Klasifikasi

Parsial

Total
Symptoms
• Pain, often sudden and severe
• A loud pop or snap during the
injury
• Swelling
• A feeling of looseness in the
joint
• Inability to put weight on the
point without pain
• In ACL injury, knee is able to
flexion but unable to
extension. In PCL injury, knee
is in extension position.
22
• Laki-laki 30 thn, mengalami KLL
• PF: didapatkan luka terbuka pada region cruris
dextra, sepanjang 3 cm, dasar luka adalah
jaringan tulang. Exposure tulang (-).

KLASIFIKASI…
DIAGNOSIS  FRAKTUR TERBUKA
JAWABAN:
B. 2
• Tampak dari gejala (Foto) yang ditemukan
pada pasien luka terbuka pada tungkai
kanan, Panjang 3cm tidak tampak bone
expose, namun pada soal disebutkan luka
tersebut dengan dasar tulang.
• Dari gambaran radiologis tampak fraktur
cruris di bawah area luka.
• Gejala dan tanda yang ada pasien tersebut
sesuai dengan fraktur terbuka grade II.
• 1  luka bersih, panjang luka < 1cm
• 3a  luka dengan kerusakan jaringan lunak luas
>10 cm dan mengenai perisoteum.
• 3b  luka dengan periosteum-nya terangkat.
• 3c  fraktur terbuka dengan gangguan
vaskularisasi.
FRAKTUR TERBUKA
• Dimana terjadi hubungan tulang dengan lingkungan
luar melalui kulit.
• Terdapat luka robek yang menghubungkan patahan tulang
dengan lingkungan luar kulit.
• Luka robek yang menembus kulit & otot hingga ke tulang
• Tidak termasuk
• luka lecet (abrasi)/ vulnus ekskoriasi,
• vulnus laceratum, ataupun
• luka lain yang tidak menembus ke tulang.
• Terjadi kontaminasi bakteri  komplikasi infeksi
• Luka pada kulit :
– Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit (from within)
– Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung (from
without)
23
• Bayi perempuan, usia 2 bulan
• PF: didapatkan celah pada palatum durum
sepanjang 4 cm

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  PALATOSCHISIS
JAWABAN:
B. PALATOSCHISIS
• Bayi berusia 2 bulan dengan celah pada
palatum durum sepanjang 4 cm.
• Diagnosis yang tepat pada kasus ini adalah
palatoschisis.
• Labioschisis  celah/ sumbing bibir.
• Gnatoschisis  celah pada gusi, namun tidak
ada kasus gnatoschisis/ celah gusi tunggal.
– Gnatoschisis selalu disertai celah bibi dan/ atau
celah palatum.
• Labiopalatoschisis  celah pada bibir dan
langit-langit.
• Labiognatoschisis  celah pada bibir dan gusi
LABIOPALATOSKIZIS
• Labioskizis: celah pada
bibir
• Palatoskizis: celah pada
palatum
• Labiopalatoskizis: celah
bibir+palatum

http://emedicine.medscape.com/
Epidemiologi
• Sumbing bibir disertai atau tidak disertai
sumbing pada palatum , merupakan kelainan
maksilofasial kongenital yang sering pada
neonatus (80%).
• Terjadi pada 1 dari 700-1000 kelahiran.
• Sebesar 30-50% disertai kelainan kongenital
yang lain.
Klasifikasi
Suatu klasifikasi membagi struktur- Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi,
struktur yang terkena menjadi beberapa mulai dari yang ringan hingga hingga
bagian berikut: yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing
• Palatum primer meliputi bibir, dasar yang diketahui :
hidung, alveolus, dan palatum durum 1. Unilateral Incomplete. Jika celah
di belahan foramen insisivum. sumbing terjadi hanya disalah satu
• Palatum sekunder meliputi palatum sisi bibir dan memanjang hingga ke
durum dan palatum molle posterior hidung.
terhadap foramen. 2. Unilateral Complete. Jika celah
• Suatu belahan dapat mengenai salah sumbing yang terjadi hanya disalah
satu atau keduanya, palatum primer satu sisi sisi bibir dan memanjang
dan palatum sekunder dan juga bisa hingga ke hidung.
berupa unilateral atau bilateral. 3. Bilateral Complete. Jika celah
• Terkadang terlihat suatu belahan sumbing terjadi di kedua sisi bibir
submukosa. Dalam kasus ini dan memnajang hingga ke hidung.
mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulang dan jaringan otot
palatum.
Klasifikasi

A) Bibir sumbing unilateral dengan keterlibatan alveolar; B) Bibir sumbing bilateral


dengan keterlibatan alveolar; C) Bibir sumbing dan langit langit unilateral; D) Bibir
sumbing dan langit langit bilateral; E) Sumbing langit langit
https://www.asha.org/Practice-Portal/Clinical-Topics/Cleft-Lip-and-Palate/
Tatalaksana
• Tahap sebelum operasi
– Persiapan untuk tahap
koreksi bila memenuhi
kriteria rule of ten:
• Usia lebih dari 10 minggu,
• Hb 10 g/dl,
• Berat badan >10 pounds (4-5
kg)
• Pasien menggunakan
nasoalveolar mold (NAM) 
untuk minimalisir
deformitas celah alveolar,
memperbaiki bentuk dan
garis bibir
Tatalaksana
• Usia optimal untuk labioplasti (repair cleft lip) :
– 3 bulan  misalnya teknik modifikasi Millard
• Usia optimal palatoplasty (repair cleft palate) :
– 9-12 bulan  misalnya teknik von Langenbeck
• Operasi > usia 2 tahun
– ikuti dengan speech therapy
• Labiognatopalatoschizis :
– koreksi pada usia 8-9 tahun, meliputi alveolar bone
graft dan penanganan kerja sama dengan dokter
gigi ahli ortodonsi
Campbell A, Costello BJ, Ruiz RL. Cleft lip and palate surgery: An update of clinical outcomes for primary repair. Oral Maxillofacial Surgery Clinics. 2010;
22(1):43─58.
Tatalaksana
• Pemberian ASI secara langsung, • Syarat labioplasti (rule of ten)
dapat dicoba dengan sedikit – Umur 3 bulan atau > 10 minggu
menekan payudara. – Berat badan kira-kira 4,5 kg/10 pon
• Bila anak sukar mengisap – Hemoglobin > 10 gram/dl
sebaiknya gunakan botol peras – Hitung jenis leukosit < 10.000
(squeeze bottles). • Syarat palaplasti
• Jika anak tidak mau, berikan – Palatoskizis ini biasanya ditutup
dengan cangkir dan sendok. pada umur 9-12 bulan menjelang
anak belajar bicara, yang penting
• Okulator untuk menutup dalam operasi ini adalah harus
sementara celah palatum memperbaiki lebih dulu bagian
• Tindakan bedah, dengan kerja belakangnya agar anak bisa
sama yang baik antara ahli bedah, dioperasi umur 2 tahun.
ortodontis, dokter anak, dokter – Untuk mencapai kesempurnaan
THT, serta ahli wicara. (terapi suara, operasi dapat saja dilakukan
berulang-ulang
tergantun kebutuhan pasien).
http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis
24
• Laki-laki, 20 thn mengalami luka sayat di lengan
bawah
• Status lokalis: tampak luka terbuka sepanjang 7
cm dengan kedalaman luka 2 cm, tepi datar dan
luka sudah tidak lagi berdarah
TINDAKAN SELANJUTNYA…
DIAGNOSIS  VULNUS SCISSUM
JAWABAN:
A. JAHIT LUKA
• Pasien mengalami luka sayat. Tampak vulnus
scissum sepanjang 7 cm dengan kedalaman luka 2
cm, tepi datar dan luka sudah tidak lagi berdarah.
• Pada kondisi tersebut tindakawan awal yang tepat
adalah wound toilet, yakni proses pembersihan luka
dari benda asing dan debris yang tersisa baru
kemudian dilakukan penjahitan luka.
• Namun oleh karena pilihan wound toilet tidak ada
maka dipilih jahit luka, serta pada penjelasan soal
luka terlihat bersih.
• Debridement  tidak dipilih, karena secara
terminology debridement tidak tepat.
– Debridement dapat diartikan sebagai pengangkatan
secara medis jaringan yang mati, rusak, atau
terinfeksi untuk meningkatkan potensi
penyembuhan jaringan sehat yang tersisa.
• Diberikan antibiotik  dapat diberikan pasca
hecting.
• Diberikan analgetik  terapi supoortif.
• Balut luka  kurang tepat.
WHO. Wound Management. 2009.
Daley BJ. Wound care management. Emedicine. 2018.

KLASIFIKASI LUKA BERDASARKAN KONTAMINASI


• Berdasarkan WHO, luka surgikal dibagi menjadi:
– Bersih
– Bersih terkontaminasi  luka melibatkan jaringan normal namun
terkolonisasi organisme
– Terkontaminasi  luka mengandung material asing atau material
terinfeksi
– Terinfeksi  Luka dengan temuan pus
• Prinsip penanganan:
– Luka bersih tutup segera agar tercapai penyembuahan primer
– Jangan menutup luka terkontaminasi dan terinfeksi, namun biarkan
terbuka agar dapat sembuh secara sekunder
– Pada luka bersih terkontaminasi dan luka bersih >6 jam, dilakukan
surgical toilet, biarkan terbuka lalu tutup 48 jam kemudian untuk
proses penutupan delayed primary.
JENIS LUKA
1. Primer  upaya penutupan luka dalam hitungan jam setelah kejadian
– Seluruh jaringan termasuk kulit ditutup dengan material jahitan hingga
terjadi aproksimasi (tanpa kehilangan jaringan)
– Contoh: Jahit laserasi, fraktur tulang terreduksi baik, penyembuhan setelah
operasi flap
2. Sekunder  hanya wound toilet dan debridement tanpa upaya penutupan luka
sehingga luka menutup spontan (granulasi) melalui kontraksi dan reepitelisasi
– Luka dibiarkan terbuka dan menutup alamiah
– Contoh: ulkus, ulkus dekubitus, ekstraksi gigi, fraktur terreduksi buruk
3. Tersier/Delayed Primary  melibatkan upaya debridement pada luka yang
terkontaminasi berat dan berisiko infeksi untuk jangka waktu tertentu
– Dibiarkan terbuka 3-5 hari agar memungkinan pertahanan tubuh
menurunkan jumlah bakteri atau drainage eksudat. Kemudian upaya
penutupan luka dengan penjahitan dilakukan setelah bersih seperti
penyembuhan primer
– Contoh: Penyembuhan luka dengan menggunakan tissue graft
WHO. Wound Management. 2009.
Daley BJ. Wound care management. Emedicine. 2018.
Types of wound healing
• Healing by primary
intention

• Healing by secondary
intention

• Healing by tertiary
intention

source: http://quizlet.com/13665246/chapter-3-tissue-renewal-regeneration-and-
repair-flash-cards/ 225
Reasons of Debridement
• Presence of NM enhance bacterial colonization
and infection via activation of alternative
pathway of complement system – ongoing
inflammation, tissue destruction, delay healing.
• Foreign matter act as physical barrier, prevent
normal wound contraction and re-
epithelialization.
• Decrease odor, excess moisture, risk of infection.
• Other reasons – preparation for skin transplant
and topical application of growth factor.
• Improve quality of life.
25
• Anak perempuan, 6 tahun, terjatuh saat main bulutangkis
• Tungkai bawah kanan terasa nyeri jika digerakkan.
• PF: didapatkan edema, kemerahan, dan krepitasi pada
tungkai bawah kanan
• Rontgen terlampir

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  GREENSTICK FRACTIRE
JAWABAN:
D. IMMOBILISASI
• Anak perempuan 6 tahun dengan keluhan
tungkai bawah kanan pasien terasa nyeri jika
digerakkan. Pemeriksaan fisik didapatkan
edema, kemerahan, dan krepitasi pada tungkai
bawah kanan.
• Hasil X-Ray menunjukan garis patah inkomplit
yang kemungkinan besar adalah Greenstick
Fracture.
• Tatalaksana yang tepat pada kasus ini adalah
immobilisasi.
• Operasi ligamen  tidak tepat
• Operasi tendon  tidak tepat
• Kompres  terapi suportif, kompres dingin bisa
dilakukan untuk mengurangi nyeri
• ORIF  dilakukan oleh Sp. Ortopedi (tidak
diperlukan pada kasus greenstick)
GREENSTICK FRACTURE
• In growing bones: Bones tend to BOW rather
than BREAK
• Compressive force= TORUS fracture
– Aka. Buckle fracture
• Force to side of bone may cause break in only
one cortex= GREENSTICK fracture
– The other cortex only BENDS
• In very young children, neither cortex may
break= PLASTIC DEFORMATION/bowing
Fractures Peculiar to Children
A. Torus or buckling
B. Greenstick
C. Bowing
D. Epiphyseal

Often only incomplete


fracture line is seen

A B C D
• break in only one
cortex= GREENSTICK
fracture
• The other cortex only
BENDS
Greenstic Fracture Treatment
• If the degree of angulation is significant
– a closed reduction and immobilization.
• All greenstick fractures:
– require immobilization, and casting several days after the
initial injury
• decreases the risk of the need to recast due to increasing edema
post fracture.
– Cast immobilization of long bone greenstick fractures
should last approximately six weeks.
• All greenstick fractures should have some type of
orthopedic follow-up due to their unstable nature and
increased likelihood of refracture and displacement
compared to buckle or plastic bending injuries.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513279/
26
• Perempuan 35 thn ada gerakan aneh saat berjalan di betis
kanan sejak 6 bulan
• Riw. cedera pada area tungkai bawah kanan 2 tahun yang
lalu namun tidak diobati
• Status lokalis region cruris dextra didapatkan deformitas,
tidak nyeri, dan pseudoarthrosis
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  NON-UNION
JAWABAN:
B. NON-UNION
• Pasien mengelihkan adanya gerakan aneh saat
berjalan sejak 6 bulan yang lalu. Pasien
mengalami cedera 2 tahun yang lalu
(kemungkinan fraktur) dengan penangangan
yang kurang baik.
• Pemeriksaan status lokalis region cruris dextra
didapatkan deformitas, tidak nyeri, dan
pseudoarthrosis.
• Diagnosis yang paling sesuai dengan kondisi
pasien tersebut adalah non-union.
• Malunion cruris  keluhan utama akan tampak
deformitas.
• Union cruris  fraktur cruris yang sudah
menyambung
• Delayed union cruris  fraktur yang tidak
dapat sembuh lebih dari 6 bulan
• Osteomielitis kronik cruris  infeksi tulang >6
bulan, dapat ditemukan sequestrum dan
involucrum pada pemeriksaan X-Ray
NON UNION
• Apabila fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bln dan tidak ada konsolidasi sehingga
terjadi pseudoartrosis (sendi palsu)
• Proses penyembuhan sudah berhenti !!!
• Beberapa jenis non union menurut keadaan ujung fragmen tulang : Hipertrofik &
Atrofik /Oligotrofik
• Penyebab Non union:
– Vaskularisasi yg kurang pada ujung fragmen
– Reduksi yg tidak adekuat
– Imobilisasi yg tidak adekuat
– Waktu imobilisasi yg tidak cukup
– Infeksi
– Distraksi
– Interposisi jaringan lunak
– Destruksi tulang  tumor atau infeksi
– Dissolusi hematoma fraktur oleh cairan sinovia
– Kerusakan periost yg hebat
– Fiksasi interna yg tidak sempurna
– Delayed union yg tidak diobati
– Pengobatan yg salah atau sama sekali tidak dilakukan pengobatan
• Gambaran pseudoarthrosis pada fraktur komplit diafisis tibia-fibula
• Fratur tampak overlap, angulasi anterior dan internal. Tampak
formasi kalus pada margin fraktur, namun tidak tampak “bridging”.
Penyembuhan Abnormal pada Fraktur
Komplikasi Keterangan
Delayed Union Delayed union artinya penyatuan yang tertunda, yaitu patah
tulang yang tidak menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak
terlihat ada pertumbuhan tulang yang baru, kalaupun ada
sangat sedikit, kalus (tulang muda) di sekitar daerah patahan
pun sangat kurang.
NonUnion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis.
MalUnion Mal union adalah dimana tulang yang patah menyatu dalam
waktu yang tepat (3-6 bulan) namun terdapat deformitas
(misal: bengkok) ataupun kekuatan tulang yang tidak
sempurna.
27
• Laki-laki 28 thn, mengalami KLL
• Nyeri bahu kiri, gangguan mengangkat bahu dan lengan
bawah sebelah kiri
• PF: ditemukan krepitasi pada bahu kiri dan nyeri tekan (+)
• X-Ray: Fraktur Os. Clavicula

KOMPLIKASI…
DIAGNOSIS  FRAKTUR CLAVICULA
JAWABAN:
A. ARTERI SUBCLAVIA
• Diagnosis Fraktur Os. Clavicula ditegakkan
atas dasar:
– Pasien pasca KLL, mengeluhkan nyeri bahu
sebelah kiri dan terdapat keluhan gangguan
mengangkat bahu dan lengan bawah sebelah
kiri
– PF: ditemukan krepitasi pada bahu kiri dan
nyeri tekan (+)
– Pemeriksaan rontgen jelas terlihat Fraktur Os.
Clavicula
• Salah satu komplikasi yang dapat terjadi
adalah ruptur arteri subklavia.
• Ligamentum coracoclavicularis  terdiri
Ligamen Conoid dan Ligamen Trapezoid
– menghubungkan bagian distal Os. Clavicula denga
Prosecus Coracoideus.
– Meskipun secara anatomis dapat mengealmi cedera
akibat fraktur klavikulajawaban ini tidak dipilih
karena seifat ligament yang cukup elastis yang
mengurangi kemungkinan cedera dan cedera
ligamen tidak mengancam nyawa.
• Pilihan B, D, dan E  tidak sesuai dengan letak
anatomis.
FRAKTUR KLAVIKULA
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
28
• Laki-laki 25 thn, mengalami KLL
• Keadaan umum: somnolen dan mengerang kesakitan, TD
80/50 mmHg, nadi 120x/ menit, laju napas 30x/ menit,
dan suhu afebris
• Status lokalis: ditemukan fraktur terbuka pada kedua
femur dengan perdarahan aktif

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  SYOK HEMORAGIK + FRAKTUR TERBUKA
OS> FEMUR
JAWABAN:
RESUSITASI KRISTALOID 20CC/KG DLM 30 MENIT +
TRANSFUSI DARAH
• Pasien mengalami fraktur terbuka pada kedua
femur (volume perdarahan 3000-4000ml)
akibat kecelakaan lalu lintas akibat kecelakaan
lalu lintas.
• Dari pemeriksaan tanda vital ditemukan
tanda-tanda syok: somnolen, TD 80/50 mmHg,
nadi 120x/ menit, dan laju napas 30x/ menit.
• Tatalaksana yang tepat untuk resusitasi pasien
di atas adalah kristaloid 20cc/kg dalam 30
menit ditambah dengan transfusi darah
segera.
• Resusitasi kristaloid 20cc/kg dlm 30 menit  tatalaksana
awal dari pasien trauma dengan tanda-tanda syok.
• Resusitasi kristaloid 20cc/kg dlm 30 menit + Dopamin 
dapat diberikan pada kasus neurogenic shock.
• Resusitasi kristaloid 20cc/kg dlm 30 menit + Dobutamin
 pada kasus trauma dobutamin tidak ditemukan
manfaat.
• Resusitasi kristaloid 20cc/kg dlm 30 menit + Adrenalin 
adrenalin/ epinefrin digunakan pada pasien trauma
dengan henti jantung, namun infus cairan biasanya
diberikan secepat mungkin.
– Dapat pula diberikan pada syok yang refrakter, diberikan
secara per infus
Volume Perdarahan
Fraktur Femur
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Evaluasi Resusitasi Cairan
• Kembalinya nilai normal tekanan darah,
kekuatan nado, dan laju nadi.
• Perbaikan dari status neurologis (pasien
sadar), dan sirkulasi kulit.
• Urin output: 0,5 – 1,0 ml/ jam (dewasa).
• Evaluasi CVP
• Acid base balance.
29
• Anak laki-laki, 5 tahun, BAK berdarah
• Jatuh dari sepeda dengan stang sepeda
membentur batang penis
• PF: tampak butterfly hematom di bagian
penoskrotal
STRUKTUR YG RUPTUR…
DIAGNOSIS  RUPTUR URETRA ANTERIOR
JAWABAN:
B. FASCIA BUCK
• Pasien mengalami hematuria akibat cedera bagian
inguinal saat bermain sepeda. Keluhan tersebut
disertai adanya butterfly hematom pada bagian
perineum.
• Diagnosis yang tepat berdasarkan gejala dan tanda
tersebut adalah Ruptur Uretra Anterior.
• Ruptur uretra yang disertai butterfly hematom pasti
melibatkan ruptur fascia buck.
• Fascia buck merupakan fascia profunda yang melapisi
3 erectile bodies dari penis.
– ruptur pada fascia buck ekstravasi urin dan darah
memasuki kantung superfisial dari perineum hematom
dapat meluas dari batang penis, skrotum dan
perineumbutterfly hematom.
• Colles fascia  batas posterior dari mebran perineum
yang membatasi agar ekstravasi urin dan perdarahan
akibat ruptur uretra tidak masuk ke kanal anus
– Jika ruptur dapat ditemukan hematom pada sekitar anus.
• Tunica albuginea  lapisan fibrosa yang membungkus
korpus kavernosum
– tetapi tidak membungkus korpus spongiosum yg cedera
pada trauma uretra
– Lapisan ini juga terdapat di testis
• Musculus kremaster  merupakan terusan dari otot
dinding perut, yang berfungsi untuk menurunkan dan
menaikkan testis.
• Corda spermatica  truktur seperti tali pada laki-laki
yang dibentuk oleh vas deferens ( ductus deferens ) dan
jaringan sekitarnya yang membentang dari cincin
inguinal ke dalam ke masing-masing testis.
RUPTUR URETRA
Uretra Anterior: Uretra Posterior :
• Anatomy: • Anatomy
– Bulbous urethra – Prostatic urethra
– Pendulous urethra – Membranous urethra
– Fossa navicularis • Etiologi:
• Etiologi: – Fraktur tulang Pelvis
– Straddle type injuries • Gejala klinis:
– Intrumentasi – Darah pada muara OUE
– Fractur penis – Nyeri Pelvis/suprapubis
• Gejala Klinis: – Perineal/scrotal hematom
– Disuria, hematuria – RT Prostat letak tinggi atau
– Hematom skrotal melayang
– Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan pada • Radiologi:
fasia Buck’s sampai ke dalam fasia Colles‘‘butterfly’’ – Pelvic photo
hematoma in the perineum
– Urethrogram
– will be present if the injury has disrupted Buck’s fascia
and tracks deep to Colles’ fascia, creating a characteristic • Therapy:
‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum – Cystostomi
• Therapy: Cystostomi; Immediate Repair – Delayed Repair
30
• Laki-laki 20 thn, skrotum bagian kanan tampak
lebih kecil dibanding bagian kiri.
• PF palpasi: skrotum kanan teraba kosong,
sedangkan ukuran testis kiri dalam batas normal.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KRIPTORKISMUS
JAWABAN:
C. KRIPTORKISMUS
• Laki-laki 20 dengan keluhan skrotum bagian
kanan tampak lebih kecil dibanding bagian
kiri. Skrotum kanan teraba kosong, ukuran
testis kiri dalam batas normal.
• Diagnosis yang tepat berdasarkan temuan
klinis di atas adalah kriptorkismus.
• Varikokel  benjolan seperti cacing di area
skrotum, dapat disertai nyeri ringan, riw.
infertilitas
• Hidrokel  benjolan pada skrotum, tidak nyeri,
transluminasi (+)
• Spermatokel  jinak berisi cairan yang
terbentuk di dalam saluran epididimis
• Hernia skrotalis  merupakan lanjutan dari
hernia inguinalis lateral, dapat ditemukan bising
usus
Kriptorkismus
• Undesensus testis adalah suatu keadaan
dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua
testis tidak berada di dalam kantung skrotum,
tetapi masih berada di salah satu tempat
sepanjang jalur desensus normal.
• Kriptorkismus : cryptos (Yunani) 
tersembunyi Dan orchis (latin)  testis
31
• By perempuan 6 bulan, diare disertai darah sejak
3 hari
• Konsistensi feses red currant jelly
• PF: perut distensi dan teraba massa pada regio
hipokondrium dextra.
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  INTUSUSEPSI
JAWABAN:
A. INTUSUSEPSI
• Diagnosis Intususepsi, ditegakkan dari:
– Usia pasien 6 bulan
– Diare disertai darah sejak 3 hari (red currant
jelly stool)
– PF: perut distensi dan teraba massa pada regio
hipokondrium dextra
• Hirchscprung disease  keluarnya mekonium
terlambat, fese menyemprot, pemeriksaan
barium enema akan tampak zona transisi
• Volvulus  gejala utama mual, muntah, dan
perut distensi
• Stenosis pylorus hipertropik  muntah hijau, X-
Ray abdomen tampak single bubble appearance
• Atresia duodenum  muntah hijau, X-Ray
abdomen tampak gambaran double bubble
INVAGINASI
32
• Laki-laki 45 thn, keluhan adanya perasaan
mengganjal di anus sejak 1 minggu
• Benjolan tersebut terasa nyeri
• PF: ditemukan massa fluktuatif (+) di tepi anus
dan nyeri tekan (+)
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  ABSES PERIANAL
JAWABAN:
A. ABSES PERIANAL
• Pasien dengan keluhan adanya perasaan
mengganjal di anus sejak 1 minggu yang
lalu.
• Pemeriksaan fisik ditemukan massa
fluktuatif (+) di tepi anus dan nyeri tekan
(+).
• Berdasarkan gejala dan tanda yang ada
diagnosis yang paling mungkin adalah
abses perianal.
• Fissura anal  luka di dinding anus. Keluhan
utama nyeri saat BAB, dan dapat disertai darah
• Hemoroid Internum Grade 3  benjolan yang
keluar dari anus, dapat dimasukan dengan
bantuan jari
• Hemoroid Internum Grade 4  benjolan yang
keluar dari anus tidak dapat dimasukan kembali
• Hemoroid eksternum  benjolan yang keluar
dari anus dibawah linea dentata, terasa sangat
nyeri
ABSES PERIANAL
Abses perianal: infeksi jaringan lunak 5
yang mengelilingi anus. Sebagian besar %
bersumber dari fistula..
Etiologi & Patogenesis:
•Terdapat 4-10 kelenjar di linea dentatum
•Infeksi epitel kriptaglandular menyebabkan
obstruksi dari kelenjar
•Infeksi asending ke rongga interspinkterikum
dan rongga lainnya.
•Implikasi bakteri
•E.Coli., Enterococci, bacteroides

Penyebab lain:
•Crohn
•TB 6 5 Ischiore
•Carcinoma, Lymphoma and Leukaemia 0 % ctal 20%
%
•Trauma Intersphinc suprasphinc
teric teric
•Inflammatory pelvic conditions (appendicitis) Trans- extrasphin
sphincteric cteric
Gejala dan Tanda

Abses Gejala
Perianal •Nyeri di perianal, pus, dan demam
•Benjolan bersifat nyeri, fluktuan,
kemerahan.
Ischio- •Demam, nyeri di ischiorectal
rectal •Massa, nyeri tekan (+), indurasi (+)
Intersphinct •nyeri di rektum, demam, dan
eric terdapat pus
Supralevato
r
33
• Anak laki-laki 8 tahun, kondisi tangan tertusuk
• Paku tersebut tertusuk tangan melewati
intermetacarpal menembus dorsum

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  VULNUS PERFORATUM
JAWABAN:
C. VULNUS PERFORATUM
• Pasien dengan kondisi tangan tertusuk
paku.
• Paku tersebut tertusuk tangan melewati
intermetacarpal menembus dorsum 
vulnus perforatum.
• Vulnus perforatum  Luka jenis ini merupakan luka tembus
atau luka jebol. Penyebab oleh karena panah, tombak atau
proses infeksi yang meluas hingga melewati selaput
serosa/epithel organ jaringan.
• Vulnus Scissum  Luka sayat, Pinggir halus dan rata; Akibat
benda tajam.
• Vulnus Laceratum  Jenis luka ini disebabkan oleh karena
benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi luka
tidak rata dan perdarahan sedikit luka dan meningkatkan
resiko infeksi.
• Vulnus schlopetorum  Penyebabnya adalah tembakan,
granat. Pada pinggiran luka tampak kehitam-hitaman, bisa
tidak teratur kadang ditemukan corpus alienum.
• Vulnus Combutio  Penyebab oleh karena thermis, radiasi,
elektrik ataupun kimia Jaringan kulit rusak dengan berbagai
derajat mulai dari lepuh (bula – carbonisasi/hangus). Sensasi
nyeri dan atau anesthesia.
TIPE LUKA
Tipe Luka Keterangan
Vulnus laceratum Jenis luka ini disebabkan oleh karena benturan dengan benda
(Laserasi) tumpul, dengan ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.
Vulnus excoriasi Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh yang menyebabkan
(Luka lecet) lecet pada permukaan kulit merupakan luka terbuka tetapi yang
terkena hanya daerah kulit.
Vulnus punctum / Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk
ictum (Luka tusuk) ke dalam kulit, merupakan luka terbuka dari luar tampak kecil
tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai
abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum(luka tembus).
Vulnus contussum Penyebab : benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka
(luka kontusio) tertutup, akibat dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada
pembuluh darah menyebabkan nyeri dan berdarah (hematoma)
bila kecil maka akan diserap oleh jaringan di sekitarya jika organ
dalam terbentur dapat menyebabkan akibat yang serius
Vulnus insivum / Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau jarum
scissum (Luka merupakan luka terbuka akibat dari terapi untuk dilakukan tindakan
sayat) invasif, tepi luka tajam dan licin.

Vulnus Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka tampak


schlopetorum kehitam-hitaman, bisa tidak teratur kadang ditemukan corpus
alienum.
Vulnus morsum Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan infeksi
(luka gigitan) besar bentuk luka tergantung dari bentuk gigi.

Vulnus Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab oleh
perforatum karena panah, tombak atau proses infeksi yang meluas hingga
melewati selaput serosa/epithel organ jaringan.

Vulnus Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran


amputatum besar/berat, gergaji. Luka membentuk lingkaran sesuai dengan organ
yang dipotong. Perdarahan hebat, resiko infeksi tinggi, terdapat
gejala pathom limb.
Vulnus Penyebab oleh karena thermis, radiasi, elektrik
combustion ataupun kimia Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat mulai
(luka bakar) dari lepuh (bula – carbonisasi/hangus). Sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
• Luka sayat
• Pinggir halus
dan rata
• Akibat benda
tajam
• Luka laserasi
• Pinggirnya compang
– camping, tidak rata
• Akibat benda tumpul
VULNUS
PUNCTUM/ Ictum

• LUKA TUSUK
• PINGGIR RATA
• DALAM
• DISEBABKAN BENDA
TAJAM, RUNCING
• LUKA TEMBAK
• LUKA MASUK
• LUKA KELUAR ADA ATAU
TIDAK ADA
• SALURAN BERONGGA
DISEBABKAN ENERGI DARI
PELURU
• Luka gigitan
• Luka berbentuk gigi –
gigi atau luka robek
• Bahaya infeksi bisa ular;
rabies
• Disebabkan gigitan
binatang anjing;
ular berbisa
LUKA BAKAR

Penyebab api, air panas, dll


Morfologi luka terpenting,
DERAJAT 1
derajatnya :
 DERAJAT I : KULIT
HIPEREMIS, UDEM
 DERAJAT II : TIMBUL BULA
 DERAJAT III : JARINGAN NEKROSIS,
DERAJAT 2 ESCAR

DERAJAT 3
34
• Laki-laki berusia 30 tahun mengalami KLL
• Dada terbentur stang motor
• PF: pasien tidak sadarkan diri dan terlihat sesak.
TD 50/20mmHg, distensi vena jugular dan suara
jantung terdengar menjauh
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  TAMPONADE JANTUNG
JAWABAN:
D. TAMPONADE JANTUNG
• Diagnosis Tamponade Jantung, ditegakkan
atas dasar:
– Pasieng mengalami trauma dada akibat
terbentur stang motor
– PF: pasien tidak sadar dan tampak sesak.
Ditemukan hipotensi, distensi vena jugular, dan
suara jantung terdengar menjauh (Beck’s
Triad)
• Tension pneumothorax  sesak berat,
hipotemsi, distensi vena jugular, trakea
terdorong ke sisi yang sehat
• Gagal jantung kanan  sesak napas, dapat
ditemukan edema tungkai
• Gagal jantung kiri  edema paru
• Flail chest  napas paradoksal, adanya fraktur
segmental tulang iga
CARDIAC TAMPONADE

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
35
• Perempuan 22 thn, jari-jari tangan sering terasa nyeri,
dingin, dan kebiruan terutama saat dingin dan stress
• Saat tangan di hangatkan, jari menjadi merah hangat dan
gatal
• Hal tersebut sudah berlangsung beberapa tahun

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  SINDROM RAYNAUD
JAWABAN:
A. SINDROM RAYNAUD
• Perempuan, 22 tahun, dengan keluhan jari-
jari tangan sering terasa nyeri, dingin, dan
kebiruan terutama saat dingin dan stress,
tanpa adanya suatu penyakit yang
mendasari.
• Kemungkinan diagnosis yang sesuai pada
kasus ini adalah sindrom Raynaud atau
lebih tepatnya Raynaud’ disease.
• Acrocyanosis  akral/ ekstrimitas tampak kebiruan akibat
adanya vasokonstriksi arteri perifer, tidak disertai rasa nyeri.
Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut, misal:
kedinginan, hipoksia, penyakit arteri perifer, dsb.
• Trombophlebitis  peradangan pada pembuluh darah balik
(vena), yang memicu terbentuknya gumpalan darah pada
satu vena atau lebih. Umumnya tromboflebitis terjadi pada
vena di tungkai.
• Thermal injury  termiologi lain: “luka bakar”. Dapat
disebabkan berbagai etiologi: kimia, listrik, radiasi, api, dll.
• Buerger’s disease  terjadi peradangan pada arteri-arteri
distal, sehingga mengakibat terbentuknya gangrene dan ulkus
pada ujung-ujung jari kaki dan tangan, secara eksklusif terjadi
pada perokok. Raynaud phenomenon dapat terjadi pada
penderita Buerger’s Disease.
RAYNAUD’S DISEASE
• Raynaud’s disease (Primary): Intermittent arteriolar
vasoconstriction that results in coldness, pain, and
pallor of finger tips or toes.
• Raynauds’ phenomenon (Secondary): localized
intermittent episodes of vasoconstriction of small
arteries os the feets and hands that cause color and
temperature changes; Generally unilateral; Progressive.
• Karaktersitik tiga fase perubahan warna :
1. Memucat karena aliran darah terhambat.
2. Sianosis akibat akumulasi lokal hemoglobin terdesaturasi
3. Memerah akibat kembalinya aliran darah
1. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350
2. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. 7 th ed.
ILMU PENYAKIT
MATA
36
• Pasien, 36 tahun, keluhan nyeri hebat pada kedua mata, disertai
sakit, mata berair, dan mual muntah sejak 8 jam yang lalu.
• Pandangan kabur mendadak
• Pemeriksaan: VODS 1/300, kornea tampak edema, bilik mata
depan dangkal, injeksi siliar (+), injeksi konjungtiva (+).
• TIOD 41.5 mmHg, TIOS 40 mmHg.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS GLAUKOMA AKUT SUDUT TERTUTUP
JAWABAN:
A. ACETAZOLAMIDE ORAL
• Pasien, keluhan mata nyeri hebat, sejak 8 jam yang lalu,
mata berair, mual muntah, penglihatan turun mendadak
 mata tenang visus turun mendadak  gejala
mengarah pada glaukoma akut
• Pemeriksaan: VODS 1/300, kornea edema, bilik mata
depan dangkal, mix injeksi, TIOD 41.5 mmHg, TIOS 40
mmHg  glaukoma akut sudut tertutup
• Tatalaksana awal (yang ditanyakan di soal) 
mengurangi gejala dan menurunkan TIO  inhibitor
karbonik anhydrase  pilihannya acetazolamide oral.
• Pilihan B  dilakukan setelah episode akut
(yaitu dalam 24-48 jam).
• Pilihan C dan D  bukan pilihan tatalaksana
awal ada pasien glaukoma akut
Glaukoma Sudut
Tertutup
• Klasifikasi
– Akut  TIO meningkat cepat karena
blokade trabecular meshwork oleh iris
melalui mekanisme blokade papiler
• TIO meningkat hingga >21 mmHg
– Subakut/intermiten  peningkatan TIO
tiba2 karena penutupan sudut yang
berulang dan self-limiting
– Kronik  paling sering terjadi
• Dapat terjadi setelah fase akut dimana
penutupan sudut sinekial terus terjadi
ATAU
• karena penutupan sudut lama
berulang akibat kontak iris perifer
dengan trabecular meshwork 
sinekia anterior perifer dan kerusakan
fungsional sudut mata Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.
Kriteria Diagnosis
Akut Kronik
Minimal 2 gejala berikut: 3 Stages:
• Nyeri okular atau periokular 1. Suspek sudut tertutup primer:
• Mual atau muntah sudut berpotensi oklusi dengan
• Riwayat keluarga glaukoma TIO, diskus optik, dan lapang
pandang normal TANPA temuan
TIO >21 mmHg sinekia anterior perifer
Tanda minimal 3: 2. Sudut tertutup primer: sudut mata
• Injeksi konjungtiva teroklusi dengan tanda
• Edema epitel kornea peningkatan TIO dan/atau temuan
• Pupil mid-dilatasi dan tidak reaktif sinekia anterior perifer; DAN
• COA dangkal diskus optik & lapang pandang
normal
3. Glaukoma sudut tertutup primer:
adanya temuan kerusakan
glukomatosa pada diskus optik
dan lapang pandang
Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.
Glaukoma Sudut Tertutup
• Faktor Risiko
– Wanita 2-4x lebih berisiko
– Hiperopia  COA dangkal dan volume lebih kecil
– Usia lanjut  ukuran lensa menjadi lebih besar 
lebih membuat penuh COA dan semakin dangkal
– Riwayat keluarga glaukoma
– Penggunaan obat yang menginduksi penyempitan
sudut mata  pupil dilator antikolinergik
(ex:siklopentolat/atropin), obat sistemik
(sulfonamide, topiramate, fenotiazine)

Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.


Glaukoma Sudut Tertutup
• Tanda&Gejala
– Nyeri mata hebat
– Mata merah
– Mual-muntah
– Pandangan “halo” atau cincin berwarna sekitar
cahaya
– Pandangan buram
– Lapang pandang menurun progresif
– Nyeri kepala
– Pada kasus kronik  dapat asimtomatis
Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.
Glaukoma Sudut Tertutup
• Pemeriksaan
– Visus  dapat menurun
– Disertai kongesti vaskular
– Edema kornea
– Pupil dilatasi dan tidak respon terhadap cahaya
– TIO > 21 mmHg
– COA dangkal  shadow test
– Funduskopi:
• optic cup membesar  peningkatan C:D Ratio
• penipisan neuroretinal rim (tampak bayangan crescent pada tepi
diskus)
• pembuluh darah retina terjadi nasal shifting dengan penampakan
angulasi tajam pembuluh darah seperti “Z” (Bayonet sign)
– Gonioskopi  tes definitif
• sudut mata tertutup
• Dapat membedakan sudut tertutup yang reversibel (aposisional) dan
ireversibel (sinekial)
Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.
Funduskopi Glaukoma

Bayonet Sign “Z”

Nasal shift
Gonioskopi Glaukoma

The Scheie angle depth system based on visible structures. (a, Schwalbe’s line; b,
anterior and posterior trabecular meshwork; c, scleral spur; d, ciliary body face; e, iris
root
Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.
https://www.aao.org/munnerlyn-laser-surgery-center/angleclosure-glaucoma-19

Glaukoma Sudut Tertutup


• Manajemen Episode Akut  menurunkan gejala akut dan
menurunkan TIO
– Inhibitor karbonik anhidrase oral/topical
• menurunkan formasi aqueous oleh badan silier
• 1st line therapy  topikal dorzolamide&brinzolamide lebih dipilih
dibandingkan asetazolamide&methazolamide sistemik
– Beta bloker topikal
• menekan produksi aqueous oleh badan silier
• menurunkan 20-30% TIO dalam 1 jam
– Agonis alfa-2 adrenergik
• menekan produksi aqueous dan menurunkan resistensi outflow dari
aqueous
• menurunkan 20% TIO dalam 2 jam
– Bila belum berhasil atau TIO tinggi sekali >50 mmHg, berikan
agen hiperosmotik
• gliserin atau manitol
– Gonioskopi dinamik
• upaya intervensi membuka sudut mata
Drug of Choice

Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.


Glaukoma Sudut Tertutup
• Manajemen Lanjutan
– Pembedahan definitif dalam 24-48 jam setelah
episode akut
• Laser peripheral iridotomy (LPI)  membuat lubang di
iris sebagai jalur alternatif pembuangan aqueous
– Dilakukan pada semua mata dengan sudut tertutup primer,
biasanya pada mata lainnya juga
• Laser iridoplasty atau gonioplasty  pada LPI paten
dengan sudut aposisional residual  membuat iris
perifer kontraktur sehingga menarik iris dari trabecular
meshwork

Khondkaryan A, et al. American academy of ophtalmology: Glaucoma Angle-Closure. 2013.


37
• Pasien 70 tahun, mata merah disertai nyeri
• Riwayat katarak dengan visus 1/~ sudah 2 tahun,
menolak operasi
• Pemeriksaan: Shadow test (+), edema kornea,
injeksi siliar, COA dangkal, TIO meningkat.
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KATARAK IMATUR DENGAN ANGLE
CLOSURE GLAUCOMA
JAWABAN:
D. KATARAK IMATUR DENGAN ANGLE CLOSURE
GLAUCOMA
• Pasien usia 70 tahun, penurunan penglihatan, riwayat katarak
sudah 2 tahun tetapi menolak operasi, shadow test (+)
mengarahkan pada katarak senilis Imatur
• Saat ini, mata merah, nyeri, edema kornea, injeksi siliar, TIO
meningkat, COA dangkal  curiga glaukoma sekunder akibat
komplikasi katarak.
• Pada katarak imatur, terjadi maturasi lensa  lensa makin besar
 mendorong iris ke arah depan  menutup sudut bilik mata
depan dan COA dangkal  kondisi ini disebut glaukoma
fakomorfik.
• ACG (angle closure glaucoma)  merupakan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan peningkatan TIO terkait dengan
penutupan sudut bilik mata depan  pada soal ini etiologinya
akibat katarak imatur.
• Katarak hipermatur dengan glaukoma
fakolitikTidak tepat karena pada pasien
katarak yang dialami adalah katarak imatur,
bukan hipermatur
• Katarak imatur dengan PACG (primary angle
closure)  tidak tepat karena glaukoma yang
terjadi bukanlah glaukoma primer, melainkan
glaukoma sekunder.
– Pada PACGsudut bilik mata depan dangkal, tanpa
diketahui penyebabnya
GLAUKOMA SEKUNDER
• Glaucoma sekunder merupakan glaukoma yang diketahui
penyebab yang menimbulkannya. Hal tersebut disebabkan
oleh proses patologis intraokular yang menghambat aliran
cairan mata (cedera, radang, tumor, penyakit sistemik)
• Glaukoma sekunder bisa terjadi akibat lensa seperti :
 Luksasi lensa anterior, dimana terjadi gangguan pengaliran cairan mata ke
sudut bilik mata, COA dangkal
 Katarak imatur, dimana akibat mencembungnya lensa akan menyebabkan
penutupan sudut bilik mata, COA dangkal (glaukoma fakomorfik)
 Katarak hipermatur, dimana bahan lensa keluar dari lensa sehingga menutupi
jalan keluar cairan mata, COA normal/dalam (glaukoma fakolitik)
 Phacoanaphylactic glaucoma, COA dalam
 Lens particle glaucoma, COA dalam

Ilyas, Sidarta., 2004. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
1. Glaukoma Fakolitik
• Glaukoma yang terjadi akibat penutupan sudut bilik mata oleh bagian
lensa yang lisis ini disebut glaukoma fakolitik,
• Pasien mengeluh sakit kepala berat, mata sakit, tajam pengelihatan hanya
tinggal proyeksi sinar.
• Examination reveals a markedly elevated IOP, microcystic corneal
edema, prominent cell and flare reaction without keratic precipitates
(KP), and an open anterior chamber angle.
• The lack of KP (keratic Precipitate) helps distinguish phacolytic glaucoma
from phacoantigenic glaucoma.
• Management Patients with phacolytic glaucoma should be treated initially
with topical cycloplegia, topical steroids (to reduce inflammation), and
aqueous suppressants (to reduce intraocular presure).
• Cataract extraction is the definitive treatment for phacolytic glaucoma
Phacolytic Glaucoma Treatment
• Medication.
– Medical management is used to temporarily control the glaucoma and
inflammation.
– Initial treatment consists of hyperosmotic agents, aqueous suppressants, anti-
inflammatory drugs and cycloplegics.

• Surgery.
– Definitive treatment is removal of the lens via extracapsular cataract
extraction with or without an IOL.
– Some ophthalmologists defer placement of an IOL until after the inflammation
subsides; however, there is no significant difference in final visual acuity
between those patients who did receive an IOL and those who did not.
– If the phacolytic glaucoma is of long duration (more than seven days), a
combined trabeculectomy may be needed to prevent postoperative IOP
spikes.
– In eyes with hypermature Morgagnian cataracts, one must be especially
careful, as the capsule is fragile, the zonules are weak and the view is difficult
due to the white, milky cortex.
– Vision limited to light perception on presentation is not a contraindication to
performing cataract extraction.

AAO
2. GLAUCOMA PHACOMORPHIC
• Cataract maturation is associated with anteroposterior
lens diameter increase  Progressive enlargement of
the lens  peripheral iridotrabecular apposition.

• When the iridotrabecular apposition raises the


intraocular pressure (IOP) enough to cause the signs
and symptoms of an acute attack of secondary angle-
closure glaucoma  acute phacomorphic angle-
closure/phacomorhpic glaucoma
Kaplowitz KB, Kapoor KG (2012) An Evidence-Based Approach to Phacomorphic Glaucoma. J Clinic Experiment Ophthalmol S1:2011

Diagnosis Treatment
• IOP above 21 mmHg • The goal in treating phacomorphic
• secondary form of angleclosure, angle-closure is to reduce the IOP
before the onset of acute
findings include : injection, corneal glaucomatous optic neuropathy
edema, mid-dilated pupil, shallow
• The only definitive treatment is
anterior chamber, and a mature cataract extraction
cataract.
• However, to avoid operating on an
• 71% complained of eye pain inflamed eye with high pressure
• 16% described it as a headache (increasing the risk of suprachoroidal
• Nausea was reported by 8%. hemorrhage from rapid IOP
fluctuations), with a limited view
• Biometry as diagnostic criteria, from corneal edema and an
requiring a lens thickness of at least extremely shallow chamber  the
5 mm and an anterior chamber initial goal is to stabilize the eye by
depth less than 2 mm. breaking the acute attack and
• A vital part of the exam is lowering the IOP using either
medical or laser treatment.
gonioscopy to confirm a closed
angle.
Medical treatment
• Several studies relied on a standard treatment algorithm; timolol,
acetazolamide and intravenous mannitol were among the most common
medications used
• Pilocarpine should be avoided because it causes a forward shift of the iris-
lens diaphragm which would worsen the angle-closure, and can increase
the amount of inflammation
• Topical treatment alone may be insufficient to break the attack
• The presence of at least 180 degrees of peripheral anterior synechiae
(PAS) at presentation an indication that topical treatment will be
insufficient to break the attack
• If topical treatment fails to bring the IOP into a tolerable range until
cataract extraction can be performed, there are 3 options :
– The first is oral or intravenous medicine such as acetazolamide or mannitol.
– Argon laser peripheral iridoplasty (ALPI)
– peripheral iridotomy

Kaplowitz KB, Kapoor KG (2012) An Evidence-Based Approach to Phacomorphic Glaucoma. J Clinic Experiment Ophthalmol S1:2011
3. LENS PARTICLE GLAUCOMA
• Pathophysiology Lens particle glaucoma, in contrast to phacolytic
glaucoma, is secondary to a "disruption of the lens capsule”
• may occur after cataract surgery, penetrating lens injury, or laser
posterior capsulotomy.
• The disrupted lens releases lens particle material in the anterior
chamber leading to the obstruction of the aqueous outflow
• Diagnosis
– The presentation is usually delayed for a few weeks after the
precipitating event, but it may occur months or years later.
– A history of surgery or trauma is an important
– Clinical findings include elevated intraocular pressure and evidence of
cortical lens material in the anterior chamber.
– Other possible signs are corneal edema, synechiae, and cell/flare
reaction in the anterior chamber.
4. PHACOANAPHYLACTIC
GLAUCOMA/PHACOANTIGENIC GLAUCOMA
• Pathophysiology Phacoantigenic • Pain is often slow in onset and is
glaucoma is a granulomatous associated with signs of
inflammatory reaction directed granulomatous uveitis (eg, keratic
against own lens antigens leading to precipitates) in contrast to the acute,
obstruction of the trabecular severe pain that is typical of PG,
meshwork and increased intraocular which shows no signs of chronic
pressure inflammation.
• Phacoanaphylaxis is not the correct • Clinical findings include "keratic
name of this condition since it is not precipitates", anterior chamber
an allergy. cell/flare reaction, synechiae and
• The mechanism causing the reaction residual lens material.
seems to be an Arthus-type immune • Management Initial therapy is to
complex reaction mediated by IgG control the intraocular pressure with
and the complement system IOP-lowering medications and to
• Diagnosis Phacoantigenic glaucoma reduce the inflammation with topical
usually occurs between one and steroids.
fourteen days after cataract surgery • If medical treatment is unsuccessful,
or trauma. surgical removal of residual lens
material is indicated
38
• Pasien laki-laki, keluhan mata terasa gatal dan
perih sejak beberapa hari yang lalu.
• Pemeriksaan oftalmologi  rambut mata bagian
lateral mengarah ke dalam, visus normal

TERAPI…
DIAGNOSIS  TRICHIASIS
JAWABAN:
C. EKSTRAKSI BULU MATA
• Pasien keluhan mata gatal dan perih, ada
rambut mata yang mengarah ke dalam 
mengarahkan diagnosis pada trichiasis
• Tatalaksana  teknik epilasi yaitu
mencabut/ekstraksi bulu mata.
Trichiasis
• Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
• Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
• Gejala :
– Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
– Erosis kornea, keratopati dan ulkus
– Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
– blefarospasme
Trichiasis
• Tatalaksana: • Tatalaksana bedah untuk
– Yang utama: bedah
– Lubrikan seperti artificial tears dan
trikiasis yg disebabkan
salep untuk mengurasi iritasi akibat krn kelainan anatomi:
gesekan – Entropion: dilakukan
– Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth tarsotomi
SSJ, ocular cicatrical pemphigoid)
• Tatalaksana Bedah trikiasis – Posterior lamellar scarring:
segmental (fokal) Grafting
– Epilasi: dengan forsep dilakukan
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya
dicoba untuk dilakukan epilasi terlebih
dahulu. Trikiasis bisa timbul kembali.
– Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
– Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi dan dilakukan bila banyak
bulu mata yang masuk ke dalam
– Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka
minimal
Penanganan Epilasi pada Trichiasis

Choo P. Distichiasis, Trichiasis, and Entropion: Advances in Management. Intl Ophthalmol Clin 2002;42(2):75-87.
39
• Pasien anak berusia 2 tahun, mata kanannya terlihat warna
putih pada jurusan pandangan tertentu, lahir cukup bulan.
• Tidak ada riwayat trauma dan riwayat sakit saat hamil
maupun kelainan saat persalinan
• Pemeriksaan: leukokoria dan ditemukan cat’s eye reflex.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  RETINOBLASTOMA
JAWABAN:
B. RETINOBLASTOMA
• Pasien anak usia 2 tahun, leukocoria, cat’s
eye reflex  katarak kongenital dan
retinoblastoma
• Katarak kongenital  dapat disingkirkan
karena tidak ditemukan riwayat trauma
atau sakit saat hamil sehingga dipilih
retinoblastoma.
• Pilihan A  tidak dipilih karena tidak ada
riwayat sakit saat hamil
• Pilihan C  lengkapnya adalah Macular
Cornea Dystrophy
– kelainan genetik dimana kornea mengalami
distrofi, gejala muncul umumnya di usia 5-9 tahun
– Gejalamata terasa nyeri, silau, gangguan
penglihatan
– tanda: erosi kornea  tidak sesuai dengan kondisi
pasien di soal.
Retinoblastoma
Retinoblastoma (Rb)
• Tumor ganas intraokular masa Clinical features
kanak yg paling sering • Leukocoria (60%): The pupil of the
• Puncak insidens antara usia 1-2 eye appears white instead of red
tahun when light shines into it (known as
• Berasal dari retinoblas yang "cat's eye reflex" or "white eye").
kehilangan fungsi gen supresor • strabismus (20%)
tumor Rb. • White, round retinal mass with
• Lebih dari 90% kasus merupakan endophytic (towards vitreous),
sporadik. exophytic (toward RPE/choroid),
• Gambaran histologis: pola mixed, or diffuse infiltrating growth
abnormal retinoblasts : Flexner– pattern.
Wintersteiner rosettes, Homer- • Pain or redness in the eye.
Wright rosettes, dan fleurettes. • An enlarged or dilated pupil
• Blurred vision or poor vision
• Different colored irises
Treatment
• Tujuan utamanya adalah untuk • Kemoterapi (carboplatin,
menyelamatkan nyawa anak, etopside, and vincristine)
kemudian untuk menyelamatkan – Consider for bilateral disease, large
penglihatan, dan kemudian untuk tumors (chemoreduction combined
meminimalisasi komplikasi/ efek with local treatment), extraocular
samping pengobatan. involvement, metastasis, or
recurrence.
• Photocoagulation or • Enucleation
transpupillary thermotherapy:
– Untuk stadium lanjut
– for small posterior tumors without
optic nerve involvement or
vitreous seeding.
• Cryotherapy
– for small tumors
• Radiotherapy (radioactive
plaques, laser therapy, external
beam radiotherapy)
Retinoblastoma (Rb)
KOMPLIKASI PROGNOSIS
• Glaukoma, buftalmos, edem • Most untreated tumors proceed
kornea, metastasis, ptisis bulbi to local invasion and metastasis
PEMERIKSAAN to cause death within 2 years
• Ultrasound: intralesional • Most small to medium-sized
calcification with high internal tumors without vitreous seeding
reflectivity and acoustic shadow. can be successfully treated.
• CT/MRI: CT is better for imaging Overall, there is a 95% survival
the retinoblastoma itself rate (in the developed world).
(calcification high density), but • Poor prognostic factors include
MRI is preferred for assessing any size of tumor, optic nerve
intracranial involvement involvement, extraocular spread,
(extension or associated tumors). and older age of child.
Katarak Perubahan pada kebeningan struktur lensa mata yang muncul pada saat kelahiran
kongenital bayi atau segera setelah bayi lahir, dapat terjadi di kedua mata bayi (bilateral)
maupun sebelah mata bayi (unilateral). Keruh/buram di lensa terlihat sebagai bintik
putih jika dibandingkan dengan pupil hitam yang normal dan dapat dilihat dengan
mata telanjang. Etiologi: keturunan (genetik), infeksi, masalah metabolism, diabetes,
trauma (benturan), inflamasi atau reaksi obat, anti biotik tetracycline, ibu bayi
menderita infeksi seperti campak atau rubella (penyebab paling lazim), rubeola,
chicken pox, cytomegalovirus, herpes simplex, herpes zoster, poliomyelitis,
influensza, virus Epstein-Barr, sifilis, dan toxoplasmosis.

Macula kornea an autosomal recessive condition, which is the least common but the most severe of
distrofi the 3 major stromal corneal dystrophies. It is characterized by multiple, gray-white
opacities that are present in the corneal stroma and that extend out into the
peripheral cornea. Visible in the cornea during the first decade of life. Over time,
vision decreases, and patients develop photosensitivity, eye pain from recurrent
corneal erosions.
Korpus alienum Benda asing pada mata. Riwayat trauma.
Strabismus/ a condition in which the eyes are not properly aligned with each other
squint
40
• bayi laki-laki 7 hari, kedua kelopak mata bengkak sejak 2
hari lalu, ada cairan kekuningan kental
• Kelopak mata edema dan blefarospasme.
• Eversi kelopak mata  secret purulen warna kuning
menyemprot, injeksi konjungtiva, segmen anterior dalam
batas normal.
TERAPI…
DIAGNOSIS  KONJUNGTIVITIS GONORE
JAWABAN:
D. SALEP OKSITETRASIKLIN
• Pasien mata bengkak, cairan kekuningan dan
edema pada kelopak mata, blefarospasme 
mengarahkan diagnosis ke arah konjungtivitis
– Onset dalam 5 hari pertama serta ada edema
palpebra  Kemungkinan disebabkan oleh
N.Gonorrhea
– Tatalaksana konjungtivitis GO pada neonatus 
ceftriaxone IV atau antibiotic topikal.
– Antibiotik topikal pada pilihan diatas yang tepat
adalah salep oxytetrasiklin.
• Pilihan C  efek samping yang sering terjadi
pada neonatus seperti rasa terbakar, perih dan
edema pada kelopak mata  tidak
direkomendasikan
KONJUNGTIVITIS GO
• Neisseria gonorrhoeae Gram-negative intracellular
diplococci on Gram stain
• Masa inkubasi: 1-7 hari
• manifests in the first five days of life
• Marked bilateral purulent discharge
• local inflammation  palpebral edema
• Complication  diffuse epithelial edema and ulceration,
perforation of the cornea and endophthalmitis  kebutaan
• Culture  Thayer-Martin agar
• Treatment:
– Topical erythromycin/tetrasiklin ointment and IV or IM third-
generation cephalosporin.
– Alternative eye ointment: Topical kloramfenikol 0,5-1%
Conjunctivits GO Treatment
• Infants with ophthalmic disease
– Infants with gonococcal ophthalmic disease should be
hospitalized and observed for response to therapy and for
disseminated disease.
– Treatment consists of:
• a single dose of ceftriaxone (25 to 50 mg/kg, not to exceed 125 mg,
intravenously [IV] or intramuscularly [IM])
• Where available, a single dose of cefotaxime (100 mg/kg, IV or IM) is
an alternative option and is preferred for neonates with
hyperbilirubinemia and those receiving calcium-containing IV
solutions (eg, parenteral nutrition)
• If cefotaxime is unavailable, ceftazidime is another alternative
• Topical antibiotic therapy alone is inadequate and is not necessary
when systemic treatment is provided.
• The eyes should be irrigated frequently with saline until the discharge
clears.
• Diagnosis : • Penatalaksanaan :
– Diagnosis ditegakkan – Lubrikasi :
berdasarkan riwayat dan • Salep antibiotik
pemeriksaan fisik (eritromisin) ; gel artificial
• Palpebra : entropion, tears
ektropion, Bell`s palsy, – Steroid
traksi congenital • Weak topical steroid
coloboma, trauma
palpebra – Amniotic membrane
• Proptosis : – Tarssoraphy
• Herpetic keratopathy atau
kelainan nervus V
Konjungtivitis Neonatorum

Chern KC, Saidel MA. Opthalmology Review Manual. 2nd edition. Philadelphia; Lippincot; 2012
NEUROLOGI
41
• Laki-laki 48 thn, kelemahan keempat ekstremitas 1 bulan
• Diawali tungkai, kemudian lengan
• Tangan, kaki, dan lidah pasien terkadang kaku
• PF neurologis: tetraparese, refleks patologis babinksi (+),
parese N. XII tipe LMN

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  ALS
JAWABAN:
A. AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS
• Diagnosis Amyotrophic Lateral Sclerosis
ditegakkan atas dasar:
– Kelemahan keempat ekstremitas 1 bulan, iawali
tungkai, kemudian lengan (ascending)
– Tangan, kaki, dan lidah pasien terkadang kaku
(Hipertonis)
– PF neurologis: tetraparese, refleks patologis
babinksi (+), parese N. XII tipe LMN
• Pada kondisi pasien di atas terdapat
kelumpuhan UMN (ditandai dengan adanya
refleks babinski yang positif) dan LMN (tangan
dan kaki kaku; paresis N. XII tipe LMN).
• Progressive muscular atrophy  penyakit yang
mengenai motor neuron, sangat langka, menyebabkan
gejala kelumpuhan tipe LMN.
• Multiple sclerosis  penyakit autoimun yang menyerang
sistem saraf pusat, terutama otak, saraf tulang belakang,
dan saraf mata. Tipe kelumpuhan UMN.
• Primary Lateral sclerosis  suatu penyakit degeneratif
yang menyerang sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan kelumpuhan tipe UMN dengan
karakteristik kaku/ spasm yang progresif pada otot
rangka.
• Syringomyeliatumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di
dalam sumsum tulang belakang. Gejala yang ditimbulkan
antara lain kelemahaan otot, atrofi otot, hilangnya reflex,
dan sensitivitas sesuai dengan letak lesi.
AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS
• Degeneration and death of motor nerves
– Upper Motor Neuron  within brain/spinal cord
– Lower Motor Neurons leaves brain (stem)/spinal cord
• Relatively spared
– Eye movements and bowel/bladder function
• Clinical Presentation
– Lower motor neuron signs: weakness, muscle wasting, hyporeflexia,
muscle cramps, fasciculations
– Upper motor neuron signs: spasticity, hyperreflexia, weakness
– Asymmetric Weakness – most common
– Onset single limb or bulbar
– Local spread then regional spread
– Bulbar, cervical, thoracic, lumbosacral
– Fasciculations
42
• Laki-laki, 37 tahun, kejang
• Kejang 30 menit SMRS dengan durasi < 5 menit
• Setelah kejang pasien sempat merasa lemas dan bingung
• Rutin konsumsi obat asam valproat
• Dokter berencana mengganti obat yang memiliki
mekanisme terhadap kanal sodium
OBAT YG TDK MEMILIKI MEKANISME KANAL SODIUM…
DIAGNOSIS  EPILEPSI
JAWABAN:
B. PHENOBARBITAL
• Pasien dengan riwayat epilepsi dibawa ke
RS dengan keluhan kejang durasi <5 menit
30 menit SMRS.
• Dokter berencana mengganti obat
antiepilepsi dengan obat yang memiliki
mekanisme terhadap kanal sodium.
• Obat yang tidak sesuai dengan deskripsi
kerja tersebut adalah phenobarbital yang
bekerja pada reseptor GABA.
• Phenytoin
• Lamotrigin
• Topiramate
• Carbamazepine

PILIHAN JAWABAN YANG LAIN, BEKERJA


DENGAN MEMPENGARUHI KANAL SODIUM
43
• Laki laki 30 thn, trauma kepala akibat KLL 1 jam
• Sempat pingsan dan saat ini cenderung mengantuk
• Urine Output 5 liter/ 24 jam
• Tidak diberikan terapi diuretik, osmolalitas urin rendah
• CT-Scan: edema cerebri

PATOFISIOLOGI…
DIAGNOSIS  CDI
JAWABAN:
A. SUPRESI VASOPRESSIN AKIBAT KERUSAKAN
HIPOFISIS-HIPOTHALAMUS
• Diagnosis Central Diabetes Insipidus (CDI),
ditegakkan atas dasar:
– Riw. Trauma kepala akibat KLL dilihat dari pasien
sempat pingsan dan saat ini cenderung mengantuk
(Somnolen). CT-Scan: edema cerebri
– Urine Output 5 liter/ 24 jam (Poliuria)
– osmolalitas urin rendah
• Patomekanisme yang menyebabkan CDI
adalah A. Supresi vasopressin akibat
kerusakan hipofisis-hipothalamus
• Kegagalan ginjal mengompensasi vasopressin
dalam diuretika  tidak tepat
• Peningkatan tekanan intrakranial 
menyebabkan Cushing Triad
• Supresi vasopressin akibat edema cerebri 
SIADH
• Adanya resistensi kerja ADH di ginjal 
diabetes insipidus nefrogenik
DIABETES INSIPIDUS
 The most common cause of hypernatremia in
neurological population
 Deficient ADH
 Central DI – occurs with hypothalamic-pituitary axis
dysfunction or injury
 Nephrogenic DI – diminished renal sensitivity to ADH
 Usually considered a euvolemic to hypovolemic
state, depending on the patient’s thirst
mechanism
Diabetes Insipidus
Diabetes Insipidus
 Typical Clinical picture:
 Polyuria
 Polydipsia Laboratory Findings
 Nocturia Na >145 mEq/L
Posm > 285 mOsm/kg
Uosm < 300 mOsm/kg
UNa low
Urine Spec. Grav. < 1.005
UOP > 3ml/kg/h
Review
SIADH CSW DI
Serum Na+ < 135 mEq/L < 135 mEq/L > 145 mEq/L
Urine Na+ > 25 mEq/L > 40 mEq/L < 25 mEq/L
Serum Osm < 270 mOsm/kg < 270 mOsm/kg > 285 mOsm/kg
Urine Osm > 300 mOsm/kg > 300 mOsm/kg < 300 mOsm/kg
Urine O/P oliguria polyuria polyuria
CVP normal/high low normal/low
Plasma ADH high normal low
Rx Fluid restrict, give Give volume, give Drink to thirst,
Na+, vaprisol, Na+, DDAVP (central),
demeclocycline fludrocortisone HCTZ (nephrogenic)
44
• Laki-laki 40 tahun, nyeri dada dan sesak nafas SMRS
• Di perjalanan tiba-tiba tidak sadar
• Dilakukan RJP di IGD, setelah itu pasien tampak bingung
dan gelisah
• Status neuologis: tidak ada laterarisasi
• EKG didapatkan infark luas
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  HYPOXIC ENCEPHALOPATHY
JAWABAN:
A. HYPOXIC ENCEPHALOPATHY
• Pada soal tidak jelas, gejala dan tanda yang
mengarahkan adanya ensefalopati pada pasien, hanya
disebutkan pasien tampak bingung dan gelisah pasca
RJP. Hasil pemeriksaan neurologis-pun hanya tidak
ditemukan laterarisasi.
• Dengan adanya bingung dan gelisah tersebut diagnosis
ensefalopati ditegakkan.
• Sementara Hypoxic Encephalopathy, disimpulkan dari
penyebab ensefalopati pasien tersebut akibat henti
jantung.
• Masalah jantung merupakan etiologi tersering dari
hypoxic encephalopathy, dan pada pasien memang
dilakukan RJP serta hasil EKG ditemukan adanya infark
luas.
• Hypertensive Encephalopathy  tidak ditemukan
adanya hipertensi pada pasien.
• Hepatopaty Encephalopathy  tidak dijelaskan
mengenai fungsi hati pasien.
• West syndrome  sindrom epilepsi berat yang
menyerang anak-anak dengan triad: infantile
spasms, an interictal EEG pattern termed
hypsarrhythmia, and mental retardation.
• Lock in syndrome  Locked-in Syndrome (LIS)
hidup seperti terjebak dalam kematian. Meski bisa
bernafas dan sadar, penderita LIS tetap tidak bisa
berkomunikasi dengan dunia luar.
HYPOXIC – ISCHEMIC
ENCEPHALOPATHY
• Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) is a syndrome
of acute global brain injury resulting from critical
reduction or loss of blood flow and/or supply of oxygen
and nutrients.
• Some of the terms used to describe this clinical
syndrome include:
– Anoxic encephalopathy
– Post-cardiac arrest syndrome*
• Term is used to indicate that the phase of resuscitation
has ended with resumption of spontaneous circulation
and the complex changes that occur secondary to it.
45
• Laki- laki 45 thn, tidak dapat menggerakkan
lengan dan tungkai bawah sisi kanan sejak
beberapa jam SMRS
• PF: kekuatan otot lengan dan tungkai sisi kanan
tidak dapat bergerak, tetapi terdapat tonus otot.
KEKUATAN MOTORIK…
DIAGNOSIS  HEMIPARESIS
JAWABAN:
B. 1
• Laki- laki 45 thn, tidak dapat menggerakkan
lengan dan tungkai bawah sisi kanan sejak
beberapa jam SMRS  hemiparesis dextra
• PF: kekuatan otot lengan dan tungkai sisi
kanan tidak dapat bergerak, tetapi terdapat
tonus otot  kekuatan motorik = 1.
• 0  tidak ada tonus sama sekali
• 2  pasien dapat menggerakan ekstrimitas
secara horizontal, namun tidak dapat melawan
gravitasi.
• 3  ekstrimitas dapat diangkat (melawan
gravitasi), namun jatuh kembali bila diberikan
tekanan ringan.
• 4  pasien dapat melawan tekanan ringan –
sedang, namun jatuh saat diberikan tekanan
kuat.
KEKUATAN MOTORIK
• Derajat kekuatan motorik :
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan
aktifitas
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan
gravitas bumi
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat
melawan gravitasi bumi.
1 : Hanya ada kontraksi
0 : tidak ada kontraksi sama sekali
ILMU PSIKIATRI
46
• Seorang laki-laki, 40 tahun, keluhan kaku berjalan.
• Riwayat pengobatan psikiatri sejak ±10 tahun.
• Diagnosis skizofrenia katatonik
• PF: rigiditas, tremor, bradikinesia, dan banyak air liur
yang menetes

TERAPIN…
DIAGNOSIS  GANGGUAN EKSTRAPIRAMIDAL
JAWABAN:
E. TRIHEXYPENIDIL
• Keluhan kaku, rigiditas, tremor,
bradikinesia dan banyak air liur yang
menetes pada pasien dengan riwayat
pengobatan psikiatri skizofrenia katatonik
menunjukkan kemungkinan pasien
mengalami gejala ekstrapiramidal akibat
konsumsi obat antipsikotik.
• Terapi yang tepat pada kondisi tersebut
adalah pemberian obat antimuskarinik
seperti trihexypenidil.
• Haloperidol  Anti Psikotik
• Adrenaline  Obat vasokonstriktor untuk syok
• Sertralin  Anti Depressan
• Risperidone  Anti Psikotik
ES ANTIPSIKOTIK: GEJALA
EKSTRAPIRAMIDAL
Gejala Ekstrapiramidal
Karakteristik
Akathisia Gelisah dan merasa perlu bergerak terus. Menggerakkan kaki mengetuk lantai (foot
tapping atau toe tapping). Gejala ini berkurang saat tidur atau pada posisi berbaring.
Pasien merasa tertekan bila tidak dapat bergerak.

Dystonia Kelainan neurologis dimana terdapat kontraksi otot yang terus-menurus sehingga
mengakibatkan gerakan repetitif dan twisting atau postur yang abnormal. Dapat
melibatkan punggung, leher, ekstremitas atas dan bawah, rahang, dan laring. Bisa
terjadi kesulitan menelan, bernapas, bicara, dan menggerakkan leher.
Oculogyric crisisDeviasi keatas bola mata yang ekstrim disertai dengan konvergen,
menyebabkan diplopia. Berkaitan dengan fleksi posterolateral dari leher dan dengan
mulut terbuka atau rahang terkunci.

Parkinsonism Tremor, rigiditas, dan kelambatan bergerak, yang melibatkan batang tubuh dan
ekstremitas. Kesulitan berdiri dari posisi duduk, postur tidak seimbang, muka
topeng.
Tardive dyskinesia Gerakan koreatetoid abnormal yang melibatkan regio orofasial dan lidah. Lebih
jarang mengenai ekstremitas dan batang tubuh. Ada gerakan mulut mencucu,
gerakan mengunyah, dan lidah menjulur. Gejala tidak menimbulkan nyeri, namun
menyebabkan penderitanya malu di depan umum.

http://www.uspharmacist.com/content/c/10205/?t=women%27s_health,neurology
Antipsikotik tipikal memiliki risiko gejala ekstrapiramidal (EPS) lebih tinggi dibanding
antipsikotik atipikal. Di antara antipsikotik tipikal, yang risiko EPS paling tinggi adalah
HALOPERIDOL.
Prinsip Terapi
Gejala Ekstrapiramidal
AKATHISIA DYSTONIA AKUT
• Obat yang menyebabkannya dikurangi • Hentikan obat yang menyebabkan distonia
dosisnya atau ganti obat menjadi dan ganti obat menjadi golongan antipsikotik
antipsikotik atipikal atipikal
• Diberikan antimuskarinik (THP, Benztriopin), • Berikan obat-obatan antimuskarinik
benzodiazepin, atau beta bloker (benztriopin/THP), atau difenhidramin

PARKINSONISME TARDIVE DYSKINESIA


• Turunkan dosis obat • Hentikan obat yang menyebabkan distonia dan ganti obat
menjadi golongan antipsikotik atipikal
yang menyebabkan
• Bila sedang mendapat antimuskarinik (THP dan benztriopin),
gejala atau ganti obat sebaiknya dihentikan juga.
menjadi golongan • Obat yang bisa digunakan: botulinum toxin injections untuk
antipsikotik atipikal TD fokal, benzodiazepines, vesicular monoamine transporter
• Bisa diberikan golongan 2 (VMAT2) inhibitors  dopamin-depleting-agent
antimuskarinik (THP, (valbenazine or tetrabenazine)
• Penggunaan antikolinergik seperti THP tidak efektif pada TD,
benztriopin),
bahkan bisa memperburuk gejala; kecuali jika jenis TD yang
Amantadine dialami adalah tardive distonia
47
• Laki-laki usia 10 tahun, selalu mengatakan kalau dia
bukanlah seorang anak kecil.
• Pasien mengatakan kalau sebenarnya dia sudah berusia 18
tahun dan beridentitas sebagai detektif SMA bernama
Shinichi Kudo.
• Pasien menolak bahwa dia itu masih kecil meski
penampilan dia di cermin mengatakan sebaliknya

DIAGNOSISNYA…
DIAGNOSIS  DEPERSONALISASI
JAWABAN:
B. DEPERSONALISASI
• Pada pasien didapatkan seorang berusia 10
tahun yang merasa dia adalah orang lain
yang berusia 18 tahun.
• Pada kasus ini pasien merasa bukan dirinya
sendiri sehingga disebut sebagai
depersonalisasi
• Derealisasi  merasa lingkungan sekitarnya
tidak nyata/asing
• Amnesia disosiatif  lupa akan identitas dirinya
sendiri, biasa setelah stressor berat
• Fugue disosiatif  tidak dipilih karena pada
kasus ini adalah seseorang yang memiliki
identitas baru namun lupa identitas lamanya
sama sekali
• Trans disosiatif  perubahan identitas orang
secara transien atau istilahnya kesurupan
Dissociative (Conversion) Disorder
• Gangguan disosiatif disebut juga dengan konversi karena
dahulu dianggap terjadi hilangnya asosiasi antara berbagai
proses mental seperti:
– Identitas diri
– Memori
– Fungsi sensorik dan motoric
• Disosiasi adalah cara pikiran untuk menanggulangi stress
berlebih  salah satu bentuk denial.
• Didahului oleh stressor/trauma.
• DSM-V:
1. Gangguan depersonalisasi/derealisasi
2. Amnesia disosiatif
3. Fugue disosiatif
4. Gangguan identitas disosiatif
5. Gangguan disosiatif lainnya
Gangguan Disosiasi (DSM-V)
Gangguan Depersonalisasi: Kehilangan/perubahan temporer dalam
depersonalisasi/de perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri.
realisasi Derealisasi: Perasaan tidak nyata mengenai dunia luar.

Amnesia disosiatif Tidak bisa mengingat detail personal yang penting dan
pengalaman yang berhubungan dengan kejadian traumatis
atau sangat menekan & tidak disebabkan oleh penyebab
organik.
Fugue disosiatif “Fugure”  melarikan diri (bahasa Yunani). Individu
kehilangan seluruh ingatannya dan secara mendadak
meninggalkan rumah serta memiliki identitas baru.

Gangguan Memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau


identitas disosiatif kepribadian pengganti (alter)  masing-masing memiliki
persepsi dan interaksi berbeda terhadap lingkungannya
Gangguan Disosiasi (DSM-V)
Gangguan 1. Gangguan Trans: Adanya kehilangan sementara aspek
disosiatif penghayatan akan identitas diri dan kesadaran akan
lainnya lingkungannya. Dalam beberapa kejadian, individu berperilaku
seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib,
malaikat, atau “kekuatan lain”.
2. Gangguan Motorik Disosiatif: Ketidakmampuan menggerakkan
seluruh atau sebagian anggota gerak.
3. Konvulsi Disosiatif: Pseudo seizures, dapat sangat mirip dengan
kejang dalam hal gerakannya akan tetapi sangat jarang disertai
dengan lidah tergigit, mengompol, atau kehilangan kesadaran.
4. Kehilangan Sensorik Disosiatif: Gejala anestesi pada kulit
seringkali mempunyai batas-batas tegas yang menggambarkan
pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan bukan kondisi
klinis sebenarnya.
5. Gangguan Disosiatif Campuran: Campuran dari gangguan-
gangguan disosiatif
6. Stupor Disosiatif
48
• Seorang pria, 37 tahun
• keluhan sering tertidur mendadak akibat serangan kantuk yang
tidak tertahankan, seperti disuntik oleh obat bius.
• Saat serangan pasien tampak kehilangan kekuatan otot dan
langsung jatuh rebah.
• Serangan ini bisa muncul 4x dalam seminggu, meski pasien
mengatakan tidur malam sudah cukup hingga 8 jam.

DIAGNOSISNYA…
DIAGNOSIS  NARKOLEPSI
JAWABAN:
D. NARKOLEPSI
• Pada pasien didapatkan serangan kantuk
yang tidak tertahankan meski sudah tidur
cukup.
• Selain itu juga terdapat gejala kehilangan
tonus otot yang kemungkinan merupakan
katapleksi.
• Kondisi serangan seperti ini dinamakan
narkolepsi
• Gangguan Jadwal Tidur Jaga  pada pasien tidak
terdapat gejala siklus tidur yang berbeda dengan
lingkungan sekitar karena pasien juga tidur malam
hari
• Hipersomnia non organic  meskipun memiliki
gejala mengantuk meski tidur cukup, rasa kantuk
seharusnya bisa ditahan.
– Selain itu tidak ada gangguan katapleksi pada
hypersomnia.
– Hipersomnia juga istilah yang umum dan mencakup
narkolepsi
• Delirium  kesadaran yang bersifat fluktuatif,
dalam kasus ini lebih kearah gangguan tidur
• Trans disosiatif  tidak ada perubahan identitas
sementara pada pasien ini
GANGGUAN TIDUR
• Gangguan tidur non organik mencakup :
– Disomnia:
• kondisi psikogenik primer dengan ciri gangguan pada
jumlah, kualitas atau waktu tidur  insomnia,
hipersomnia, gangguan jadwal tidur
– Parasomnia:
• peristiwa episodik abnormal selama tidur.
• Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa 
somnabulisme, night terror, nightmare
Insomnia
KLASIFIKASI GANGGUAN
TIDUR (DSM IV)
Hipersomnia

Disomnia Narkolepsi

Gangguan tidur
berhubungan
dengan pernapasan

Gangguan tidur Gangguan tidur


primer irama sirkadian

Mimpi buruk/
nightmare
Disomnia:
Gangguan jumlah tidur
Teror tidur/ night
Parasomnia
terror
Parasomnia:
Adanya episode abnormal saat
Somnambulisme/
tidur sleep walking
F51.1 Hipersomnia non organik
Pedoman diagnostik:
• Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur (yang bukan disebabkan oleh
jumlah itdur yang kurang) dan atau transisi yang
memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar
sepenuhnya (sleep drunkenness)
• Gangguan tidur terjadi setiap hari lebih dari 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek,
menyebabkan penderitaan dan mempengaruhi
pekerjaan
• Tidak ada gejala tambahan narcolepsy atau sleep
paralysis atau kondisi neurologis lainnya.
Hypersomnia
Diagnostic criteria (DSM 5) Classification
• Excessive sleepiness despite a main sleep period of ≥7 • Acute: < 1 month
hours, with at least one of the following symptoms:
– Recurrent periods of sleep or lapses into sleep within • Subacute: 1-3 mo
the same day; • Persistent: > 3 mo
– Main sleep episode of > 9 hours per day;
– Difficulty being fully awake after abrupt awakening.
• Occurs at least three times per week for at least 3
months.
Difficulty maintaining
• Causes significant distress or impairment in areas of daytime alertness
functioning. • Mild: 1-2 days/wk
• Cannot be explained by the effects drug abuse or
medication.
• Mod: 3-4 days/wk
• Cannot be attributed to another sleep disorder (i.e., • Severe: 5-7days/wk
narcolelpsy, breathing-related sleep disorder, circadian
rhythm sleep-wake disorder, or parasomnia).
• A coexisting mental disorder or medical condition
does not adequately explain the hypersomnolence.
Narkolepsi
• Narkolepsi adalah salah satu bentuk hipersomnia yang paling
sering terjadi.
• Narkolepsi ditandai dengan bertambahnya waktu tidur yang
berhubungan dengan keinginan tidur yang tidak dapat ditahan
sebagai salah satu gejala, atau kombinasi antara gejala seperti
cataplexy, sleep paralysis, atau hypnagogic hallucinations.
– Katapleksi: kehilangan kontrol otot secara tiba-tiba yang dapat
menyebabkan orang tersebut pingsan tanpa kehilangan kesadaran.
– Sleep paralysis: Kehilangan kemampuan untuk bergerak selama satu
hingga dua menit saat mau bangun tidur, dapat disertai halusinasi
hipnogogik atau himnopompik
– Hypnagogic / hypnopompic hallucination merupakan halusinasi
yang sering kali muncul begitu saja saat penderita hendak tidur.
Narkolepsi (DSM 5)
Kriteria diagnosis
A. Episode berulang dari keinginan tidur yang tidak
tertahankan, tiba-tiba jatuh tertidur yang terjadi pada hari
yang sama. Episode tersebut harus terjadi minimal
3x/minggu selama 3 bulan berturut-turut.
B. Adanya minimal satu dari gejala berikut:
1. Episode katapleksi beberapa kali dalam sebulan, dapat berupa:
a. Pada pasien dengan gangguan lama: hilangnya tonus otot bilateral secara
mendadak dengan kesadaran terjaga, dicetuskan oleh tertawa/bercanda.
b. Pada anak/pasien onset <6 bulan: menyeringai/membuka rahang secara
spontan, atau hipotonia global tanpa pencetus emosional.
2. Defisiensi hipokretin LCS (≤1/3 nilai normal atau ≤110 pg/mL)
yang bukan akibat kelainan SSP.
3. Polisomnografi tidur nokturnal menunjukkan latensi fase tidur
rapid eye movements (REM) ≤ 15 menit, atau uji latensi tidur
menunjukkan rata-rata latensi tidur ≤ 8 menit serta ≥2 periode
REM
Narkolepsi
vs
Hipersomnia
F51.2 Gangguan tidur-jaga
non organik
• Gangguan ini timbul akibat ketidakcocokan antara
ritme sirkadian normal dan siklus tidur-terjaga normal
yang dituntut oleh lingkungan.
• Pedoman diagnostik:
– Pola tidur jaga dari individu tidak seirama dengan pola
normal bagi masyarakat setempat
– Insomnia saat waktu orang tidur dan hipersomnia pada
waktu kebanyakan orang jaga, setidaknya satu bulan atau
berulang dalam kurun waktu yang lebih pendek
– Ketidakpuasan dalam kuantitas dan kualitas tidur
menyebabkan penderitaan dan mempengaruhi fungsi
sosial pekerjaan.
Gangguan Tidur Irama
Sirkadian/ Gangguan Jadwal
Tidur Bangun
Circadian Rhythm Sleep-Wake
Disorders
Types:
• Delayed sleep phase type
Delayed sleep onset and awakening times: inability to fall asleep and awaken at a
desired/conventionally acceptable earlier time.
• Advanced sleep phase type
Advanced sleep onset and awakening times: inability to remain awake or asleep until
the desired/conventionally acceptable later sleep or wake time
• Irregular sleep-wake type
Temporarily disorganized sleep-wake pattern, timing of sleep and wake periods is
variable throughout the 24-hour period.
• Non-24-hour sleep-wake type
Sleep-wake cycles that is not synchronized to the 24-hour environment
• Shift work type
Insomnia during major sleep period and/or excessive sleepiness during major awake
period, associated with a shift work schedule.
• Unspecified
49
• Ran Mouri, 20 tahun, dengan keluhan setiap kali
pasien mau tidur, kakinya terasa panas dan sering
kali pasien merasa kakinya seperti terhentak.
• Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital dan
laboratorium dalam batas normal.

DIAGNOSISNYA…
DIAGNOSIS  RESTLESS LEG SYNDROME
JAWABAN:
C. RESTLESS LEG SYNDROME
• Pada pasien didapatkan gangguan berupa
kakinya terasa panas dan sering kali pasien
merasa kakinya seperti terhentak saat
posisi mau tidur (istirahat).
• Gangguan ini dinamakan restless leg
syndrome
• Nightmare  Terbangun saat tidur karena
ketakutan, pasien ingat mimpinya apa
• Sleep Paralysis  Kehilangan kemampuan
untuk bergerak selama satu hingga dua menit
saat mau bangun tidur, dapat disertai halusinasi
hipnogogik atau himnopompik
• Sleep Terror  Terbangun saat tidur karena
ketakutan, namun pasien tidak ingat apa
mimpinya
• Somnabulisme  berjalan saat tidur
Restless Leg Syndrome
• Restless Leg Syndrome atau Willis-Ekbom
Disease adalah sensasi adanya keinginan untuk
melakukan pergerakan di dalam betis saat
dalam posisi istirahat, yang mendorong pasien
untuk menggerakkan tungkai.
• Dapat terjadi saat mau tidur atau duduk
• Termasuk salah satu gangguan disomnia

https://www.sleepfoundation.org/sleep-disorders/restless-legs-syndrome-rls
https://www.sleepfoundation.org/sleep-disorders/restless-legs-syndrome-rls
DSM-5 333.94 (G25.81)
Restless Leg Syndrome
According to the DSM-5, there are five diagnostic criteria for
RLS, with three sub-symptoms for one Criterion:
• While resting, and most frequently and severely at night,
there is an urge to move the legs, accompanied by
uncomfortable sensations, which are at least partially
relieved by movement.
• These symptoms occur at least three times a week for at
least three months
• Resulting in significant distress or impairment in
functioning
• Are not better accounted for by another medical or
mental disorder
• No Use of prescribed medications, or illicit drugs or
alcohol (American Psychiatric Association, 2013).
50
• Megure usia 28 tahun dibawa rekan kerjanya ke UGD karena
dikeluhkan kejang
• di UGD pasien tampak compos mentis tanpa ada keluhan.
• Pada pemeriksaan fisik  dalam batas normal
• Riwayat penyakit infeksi maupun kejang sebelumnya disangkal.
• Pasien dikatakan takut bertemu atasannya karena masalah
kasus kejahatan yang tidak selesai dia pegang di kepolisian.

DIAGNOSISNYA…
DIAGNOSIS  MALINGERING
JAWABAN:
A. GANGGUAN MALINGERING
• Pada pasien didapatkan gejala sakit yang
tidak ditemukan penyebab biologis, dan
pada pasien ditemukan ketakutan
bertemu atasan, yang mungkin dihindari
pasien dengan alasan sakituntuk
mendapatkan kompensasi tertentu dengan
alasan sakit (kejang)
• Sehingga kasus ini adalah malingering
• Gangguan konversi  gangguan yang nyata berupa
deficit neurologis akibat stressor psikis berat yang
terjadi, pada kasus ini tidak dipilih karena pada
pasien tidak terdapat gangguan sama sekali saat di
UGD
• Factitious disorder  kasus ini juga berpura-pura
sakit tapi untuk mencari perhatian bukan
menghindari tanggung jawab
• Gangguan cemas menyeluruh  ansietas yang
bersifat mengambang akan berbagai hal
• Serangan panik  berdebar-debar, tercekik seperti
takut mati
Malingering dan Factitious disorder
Kelainan Karakteristik
Psikosomatis Pada gangguan psikosomatis, ada keluhan dan ditemukan
keabnormalan pada pemeriksaan. Namun penyebabnya adalah
masalah psikis.
Gangguan Konversi Adanya satu atau beberapa gejala neurologis (misalnya buta, lumpuh
anestesi, amnesia, dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan
medis maupun neurologis yang ada.

Malingering Berpura-pura sakit atau melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada
sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan kompensasi tertentu
(misalnya untuk mendapatkan cuti kerja).
Factitious disorder/ Berpura-pura sakit atau membuat dirinya sakit. Namun hal ini
Munchhausen dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perhatian/ simpati dari
syndrome orang lain saja.
Diagnosis Banding: Gangguan Factitious

DSM IV. American Psychiatric Association.


KULIT & PARASIT
51
• Perempuan berusia 43 tahun keluhan muncul bercak pada
wajah sejak 1 tahun yang lalu, tidak gatal, semakin banyak
pada alis, pipi, dagu
• Makula depigmentasi multipel batas tegas, simetris, dan
tidak berskuama
• Wood lamps didapatkan berpendar blue-white
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  VITILIGO
JAWABAN:
C. VITILIGO
• Perempuan berusia 43 tahun  muncul
makula depigmentasi multiple, batas tegas,
simetris, dan tidak berskuama + pada alis,
pipi, dagu  leukoderma  vitiligo
• Wood lamps didapatkan berpendar blue-
white  ditemukan pada vitiligo
• Pitiriasis alba  bercak hipopigmentasi, batas tidak
tegas, tidak gatal, awalnya disertai skuama, sering di
anak-anak usia 3-16 tahun
• Pitiriasis versicolor  akibat infeksi M. furfur, berikan
pendar kuning emas, ada bercak hipopigmentasi hingga
coklat dengan skuama halus dan dapat disertai gatal
ringan
• Lichen sclerosus  bercak hipopigmentasi, biasanya
sering pada area genital dan anal, bisa disertai gatal
• Hipopigmentasi post inflamasi  bercak hipopigmentasi,
biasanya ada riwayat trauma atau peradangan pada area
lesi sebelumnya
Leukoderma dan Vitiligo
• Leukoderma
• Bercak putih pada kulit akibat hilangnya sebagian/ seluruh
pigmen kulit

• ETIOLOGI
– Kongenital
• Tuberous sclerosis, partial albinism, piebaldism dan Waardenburg syndrome
– Imunologis
• Vitiligo, halo mole
– Post inflamasi
• Luka bakar, dermatitis, psoriasis, cuteneous lupus erythematosus, lichen sclerosus
– Infeksi
• Ptiriasis versicolor, lichen planus, sifilis
– Obat
• EGFR inhibitor, injeksi steroid intralesi
– Okupasi/bahan kimia

http://www.dermnetnz.org/colour/leukoderma.html
Vitiligo
• Definisi: Hipomelanosis idiopatik ditandai dengan makula putih yang
dapat meluasmengenai bagian tubuh yang memiliki melanosit (kulit,
rambut, mata)

• Etiologi
– Belum diketahui, diduga karena autoimun, neurohumoral, autositotoksik,
atau karena bahan kimiawi

• Gejala
– Makula berwarna putih (apigmentasi) berukuran mm-cm, bulat, lonjong,
berbatas tegas
– Bisa juga makula hipomelanotik (tidak putih sekali)
– Tepi lesi bisa meninggi, eritema dan gataldisebut inflamatoar

• Predileksi
– Area ekstensor tulang (jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung,
tibialis anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor)
– Lesi bilateral bisa simetris atau asimetris
– Area traumatik
Vitiligo: 4 Tipe (The Vitiligo European
Taskforce, 2007)
Vitiligo: Gambaran Klinis

http://www.dermnetnz.org/colour/vitiligo.html
Diagnosis
• Gejala dan temuan klinis: makula depigmentasi
berbatas tegas dengan distribusi VNS/VS/undetermined
• Lampu wood: area yg mengalami depigmentasi
berpendar bright blue-white fluorescence dan berbatas
tegas
• Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan Hematoksilin Eosin (HE)  tidak ditemukan sel
melanosit
- Reaksi DOPAmelanosit negatif pada daerah apigmentasi, tapi
positif pada daerah hiperpigmentasi
• Pemeriksaan biokimia
- Histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa tidak ada
tirosinase, namun tirosin plasma dan kulit normal
Prinsip tatalaksana
Lini pertama Lini kedua
• Topikal
• Topikal
– Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog
– Kortikosteroid topikal (B,1) vitamin D3 topikal1(B,1)
– Calcineurin inhibitor • Sistemik betametason 5 mg dosis tunggal, dua
(takrolimus, hari berturut-turut per minggu selama 16
pimekrolimus) (anak: B,1; minggu (B,1)
Dewasa: C,3) • Excimer lamp atau laser 308 nm17 (dewasa: A,1)
• Fototerapi • Fotokemoterapi
– PUVA
– Narrowband ultraviolet B
– Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor
(NBUVB, 311 nm) (A,1) topikal (B,1)
– Excimer lamp atau laser – Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik
308 nm17 (anak: A,1) (B,2)
• Fotokemoterapi: Kombinasi Lini Ketiga
psoralen dengan • Terapi intervensi/pembedahan: untuk vitiligo
phototherapy ultraviolet A stabil, segmental, rekalsitran, dan yang
(PUVA) (B,1) memberikan respons parsial terhadap terapi
non-bedah.
52
• Pria berusia 34 tahun datang keluhan benjolan dekat hidung
sudah 10 tahun, tidak makin membesar, tidak nyeri, tidak
berdarah
• Massa soliter bentuk kubah, permukaan licin, hiperpigmentasi,
lentikuler
• Pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan ditemukan
kumpulan sel nevus pada dermis dan epidermis

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  NEVUS PIGMENTOSUS COMPOUND
JAWABAN:
E. NEVUS COMPOUND
• Pria berusia 34 tahun  benjolan soliter
bentuk kubah, permukaan licin,
hiperpigmentasi, lentikuler dekat hidung +
tidak makin membesar, tidak nyeri, tidak
berdarah  nevus pigmentosus
• Pemeriksaan histopatologi terhadap
jaringan ditemukan kumpulan sel nevus
pada dermis dan epidermis  Compound
nevi
• Keratosis seboroik  tumor jinak epidermal, proliferasi
epidermal keratosit, batas tegas, stuck on appearance
• Melanoma maligna  keganasan kulit bentuk asimetris, tepi
tidak teratur, ukuran ≥ 6 mm, elevasi, warna bermacam
macam
• Nevus intradermal  nevus pigmentosus gambaran histoPA
kumpulan sel nevus di dermis  warna kulit hingga coklat,
papul bentuk kubah atau papilomatosa atau pedunculated,
tekstur rubbery, bisa ada terminal hairs
• Nevus junctional nevus pigmentosus kumpulan sel nevus
setinggi dermo-epidermal junction  berupa macula atau
sedikit meninggi, coklat-hitam, pigmentasi di tengah lebih
gelap
Nevus Pigmentosus (Melanocytic
Nevi)
• Etiologi melanocytic nevi:
– Sel-sel nevus kulit yang berasal dari neural crest membentuk sarang-sarang
kecil pada lapisan sel basal epidermis (dermoepidermal junction) dan/atau
dermis
• Perbedaan antara melanosit biasa dengan sel nevus:
– Nevus cells cluster as nests within the lower epidermis and/or dermis,
whereas epidermal melanocytes are evenly dispersed as single units.
– Nevus cells do not have dendritic processes, except for those within blue nevi.
• Melanocytic nevi:
– Congenital melanocytic nevi
– Acquired melanocytic nevi
• Common acquired nevi
• Atypical nevi
– Additional variants, including halo nevi, blue nevi, and Spitz nevi
Common Acquired Nevus
Pigmentosus
• Bentuk: makula/papul (papilomatosa, papul berbentuk kubah/dome
shape,bertangkai/pedunculated, atas datar/flat-topped).
• Warna: sewarna kulit, merah jambu, kecoklatan
• Umumnya berukuran diameter ≤6 mm in diameter, simetris, permukaan
homogen, pigmentasi merata, berbentuk bulat atau oval, tepi regular, batas
tegas.
• Predileksi: terkonsentrasi di tempat terpapar sinar matahari, bisa juga pada
akral misalnya telapak tangan, kaki, hingga matriks kuku
• Begin to appear after the first six months of life, increase in number during
childhood and adolescence, reach a peak count in the third decade, and then
slowly regress with age
• Close inspection sometimes reveals pigmentary stippling or perifollicular
hypopigmentation.
• Bisa ada rambut pada nevus
• Pengobatan
– Umumnya tidak diperlukan pengobatan
– Bila menimbulkan masalah secara kosmetik, atau sering terjadi iritasi karena gesekan
pakaian, dapat dilakukan bedah eksisi
– Bila ada kecurigaan ke arah keganasan dapat dilakukan eksisi dengan pemeriksaan
histopatologi
Pemeriksaan penunjang
• Dermoskopi: umumnya pola retikular, pigment network regular,
globular dan homogen
• Histopatologi1:
– Nevus junctional: Kumpulan sel nevus setinggi dermo-epidermal junction
(macular or minimally raised, have preserved skin markings, and range
from brown to black in color, sometimes with darker pigmentation in the
center than at the edge)
– Nevus compound: Kumpulan sel nevus terdapat di dermis dan epidermis
(pigmented papules, but in some lesions the degree of elevation is subtle,
surface can be smooth and dome-shaped or papillomatous, and they vary
in color from tan to dark brown)
– Nevus intradermal: Kumpulan sel nevus terletak di dermis (usually skin-
colored to tan papules that are dome-shaped, papillomatous, or
pedunculated with a soft, rubbery texture, occasionally they have speckles
of brown pigmentation, terminal hairs, or pseudo-horn cysts)
Gambaran klinis
Junctional nevi
• Flat junctional nevus with darker pigmentation in the center than
at the periphery
• This lesion is symmetric with a regular outline

Compound nevi
• Compound nevus with central elevation.
• This lesion is symmetric with a regular outline and uniform
pigmentation

Intradermal nevi
• Soft intradermal nevus that is pink in color
• This lesion is symmetric with a regular outline and uniform
pigmentation
Common Acquired Nevus
Pigmentosus

Intradermal
nevus
Atypical Acquired Nevus
Pigmentosus
• Benign acquired melanocytic nevi that share, usually to a
lesser degree, some of the clinical features of melanoma
such as asymmetry, border irregularities, color variability,
and diameter >6 mm
Additional Nevi Variants
Additional Nevi Variants
Additional Nevi Variants
Congenital Melanocytic Nevi

• Congenital melanocytic nevi (CMN) are


classically defined as melanocytic nevi present
at birth or within the first few months of life.
• In contrast to acquired melanocytic nevi, CMN
tend to extend deeper into the dermis and
subcutaneous tissues
Nevus Pigmentosus Kongenital
53
• Laki-laki berusia 20 tahun muncul jerawat pada wajahnya
dan ada sedikit di bagian bahu dan leher
• Papul disertai pustul berjumlah 20, komedo hitam 30
• Tidak ditemukan adanya nodul/kista

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  ACNE VULGARIS DERAJAT SEDANG
JAWABAN:
D. RETINOID TOPIKAL + ANTIBIOTIK TOPIKAL +
ANTIBIOTIK ORAL
• Laki-laki berusia 20 tahun muncul jerawat
pada wajahnya dan sedikit di bahu dan
leher  acne vulgaris
• Papul disertai pustul berjumlah 20, komedo
hitam 30 + tidak ditemukan adanya
nodul/kista  acne vulgaris derajat sedang
• Terapi lini pertama:
– Topikal asam retinoate atau bila perlu antibiotic
topical ditambah dengan
– Oral antibiotic: doksisiklin 50-100 mg
• Retinoid topical lini 1, biasanya digunakan
untuk derajat ringan saja (komedo <20,
papul/pustule <15)
• Isotretinoin Oral  biasa digunakan pada acne
derajat berat
• Retinoid Topikal + Kortikosteroid Topikal +
Antibiotik Oral  kortikosteroid topical tidak
digunakan melainkan injeksi intralesi sebagai
lini 2 pada derajat berat/conglobata
• Azelaic Acid / As. Salisilat  topical saja bisa
untuk acne derajat ringan (lini 2)
Akne Vulgaris
Definisi Manifestasi klinis
Peradangan kronik folikel Predileksi
pilosebasea.
• Muka, bahu, dada atas,
Lesi Akne Vulgaris dapat berupa punggung atas
• Comedo :
closed (‘whiteheads’) Erupsi kulit polimorfik
open (‘blackheads’). • Tak beradang : komedo putih,
• Papules komedo hitam, papul
• Pustules
• Beradang : pustul, nodus, kista
• Nodules
beradang
• Cysts
• Scars

Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Faktor Predisposisi

Weller C, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology.5th edition. New York : Willey : 2015
Patogenesis

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Manifestasi Klinis

Acne Vulgaris derajat ringan Acne Vulgaris derajat sedang Acne Vulgaris derajat berat
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Derajat akne menurut Lehmann, 2002

Klasifikasi Lehmann Ringan Sedang Berat


(2002)
Comedo < 20 20-100 > 100
or or or
Papul/pustul < 15 15-50 > 50
or or or
Nodul/kista >5
or or or
Total < 30 30-125 > 125

Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit & Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Acne Conglobata
The Main Features of Acne Conglobata
Sex Males affected more frequently than females

Age 18–30 years

Pathogenesis Unclear

Onset May be an insidious onset with a chronic course


on the background of previous acne or an acute
deterioration of existing inflammatory acne
Localisation Face, trunk and limbs extending to the buttocks

Clinical Picture Deep‐seated inflammatory lesions, abscesses and


cysts, causing interconnecting sinus tracts.
Laboratory Gram‐positive bacteria producing secondary infection
findings
Response to Poor
conventional
antibiotic therapy
Treatments of • Oral isotretinoin alongside systemic corticosteroids
choice to reduce inflammation.
• Systemic antibiotics to treat secondary infection
and reduce inflammation.

Griffihs CE, Beker J, Bleiker T. Rook's Textbook of Dermatology.9th edition.New York : Willey ; 2016
Tatalaksana (PERDOSKI 2017)

Derajat ringan
• Hanya obat topikal tanpa obat oral.
– Lini 1: asam retinoat 0,01-0,1% atau benzoil peroksida atau
kombinasi.
• Ibu hamil atau menyusui: benzoil peroksida
– Lini 2: asam azelaik 20%
– Lini 3: asam retinoat + benzoil peroksida atau asam retinoat +
antibiotik topikal
• Evaluasi: setiap 6-8 minggu
Tatalaksana (PERDOSKI 2017)
Derajat sedang
• Obat topikal dan oral.
– Lini 1:
 Topikal: asam retinoat + benzoil peroksida atau bila perlu antibiotik.
 Ibu hamil/menyusui tetap benzoil peroksida.
 Oral: doksisiklin 50-100 mg
 Ibu hamil atau menyusui eritromisin 500-1000 mg/hari
– Lini 2/3:
 Topikal: asam azelaik, asam salisilat (AS) atau kortikosteroid intralesi (KIL),
dapson gel
 Oral: antibiotik lainnya
 Ibu hamil/menyusui eritromisin 500-1000 mg/hari

• Evaluasi setiap 6-8 minggu


• Tambah kombinasi oral kontrasepsi atau spironolakton (untuk
perempuan) atau oral isotretinoin
Tatalaksana (PERDOSKI 2017)
Derajat berat
 Oral pada Laki-laki: isotretinoin oral
• Lini 1:
(Isotret O) 0,5-1 mg/kgBB/hari
Topikal: antibiotik.
 Oral utk Ibu hamil: eritromisin 500-
Topikal pd Ibu hamil/menyusui tetap 1000 mg/hari
benzoil peroksida
• Lini 3:
Oral : azitromisin pulse dose (hari
 Topikal: asam azelaik, asam salisilat,
pertama 500 mg dilanjutkan hari ke 2-4
kortikosteroid intralesi.
250 mg
 Ibu hamil/menyusui tetap benzoil
Ibu hamil: eritromisin 500-1000
peroksida.
mg/hari
 Oral utk Wanita: isotretinoin oral
• Lini 2:
 Oral utk Ibu hamil/menyusui:
 Topikal: asam azelaik, asam salisilat,
eritromisin 500-1000 mg/hari
kortikosteroid intralesi
 Pemberian asam azelaik dan
 Topikal utk Ibu hamil/menyusui tetap
Isotretinoin oral harus mengikuti
benzoil peroksida
standar operasional prosedur (SOP)
 Oral pada Wanita: anti androgen masing-masing
54
• Anak laki-laki berusia 12 tahun timbul benjolan seperti
kutil kecil-kecil ditangan kanan sejak 2 bulan yang lalu,
makin bertambah banyak, tidak disertai nyeri
• Pada pemeriksaan dermatologi ditemukan papul multiple,
diameter 0.1-1 cm, permukaan berjonjot di punggung dan
jari tangan
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  VERUKA VULGARIS
JAWABAN:
E. VERUKA VULGARIS
• Anak laki-laki berusia 12 tahun  benjolan
seperti kutil kecil-kecil sejak 2 bulan yang
lalu, makin bertambah banyak + tidak nyeri
+ papul multiple, diameter 0.1-1 cm,
permukaan berjonjot (verukosa) +
predileksi punggung dan jari tangan (bagian
ekstensor)  veruka vulgaris
• Kutil permukaan berjonjot  hiperplasi
epidermis karena infeksi HPV 2
• Xantelasma  tipe paling umum dari xanthoma, biasanya
terkait hyperlipoproteinemia, sering ada plak kekuningan di
palpebra
• Lichen planus  inflamasi kulit dan mukosa kronik terkait
autoimun, gambaran bervariasi mulai dari papul, plak
mengkilat dan keras pada palpasi, hingga hipertrofi dan
berskuama
• Xanthoma  lesi akibat akumulasi lipid dalam makrofag,
biasanya berhubungan dengan hyperlipidemia, ada gambaran
foamy macrophages
• Molluscum kontangiosum  akibat poxvirus, sebabkan papul
bentuk kubah dengan delle, serta badan moluskum
PMS akibat Virus: Verucca Vulgaris

• Verruca: hiperplasi epidermis akibat pertumbuhan epithel


yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (”kutil” atau
”Warts”)
• Nama berdasarkan lokasinya
– Verruca Vulgaris (Common Warts) dengan predileksi khususnya di
ekstremitas bagian ekstensor (paling sering sub tipe HPV 2 dan 4)
– Verruca Plantaris (Plantar Warts/myrmecia) dengan predileksi pada
telapak kaki (paling sering HPV tipe 1)
– Verruca Plana (Flat Warts) dengan predileksi pada muka dan leher
– Akibat HPV tipe 3 dan 10
– Biasanya tidak dijumpai parakeratosis  rata
– Condyloma Accuminata (Genital Warts)
– (HPV tipe 6 & 11
Veruka Vulgaris
• Etiologi
– Terutama HPV 2, tetapi dapat juga HPV
1 dan 4

• Gambaran Klinis: berbentuk papul verukosa yang keratotik, kasar, dan bersisik.
Lesi dapat berdiameter kurang dari 1 mm hingga lebih dari 1 cm dan dapat
berkonfluens menjadi lesi yang lebih lebar. Bisa nyeri atau tidak nyeri.
Predileksi penyakit ini biasanya pada jari, punggung tangan maupun kaki.

• Pemeriksaan Penunjang
– Biopsi kulit: akantosis, hiperkeratosis, papilomatosis, dan rete ridges memanjang
mengarah ke medial

• Tatalaksana
– Higienitas, menghindari kontak langsung
– Destruksi dengan bedah beku, laser, bahan keratolitik, kaustik, asidum salisikum 25-
50%, trikloroasetat 25%
– Intralesi: bleomisin dan interferon

Menaldi, Sri Linuwih. Buku Ajar Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. 2015
Pemeriksaan Penunjang Veruka
Vulgaris
• Dermoskopi
– Gambaran red-black (hemorrhagic) dot dikelilingi white halo yang
dihubungkan dengan papilomatosis, red-black (hemorrhagic) streaks
pada weight bearing area palmoplantar, dan hairpin vessels.
Pemeriksaan dermoskopi dapat membantu diagnosis dan evaluasi
terapi
• Histopatologi
– Gambaran epidermal akantosis dengan papilomatosis, hiperkeratosis,
parakeratosis, terdapat pemanjangan rete ridges kearah tengah
veruka, dan penonjolan pembuluh darah dermis yang memungkinkan
terjadinya trombus. Pemeriksaan histopatologi diperlukan pada lesi
yang memiliki diagnosis banding atau kelainan yang luas
Medikamentosa
• Agen destruktif • Terapi imunologi
– Asam salisilat (B,1) Imiquimod(D,1)
– Fenol liquefaktum 80% • Terapi intralesi
(C,3)
• Antiproliferative agents
– Kantaridin11 (C,4)
– Lima-florourasil krim 5%,
– Asam trikloroasetat & lidokain, dan epinefrin (C,1)
asam monokloroasetat12
(C,3) – Bleomycin (C,1)
– Perak nitrat 10% (C,3) – Interferon beta (C,1)
– Asam format(C,3) – Topical retinoids (C,4)
• Agen virusidal • Terapi oral: Zinc oral (C,1)
Glutaraldehyde (C,4)

(Perdoski 2017)
Pencegahan
• Mengurangi risiko transmisi, seperti menutup
kutil dengan bahan tahan air ketika berenang,
menghindari pemakaian barang pribadi secara
bersama-sama, dan menggunakan alas kaki
ketika menggunakan toilet umum.
• Mengurangi risiko auto-inokulasi, seperti tidak
menggaruk lesi, tidak menggigit kuku, dan
tidak mencukur daerah yang terdapat kutil
55
• Perempuan berusia 29 tahun keluhan rambut kepala bagian
depan rontok tiba-tiba sejak 1 minggu yang lalu disertai
rambut menipis
• Riwayat persalinan pervaginam tanpa komplikasi 2 minggu
yang lalu
• Pada pemeriksaan didapatkan rambut menipis dan difus, hair
pull test positif

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  TELOGEN EFFLUVIUM
JAWABAN:
B. TELOGEN EFFLUVIUM TIPE DELAYED ANAGEN RELEASE
• Perempuan berusia 29 tahun keluhan rambut
kepala bagian depan rontok tiba-tiba sejak 1
minggu + rambut menipis dan difus + hair pull
test positif  Telogen effluvium (TE)
• Riwayat persalinan pervaginam tanpa
komplikasi 2 minggu yang lalu  postpartum
TE
• Mekanisme postpartum TE  delayed anagen
release  durasi anagen memanjang,
menunda onset telogen
• Telogen effluvium tipe delayed telogen release  pada
pergantian kulit/rontoknya rambut mamalia
• Telogen effluvium tipe immediate anagen release 
sejumlah folikel anagen distimulasi untuk masuk telogen
lebih awal  TE terkait stress fisiologis (demam tinggi,
stress)
• Telogen effluvium tipe short anagen  biasanya pada
alopesia androgenetic/female pattern hair loss
• Telogen effluvium tipe immediate telogen release 
ditemukan pada inisiasi terapi gunakan minoksidil topical
 folikel rambut lebih awal masuk siklus anagen
Kerontokan Rambut dan Alopecia
• Fisiologi petumbuhan rambut
• Pertumbuhan rambut terdiri dari
3 fase:
1. Anagen
Fase pertumbuhan rambut, terjadi
selama 2-6 tahun (rata-rata 3 tahun)
2. Transisional (katagen)
Fase dimana foliker rambut mengalami
regresi pertumbuhan. Terjadi pada 2-3
% dari total folikel rambut
3. Telogen
Fase inactive, dimana folikel rambut
akan mati dan folikel rambut akan
terlepas dari kulit. 10-15 % folikel
rambut mengalami resting period
selama 3 bulan kemudian akan terlepas
dari kulit.
http://www.aafp.org/afp/
2003/0701/p93.html
exclamation mark pada
alopesia areata
Clinical
Nonscalp
Epidemiology features on Pathology Hair pull test
involvement
scalp
Diffuse hair loss*

Telogen Women more Acute or Findings Increase in the Positive in


effluvium likely to present chronic diffuse associated proportion of active phase;
for evaluation hair thinning with telogen telogen hairs
than men underlying follicles (20 to
cause may be 50% of follicles
present are in telogen)

Anagen Seen in Acute loss of Findings Increased Positive in


effluvium association with hair associated proportion of active phase,
chemotherapy, with telogen dystrophic
radiation, toxins underlying follicles, anagen hairs
cause may be dystrophic or broom-
present; hair anagen hairs; shaped
loss in other rare cases of anagen hairs
sites permanent with a
hair loss may pigmented
demonstrate bulb
linear basaloid
structures
Telogen Effluvium
• A form of diffuse, nonscarring hair loss  transient
or chronic loss of hair; occurs as a result of
abnormal shift in follicular cycling that leads to
premature shedding of hair.
Telogen Effluvium
Mechanism is not fully understood. Most commonly cited
theories:
1. Immediate anagen release
A significant proportion of anagen follicles are stimulated to
enter telogen prematurely  may be the main mechanism
for TE related to physiologic stress (i.e: high fever) or stress.
2. Delayed anagen release
Prolongation of the duration of anagen, thereby delaying the
onset of telogen. Hair loss is noted once the stimulus for
sustaining anagen ends and the affected follicles enter
telogen and subsequently shed  may be the main
mechanism for postpartum TE.
Klasifikasi Fungsional berdasarkan
Headington
Immediate anagen release
• the follicle that would normally complete a longer cycle by
remaining in anagen, prematurely enters telogen.
• Most common type.
• Occurs after periods of physiological stress, fever etc.
• Shedding is dependent on transition from anagen through
catagen and telogen, with subsequent release of telogen hair,
hair loss occurs 3-4 months after the inciting event.
Klasifikasi Fungsional berdasarkan
Headington
Delayed anagen release
• Hair follicle remain in prolonged anagen rather than cycling into telogen.
• When finally release from anagen ,clinical sign of increased shedding of
telogen hair is found.
• Seen in post partum hair loss

Immediate telogen release


• Hair follicle normally programmed for release of the club hair after
an interval of usually 100 days after the end of anagen, are
prematurely stimulated to cycle into anagen.
• Premature teloptesis.
• Seen in initiation of therapy with topical minoxidil.
Klasifikasi Fungsional berdasarkan
Headington
Delayed telogen release
• hair follicle remain in prolonged telogen rather than being
shed and recycled into anagen, when finally teloptesis sets
in, increased shedding of club hair is observed.
• Seen in moulting in mammals.

Short anagen phase


• Slight but persistent telogen effluvium in association with
decrease hair length.
• Seen in androgenetic alopecia or female pattern hair loss.
ILMU KESEHATAN
ANAK
56
• Anak 14 tahun keluhan demam sejak 5 hari disertai muncul nyeri otot dan
sendi, batuk dahak purulent dan sedikit sulilt bernapas
• Riwayat gangguan sekat bilik jantung
• Ada bercak roth pada funduskopi dan splinter hemorrhage pada kuku
• TD 140/90 mmHg, frekuensi napas 24 kali per menit, suhu 38,80C,
• Auskultasi jantung terdengar adanya bising pansistolik di area lower left
sternal border, auskultasi paru terdengar adanya rhonki kasar di area paru
kanan
• Hematuria

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  ENDOKARDITIS INFEKTIF
JAWABAN:
C. ENDOKARDITIS INFEKTIF
• Demam suhu >38 0C + arthralgia + myalgia + hipertensi
dan hematuria (ada nefritik karena glomerulonephritis
sekunder  fenomena imunologis) + roth spot
(fenomena imunologis) + splinter hemorrhage
(manifestasi vaskular)  mengarah pada infective
endocarditis (IE)
• Riwayat gangguan sekat bilik jantung + pansistolik LLSB
 VSD  factor risiko IE pada anak
• Diagnosis IE  kriteria duke modifikasi  possible IE
– Kriteria mayor  belum ada di soal
– Kriteria minor  predisposisi (VSD pada pasien), demam
>38 0C, glomerulonephritis, roth spot (4 kriteria)
• Batuk dahak purulent + takipnea + rhonki kasar 
pneumonia (mungkin merupakan concurrent infection
dengan infective endocarditis
• Rheumatic heart disease  tidak ada riwayat demam
rematik + temuan kerusakan katup yang menetap (paling
sering stenosis mitral)
• Myocarditis  perjalanan penyakit nonspesifik, bisa saja
diawali oleh infeksi virus disusul dengan gejala
kardiovaskular seperti gagal jantung dan aritmia
• Rheumatic fever  tidak ada karakteristik kriteria jones
utk demam rematik
• Ventricular septal defect  pada soal pasien mengalami
VSD, tetapi jawaban ini tidak menjelaskan gejala lain yang
dialami oleh pasien pada soal tersebut
Infektif Endokarditis (IE)
• Definisi :
– infeksi pada endokardium dan/atau katup jantung yang melibatkan
pembentukan trombus (vegetasi) yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan endokardium dan katup
• Faktor resiko
– Anak dengan PJB sianotik  35-50% anak dengan IE memiliki PJB
• Paling sering pada anak dengan stenosis katup aorta, koartasio aorta, ASD
primum, VSD dan TOF
– Pemasangan central venous cathether (bayi prematur, anak – anak
dengan kondisi kritis)
– Rheumatic heart disease
– Riwayat EI sebelumnya
– Menjalani prosedur tertentu khususnya prosedur pada daerah gigi dan
mulut
– IVDU  bukan faktor resiko IE pada anak
– Katup prostetik atau materi prostetik untuk repair katup jantung
Endokarditis infektif
• Fever, possibly low-grade and intermittent, is present in
90% of patients with IE.
• Heart murmurs are heard in approximately 85% of patients.
• One or more classic signs of IE are found in as many as 50%
of patients. They include the following:
– Petechiae: Common, but nonspecific, finding
– Subungual (splinter) hemorrhages: Dark-red, linear lesions in
the nail beds
– Osler nodes: Tender subcutaneous nodules usually found on the
distal pads of the digits
– Janeway lesions: Nontender maculae on the palms and soles
– Roth spots: Retinal hemorrhages with small, clear centers; rare

http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview
Manifestasi Klinis
• Subakut • Akut
– Prolonged low grade fever – Rapidly progresive and
dan keluhan nonspesifik fulminant disease
lainnya • Demam tinggi dan tampak
• Lesu, BB turun sakit berat
• Intoleransi aktivitas fisik • Biasanya disebabkan oleh
• Athralgia, myalgia, infeksi Stafilokokus aureus
diaphoresis  merusak endokardium
secara cepat, pembentukan
– Bakteri dengan patogenitas abses, emboli, deteriorasi
yang rendah seperti hemodinamic secara cepat
S.viridan dan koagulase
negatif stafilokokus
merupakan penyebabnya
Endokarditis Bakterialis
VEGETATION SITES
• Etiologi :
– S. Aureus 57%
– Streptococcus viridan 20%
– Coagulase negative
staphylococcus 14%
– Grup A dan B streptococcus
– E.coli
– S. Pnemumonia
– H. Influenza
• The classic signs, such as
Roth spots, Janeway lesions,
and Osler nodes, are very
rare in children (Table 1).
CLINICAL FEATURE
Minor Criteria

Roth Spot Osler Node

Janeway Mycotic Splinter Hemmoraghe


Lesion Aneurysm
Penatalaksanaan
• Prinsip penatalaksanaan IE pada anak sama dengan
dewasa.
• Pada IE akut, harus dilakukan pengembilan kultur darah
sehingga terapi antibiotik empiris segera dapat
diberiksan
• Antibiotik:
– Streptokokus viridan grup : IV penicilin G 200.000
unit/kgBB/24 jam, 4-6x/hari atau; ceftriaxone 100
mg/kgBB/24jam 1x/hari IV/IM atau; vancomycin
40mg/kgBB/24 jam IV 2-3 x  diberikan selama 4 minggu
– Staphylococcus : Nafcilin/Oxacilin 200 mg/kgBB/24jam IV
4-6x/hari  6 minggu
57
• Anak 7 tahun mata bengkak dan kencing berdarah sejak 2 hari
terakhir
• Edema periorbital, Hipertensi TD 140/90 mmHg
• Laboratorium urin didapatkan adanya adanya eritrosit 30-
50/lpb, protein (+1), Ureum 100 mg/dL, creatinine 3 mg/dl
• Pada biopsy ginjal ditemukan adanya sel crescent

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  GLOMERULONEFRITIS
JAWABAN:
A. GLOMERULONEFRITIS RAPIDLY PROGRESSIVE
• Anak 7 tahun  edema periorbital +
hematuria (kencing berdarah sejak 2 hari
terakhir) + hipertensi (TD 140/90 mmHg) 
glomerulonefritis
• Didukung lab urin adanya eritrosit 30-
50/lpb, protein (+1) + kadar Ureum 100
mg/dL, creatinine 3 mg/dl  gangguan
fungsi ginjal  glomerulonefritis akut
• Biopsi ginjal  Crescent  RPGN (Rapidly
Progressive Glomerulonephritis)
• Glomerulonefritis proliferative membranosa 
gambaran double-contour atau tram-track (interposisi
mesangial ke dinding kapiler)
• Glomerulonefritis kronis  ada kerusakan ireversibel
dan progresif pada glomerulus dan tubulus interstitial,
ada abnormalitas structural dari USG dan penurjnan
fungsi ginjal selama 3 bulan atau lebih
• Membranous glomerulopathy  ada penebalan
capillary loops, selularitas tidak meningkat, penyebab
paling sering sindrom nefrotik pada dewasa
• Glomerulonefritis focal segmental  hanya sebagian
glomerulus (fokal) terpengaruh dan hanya sebagian dari
glomerulus yang terpengaruh (segmental) alami sklerosis
Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Causes of glomerulonephritis in
children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Contoh Glomerulonefritis
berdasarkan Morfologi:
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
• Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)
• Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
• Membranous GN
• Mesangial Proliferative GN
• Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
Rapidly progressive GN
• Clinical syndrome manifested by features of glomerular
disease in the urine and by progressive loss of renal
function over a comparatively short period of time (days,
weeks or months).
• It is most commonly characterized morphologically by
extensive crescent formation
• RPGN occurs rarely in children.
• Causes of pediatric RPGN include:
– Primary GN − IgA nephropathy, MPGN, and anti-glomerular
basement membrane (GBM) disease
– Secondary GN − Granulomatosis with polyangiitis, lupus
nephritis, poststreptococcal GN, IgAV (HSP) nephritis, and
microscopic polyangiitis
UPTODATE. 2018
Glomerulonephritis, crescentic (RPGN). Compression of the glomerular tuft with a circumferential
cellular crescent that occupies most of the Bowman space. Rapidly progressive
glomerulonephritis (RPGN) is defined as any glomerular disease characterized by extensive
crescents (usually >50%) as the principal histologic finding and by a rapid loss of renal function
(usually a 50% decline in the glomerular filtration rate [GFR] within 3 mo) as the clinical
correlate.
Image courtesy of Madeleine Moussa, MD, FRCPC, Department of Pathology, London Health Sciences Centre, London, Ontario, Canada.
Rapidly progressive GN
• The presenting complaints in RPGN may be
similar to those in severe postinfectious
glomerulonephritis: the acute onset of
macroscopic hematuria, decreased urine
output, hypertension, and edema.
• More commonly, however, RPGN has an
insidious onset with the initial symptoms
being fatigue or edema

UPTODATE. 2018
RPGN Types
• Types — RPGN is usually due to one of three
disorders, which reflect different mechanisms of
glomerular injury:
– Immune complex: refers to glomerulonephritis associated
with deposition of immune complexes in the glomeruli.
• In most cases, the serologic and histologic findings will point to
the underlying disease, such as mesangial IgA deposits in IgA
nephropathy, antistreptococcal antibodies and subepithelial
humps in postinfectious glomerulonephritis, antinuclear
antibodies,
– Pauci-immune: a necrotizing glomerulonephritis with few
or no immune deposits by immunofluorescence and
electron microscopy.
– Anti-GBM antibody disease glomerular disease caused by
anti-GBM antibodies.
Kapan biopsi ginjal pada
GNAPS dilakukan?
• In the acute setting, because it is unusual for
patients with Post Strep GN to require dialysis,
a renal biopsy is performed in patients with
significant renal impairment who require or
are progressing towards dialysis treatment to
confirm the diagnosis of Post Strep GN.

UPTODATE. 2018
Treatment of RPGN in Post Strep GN
• Patients with poststreptococcal glomerulonephritis typically recover
spontaneously, although recovery may not be complete, particularly in adults.
• Although there is no evidence that aggressive immunosuppressive therapy has
a beneficial effect in patients with rapidly progressive crescentic disease,
patients with more than 30 percent crescents on renal biopsy are often treated
with methylprednisolone pulses.
• Empiric initial therapy consists of intravenous pulse methylprednisolone (500
to 1000 mg/day for three days) and consideration of plasmapheresis,
especially if the patient has hemoptysis.
• Plasmapheresis may be a beneficial addition to therapy for patients who
present with severe renal failure (serum creatinine >6 mg/dL) or those who
progress despite treatment.
• However, despite aggressive treatment, approximately half of the affected
children will develop end-stage renal disease (ESRD).

UPTODATE. 2018
Minimal-Change Glomerulonephritis
• Nama lain Nil Lesions/Nil Disease (lipoid
nephrosis)
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
merupakan penyebab tersering dari sindrom
nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di
bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.

Nephrology (Carlton). 2007 Dec;12 Suppl 3:S11-4.


Pathophysiology of minimal change nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.
Cho MH, Hong EH, Lee TH, Ko CW.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17995521
Minimal-change disease (MCD)/lipoid nephrosis/nil disease, hampir selalu
beruhubungan dengan sindrom nefrotik (penyeban sindrom nefrotik idiopatik
tersering pada anak). Hampir tidak ditemukan perubahan pada membran maupun
sel mesangial
This is focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). An area of
collagenous sclerosis runs across the middle of this glomerulus. As the
name implies, only some (focal) glomeruli are affected and just part of
the affected glomerulus is involved (segmental) with the sclerosis. In
contrast to minimal change disease, patients with FSGS are more likely
to have non-selective proteinuria, hematuria, progression to chronic
renal failure, and poor response to corticosteroid therapy
Here is the light microscopic appearance of membranous nephropathy in which the
capillary loops are thickened and prominent, but the cellularity is not increased.
Membranous GN is the most common cause for nephrotic syndrome in adults. In most
cases there is no underlying condition present (idiopathic). However, some cases of
membranous GN can be linked to a chronic infectious disease such as hepatitis B, a
carcinoma, or SLE.
Mesangial Proliferative GN
• Mesangioproliferative pattern of glomerular
injury is characterized by the expansion of
mesangial matrix and the mesangial
hypercellularity.
• Contoh: immune disease such as IgA
nephropathy or class II lupus nephritis or non-
immune diseases such as early diabetic
glomerulosclerosis
Membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN)/
mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
• Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) is an
uncommon cause of chronic nephritis that occurs primarily in
children and young adults.
• This entity refers to a pattern of glomerular injury based on
characteristic histopathologic findings, including:
– (1) proliferation of mesangial and endothelial cells and expansion of
the mesangial matrix
– (2) thickening of the peripheral capillary walls by subendothelial
immune deposits and/or intramembranous dense deposits
– (3) mesangial interposition into the capillary wall, giving rise to a
double-contour or tram-track appearance on light microscopy
Membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN)
type I. Glomerulus with
mesangial interposition
producing a double contouring
of basement membranes,
which, in areas, appear to
surround subendothelial
deposits (Jones silver
methenamine–stained section;
original magnification × 400).
Courtesy of John A. Minielly,
MD.
58
• Anak 2 tahun mengalami kejang 1 jam yang lalu, diawali kaku kemudian
kelojotan di seluruh tubuh selama 3 menit
• Kejang yang pertama kali
• Sebelumnya batuk pilek dan panas tinggi 1 hari yang lalu
• Kompos mentis, menangis, suhu 38,5oC, tanda rangsang meningeal
tidak ditemukan, tidak ditemukan klonus
• Laboratorium GDS 130 mg/dL, Hb 13 g/dL, Ht 39%, Leukosit
4.000/mm3, Trombosit 200.000/mm3

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KEJANG DEMAM SIMPLEKS
JAWABAN:
A. KEJANG DEMAM SEDERHANA
• Anak 2 tahun  kejang pertama kali diawali kaku
kemudian kelojotan, seluruh tubuh, durasi 3 menit +
compos mentis dan menangis (tidak ada penurunan
kesadaran) + demam tinggi batuk pilek  Kejang
Demam Sederhana
• Tanda rangsang meningeal tidak ditemukan, tidak
ditemukan klonus  menyingkirkan meningitis dan
meningoensefalitis
• Pada KDS  lab singkirkan penyebab lain metabolic
dan infeksi berat, GDS 130 mg/dL, Hb 13 g/dL, Ht
39%, Leukosit 4.000/mm3, Trombosit 200.000/mm3
• Kejang Demam Kompleks  kejang durasi >15
menit, kejang fokal atau fokal jadi umum, berulang
dalam 24 jam
• Meningitis  kejang umum, bisa ada penurunan
kesadaran hingga sadar penuh, ada tanda rangsang
meningeal
• Meningoensefalitis  kejang umum, umumnya
ada penurunan kesadaran, tanda meningitis dan
ensefalitis
• Ensefalitis  kejang bisa umum/fokal, namun
disertai penurunan kesadaran pada anak serta
perbaikan kesadaran lambat
Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang TIDAK
disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada
riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus

Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI


Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang tidak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Generalized epilepsy with
Febrile seizures plus
febrile seizures plus (GEFS+)
• A syndromic autosomal dominant • This is similar to febrile seizures,
disorder where afflicted individuals
can exhibit numerous epilepsy but the child has seizures beyond
phenotypes. the normal age range.
• Generalised epilepsy with febrile • The seizures are always
seizures plus (GEFS+) is an unusual
epilepsy syndrome. associated with a high
• It describes families who have temperature.
several members from different • The seizures usually stop by the
generations with epileptic seizures. time the child reaches the age of
• The epileptic seizures nearly always
start after a family member has had 10 or 12.
febrile convulsions.
• In GEFS+ families, children may go
on to have febrile seizures well
beyond this age.
• They may also develop other
seizure types not associated with a
high temperature.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
– Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
– Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah

• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


– saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.
– Indikasi LP:
• Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
• Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
• Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang
• Indikasi CT scan/MRI
– Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
– Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam
kompleks sangat rendah
– Harus dilakukan :
• Makro/mikrosefali
• Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3
kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off ,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
59
• Anak berusia 2 tahun belum dapat merangkak dan berjalan
• Riwayat bayi tidak langsung menangis dan sempat biru
• Pasien belum bisa respon, hanya dapat berguling, dan terdapat
gangguan makan dan minum
• Pemeriksaan fisik didapatkan kontak mata kurang, head lag (+),
terdapat kelemahan pada keempat ekstremitas, hipertonus,
refleks fisiologis meningkat, babinski (+)

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  CEREBRAL PALSY
JAWABAN:
A. SEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK TETRAPARESE
• Anak 2 tahun  belum dapat merangkak dan
berjalan, belum bisa respon, hanya dapat
berguling, dan terdapat gangguan makan dan
minum  gangguan motoric anak
• Gangguan motoric anak + hipertonus + refleks
fisiologis meningkat + babinski (+)  Cerebral
palsy tipe spastik
• Kelemahan keempat ekstremitas + head lag (+
 CP tipe spastik quadri/tetraparesis
• Riwayat bayi tidak langsung menangis dan
sempat biru  hipoksia  faktor resiko
• Serebral palsy tipe spastik dipareses  CP spastik
namun kaki lebih terganggu dibanding tangan
• Serebral palsy tipe spastik hemiparese  CP
spastik namun alami gangguan pada tubuh sesisi
• Serebral palsy tipe ataksia  CP dengan lesi di
serebelum, terdapat tremor, langkah goyah dan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi
dan gerakan abnormal
• Serebral palsy tipe diskinetik  CP lesi di basal
ganglia, terjadi dystonia dan koreaatetosis, gerakan
involunter
Cerebral Palsy
• Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan
postur tubuh; yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap
kehidupan dengan latar belakang penyakit yang tidak progresif.
• Definisi dari cerebral palsy terdiri dari beberapa kondisi, yaitu: lokasi lesi
terdapat di otak, lesi permanen dan tidak progresif meski gambaran
kliniknya dapat berubah seiring waktu, lesi muncul di awal kehidupan dan
mengganggu perkembangan otak yang normal, gambaran kliniknya di
dominasi oleh gangguan gerak dan postur dan gangguan kemampuan
pasien untuk menggunakan ototnya secara sadar.
• Mungkin juga diiringi komplikasi lain dari gangguan neurologis dan tanda
maupun gejala mental.
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic, metabolic,
ischemic, infectious, and other acquired etiologies that produce a
common group of neurologic phenotypes
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
Klasifikasi palsi cerebral:
• Tipe Spastik (jenis paling banyak)
– Lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal.
– Terjadi peningkatan konstan pada tonus otot, peningkatan reflex
otot kadang di sertai klonus (reflex peregangan otot yang
meningkat) dan tanda Babinski positif.
• Tipe Diskinetik: akibat lesi pada basal ganglia atau batang
otak. Terdiri dari distonia dan koreaatetosis. Terkait dengan
gerakan involunter.
• Tipe Ataksik terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal. lokasi lesi utama yang menyebabkan
kelainan ini adalah cerebellum.
• Tipe Campuran merupakan gabungan dari 2 jenis (biasanya
tipe spastik dan koreoatetoid)
Clinical Manifestation
• Spastic hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is often more involved than the leg. Spasticity is apparent in
the affected extremities, particularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
• Spastic diplegia is bilateral spasticity of the legs greater than in the arms.
Examination: spasticity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremities is maintained
• Spastic quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremities and the high association with mental
retardation and seizures
• Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spastic cerebral palsy. Affected infants are characteristically
hypotonic with poor head control and marked head lag
Tujuan Terapi Cerebral Palsy
• Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas
serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita
sesedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan
diharapkan penderita bisa mandiri dalam melakukan aktivitas
kehidupannya di kemudian hari.
• Diperlukan tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat masalah
yang dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu tim antara
dokter anak, dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT,
dokter ortopedi, psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua penderita.
• Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi
wicara, okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan
ortotik protese
60
• Bayi laki-laki 9 bulan keluhan belum bisa duduk dan
merangkak
• Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera warna biru
• Rontgen menunjukkan tulang panjang melengkung
dan banyak garis fraktur

ETIOLOGI PENYAKIT…
DIAGNOSIS  OSTEOGENESIS IMPERFECTA
JAWABAN:
C. MUTASI GENETIK
• Bayi laki-laki 9 bulan keluhan belum bisa
duduk dan merangkak + blue sclera + tulang
panjang melengkung dan banyak garis fraktur
 Osteogenesis Imperfecta (OI)
• OI diwariskan  penyakit jaringan ikat disebut
brittle bone disease  anak mudah alami
fraktur dengan trauma minimal atau tanpa
trauma
• Penyebab: mutasi genetic (bisa diwariskan
autosomal dominan/ autosomal resesif/
mutase baru)
Osteogenesis imperfecta
• Osteogenesis imperfecta (OI) is an inherited
connective tissue disorder with many phenotypic
presentations.
• It is often called "brittle bone disease."
• Severely affected patients suffer multiple
fractures with minimal or no trauma, and infants
with the worst form of OI die in the perinatal
period.
• Mild forms of OI may manifest with only
premature osteoporosis or severe
postmenopausal bone mineral loss.
Osteogenesis imperfecta
• Cause: mutations that can either genetically inherited by
autosoma dominant (most of cases)/ autosomal recessive or
new mutation
• Classification: Type I to XVII, the most frequent types are type
I through IV, caused by mutations in the COL1A1 and COL1A2
genes that encode type I procollagen.
• In OI, pathologic changes are seen in all tissues of which type
1 collagen is an important constituent (eg, bone, ligament,
dentin, and sclera). The basic defect is one of a qualitative or
quantitative reduction in type 1 collagen.
Acute fractures are observed in the radius and
ulna. Multiple fractures can be seen in the ribs.
Old healing humeral fracture with callus
formation is observed.
Blue sclera in a child with
osteogenesis imperfecta.
Dentinogenesis imperfecta
Clinical Manifestation
• Blue sclerae • Fractures(most
• Triangular facies commonly transverse
• Macrocephaly humerus, olecranon,
diaphyseal humerus
• Hearing loss fracture)
• Defective dentition • Wormian bones (small
(dentinogenesis irregular bones along
imperfecta) the cranial suture)
• Barrel chest • Joint laxity
• Scoliosis • Growth retardation
• Limb deformities • Constipation and
sweating
Treatment
• Bisphosphonates are the • Surgery: remains a pillar of
mainstay of pharmacologic treatment for patients with
fracture-prevention therapy OI, but it should be
for most forms of OI (except performed only if it is likely
to improve function and
for type VI) only if the treatment goals
• Rehabilitation: Physical and are clear. S
occupational therapy – Orthopedic surgery:
intramedullary rod placement
• Diet: Nutritional evaluation – Basilar skull deformity that
and intervention are causes nerve compression or
paramount to ensure other neurologic symptoms
appropriate intake of may require neurosurgical
correction.
calcium, phosphorus, and – Stapedotomy may be
vitamin D appropriate for some patients
with predominantly
conductive hearing loss
61
• Bayi perempuan usia 1 hari keluhan benjolan
besar di area bokong sejak lahir
• Pada area sakrum terdapat massa berukuran
20x15x15 cm

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  TERATOMA SAKROKOKSIGEAL
JAWABAN:
E. TERATOMA SACROCOCCYGEAL
• Bayi perempuan usia 1 hari keluhan
benjolan besar di area bokong sejak lahir +
area sakrum terdapat massa berukuran
20x15x15 cm  kelainan bawaan 
teratoma sakrokoksigeal
• Meningocele  ada benjolan seperti kantung menonjol
di punggung (tulang belakang), bagian dari kondisi spina
bifida, dimana hanya meninges yang masuk ke kantung
• Myelomeningocele  ada benjolan kantung, bagian dari
spina bifida, ada meninges, spinal cord, dan cabang
nervus masuk dalam kantung
• Spina bifida occulta  bentuk spina bifida paling ringan,
hanya ada gap pada area tulang belakang, tidak ada
benjolan
• Encephalocele  defek neural tube juga, berupa
benjolan kantung pada kepala, berisi protrusi jaringan
otak
Teratoma sacrococcygeal
• Suatu teratoma yang berasal dari regio
sakrokoksigeal
• Insiden jarang, yaitu 1:35.000-40.000
• Lebih banyak terjadi di wanita
• Teratoma ini berasal dari sel totipoten
nodus hansen, yang berada di anterior
coccyx pada saat minggu kedua-ketiga
gestasi
• Tumor ini berisi endoderm, mesoderm,
dan ektoderm
62
• Bayi berusia 2 minggu keluhan tangan dan kaki dingin, keringat di
kepala, lemas sejak 4 hari SMRS, muntah beberapa kali
• Riwayat kematian anak saat bayi sebelumnya karena ambigus genital
• Kondisi letargi, syok, dan ambigus genital
• Hasil laboratorium pasien asidosis metabolic berat, hiponatremia,
hiperkalemia, 17-hidroksi-progresteron 84 nmol/L (normal < 36
nmol/L).

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KRISIS ADRENAL PADA CONGENITAL
ADRENAL HYPERPLASIA
JAWABAN:
A. KRISIS ADRENAL
• Bayi kondisi tangan dan kaki dingin, keringat, lema (syok) +
muntah + letargi (gangguan kesadaran) + hyponatremia +
hyperkalemia + asidosis metabolic berat  krisis adrenal
• Ambigus genitalia + peningkatan kadar 17-hidroksi-progresteron
 congenital adrenal hyperplasia (CAH)
• Penyebab CAH tersering defisiensi enzim 21-hidroksilase 
gangguan pembentukan kortisol  kortisol rendah, bisa disertai
aldosteron rendah  salt losing  menyebabkan krisis adrenal,
biasanya pada usia 1-4 minggu
• 17-hidroksi-progresteron merupakan zat yang menumpuk pada
CAH akibat tidak adanya enzim 21-hidroksilase  jalur
pembentukan androgen meningkat  ambigus genitalia
• Cushing disease  Cushing syndrome akibat sekresi
ACTH berlebih dari hipofisis anterior
• Cushing syndrome  hiperkortisolism  pajanan kronik
glukokortikoid berlebih sebabkan peningkatan berat
badan berlebih, muka bulan, hipertensi, atrofi kulit,
hiperglikemia, disfungsi gonad, kelemahan otot
• Addison disease  insufisiensi adrenal, biasanya gejala
perlahan lahan, bisa sebabkan juga krisis adrenal
• Feokromositoma  tumor penghasil katekolamin dari
medulla adrenal, bisa anak berkeringat, takikardia,
hipertensi
Adrenal Crisis
• Adrenal crisis or acute adrenal insufficiency is an acute life-
threatening condition
• Acute complication of adrenal insufficiency
• Usually present with an unexplained shock which is
refractory to vasopressors and fluids
• Classical manifestations:
– weakness and fatigue (74–100%)
– weight loss with failure to thrive can be seen in 61–100%
– hypoglycemic crises
– seizure
– anorexia, orthostatic hypotension and tachycardia can be seen
in 88–94
– skin and mucosal hyperpigmentation in 80–94%
– nausea, vomiting, and diarrhea which occur in 75–86% or
recurrent abdominal pain which occur in 31% of the patients
Congenital Adrenal Hyperplasia
Diagnosis of CAH
63
• Anak laki-laki 5 tahun mengalami kesulitan gerak selama 6 bulan,
terdapat gangguan dalam berlari, berjalan, dan melompat yang
sebelumnya bisa dilakukan
• Sering merasa kram otot
• Ada waddling gait, pseudohipertrofi gastrocnemius dan hiperlordosis
lumbal
• Riwayat dari keluarga pihak ibu ada yang meninggal karena kelainan
otot.

PENYEBAB KELAINAN…
DIAGNOSIS  DUCHENNE MUSCULAR DYSTROPHY
JAWABAN:
C. HEREDITER X-LINKED RESESIF
• Anak laki-laki 5 tahun  kesulitan gerak
selama 6 bulan (terdapat gangguan dalam
berlari, berjalan, dan melompat) + sering kram
otot + ada waddling gait, pseudohipertrofi
gastrocnemius dan hiperlordosis lumbal 
Duchenne Muscular Dystrophy
• DMD  myopati progresif diwariskan  X-
linked recessive form of muscular dystrophy 
riwayat dari keluarga pihak ibu ada yang
meninggal karena kelainan otot, anak laki-laki
Duchenne Muscular Dystrophy
• An inherited progressive myopathic disorder; rapidly
progressing muscle weakness and wasting,
• X-linked recessive form of muscular dystrophy
• Affects 1 in 3600 boys
• Caused by mutations in the dystrophin gene, and
hence is termed “dystrophinopathy”
• Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated
with the most severe clinical symptoms
• Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar
presentation to DMD, but typically has a later onset
and a milder clinical course
Four phases of DMD
• Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping
or running, enlarged muscles, contractures.
• Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers
manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue.
• Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a
powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back
weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain
use of fingers).
• Late stage (15+): life threatening heart and respiratory
problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s.
Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
Pathogenesis • Dystrophin links the muscle cells to
the extracellular matrix stabilising the
membrane and protecting the
sarcolemma from the stresses that
develop during muscle contraction.
• Mechanically induced damage
through eccentric contractions puts a
high stress on fragile membranes and
provokes micro-lesions that could
eventually lead to loss of calcium
homeostasis, and cell death.
• Imbalance between necrotic and
regenerative processes: early phase
of disease.
• Later phases the regenerative
capacity of muscle fibers are
exhausted and fibers are gradually
replaced by connective tissue and
adipose tissue.
(Deconinck and Dan, 2007)
Clinical Manifestations
• Proximal before distal limb muscles
• Lower before upper extremities
• Difficulty running, jumping, and walking up steps
• Waddling gait
• Lumbar lordosis
• Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat
infiltration
• Patients are usually wheelchair-bound by the age
of 12
Diagnosis
• Characteristic age and sex
• Presence of symptoms and signs suggestive of
a myopathic process
• Markedly increased serum creatine kinase
values
• Myopathic changes on electromyography and
muscle biopsy
• A positive family history suggesting X-linked
recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme
• Markedly raised serum CK level, 10-20 times
the upper limit of normal
– Levels peak at 2-3 years of age and then decline
with increasing age, due to progressive loss of
dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
64
• Anak laki-laki berusia 8 tahun terdapat bercak bercak merah
yang meninggi pada kulit kedua tungkai sejak 7.
• Disertai nyeri sendi, nyeri perut dan kemarin sempat
mengalami BAB dengan sedikit darah.
• PF palpable purpura pada kedua tungkai bawah.
• Lab didapatkan leukosit, Hb, dan trombosit dalam batas
normal.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  HENOCH SCHONLEIN PURPURA
JAWABAN:
C. HSP
• Anak laki-laki berusia 8 tahun  bercak
bercak merah yang meninggi pada kulit
(palpable purpura) pada kedua tungkai
bawah sejak 7 hari yang lalu + nyeri sendi +
nyeri perut dan BAB dengan sedikit darah
(bowel angina)  Henoch Schonlein
Purpura
• Laboratorium didapatkan leukosit, Hb, dan
trombosit dalam batas normal pada HSP.
• ITP  trombositopenik purpura akibat destruksi
premature trombosit, maka akan ada penurunan
trombosit (pada kasus jumlah normal)
• TTP  trombositopenik purpura (biasanya ada
penurunan trombosit, sementara pada kasus tidak
ada)
• SLE  penyakit autoimun kronik, kelainan pada
kulti dan mukosa (malar rash, discoid rash), keluhan
sendi, manifestasi hematologi, dan lainnya sesuai
kriteria oleh ACR 1997
• JRA  artritis pada minimal 1 sendi selama >6
minggu, pada anak <16 tahun (tidak ada purpura
seharusnya)
Henoch-Schönlein Purpura
• Henoch-Schönlein Purpura (HSP) merupakan vaskulitis
generalisata akut yang dimediasi oleh immunoglobulin A (IgA),
yang melibatkan pembuluh darah ukuran kecil pada kulit, traktus
gastrointestinal, ginjal, sendi, dan dapat melibatkan paru dan SSP
(jarang)
• Gejala tipikal dari HSP adalah nyeri kepala, demam, dan anoreksia
Henoch Schonlein Purpura
• Also called “anaphylactoid purpura”
• HSP is a systemic vasculitic syndrome
with:
– Palpable purpura
– Arthralgias
– GI involvement
– Glomerulonephritis
• 90% of cases reported in children
– Peak in children aged 4-7
• Male:Female (1.5:1)
• Renal disease is more severe in adults
Palpable Purpura in HSP:
Symmetrical
Dependent areas
PATHOGENESIS
• Likely mechanism thought to be an immune-
complex mediated disease with deposits in
the glomerular capillaries, dermal capillaries
and GI tract.
• Mesangial deposits of IgA are the same as
those seen in IgA nephropathy
CLINICAL FEATURES: Tetrad of
symptoms
• Abdominal pain • Palpable purpura
– GI INVOLVEMENT: more – most commonly seen on lower
common in children. Symptoms extremities and buttocks,
include abdominal pain, nausea, however can also been seen on
vomiting, diarrhea, constipation the trunk and arms.
or bowel intussusception. May – Lesions begin as erythematous
present with GI bleeding. macules and progress to
• Renal disease purpuric, non-blanching,
– in up to 50% of patients; May nonpruritic lesions that may
present with hematuria; Usually become confluent
resolve spontaneously. • Arthritis/arthralgias
– Can have mild – more common in adults and
glomerulonephritis leading to
microscopic hematuria and can most common in knees and
lead to a rapidly progressive ankles. Generally self-limiting
glomerulonephritis with RBC
casts
DIAGNOSIS
LABORATORIUM DIAGNOSIS
• May have mild leukocytosis • Generally a clinical
• Normal platelet count diagnosis
• Skin Biopsy: can be helpful
• Normal serum complement and used to confirm IgA and
levels C3 deposits and
• Elevated IgA in 50% leukocytoclastic vasculitis.
• Renal Biopsy: not usually
needed for diagnosis. Will
show mesangial IgA
deposits and segmental
glomerulonephritis
Tatalaksana
• Tatalaksana HSP bersifat suportif, prinsipnya menjaga status hidrasi,
nutrisi, dan analgetik.
• Symptomatic treatment for abdominal and joint pain in patients with
IgAV (HSP) includes the use of acetaminophen or nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs).
• Penggunaan prednisone (1 mg/kg/hari untuk 1-2 minggu, only in patients
with symptoms significant enough to substantially limit their oral intake,
interfere with their ability to ambulate and perform activities of daily
living, and/or require hospitalization.
• In children who present with severe renal involvement (ie, proteinuria of
>1 g/day, nephrotic syndrome, or evidence of crescentic
glomerulonephritis on renal biopsy)  three pulses of (IV)
methylprednisolone 1 g/1.73 m2 (one dose daily, or on alternate days, for
three doses), followed by oral prednisone 30 mg/m2 once daily for one
month, then oral prednisone 30 mg/m2
Uptodate. 2019every other day for two months.
65
• Bayi laki-laki berusia 1 bulan dibawa karena
tampilan fisik yang tidak seperti anak lainnya serta
gangguan pertumbuhan dan perkembangan
• Dokter yang memeriksa mencurigai bayi ini
menderita pierre robin syndrome

GAMBARAN KLINIS PIERRE ROBIN SYNDROME…


DIAGNOSIS  PIERRE-ROBIN SYNDROME
JAWABAN:
A. PALATOSKISIS + MIKROGNATHIA + GLOSSOPTOSIS
• Bayi laki-laki berusia 1 bulan tampilan fisik yang tidak
seperti anak lainnya + gangguan pertumbuhan dan
perkembangan  kelainan kongenital pada anak
• Pierre robin syndrome  autosomal resesif terkait
kromosom X  pada kasus anak laki-laki lebih sering
• Temuan utama:
– Mikrognatia  mandibula kecil (91.7% kasus)
– Glossoptosis  70—85% kasus
– Palatoskisis  cleft palate di palatum mole maupun durum
bentuk U atau V (14-91% kasus)
• Labioskisis tidak termasuk (opsi B,C,D,E tidak tepat)
GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited
Physical development is often slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabilities, and behavioral problems are possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties
Kallmann syndrome Genetic disorder consists of hypogonadotropic
hypogonadism + anosmia

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.

Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a


Diturunkan secara range of developmental problems including learning
X-linked dominan disabilities and cognitive impairment.
Usually, males are more severely affected by this disorder
than females.
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya
enzim billirubin-UGT yang berfungsi untuk eliminasi
Crigler-Najjar
bilirubin. Akibatnya, muncul gejala klinis akibat
Syndrome
hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah
lahir) hingga dapat menjadi kernickterus

Pierre-Robin Diturunkan autosomal resesif terkait kromosom X. Tanda


Syndrome berupa micrognathia, glossoptosis, macroglossia,
ankyloglossia. Micrognathia+glossoptosisgangguan
pernapasan berat dan sulit makan. Selain itu terdapat
juga cleft palate di soft maupun hard palate dengan
bentuk U atau V.
Pierre Robin Sequence
• Pierre Robin sequence may occur alone (isolated) or be associated with a
variety of other signs and symptoms (described as syndromic).
• In about 20 to 40 percent of cases, the condition occurs alone.
• Autosomal recessive inheritance is possible. An X-linked variant has been
reported involving cardiac malformations and clubfeet.
• Gejala klinis oral (bold merah merupakan temuan utama pierre robin):
– Micrognathia: mandibula berukuran kecil (reported in the majority of cases -
91.7%)
– Glossoptosis: posterior displacement of the tongue toward the pharynx
(noted in 70-85% of reported cases)
– Palatoschisis (prevalence 14-91%): cleft palate di soft maupun hard palate
dengan bentuk U (80%) atau V
– Macroglossia & Ankyloglossia / tongue tie (relatively rare findings, noted in 10-
15% of reported cases)
– Micrognathia + glossoptosis gangguan pernapasan berat dan sulit makan.
Other Signs
• Gejala klinis telinga:
– The most common otic anomaly is otitis media, occurring 80% of the time
– followed by auricular anomalies in 75% of cases.
– Hearing loss, mostly conductive, occurs in 60% of patients
• Systemic & ocular:
– In general, systemic anomalies in 10-85% of reported cases:
• musculoskeletal system are the most frequent systemic anomalies (noted in 70-80% of
cases). They include syndactyly, polydactyly, clinodactyly, hyperextensible joints, and
oligodactyly in the upper limbs. In the lower extremities, foot anomalies (clubfeet,
metatarsus adductus), femoral malformations (coxa varus or valgus, short femur), hip
anomalies, anomalies of the knee (genu valgus, synchondrosis), and tibial abnormalities
have been reported. Vertebral column deformities include scoliosis, kyphosis, lordosis,
vertebral dysplasia, sacral agenesis, and coccygeal sinus
• Cardiovascular: murmurs, pulmonary stenosis, patent ductus arteriosus, patent foramen
ovale, atrial septal defect, and pulmonary hypertension have all been documented
(prevalence varies 5-58%)
• Central nervous system (CNS) defects such as language delay, epilepsy,
neurodevelopmental delay, hypotonia, and hydrocephalus may occur. The incidence of
CNS defects is around 50%.
• Genitourinary defects may include undescended testes (25%), hydronephrosis (15%),
and hydrocele (10%).
– Ocular anomalies are reported in 10-30% of patients.
66
• Anak perempuan berusia 5 tahun keluhan utama tungkai kiri tidak
dapat digerakkan sejak 2 hari yang lalu
• Tiga minggu yang lalu pasien demam selama 5 hari disertai dengan
diare
• Suhu 37,3oC, tonus otot turun, refleks tendon tungkai kiri menghilang,
reflex chaddock (-), Oppenheim (-), klonus (-), atrofi otot (+). Kaku
kuduk (-)
• Anak tidak imunisasi lengkap

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  POLIOMIELITIS
JAWABAN:
A. POLIOMIELITIS
• Anak 5 tahun  kelemahan asimetris
(tungkai kiri tidak dapat digerakkan sejak 2
hari yang lalu + tonus otot turun + refleks
tendon tungkai kiri menghilang + atrofi otot
(+)  poliomielitis
• Riwayat 3 minggu yang lalu pasien demam
selama 5 hari disertai dengan diare 
poliomyelitis bisa ada demam dan
gangguan GI tract
• Faktor resiko: tidak imunisasi lengkap
• GBS  paralisis akut bersifat ascendens, simetris,
ada arefleksia/penurunan refleks
• Myasthenia Gravis  paralisis otot asimetris,
memburuk dengan aktivitas membaik dengan
istirahat, biasanya kena pertama otot ocular
sebabkan ptosis
• Myelomalacia  perubahan korda spinalis diamati
dari pemeriksaan imaging (MRI), dimana tampak
hilang volume korda spinalis oleh berbagai sebab
• Myelopathy  injury spinal cord, bisa karena
kompresi akibat trauma, stenosis kongenital,
herniasi diskus, hingga degeneratif
Poliomyelitis
• Poliomyelitis is an enteroviral • Poliomyelitis:
infection – 90-95% of all infection remain
asymptomatic
• Poliovirus is an RNA virus that is – 5-10% abortive type:
transmitted through the oral- • Fever
fecal route or by ingestion of • Headache, sore throat
contaminated water • Limb pain, lethargy
• The viral replicate in the • GI disturbance
nasopharynx and GI tract → – 1-2% major poliomyelitis:
invade lymphoid tissues → • Non-paralytic: Meningitis syndrome
hematologic spread → viremia → • Paralytic:
neurotropic and produces – Flaccid paresis with asymmetrical
proximal weakness & areflexia, mainly
destruction of the motor neurons in lower limbs
in the anterior horn – Paresthesia without sensory loss or
autonomic dysfunction
– Muscle atrophy
Paralytic polio
• Paralytic polio is classified into three types, depending on
the level of involvement.
– Spinal polio is most common, and during 1969–1979, accounted
for 79% of paralytic cases.
It is characterized by asymmetric paralysis that most often
involves the legs.
– Bulbar polio leads to weakness of muscles innervated by cranial
nerves and accounted for 2% of cases during this period.
– Bulbospinal polio, a combination of bulbar and spinal paralysis,
accounted for 19% of cases
– An autopsy study of one patient revealed gliosis and CD8+
inflammatory cells in the anterior horns, with moderate
anterior horn cell loss

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/polio.pdf |
Uptodate 2018
Diagnosis Poliomielitis
Pemeriksaan Penunjang
• Darah:
– Leukosit normal/sedikit meningkat
– Serum antibodi akut dan konvalesens
– Peningkatan titer IgG 4x lipat atau titer anti-IgM (+) pada stadium akut
– PCR
• LCS:
– 20-300 sel, predominan limfosit (lymphocytic pleocytosis), glukosa normal,
protein normal/sedikit meningkat
– PCR
• Kultur:
– Dilakukan pemeriksaan kultur virus dari fese dan apus tenggorok, pada pasien
tersangka infeksi poliomyelitis (pasien AFP)
• Histologi:
– Ag spesifik enterovirus dilakukan imumofluresens dan pemeriksaan RNA
melalui PCR

PPM IDAI | Uptodate


Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf
By dr. George Dewanto, SpS, dr. Wita J. Suwono, SpS, dr. Budi Riyanto, SpS, & dr. Yuda Turana, SpS
Pemeriksaan Penunjang
• The diagnosis of poliomyelitis is suspected based on the clinical
presentation and cerebrospinal fluid findings.
• The gold standard for confirming the diagnosis is polymerase chain
reaction (PCR) amplification of poliovirus RNA from the
cerebrospinal fluid.
• Alternatively, the diagnosis can be confirmed by virus isolation, but
this method is less sensitive than PCR.
• Poliovirus can be isolated from throat secretions in the first week of
illness and from feces for several weeks.
• It rarely can be isolated from cerebrospinal fluid.
• The diagnosis can also be made serologically, by comparing viral
titers in acute and convalescent sera, but this method is slow and
often hard to accomplish with the large number of enteroviruses
PPM IDAI | Uptodate
PENATALAKSANAAN PARALYTIC POLIOMYELITIS
• No antivirals are effective against polioviruses.
• The treatment of poliomyelitis is mainly supportive.
• Analgesia
• Mechanical ventilation
• Tracheostomy care
• Physical therapy: active and passive motion exercises
• Frequent mobilization to avoid development of chronic
decubitus ulcerations
• PENCEGAHAN: VAKSINASI (penting!)
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html)
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster diberikan OPV atau IPV.
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan)
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis
minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan dengan OPV-3
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova-
minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
67
• Anak perempuan 13 tahun, keluhan nyeri sendi dan muka kemerahan
selama 1 tahun, lemas dan cepat capek
• Terkena sinar matahari kedua pipi akan muncul ruam kemerahan.
• Konjungtiva anemis, tekanan darah sedikit meningkat, malar rash (+),
ulserasi palatum (+)
• Hasil laboratorium Hb 9 g/dL, MCV 85 fL, MCH 30 pg, MCHC 32, Ur 150
mg/dL, Cr 3.5 mg/dL

DIAGNOSIS TEPAT…
DIAGNOSIS  SLE
JAWABAN:
D. SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
• Anak perempuan 13 tahun  malaise + arthralgia +
malar rash + fotosensitivitas + ulserasi mukosa +
hipertensi dan gangguan ginjal (Ur 150 mg/dL, Cr 3.5
mg/dL ) +gangguan hematologi anemia normositik
normokrom (Hb 9 g/dL, MCV 85 fL, MCH 30 pg, MCHC
32)  terdapat gangguan berbagai sistem organ waktu
lama (1 tahun)  kondisi autoimun  SLE
• SLE bila ada 4 dari 11 kriteria American College of
Rheumatology 1997  pada kasus 6/11:
– Ruam malar
– Fotosensitif
– Ulkus oral
– Artritis
– Gangguan ginjal
– Gangguan hematologi
• AIHA  anemia hemolitik autoimun  ada anemia
normositik, namun seharusnya tidak ada manifestasi lain
pada kulit maupun ginjal
• Gagal ginjal kronik  pada anak hanya tampak penurunan
fungsi ginjal, belum diketahui lanjut apakah kronik dan ada
perubahan struktur ginjal
• Demam rematik  ada artralgia juga, namun ini penyakit
sistemik setelah infeksi Streptokokus (pasien kasus tidak ada
riwayat curiga infeksi Streptokokus)
• Cutaneus Lupus Erythematosus  gejala manifestasi kulit
pada lupus  pada pasien ada kondisi gangguan ginjal hingga
hematologi, tidak terbatas hanya di kulit saja
Lupus Eritematosus sistemik
• Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronik
yang memiliki karakteristik berupa inflamasi multisystem dan ditemukannya
autoantibodi terhadap antigen diri sendiri (antibodi antinuklear) yang
belum diketahui penyebabnya
• merupakan penyakit sistemik evolutif yang ditandai oleh inflamasi luas pada
pembuluh darah dan jaringan ikat dan mengenai satu atau beberapa organ
tubuh, serta bersifat episodik dengan diselingi oleh periode remisi
• SLE dapat terjadi pada semua organ namun terutama pada kulit, sendi,
ginjal, precursor sel darah, pembuluh darah, hingga sistem saraf pusat.
• Dibandingkan dengan orang dewasa, anak dengan SLE memiliki manifestasi
klinis dan keterlibatan organ lebih besar dan lebih berat

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Manifestasi Klinis Systemic
Lupus Erythematosus
• Gejala konstitusional (intermiten/persisten): demam,
ruam, mukositis, artritis, malaise, fatigue, alopesia,
anoreksia dan penurunan berat badan.
• Kelainan kulit dan mukosa, (30-60% anak pada saat
didiagnosis).
• Keluhan sendi yang dapat berupa nyeri, bengkak dan
morning stiffness (90% anak penderita LES).
• Alopesia (25% anak), dapat bersifat difus atau
berkelompok.
• Gejala akibat kelainan organ lain yang dapat terjadi
pada suatu saat/tahap evolusi penyakit yang berbeda
Systemic Lupus Erythematosus
• Secara klinis terdapat 2 unsur penting LES yaitu:
– Bersifat episodik, biasanya terjadi pada anak yang
lebih besar, dengan gejala intermitten artritis,
pleuritis, dermatitis atau nefritis.
– Multisistemik, pasien memperlihatkan kelainan pada
lebih dari satu organ akibat vaskulitis, misalnya pada
kulit, ginjal dan susunan saraf pusat.
• Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11
kriteria menurut American College of
Rheumatology 1997
Autoantibody pada Systemic
Lupus Erythematosus
Penatalaksanaan
Tirah baring
• Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu
tubuh anak dengan demam dan tanpa demam.
• Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam
selama aktivitas normal tidak cukup menyebabkan
demam.
• Memaksakan anak demam untuk tirah baring tidak
efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara
psikologis.
68
• Anak laki-laki berusia 8 tahun, keluhan demam tinggi
mendadak sejak 4 hari sudah turun 1 hari yang lalu
• Ruam badan dan mimisan
• TD: 70/40 mmHg, nadi teraba cepat dan lemah 140x/menit,
pernapasan 26 x/menit, suhu 37°C, akral teraba dingin
• Pemeriksaan lab Ht 57%, trombosit 40.000/mm3

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  DENGUE SHOCK SYNDROME
JAWABAN:
A. KRISTALOID 20 ML/KGBB SELAMA 30 MENIT
• Anak laki-laki berusia 8 tahun  pola demam
tinggi mendadak sejak 4 hari lalu, turun 1 hari
yang lalu + ruam badan + mimisan (manifestasi
perdarahan) + hemokonsentrasi (Ht 57%) +
trombositopenia 40.000/mm3  Infeksi
Dengue  Dengue Hemorrhagic Fever
• Hipotensi 70/40 mmHg + nadi teraba cepat
dan lemah 140x/menit, akral teraba dingin 
syok  DSS
• Terapi: Loading cairan Kristaloid 20 ml/kgBB
selama 30 menit (secepatnya)
DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes
albopictus
• DEN-2 merupakan serotipe yang paling tinggi risiko infeksi
DHF
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial
illness,  by about 2 weeks & undetectable phase, persist from several months to a
after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of the • IgM: significantly lower in secondary infection
first week & remain for a longer period (for cases.
many years).
Rumple leede test

• A tourniquet test used to determine the presence of


vitamin C deficiency or thrombocytopenia
• A circle 2.5 cm in diameter, the upper edge of which is
4 cm below the crease of the elbow, is drawn on the
inner aspect of the forearm, pressure midway between
the systolic and diastolic blood pressure is applied
above the elbow for 15 minutes
• Count petechiae within the circle is made:
– 10  normal
– 10-20  marginal
– more than 20  abnormal.
Pemantauan Rawat
Alur Perawatan
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
69
• Anak laki-laki berusia 10 tahun keluhan demam
selama 8 hari, terutama pada sore hari, yang
dirasakan semakin tinggi suhunya dari hari ke hari
• Pemeriksaan tanda vital didapatkan suhu 39oC dan
terdapat kondisi bradikardi relatif

TANDA PATOGNOMONIS…
DIAGNOSIS  DEMAM TIFOID
JAWABAN:
A. ROSE SPOT
• Anak usia 10 tahun demam 8 hari pola
terutama pada sore hari, step ladder fever
+ kondisi bradikardi relative  Demam
tifoid
• Tanda patognomonis: Rose spot 
makulopapula ukuran 1-4 cm, jumlah <5,
warna pink (salmon-colored), pada batang
tubuh, hilang dalam 2-5 hari
• Nodul subkutan + Artritis  salah satu kriteria
diagnosis demam rematik
• Nagayama spot  ulkus uvulopalatoglassal
junction pada roseola infantum
• Cullen sign  pada pankreatitis akut,
menandakan hemorrhagic pancreatitis
Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya oleh S.
paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
Gejala Klinis:
1. Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama. Minggu kedua demam
terus menerus tinggi
2. Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
3. Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Onset Manifestasi Klinis
• Minggu I: malaise, nyeri kepala, batuk dan nyeri tenggorok pada
fase prodromal. Demam dengan karakteristik step ladder fever
yang diikuti nyeri perut, konstipasi, atau diare.
• Minggu II: pada hari 7-10 dapat ditemukan hepatomegali ringan,
relative bradycardia, dan rose spot.
• Minggu III: “Typhoid state”apatis, delirium, disorientasi, diare,
hingga koma. Dapat terjadi juga perdarahan saluran cerna atau
perforasi pada usus.

Rose spot
Clinical features
• Step ladder fever in the first week, the persist
• Abdominal pain
• Diarrhea/constipation
• Headache
• Coated tongue (lidah tifoid: bagian tengah kotor, pinggir hiperemis)
• Hepatosplenomegaly
• Rose spot
– salmon-colored, blanching, truncal, maculopapules usually 1-4 cm wide and
fewer than 5 in number; these generally resolve within 2-5 days.
– These are bacterial emboli to the dermis and occasionally develop in persons
with shigellosis or nontyphoidal salmonellosis.
• Bradikardia relatif
• dicrotic pulse (double beat, the second beat weaker than the first)
• Crackles over the lung bases
• Typhoid state, which is characterized by apathy, confusion, and even
psychosis
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi perifer
– Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus
– Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
• Pemeriksaan serologis
– Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke
konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat
endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian
– Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
– Tubex Test
• Pemeriksaan biakan Salmonella
– The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of
the organism. Cultures are widely considered 100% specific
– Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
hingga munggu ke-4
• Pemeriksaan radiologis
– Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
– Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi) Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Kultur Typhoid
• Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
• Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi
• Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
• Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
– Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari.
Tes Widal:

• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H


dari salmonella.
• Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari
hasil pertama.
• Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H
meningkat setelah 10-12 hari.
• Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel
karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga
1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian
memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang
signifikan.
• Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot
• Deteksi IgM dan IgG terhadap outer
membrane protein (OMP) 50 kDa dari
S. typhi.
• Positif setelah infeksi hari 2-3.
• Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%

Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Darah Sensitivitas 70% Sensitivitas 40-


(GOLD 50% disarankan
STANDARD) kultur feses/urin

Bone marrow Sensitivitas 90%


(setelah 5 hari
antibiotik akan
turun) terlalu
invasif dan tidak
menjadi pilihan
utama
Feses Sensitivitas 20-60%

Urin Sensitivitas 25-30%


Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
70
• Anak laki-laki usia 4 tahun keluhan demam sejak 8 hari yang lalu
• Kedua mata merah serta berair, terdapat kemerahan dan edema di
tangan dan kaki
• Injeksi konjungtiva, bibir pecah-pecah, keilitis, strawberry tongue,
pembesaran KGB leher unilateral, dan eritema akut di area palmar dan
plantar
• Hb 9.5 mg/dL, Leukosit 17.500/mm3, Trombosit 240.000/mm3, LED 50
mm/jam.

DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KAWASAKI DISEASE
JAWABAN:
B. PENYAKIT KAWASAKI
• Anak laki-laki usia 4 tahun  demam sejak 8 hari +
injeksi konjungtiva + bibir pecah-pecah, keilitis,
strawberry tongue + pembesaran KGB leher unilateral
+ eritema dan edema akut di area palmar dan plantar
 Kawasaki disease
• Kriteria diagnosis:
– Demam setidaknya 5 hari
– Minimal 4 kondisi pada pasien: perubahan ekstremitas
perifer (eritema dan edema pada pasien), perubahan
orofaring (eritema, fisura, strawberry tongue pada
pasien), injeksi konjungtiva bulbar, limfadenopati akut
• Bisa ditemukan: anemia (Hb 9.5 mg/dL), Leukositosis
(17.500/mm3), LED 50 mm/jam meningkat.
• Rubella  karena virus biasanya tidak leukositosis,
tidak ada gejala strawberry tongue
• HFMD  karena virus, biasanya tdk ada
leukositosis, tidak ada strawberry tongue, temuan
klinis berupa lesi pada mukosa oral, tangan, kaki,
bokong, anus
• SSSS  kulit mengelupas di seluruh tubuh, pada
neonatus dan bayi, karena toksin stafilokokus
• Rubeola/morbili  Gejala 3 C dengan ruam kulit
mulai dari leher, penyebab virus  harusnya tdk
leukositosis, tidak ada strawberry tongue ataupun
bibir pecah
Kawasaki disease
• Penyakit kawasaki merupakan sindrom vasculitis akut yang
terjadi pada fase akut demam
• Etiologi dari kasus ini belum diketahui secara jelas hingga
saat ini
• Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak Asia, khususnya
dari Jepang
• Proporsinya lebih banyak pada pria, yaitu dengan rasio laki-
laki:perempuan = 1.5:1
• Terjadi banyak pada anak yang berusia <5 tahun
• Case fatality rate diketahui rendah selama belum
menyebabkan komplikasi berupa coronary artery aneurysms
• Pada <5% kasus dapat menyebabkan komplikasi acute
coronary syndrome saat usia <40 tahun

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Patofisiologi Kawasaki disease
• Karakteristik dari penyakit kawasaki ini adalah inflamasi sistemik yang terjadi pada
pembuluh darah arteri berukuran sedang di semua organ dan jaringan.
• Inflamasi ini terjadi selama fase akut demam, sehingga dapat menyebabkan
masalah di hati (hepatitis), paru-paru (pneumonitis intersisial), saluran cerna
(nyeri perut, muntah, diare, hidrops gallbladder), meninges (meningitis), jantung
(miokarditis, perikarditis, valvulitis), traktus urinarius (pyuria), pankreas
(pankreatitis), dan nodul limfe (limfadenopati)
• Penyakit kawasaki ini terjadi melalui 3 proses patologis, yaitu:
1. Necrotizing arteritis: proses neutrofilia yang merusak pembuluh darah arteri
secara progressif hingga ke tunika adventisiamenimbulkan aneurisma
2. Vaskulitis subakut/kronis: infiltrasi limfosit, sel plasma, eosinofil, dan sebagian
kecil makrofag pada 2 minggu pertama setelah onset demam, yang dapat
berlangsung hingga beberapa bulan dan tahun
3. Luminal myofibroblastic proliferation (LMP): terjadi proses myofibroblastic dari
otot polos yang menyebabkan stenosis arteri progresif

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Sex and Age Distribution in KD
• Boys are affected more commonly than girls.
• 80-90% of cases occur in children younger than five years,
although KD is relatively uncommon among children
younger than six months (approximately 10 percent of KD
hospitalizations in the United States).
• Occurrence beyond late childhood is rare, although older
children can develop KD and may experience delays in
diagnosis and higher rates of coronary artery disease.
• Fewer than 100 cases of classic KD in adults had been
reported in the literature at the time of a 2010 case series
and review
Phase of Disease
• Acute (1-2 weeks from onset)
– begins with an abrupt onset of fever and lasts approximately 7-14 days
– Irritability, Nonexudative bilateral conjunctivitis (90%), Anterior uveitis (70%),
Perianal erythema (70%), Erythema and edema on the hands and feet; the latter
impedes ambulation, Strawberry tongue and lip fissures, Hepatic, renal, and GI
dysfunction, Myocarditis and pericarditis ,Lymphadenopathy (75%), generally a
single, enlarged, nonsuppurative cervical node measuring approximately 1.5 cm
• Subacute (2-8 weeks from onset)
– The hallmarks of this stage are desquamation of the digits, thrombocytosis (the
platelet count may exceed 1 million/μL), and the development of coronary
aneurysms.
• Convalescent (Months to years later)
– marked by complete resolution of clinical signs of the illness, usually within 3
months of presentation.
– deep transverse grooves across the nails (Beau lines) may become apparent 1-2
months after the onset of fever.
Diagnostic Criteria (AHA)
• Fever for at least 5 days
• At least 4 of the following 5 features:
– Changes in the peripheral extremities:
• Initial reddening or edema of the palms and soles, followed by
membranous desquamation of the finger and toe tips or transverse
grooves across the fingernails and toenails (Beau lines)
– Polymorphous rash (not vesicular):
• Usually generalized but may be limited to the groin or lower
extremities
– Oropharyngeal changes:
• Erythema, fissuring, and crusting of the lips; strawberry tongue;
diffuse mucosal injection of the oropharynx
– Bilateral, nonexudative, painless bulbar conjunctival injection
– Acute nonpurulent cervical lymphadenopathy with lymph
node diameter greater than 1.5 cm, usually unilateral illness
• not explained by other known disease process
Diagnosis Kawasaki Disease
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Kawasaki Disease Inkomplit
• Kriteria diatas sayangnya tidak selalu terpenuhi dan seringkali
tidak dapat mengidentifikasi adanya suatu penyakit kawasaki.
• Children suspected of having KD who do not fulfill diagnostic
criteria (ie, have fever ≥5 days but less than four signs of
mucocutaneous inflammation) may have incomplete or
atypical KD.
• Penyakit kawasaki harus selalu dipertimbangkan pada anak
yang memiliki demam prolonged yang tidak dapat dijelaskan
• Selain itu, demam dengan karakteristik penyakit kawasaki yang
tidak memenuhi kriteria diagnosis, jika sudah terdapat bukti
aneurisma arteri koroner sudah dapat dianggap sebagai
penyakit kawasaki
• Children with incomplete KD are also at risk for cardiovascular
sequelae
Evaluation of suspected incomplete
Kawasaki disease (KD)

Supplemental laboratory criteria include albumin ≤3


g/dL, anemia for age, elevation of alanine
aminotransferase, platelets after seven days
≥450,000/mm3, white blood cell count ≥15,000/mm3,
and urine ≥10 white blood cells/high power field. uptodate
Laboratory & Radiology
• The following blood tests are typically obtained on children in
whom a diagnosis of KD is being considered:
– Complete blood counts with differential white blood cell (WBC) counts
– Liver function tests including aspartate transaminase (AST), alanine
transaminase (ALT), and albumin
– C-reactive protein (CRP) and erythrocyte sedimentation rate (ESR)
– Urinalysis
– Echocardiography is the study of choice to evaluate for coronary
artery aneurysms. Serial echocardiograms should be obtained as
follows:
• At the time of Kawasaki disease diagnosis
• At 2 weeks
• At 6 weeks
Laboratory Findings
• Systemic inflammation is characteristic of KD. Typical
manifestations include elevation of acute-phase reactants (eg,
C-reactive protein [CRP] or erythrocyte sedimentation rate
[ESR]), thrombocytosis that generally develops after the seventh
day of illness, leukocytosis, and a left-shift (increased immature
neutrophils) in the white blood cell (WBC) count.
• often present with a normocytic, normochromic anemia.
• abnormal liver function test (increased transaminase)
• CSF may display a mononuclear pleocytosis without
hypoglycorrhachia (decreased CSF glucose) or elevation of CSF
protein.
• serum lipid profiles: elevated TGA and LDL, and depressed HDL
• Sterile pyuria
Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

Conjunctivitis: Bulbar conjunctival injection


without exudate; bilateral

Rash: Maculopapular, diffuse erythroderma,


or erythema multiforme-like Oral changes: Erythema and cracking of lips (cheilitis);
Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017
strawberry tongue; erythema of oral andpharyngeal mucosa
Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

Palmar eritema

Cervical adenopathy: Usually unilateral,


node ≥1.5 cm in diameter

Plantar eritema
Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017
Tatalaksana Kawasaki Disease
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017

• Prinsip tatalaksananya adalah mengurangi inflamasi dan kerusakan


arteri, serta mencegah trombosis pada mereka yang memiliki
abnormalitas arteri koroner
• DOC: Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dalam 10 hari pertama
sejak onset penyakit
• Jika sudah lebih dari 10 hari dapat tetap diberikan jika CRP>3mg/dl
• Dosis: 2 g/kg as a single infusion, selama 10-12 jam dan diberikan
bersama asam asetilsalisilat 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
• Setelah anak sudah tidak demam selama 48-72 jam, dosis asam
asetilsalisilat mulai diturunkan secara perlahan

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Stevens-
Toxic shock Streptococcal Systemic-onset
Kawasaki disease Johnson
syndrome scarlet fever JIA
syndrome
Age (years) Usually <5 Usually >10 Usually 2 to 8 All ages 2 to 5

Fever Persistent Usually <10 days Variable, usually Prolonged Prolonged


<10 days
Eyes Nonexudative Conjunctivitis Normal Exudative Normal
conjunctivitis, limbal conjunctivitis,
sparing, anterior uveitis keratitis
Oral mucosa Diffuse erythema, Erythematous Pharyngitis, Erythema, Normal
"strawberry tongue" "strawberry ulceration,
tongue" pseudomembrane
formation
Peripheral Erythema of palms and Swelling of hands Flaky Normal Arthritis
extremities soles, indurative edema, and feet desquamation
periungual
desquamation
Rash Erythematous Erythroderma Papular Target lesions Transient, salmon,
polymorphous; targetoid erythroderma pink
or purpuric in 20% Pastia's lines,
circumoral palor
Cervical Nonpurulent swelling Normal Painful swelling Normal Diffuse
lymph nodes adenopathy
Other Arthritis Mental status Throat culture Arthralgia, Arthritis,
changes, positive for group associated pericarditis
coagulopathy, A Streptococcus herpesvirus
shock infection (30 to
75%)
Characteristi Systemic inflammation, Thrombocytopenia Positive throat Associated Systemic
c lab results anemia, transaminitis culture herpesvirus inflammation,
infection 30 to anemia
ILMU OBSTETRI &
GINEKOLOGI
71
HINTS

• Pasien G2P1 hamil 39 minggu, perut mules sejak semalam 1 jam yang lalu
keluar rembesan air dari jalan lahir.
• PF: TB pasien 140 cm TFU 36 cm, DJJ 150x/menit, presentasi kepala, sudah
masuk PAP, kontraksi 4x dalam 10 menit selama 40 detik.
• Pembukaan 8 cm, pendataran serviks 75%, konsistensi lunak, posisi anterior,
kepala di stasion -1.
• Dalam evaluasi 3 jam, tidak terdapat kemajuan persalinan dengan moulase
maksimal, caput (+).

PENYEBAB KELAINAN…
DIAGNOSIS  CPD
JAWABAN:
B. DISPROPORSI KEPALA DAN PANGGUL
• Keluhan perut mulas, kontraksi, rembesan
cairan dari jalan lahir  tanda in partu
• Kontraksi 4x/10 menit masing – masing
selama 40 detik  power baik
• Kepala yang masih di stasion -1, molase
maksimal, serta caput (+)  kemungkinan
masalah passage atau passanger Tidak ada
keterangan berat janin, hanya TB ibu yang
relatif pendek  mengarah pada CPD.
• Pilihan A  ketuban pecah tanpa disertai tanda
persalinan, tidak sesuai dengan kondisi pada
pasien dimana terdapat tanda persalinan
• Pilihan C dan E  kontraksi pasien cukup baik
Cephalopelvic Disproportion
• Bila kepala janin terlalu besar untuk ukuran panggul ibu

• Etiologi
– Herediter, diabetes, postmatur, multiparitas, malposisi janin,
panggul sempit, panggul abnormal

• Gejala dan Tanda


– USG menunjukkan
ukuran janin yang besar,
molase 2+

• Penanganan
– Sectio caesarea
Panggul Sempit
• Definisi
– Anatomi: Panggul yang satu atau lebih ukuran
diameternya berada di bawah angka normal sebanyak 1
cm atau lebih
– Obstetri: Panggul yang satu atau lebih diameternya kurang
sehingga mengganggu mekanisme persalinan normal

• Parameter
– Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering
dibandingkan pintu atas panggul  apabila diameter
interspinarum + diameter sagitalis posterior panggul
tangah < 13,5 cm
– Distansia interspinarum < 9,5 cm  curiga CPD
– Penyempitan pintu bawah panggul  bila diameter
distantia intertuberosum berjarak < 8 cm
Anatomi Panggul
Parameter
• Penyempitan pintu tengah
panggul lebih sering
dibandingkan pintu atas
panggul  apabila diameter
interspinarum + diameter
sagitalis posterior panggul
tangah < 13,5 cm

• Distansia interspinarum < 9,5


cm  curiga CPD

• Penyempitan pintu bawah


panggul  bila diameter
distantia intertuberosum
berjarak < 8 cm
Panggul Sempit: Tatalaksana
• Konjugata vera 11 cm  dapat dipastikan partus biasa, dan bila ada
kesulitan persalinan, pasti tidak disebabkan oleh faktor panggul
– CV kurang dari 8,5 cm dan anak cukup bulan tidak mungkin melewati panggul
tersebut
– CV 8,5 – 10 cm dilakukan partus percobaan yang kemungkinan berakhir
dengan partus spontan atau dengan ekstraksi vakum, atau ditolong dengan
secio caesaria sekunder atas indikasi obstetric lainnya
– CV = 6 -8,5 cm dilakukan SC primer
– CV = 6 cm dilakukan SC primer mutlak

• Disamping hal-hal tersebut diatas juga tergantung pada :


– His atau tenaga yang mendorong anak.
– Besarnya janin, presentasi dan
posisi janin
– Bentuk panggul
– Umur ibu dan anak berharga
– Penyakit ibu
Indikasi
Absolut SC
https://www.aerzteblatt.de/int/archive/article/171328/The-indications-for-and-risks-of-elective-cesarean-section
72
HINTS

• Pasien G1POAO hamil 42 minggu, gerakan bayi


dirasakan berkurang sejak 1 hari yang lalu.
• Sakit perut hilang timbul, jarang, sejak pagi hari
gerakan janin baru 1x dirasakan.
• DJJ 134x/menit, irama irregular, kontraksi (-),
pembukaan serviks (-).

PENYEBAB...
DIAGNOSIS  KEHAMILAN POSTTERM
JAWABAN:
D. INSUFISIENSI UTEROPLASENTA
• Hamil 42 minggu, gerakan bayi berkurang
 kehamilan postterm dengan suspek
distress janin
– Kehamilan postterm  faktor risiko IUFD
karena fungsi plasenta yang mulai menurun
pada kehamilan di atas 40 minggu  karena
itu jawaban yang tepat yang menjadi penyebab
kelainan ini adalah insufisiensi uteroplasenta.
• Pilihan A  istilah untuk penurunan kepala
janin
• Pilihan C  tali pusat melilit leher janin
sehingga menimbulkan asfiksia dan gawat janin
• Pilihan E  ibu hamil kekurangan zat besi
Kehamilan Postterm (Serotinus)
• Definisi: kehamilan lewat waktu sebagai
kehamilan usia ≥ 42 minggu penuh (294 hari)
terhitung sejak hari pertama haid terakhir. (WHO)
– Namun penelitian terkini menganjurkan tatalaksana
lebih awal.
• Diagnosis :
– USG di trimester pertama (usia kehamilan antara 11-
14 minggu) sebaiknya ditawarkan kepada semua ibu
hamil untuk menentukan usia kehamilan degan tepat
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari 5
hari berdasarkan perhitugan hari pertama haid
terakhir dan USG, trimester pertama, waktu taksiran
kelahiran harus disesuaikan berdasarkan hasil USG
• Diagnosis (Cont…)
– Bila terdapat perbedaan usia kehamilan lebih dari
10 hari berdasarkan perhitungan hari pertama
haid terakhir dan USG trimester kedua, waktu
taksiran kelahiran harus disesuaikan berdasarkan
hasil USG
– Ketika terdapat hasil USG trimester pertama dan
kedua, usia kehamilan ditentukan berdasarkan
hasil USG yang paling awal
– Jika tidak ada USG, lakukan anamnesis yang baik
untuk menentukan hari pertama haid terakhir,
waktu DJJ pertama terdeteksi, dan waktu gerakan
janin pertama dirasakan, faktor predisposisi,
riwayat kehamilan lewat waktu sebelumnya
Kehamilan Postterm
• 3-10 % kehamilan akan menjadi kehamilan
postterm.
• Kondisi ini terkait dengan resiko makrosomia,
oligohidroamnion, aspirasi mekonium, IUFD dan
sindrom dismaturitas.
• Etiologi :
– Kesalahan perhitungan usia kehamilan
– Overweight dan obesitas pada ibu
• Diagnosis :
– Penentuan HPHT yang tepat, USG rutin pada trimester
1 dan 2 kehamilan

Callahan T, Caughey A. Blueprints : obstetric and Gynecology 6th ed. Lipincot william wilkins 2013.
Kehamilan Postterm
• Fungsi plasenta pada kehamilan postterm
– Fungsi plasenta akan memuncak pada kehamilan usia
38-42 minggu, kemudian menurun setelah 42 minggu
akibat menurunnya kadar esterogen plasenta.
– Selain itu terjadi pula spasme arteri spiralis 
insufisieni plasenta  penurunan suplai oksigen dan
nutrisi ke janin
– Siklus uteroplasenta akan mengalami penurunan
sebanyak 50%  meningkatkan resiko kematian pada
bayi
– Kematian pada bayi dari kehamilan postterm : 30%
prepartum, 55% intrapartum dan 15 % postpartum
Etiology of postpartum pregnancy
• The majority of postterm pregnancies have no known etiology.
• One-third to one-half of the variation in postterm birth in a
population can be attributed to maternal or fetal genetic influence
on the initiation of parturition
• In rare cases, postterm pregnancy has been attributed to defects in
fetal production of hormones involved in parturition :
– For example, fetal disorders associated with placental sulfatase
deficiency (eg, X-linked ichthyosis) result in extremely low estriol levels
and other hormonal changes compared with normal pregnancies.
• Anencephaly, which results in absence or hypoplasia of the
hypothalamus and pituitary and adrenal hypoplasia, often results in
postterm pregnancy when polyhydramnios is absent (mean
gestational age at delivery: 311 days with no polyhydramnios versus
253 days with polyhydramnios

Uptodate.com
• Nulliparity
• Male fetus
• Obesity
• Older maternal age
• Maternal (and to a lesser extent paternal)
personal history of postterm birth
• Maternal race/ethnicity (non-Hispanic white
women are at higher risk than African-American,
Hispanic, and Asian women)
Tatalaksana Umum
• Sedapat mungkin rujuk pasien ke rumah sakit.
• Apabila memungkinkan, tawarkan pilihan membrane
sweeping antara usia kehamilan 38-41 minggu setelah
berdiskusi mengenai risiko keuntungannya.
• Tawaran induksi persalinan mulai dari usia kehamilan
41 minggu.
• Pemeriksaan antenatal untuk mengawasi kehamilan
usia 41-42 minggu sebaiknya meliputi non-stress test
dan pemeriksaan volume cairan amnion.
• Bila usia kehamilan telah mencapai 42 minggu, lahirkan
bayi
Tatalaksana
• Tawaran induksi persalinan dapat diberikan (dan boleh
dilakukan) saat usia kehamilan 41+0 minggu,
bagaimanapun status kematangan serviks.
• Untuk pematangan serviks, dapat dilakukan dengan:
– Cervical ripening agent (Prostaglandin, balon kateter)
– Membrane sweeping (stripping)  boleh dilakukan sejak usia
kehamilan 39 minggu
• Pendekatan lain  managemen ekspektan yaitu
pemeriksaan janin dua kali seminggu, mulai usia 41
minggu.
– Pemeriksaan yang dilakukan: non stress test dan penilaian
volume cairan amnion
• Usia kehamilan 42 minggu  induksi untuk persalinan.

Postterm pregnancy. Uptodate. 2019


73
HINTS

• Pasien, hamil usia 16 minggu, keluhan perdarahan


dan keluar jaringan dari jalan lahir, ada usaha
pengguguran kandungan.
• TD: 90/60mmhg, 24x/menit, 120x/menit, 38oC.
• Inspekulo: sisa darah di portio dengan sisa jaringan
dan tercium bau busuk

KOMPLIKASI…
DIAGNOSIS  ABORTUS SEPTIK
JAWABAN:
A. SYOK SEPTIK
• Wanita hamil 16 minggu, perdarahan dari
jalan lahir, riwayat usaha pengguguran
kandungan, sisa darah dan jaringan dan
berbau busuk  mengarahkan pada
abortus septik
• Komplikasi dari abortus septik adalah
penyebaran infeksi secara sistemik yang
dapat menimbulkan syok septik seperti
pada soal (hipotensi dan takikardia pada
abortus septik).
Abortus Provokatus: Bentuk
• Abortus provokatus medisinalis
– Dilakukan atas dasar indikasi vital
– Tindakan harus disetujui oleh tiga orang dokter yang
merawat ibu hamil (Dokter yang sesuai dengan indikasi
penyakitnya, Dokter anestesi, Dokter ahli Obstetri dan
Ginekologi)
– Indikasi vital
• Penyakit ginjal, jantung, penyakit paru berat, DM berat, karsinoma

• Abortus provokatus kriminalis


– Tenaga yang tidak terlatih  sering menimbulkan ‘trias’
komplikasi: perdarahan, trauma alat genitalia/jalan lahir,
infeksi hingga syok sepsis
Abortus Septik
• Keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran
kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau
peritoneum

• Sering ditemukan pada abortus inkompletus atau


abortus buatan, terutama yang kriminalis tanpa
memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis

• Etiologi
– Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris,
Hemolytic streptococci dan Staphylococci (Mochtar, 2000;
Dulay, 2010).
Abortus Septik: Diagnosis

• Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan


yang telah ditolong di luar rumah sakit

• Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan,


perdarahan dan sebagainya

• Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat,


perdarahan, nyeri tekan dan leukositosis

• Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi,


menggigil, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun
sampai syok
Abortus Septik: Tatalaksana
• Keseimbangan cairan tubuh dengan NS atau RL IV

• Riwayat abortus tidak aman: beri ATS dan TT

• Pemberian antibiotik yang adekuat sesuai hasil


kultur darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar
pervaginam
Abortus • Tahap pertama
Septik • Penisilin 4x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4x 1
gram Gentamisin 2 x 80mg dan Metronidazol 2
x 1 gram

• Selanjutnya: antibiotik disesuaikan hasil kultur

• Tindakan kuretase dilaksanakan apabila keadaan


tubuh membaik minimal 6 jam setelah pemberian
antibiotik yang adekuat
Penatalaksanaan Abortus Septik (Bantuk, 2009).
Abortus Septik: Tatalaksana
Abortus Septik: Komplikasi

• Perforasi uterus saat dilakukan pengosongan


uterus
• Syok septik
• Kematian ibu
74
HINTS

• Pasien G1P0A0 sedang hamil 3 bulan, keluhan


kehitaman di daerah dagu, pipi, leher berwarna
kehitaman

PENYEBAB…
DIAGNOSIS KLOASMA GRAVIDARUM
JAWABAN:
A. MENINGKATNYA MSH
• Bercak kehitaman di daerah wajah saat
kehamilan disebut dengan kloasma
kehamilan (topeng kehamilan)  terjadi
karena peningkatan hormone MSH.
Hormon Masa Kehamilan
• Hormon HCG
– Mendukung pertumbuhan plasenta
• Hormon HPL (Human Placental Lactogen)
– Menstimulasi pertumbuhan dan perubahan metabolisme
lemak dan karbohidrat
– Berperan dalam produksi ASI
• Hormon Relaksin
– Efek relaksasi pada sendi panggul dan melunakkan rahim
• Estrogen
– Perkembangan kelenjar mamae, memicu kontraksi rahim,
vagina dan serviks lebih lentur, memperkuat dinding rahim
• Progesteron
– Mencegah kontraksi, menyiapkan payudara memproduksi ASI
• MSH
– Warna puting susu lebih gelap, melasma, linea nigra
Fungsi Hormon selama Kehamilan

Hormon Fungsi Hormon


Estrogen Fungsi estrogen dalamkehamilan :
1.Pembesaran uterus
2.Pembesaran payudara dan pertumbuhan struktur duktus payudara
3.Pembesaran genitalia eksterna wanita
Progresteron Progesteron yang disekresi selama kehamilan juga membantu
estrogen mempersiapkan payudara ibu untuk laktasi
Prolaktin Pembesaran alveoli dalam kehamilan, Mempengaruhi inisiasi
kelenjar susu dan mempertahankan laktasi, Menstimulasi sel di
dalam alveoli untuk memproduksi ASI
LH Merangsang pertumbuhan korpus luteum, ovulasi, produksi
estrogen dan progresteron
HCG Hormon ini berfungsi menyebabkan penurunan sensivitas
insulin dan menurunkan penggunaan glukosa pada ibu.
Peningkatan Hormon HCG pada trimester awal menyebabkan
morning sickness
75
HINTS

• Pasien G1P0A0 hamil 20 minggu, gatal-gatal


pada kemaluannya sejak seminggu terakhir,
cairan berwarna putih seperti susu.
• PF: vulva dan vagina hiperemis, cairan putih (+).
TERAPI…
DIAGNOSIS CANDIDOSIS VAGINA PADA KEHAMILAN
JAWABAN:
B. MIKONAZOLE 200 MG SUPP PER VAGINAM SELAMA 3
HARI
• Pasien hamil, gatal-gatal, sekret berwarna
putih susu mengarah pada kandidosis
vaginalis.
• Terapi yang tepat  mikonazol atau
klotrimazol 200 mg intra vagina setiap hari
selama 3 hari, ATAU Klotrimazol, 500 mg
intra vagina dosis tunggal, ATAU Nistatin,
100.000 IU intra vagina setiap hari selama
14 hari.
• Pilihan E  tidak tepat karena klotrimazol yang
diberikan pada kandidiasis vaginalis adalah
klotrimazole intra vagina bukan oral.
Kandidiasis vaginalis
• Kandidiasis adalah infeksi pada vagina
yang disebabkan oleh jamur Candida sp.
• Diagnosis:
– Duh tubuh vagina putih kental dan
bergumpal, tidak berbau
– Rasa gatal
– Disuria/nyeri berkemih
– Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
KOH 10% untuk melihat pseudohifa dan
miselium
• Faktor predisposisi
– Penggunaan antibiotik spektrum luas,
peningkatan kadar estrogen, diabetes
melitus, HIV/AIDS, imunokompromais.
• Mikroskopik:
– Sel berbentuk panjang-panjang 
pseudohifa
– Sel-sel bulat/oval  yeast-like cells
– Terdapat blastospora
Kandidiasis Vaginalis:
Terapi (PPK Perdoski 2017)

• Klotrimazol 500 mg, intravagina dosis tunggal (A, 1)


• Klotrimazol 200 mg, intravagina selama 3 hari (A, 1)
• Nistatin 100.000 IU intravagina selama 7 hari
• Flukonazol*** 150 mg, per oral, dosis tunggal (Tidak boleh untuk ibu hamil)
• Itrakonazol*** 2x200 mg per oral selama 1 hari (Tidak boleh untuk ibu hamil)
• Itrakonazol*** 1x200 mg/hari per oral selama 3 hari (Tidak boleh untuk ibu
hamil)
• CDC: Mikonazol 100 mg, intravaginal, selama 7 hari
• CDC: Mikonazol 200 mg intravaginal selama 3 hari
• Catatan:
– Wanita hamil sebaiknya tidak diberikan obat sistemik
Kandidiasis vaginalis
• Kandidiasis adalah infeksi pada vagina yang disebabkan oleh
jamur Candida sp.
• Diagnosis:
– Duh tubuh vagina putih kental dan bergumpal, tidak berbau
– Rasa gatal
– Disuria/nyeri berkemih
– Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan KOH 10% untuk melihat pseudohifa dan
miselium
• Faktor predisposisi
– Penggunaan antibiotik spektrum luas, peningkatan kadar estrogen, diabetes
melitus, HIV/AIDS, imunokompromais.
• Tatalaksana
– Berikan mikonazol atau klotrimazol 200 mg intra vagina setiap hari selama 3 hari,
ATAU
– Klotrimazol, 500 mg intra vagina dosis tunggal, ATAU
– Nistatin, 100.000 IU intra vagina setiap hari selama 14 hari.
• Keputihan sangat gatal
dengan duh putih
kekuningan dan
berbutir-butir, berbau
asam

• pH vagina <4,5

• Sel berbentuk panjang-


panjang  pseudohifa

• Sel-sel bulat/oval 
yeast-like cells
Diagnosis Banding

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Kandidosis Vagina: Terapi (CDC & WHO)
76
HINTS

• Pasien P1A0 baru melahirkan dua hari yang lalu, keluhan


ASI tidak bisa keluar sejak melahirkan.
• Berat lahir bayi 3000 gram  saat ini 2990 gram.
• Status lokalis: papilla mammae yang tertarik atau
tertanam, tetapi masih dapat dikeluarkan dengan jari.

ANJURAN…
DIAGNOSIS INVERTED NIPPLE
JAWABAN:
D. MENGANJURKAN IBU UNTUK TETAP MENYUSUI LANGSUNG
ANAKNYA
• Pasien dengan inverted nipple, ASI belum
keluar  masih dapat menyusui secara
langsung bayinya.
• Apabila latch-on dirasa sulit, maka dapat
menggunakan nipple shield, atau puting
dapat ditarik keluar dengan menggunakan
alat khusus.
• Pilihan A dan E berat bayi masih stabil (turun
tetapi masih dalam kisaran normal) sehingga
belum memerlukan susu formula
• Pilihan B  bayi di bawah enam bulan tidak
direkomendasikan MPASI dini
• Pilihan C  Pompa manual dapat
mengakibatkan bayi mengalami bingung puting,
sehingga semakin menyulitkan untuk proses
menyusui langsung.
Gangguan Proses Menyusui:
Inverted Nipple
• Etiologi: kongenital
(pendeknya duktus
laktiferus)

• Terapi:
– Massage dengan minyak
zaitun
– Tarik perlahan dan jepit
dengan jari selama
beberapa detik atau
menggunakan nipple
retractor
– Menggunakan nipple
shield saaat menyusui
Diagnosis
• Grade 1
– Puting tampak datar atau masuk ke dalam
– Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola.
– Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
– Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.

• Grade 2
– Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas
– Terdapat kesulitan menyusui.
– Terdapat fibrosis derajat sedang.
– Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.
– Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos.

• Grade 3
– Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untuk
dikeluarkan.
– Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
– Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
– Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah
77
HINTS

• Pasien benjolan pada kemaluan, kadang agak


nyeri sejak seminggu yang lalu.
• Pemeriksaan lokalis: benjolan berwarna
kemerahan. Konsistensi licin, permukaan rata, di
dalam vagina.
DIAGNOSIS…
DIAGNOSIS  KISTA GARTNER
JAWABAN:
A. KISTA GARTNER
• Pasien benjolan kemaluan agak nyeri,
kemerahan, konsistensi licin, permukaan
rata, dan berada pada liang vagina 
mengarahkan pada kista gartner.
• Pilihan B  Kista bartholin biasanya terdapat
pada labia mayor
• Pilihan C  polip serviks terletak di serviks
• Pilihan D  kondiloma akuminata memiliki
permukaan berbenjol-benjol
• Pilihan E  herpes simpleks tipe 2 biasanya
memiliki efloresensi berupa kumpulan vesikel.
Ginekologi
Jenis Keterangan
Kista Bartholin Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah vagina,di
belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara kelenjar e.c trauma
atau infeksi
Kista Nabothi Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks diganti
(ovula) dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit menonjol dengan
permukaan licin (tampak spt beras)

Polip Serviks Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai, ukuran
bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai menonjol dari
kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai introitus. Tangkai
mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip mengalami peradangan
dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi dan perdarahan.

Karsinoma Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjol-benjol,
Serviks rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal menunjukkan suatu
displasia atau lesi in-situ hingga invasif.

Mioma Geburt Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami nekrosis
dan ulserasi.
Kista Gartner
• Etiologi
• Suatu kista vagina yang disebabkan oleh sisa jaringan embrional (duktus
Wolffian)

• Letak & Ukuran


• Biasanya didapatkan di dinding anterolateral superior vagina.
• Ukuran pada umumnya < 2cm, namun dapat berkembang hingga lebih
besar

• Gejala & tanda


• Bila ukuran kista besar: disuria, gatal,
dispareunia, nyeri pelvis, protusi dari vagina

• Pemeriksaan
• PA: Didapatkan epitelial kuboid yang selapis/
epitel batang pendek

• Terapi: Drainase
http://journals.lww.com/em-news/Fulltext/2011/05000/Case_Report__Gartner_s_Duct_Cyst.15.aspx
78
HINTS

• Pasien G1P0A0 usia kehamilan 20 minggu, keluhan


nyeri kepala.
• Makan banyak, berat badan menurun, tidak ada
kenaikan BB
• Pemeriksaan fese: plogotid gravid dan plogotid
matur.

TERAPI…
DIAGNOSIS  TAENIASIS
JAWABAN:
E. PRAZIKUANTEL DOSIS TUNGGAL 10 MG/KGBB
• Pasien hamil keluhan nyeri kepala, makan
banyak, penurunan BB, pemeriksaan feses
ditemukan proglotid  mengarahkan pada
taeniasis.
– Dapat diobati dengan niklosamid, mebendazol,
albendazol, dan prazikuantel.
– Yang aman untuk dikonsumsi ibu hamil adalah
prazikuantel (dosis 5-10 mg/kg, PO, SD) dan
niklosamid (2 g, PO, SD) dan DOCnya adalah
prazikuantel
• Lebih dipilih prazikuantel karena niklosamid
sulit diabsorbsi secara sistemik.
Taeniasis (Cacing Pita)
Gejala
• mual, konstipasi, diare; sakit
perut; lemah; kehilangan nafsu
makan; sakit kepala; berat
badan turun, benjolan pada
jaringan tubuh (sistiserkosis)
Telur
• Bulat dengan embrio berstria
radier tebal
• Berisi onkosfer dengan 6 kait
• Ukuran 31-34 mcm

DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk


anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum jelas)
Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 15 hari
P E R B E DA A N K A R A K T E R I ST I K
T. s a g i n a t a T. s o l i u m
Penyakit Taeniasis Taeniasis dan sistiserkosis
Panjang cacing dws 4-12 m 2-4 m & 8 m
∑ proglotid 1000-2000 800-1000
Skolek Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
Proglotid Gravid T. Solium vs T. Saginata

Taenia Saginata Taenia Solium


• Folikel testis yang berjumlah 300-400 • Serupa dengan proglotid T. Saginata
namun jumlah folikel testisnya lebih
buah, tersebar di bidang dorsal sedikit, yaitu 150-200 buah

• Uterus tumbuh dari bagian anterior • Proglotid gravid mempunyai ukuran


ootip dan menjulur kebagian anterior panjang hampir sama dengan lebarnya
proglotid
• Jumlah cabang uterus: 7-12 buah pada
satu sisi
• Jumlah cabang uterus: 15-30 buah pada
satu sisinya dan tidak memiliki lubang • Lubang kelamin letaknya bergantian
uterus (porus uterinus) selang-seling pada sisi kanan atau kiri
strobila secara tidak beraturan
• Proglotid yang sudah gravid letaknya • Berisi kira-kira 30.000-50.000 buah
terminal dan sering terlepas dari telur.
strobila
Prazikuantel
• Indikasi: Cacing pita, kista hidatid

• Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel


trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang
menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung,
2010).

• Dosis: Dosis tunggal prazikuantel sebesar 5 – 10 mg/ kg

• Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan


kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri
abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia,
myalgia, dan demam berderajat rendah
79
HINTS

• Pasien, keluhan tidak haid sejak 3 bulan yang


lalu, keluar cairan seperti susu dari payudara.
• PF: tidak ada tanda kehamilan
• Didapatkan tumor ukuran 0,7 cm di
adenohipofisis.
KOMPLIKASI…
DIAGNOSIS  PROLAKTINOMA
JAWABAN:
C. INFERTILITAS
• Pasien amenorea dan keluar cairan susu
dari payudara  mengarah pada
prolaktinemia + tumor ukuran 0,7 cm di
adenohipofisis  PROLAKTINOMA
• Prolaktinemia  kadar prolaction tinggi
akan menekan produksi hormon estrogen
sehingga sulit terjadi ovulasi  berujung
kepada infertilitas
• Pilihan E  sindrome of inappropiate diuretik
hormone secretion (SIADH )  hiponatermia
dan hipoosmolarity akibat sekresi antidiuretic
hormone arginine vasopresine berlebihan 
hipersekresi ADH dari sumber normalnya di
hipotalamus atau dari sumber ektopik
Penyebab Amenorea
• Disfungsi (stress,
anoreksia nervosa,
olahraga berat, • Adenoma hipofisis
malnutrisi) • Autoimun
• Hipotalamus • Galaktosemia
hipogonadisme • Sindrome Sheehan

• Disgenesis gonad • Hipotiroidisme


(kariotipe abnormal : • Hipertiroidisme
sindrom Turner 45,X) • Hiperprolaktinemia
• Agenesis gonad • Cushing syndrome
• Defisiensi enzim
(aromatase, 17α • Defek anatomis
hidroksilase) (Mullerian agenesis)
• PCOS • Asherman syndrome
• Tumor ovarium • Vaginal agenesis
• Premature ovarian • Hipoplasia atau
failure (kemoterapi, aplasia
radiasi) endometrium
• Cervical agenesis
Evaluasi pasien dengan amenorea primer
Adenoma Hipofisis Fungsional
• 52% merupakan tumor yang mengekskresikan prolaktin
• Lainnya: mensekresi kortikotropin (Cushing disease), growth
hormone (akromegali), gonadotropin, TSH (hipertiroidisme)

• Berdasarkan ukuran:
– Mikroadenoma: ukuran < 1 cm, lokasi masih dalam sella turcica
(belum menginvasi struktur lain)
– Makroadenoma: ukuran > 1 cm, sudah meluas dari sella turcica
(menginvasi struktur berdekatan)

• Gejala dan Tanda (Prolaktinoma):


– Dapat menimbulkan efek kompresi pada optic chiasm
– Amenorea, galaktorea, infertilitas, penurunan libido, osteoporosis
Prolaktinoma

Terapi
• Obat-obatan dopaminergik: bromokriptin atau
cabergoline

Follow Up
• Scan MRI 12 bulan setelah pengobatan pada
tumor fungsional

http://emedicine.medscape.com/article/126702-followup
80
HINTS

• Pasien G1P0A0 keluhan lemas, mual muntah sejak 2 minggu yang lalu
setiap kali makan dan minum.
• BB pasien sebelum hamil 48 kg.
• PF Keadaan umum tampak lemah, kesadaran compos mentis, TD
100/70 mmHg, nadi 100 kali/menit, napas 20 kali/menit, suhu 37,6oC.
• Berat badan saat ini 40 kg, mata tampak cekung, turgor kulit menurun.

HASIL LABORATORIUM…
DIAGNOSIS  HIPEREMESIS GRAVIDARUM
JAWABAN:
C. KETON (+)
• Keluhan lemas, mual muntah sejak 2 minggu
tiap makan dan minum, penurunan BB drastis,
tanda dehidrasi  mengarah pada
hiperemesis gravidarum.
– Penegakkan diagnosis: diperlukan adanya riwayat
mual muntah hebat yang mengganggu aktifitas,
adanya tanda - tanda dehidrasi serta kadar keton
yang positif pada pemeriksaan.
– Hiperemesis gravidarum dibedakan dari emesis
gravidarum atas dasar ada atau tidaknya tanda
dehidrasi, penurunan BB< 5%, serta keton yang
positif.
Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis gravidarum vs emesis
gravidarum
• Emesis Gravidarum / Nausea and Vomiting of
Pregnancy (NVP) didiagnosis saat trimester pertama
dengan mengeksklusi penyebab muntah dan mual
lainnya
• Biasanya <5x muntah per hari
• Berlangsung dimulai dari minggu ke 4-7 dan
berlangsung hingga minggu 14-16 usia kehamilan. 99%
berhenti di usia kehamilan 20 minggu
• Hiperemesis Gravidarum adalah emesis gravidarum
yang lebih berat dengan trias penurunan BB lebih dari
5% saat hamil, dehidrasi dan gangguan elektrolit.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6
Hiperemesis Gravidarum
Definisi
• Keluhan mual,muntah pada ibu hamil yang berat hingga
mengganggu aktivitas sehari-hari.
• Kondisi pada kehamilan yang ditandari dengan mual muntah yang
berat, menurunnya berat badan, dan gangguan elektrolit
• Terjadi pada trimester 1: Mulai setelah minggu ke-6 dan biasanya
akan membaik dengan sendirinya sekitar minggu ke-12

Etiologi
• Hiperemesis gravidarum berkaitan dengan peningkatan hCG, hCG
yang meningkat dapat menyebabkan hipertiroidisme intermiten
karena meningkatkan reseptor hormone TSH

Komplikasi
• Akibat mual muntah → dehidrasi → elektrolit berkurang,
hemokonsentrasi, aseton darah meningkat → kerusakan liver
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Faktor Resiko
• Faktor resikonya adalah keadaan apapun yang
menyebabkan hCG meningkat, seperti:
– Obesitas
– Kehamilan gemeli
– Nuliparitas
– Mola hidatidosa
– Riwayat kehamilan dengan hiperemesis
gravidarum

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum: Patofisiologi
Worsen

NVP

Hypochoremic Thiamine
Dehydration Starvation
alkalosis depletion

Hemoconcentration Wernicke
Ketosis
Somnolen/coma encephalopathy
Hypovolemic shock 
Acute renal failure
Hepatic
NVP: Nausea and vomiting in pregnancy dysfunction
1. Cunningham et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw Hill; 2005.
2. Verberg MFG, et al. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update, Vol.11, No.5 pp. 527–539, 2005.
3. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• Mual muntah pada kehamilan tanpa komplikasi, frekuensi <5 x/hari
• 70% pasien: Mulai dari minggu ke-4 dan 7
• 60% : membaik setelah 12 minggu
• 99% : Membaik setelah 20 minggu

Hyperemesis gravidarum
• Mual muntah pada kehamilan dengan komplikasi
– dehidrasi
– Hiperkloremik alkalosis,
– ketosis
Grade 1 Penurunan nafsu makan, nyeri epigastrium, peningkatan nadi
>100x/menit, tekanan darah menurun, dehidrasi
Grade 2 Apatis, nadi meningkat dan lemah, ikterik, oliguria, hemokonsentrasi,
nafas bau aseton
Grade 3 Syok hipovolemik, Somnolen-Koma, Ensefalopati Wernicke
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Diagnosis

• Pasien dengan trias


klinis hyperemesis
gravidarum perlu
dilakukan pengecekan
terutama keton
urin/dipstick,
hematocrit, elektrolit,
transaminase darah dan
marker thyroid
Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in
Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A
1821–6
Hiperemesis Gravidarum:
Tatalaksana
Hiperemesis Gravidarum:
Tatalaksana

Buku saku Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. Kementerian Kesehatan RI
81
HINTS

• Pasien hamil G1P0A0 38 minggu keluhan mules-mules


seperti mau melahirkan, keluar air pervaginam berwarna
jernih.
• PF: TD 100/60 mmHg, nadi 88x/menit.
• Pada pemeriksaan obstetri didapatkan kontraksi tiap 2
menit, pembukaan serviks 6 cm, selaput ketuban -,
presentasi muka dengan dagu di anterior.
TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  G1P0A0 INPARTU KALA I FASE AKTIF
JAWABAN:
B. OBSERVASI KEMAJUAN PERSALINAN
• Pasien hamil, kontraksi tiap 2 menit,
pembukaan 6 cm, keluar air pervaginam,
selaput ketuban (-), presentasi muka dengan
dagu anterior  inpartu kala I fase aktif
presentasi wajah
• Dagu di anterior  masih dapat dimungkinkan
melahirkan secara pervaginam.
• Karena pembukaan pasien saat ini masih 6 cm
dan kontraksi sudah mulai teratur  observasi
persalinan
Presentasi Muka
• Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala
janin .
• Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi
• Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut
gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat
• Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka
dengan dagu anterior dan posterior
• Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan
persalinan dengan terjadinya fleksi.

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka

• Pada presentasi muka dengan dagu posterior


akan terjadi kesulitan penurunan karena
kepala dalam keadaan defleksi maksimal

• Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap :


- lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam
- bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip
- bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


Presentasi Muka
• Dalam kaitannya dengan simfisis pubis,
maka presentasi muka dapat terjadi dengan
mento anterior atau mento posterior.

• Pada janin aterm dengan presentasi muka


MENTO POSTERIOR, proses persalinan
terganggu akibat bregma (dahi) tertahan
oleh bagian belakang simfisis pubis. Dalam
keadaan ini, gerakan fleksi kepala agar
terjadi persalinan pervaginam menjadi
terhalang, sehingga persalinan muka
spontan per vaginam tidak terjadi

• Pada MENTO ANTERIOR , persalinan kepala


per vaginam masih mungkin dapat
berlangsung pervaginam melalui gerakan
fleksi kepala
82
HINTS

• Pasien G1P0A0 usia kehamilan 38 minggu, keluar


air-air dari jalan lahir sejak 1 hari yang lalu. Nyeri
perut disangkal.
• DJJ 130 x/menit.

TERAPI…
DIAGNOSIS KETUBAN PECAH DINI
JAWABAN:
C. INDUKSI PERSALINAN
• Pasien hami 38 minggu, keluar air-air dari
jalan lahir sejak sehari lalu, tidak ada nyeri
perut  mengarahkan pada ketuban pecah
dini (KPD)  keluar cairan tanpa ada
kontraksi.
• Tatalaksana KPD pada kehamilan aterm 
melakukan induksi persalinan untuk
mempercepat proses persalinan.
• Pilihan B  belum ada kontraksi tidak perlu
tokolitik
• Pilihan E  tidak tepat karena kehamilan
pasien term, pematangan paru hanya diberikan
bila usia kehamilan <37 minggu.
Ketuban Pecah Dini
• Robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan
(sebelum onset persalinan berlangsung)
• PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes): ketuban pecah saat usia kehamilan
< 37 minggu
• PROM (Premature Rupture of Membranes): usia
kehamilan > 37 minggu

• Kriteria diagnosis :
– Usia kehamilan > 20 minggu
– Keluar cairan ketuban dari vagina
– Inspekulo : terlihat cairan keluar dari OUE
– Kertas nitrazin menjadi biru
– Mikroskopis : terlihat lanugo dan verniks kaseosa

• Pemeriksaan penunjang: USG (menilai jumlah cairan ketuban,


menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin, kesejahteraan janin
dan letak plasenta)
KPD: Diagnosis
• Inspeksi
• pengumpulan cairan di vagina atau mengalir keluar dari lubang
serviks saat pasien batuk atau saat fundus ditekan

• Kertas nitrazin (lakmus)


• Berubah menjadi biru (cairan amnion lebih basa)

• Mikroskopik
• Ferning sign (arborization, gambaran daun pakis)

• Amniosentesis
• Injeksi 1 ml indigo carmine + 9 ml NS  tampak
pada tampon vagina setelah 30 menit

http://www.aafp.org/afp/2006/0215/p659.html
KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
Ketuban Pecah Prematur: Tatalaksana
• Tatalaksana Umum: Antibiotik profilaksis
• DOC: Penisilin dan makrolida
• Ampicillin 2 g IV/6 jam dan erythromycin 250 mg IV/6 jam selama 2 hari diikuti amoxicillin 250
mg PO/ 8 jam dan erythromycin 333 mg PO/8 jam selama 5 hari
• Atau eritromisin 250 mg PO/6 jam selama 10 hari
• Kombinasi amoksilin dengan asam klavulanat tidak digunakan karena dapat
memicu terjadinya enterokolitis nekrotikans

• Tatalaksana Khusus kehamilan 24-33 minggu


– Selama perawatan 2 hari dilakukan:
• Observasi adanya amnionitis/tanda infeksi (demam, takikardia, lekositosis, nyeri pada rahim,
sekret vagina purulen, takikardi janin)
• Pengawasan timbulnya tanda persalinan
• USG menilai kesejahteraan janin
– Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan kematian janin, lakukan persalinan
segera.
– Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau betametason 12
mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
– Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
– Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia kehamilan 32-33 minggu,
bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa
paru sudah matang (komunikasikan dan sesuaikan dengan fasilitas perawatan bayi
preterm).
Tatalaksana Khusus
• <24 minggu:
– Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan
janin.
– Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan
mungkin menjadi pilihan.
– Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan
tatalaksana korioamnionitis
• >34 minggu:
– Lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak
ada kontraindikasi.
Alur Antibiotik untuk KPD
Ketuban Pecah Prematur: Komplikasi

https://www.uptodate.com/contents/preterm-prelabor-rupture-of-membranes-clinical-manifestations-and-
diagnosis?search=premature%20rupture%20of%20membranes&source=search_result&selectedTitle=2~150&usage_type=de
fault&display_rank=2
83
HINTS

• Pasien G3P2A0 hamil 33 minggu, keluar cairan dari


jalan lahir sejak 1 hari yang lalu, mulas mulas sudah
dirasakan.
• Pemeriksaan dalam: pembukaan 1 cm.
• Pasien dirawat dan dilakukan pematangan paru
selama 2 hari sebelum dilakukan persalinan.

TERAPI…
DIAGNOSIS  KETUBAN PECAH DINI PREMATUR
JAWABAN:
D. BETAMETASON 12 MG IM 2 DOSIS INTERVAL 24 JAM
• Pasien G3P2A0 hamil 33 minggu, keluar
cairan dari jalan lahir, dan pembukaan
servicx 1 cm PPROM (Preterm Premature
Rupture of Membranes).
• Pematangan paru  Betametason 2 x 12
mg IM, jarak pemberian 24 jam atau
Deksametason 4 x 6 mg IM, jarak
pemberian 12 jam  jawaban yang paling
tepat adalah opsi D.
Pematangan Paru

• Akselerasi pematangan fungsi paru janin


– Bila usia kehamilan < 35 minggu
– Obat:
• Betametason 2 x 12 mg IM, jarak pemberian 24 jam
• Deksametason 4 x 6 mg IM, jarak pemberian 12 jam
• Peningkat surfaktan: thyrotropin releasing hormone 200 ug IV ATAU
inositol

• Pencegahan infeksi
– DOC: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari
– Ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari
– Klindamisin
– Kontra indikasi: amoksiklav  risiko necrotizing enterocolitis
84
HINTS

• Pasien 40 tahun datang untuk melakukan pap smear.


• Riwayat memiliki 5 orang anak.
• Pemeriksaan Pap Smear  sel PMN penuh baksil
kokus, sel darah merah, beberapa sel yang
mengalami diplasia ringan serta sel-sel yang
mengalami metaplasia.

TINDAKAN…
DIAGNOSIS SERVISITIS
JAWABAN:
B. TERAPI INFEKSI DAN RADANG
• Hasil pemeriksaan  sel yang mengalami
dysplasia ringan dan sel-sel yang mengalami
metaplasia, PMN penuh basil kokus sehingga
mengarahkan kecurigaan pada cervicitis 
terapi awal adalah infeksi dan radang
• Usia lanjut dan riwayat memiliki 5 orang anak
 faktor risiko keganasan serviks, tetapi utk
kondisi pasien karena ada PMN basil kokus
sebaiknya diterapi dulu infeksi dan radangnya
sebelum melakukan pemeriksaan ke arah ca
serviks.
• Pilihan D dan E  dilakukan setelah infeksi
teratasi.
Deteksi Lesi Prakanker: Pap Smear
Pap Smear
• Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan
melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau
plastik
• Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus,
untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan
dalam kanal serviks
• Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan
disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol
yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa
Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan
Tata Laksana (Program Skrining Pap Smear)
Various types of cervical lesions as seen on
Pap smears: CIN Il

Various types of cervical lesions as seen on


Pap smears: CIN I.

Cervicitis. Acute inflammatory exudate


(numerous neutrophils). (Ecto/endocervical Pap smear. Metaplastic cells sometimes binucleated
smear, Pap, 200x)
and inflammation on the background suggestive of
ASCUS. (Papanicolaou, x100)
Various types of cervical
lesions as seen on Pap
smears:
CIN lll

Various types of cervical


lesions as seen on Pap
smears:
invasive squamous cell
carcinoma.
Infection in Pap Smear
• Evidence of the presence of sexually transmitted
organisms may be found on Pap smears. In some cases,
this evidence is specific (e.g., finding a trichomonad),
whereas in other cases the evidence may be
nonspecific (e.g., inflammatory cells).
• Bacterial vaginosis can be detected by the presence of
clue cells
• In general, the Pap smear is insensitive for the
diagnosis of lower genital tract infections, but it may be
reasonably specific.
• HPV infection can be reliably diagnosed if both nuclear
and cytoplasmic changes are present.
Sensitivity and Specifity of Pap Smear for
Gynecologic Infections
Organism Sensitivity Specificity Finding
Multinucleate giant
HSV 0.25-0.66 0.97-0.99
cells
Trichomonas 0.33-0.79 0.89-1.0 Protozoan
Bacterial vaginosis 1.0 0.9 Clue cells*

Pap smear showing clue cells consistent with Pap smear showing Trichomonas vaginalis
bacterial vaginosis. infection
Inflammation in Pap Smear
• Inflammation is a very common finding on a Pap smear. It is probably only
significant when it is "obscuring" or "severe."
• Inflammation on Pap smear may reflect a genital tract infection or may be
nonspecific
• Inflammation is often reported with a recommendation to "clear and repeat
Pap smear."
• Patients with obscuring or severe inflammation should be tested for gonorrhea
and Chlamydia.
• Increasing the frequency of Pap smears after finding inflammation and
colposcopic examination of patients who have persistent inflammation might be
warranted.
• In populations where inflammatory Pap smears are common, a policy of routine
wet mount examination at the time of screening Pap smears in asymptomatic
patients might prove more manageable than recalling large numbers of patients
for so-called "infection checks."
Inflammatory Atypia or ASCUS
• Inflammatory atypia would be an anticipated
progression should the inflammatory process remain
unresolved.
• Inflammatory atypia, or ASCUS (atypical squamous
cells of undetermined significance), is frequently the
result of cervical inflammation that becomes chronic.
• Although cellular changes classified as atypia are
generally benign, progression can occur leading to
dysplasia.
• In summary, inflammation reported on a Pap smear
warrants investigation to determine possible causes.
Pemeriksaan
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade
ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance

Papsmear

Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A
Systematic Review
Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic
Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Lower 1/3 of Epithelium Middle 1/3 of Epithelium > 2/3 of Epithelium

Bethesda (NCI) squamous


LSIL HSIL HSIL
intraepithelial lesion
Cervical intraepithelial
CIN1 CIN2 CIN3
neoplasia
Reagan terminology mild moderate severe/CIS (dysplasia)
85
HINTS

• Seorang wanita bernama Ny. Depanyah berusia 27 tahun hamil 38


minggu G7P4A2 mengeluh mules sejak 6 jam yang lalu, ketuban pecah
(+).
• Tinggi fundus 29 cm. DJJ 120x/ menit.
• Sebelah kanan teraba daerah yang keras memanjang.
• Pada pemeriksaan colok vagina ditemukan portio tidak teraba,
pembukaan lengkap dan teraba bokong dan kaki yang sejajar.
Penurunan +3.
PRESENTASI…
DIAGNOSIS  G7P4A2 HAMIL 38 MINGGU
PRESENTASI BOKONG
JAWABAN:
D. BOKONG SEJATI
• Posisi janin teraba bokong dan kaki yang
sejajar  presentasi janin adalah bokong
sejati (bokong sempurna, complete breech).
Letak, presentasi, posisi dan habitus janin
• Letak
– Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu. Letak
janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse), longitudinal dan
oblique
• Presentasi
– Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir
– Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan dahi
• Posisi
– Posisi: Hubungan antara bagian tertentu fetus (ubun-ubun kecil, dagu, mulut,
sakrum, punggung) dengan bagian kiri, kanan, depan, belakang, atau lintang,
terhadap jalan lahir
– Pada presentasi kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya
vertex berada di bagian anterior tubuh ibu
• Habitus
– Sikap tubuh janin selama dalam uterus.
– Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh sternum,
punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi pada lutut,
Presentasi Bokong
• Bila bokong merupakan bagian terendah janin
• Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong
sempurna), Frank breech (bokong murni), incomplete (bokong
sebagian)
• Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena
kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda
disproporsi
• Etiologi
• Multiparitas, hamil kembar,
hidramnion, hidrosefal,
plasenta previa, CPD

Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi


ILMU KEDOKTERAN
KOMUNITAS & FORENSIK
86
• Pasien tersebut ingin berobat karena tonsillitis
• Pasien berasal dari luar daerah dan memiliki BPJS
aktif dari daerah asal.

YANG DILAKUKAN FASKES PERTAMA TERSEBUT…


DIAGNOSIS  LAYANAN BPJS
JAWABAN:
E. MENYARANKAN MELAPOR DULU KE BPJS SETEMPAT
• Pada kasus di atas, karena pasien berasal
dari luar kota dan kasusnya tidak gawat
darurat, maka pasien sebaiknya membuat
surat pengantar dahulu dari BPJS setempat
• Jika gawat darurat maka pasien bisa ke
rumah sakit dan dilayani sesuai
kegawatdaruratan menurut BPJS
Syarat Penggunaan Kartu
BPJS di Luar Kota
1. Jika kondisi gawat darurat, maka peserta bisa langsung
menuju Rumah Sakit mana saja yang ada di kota yang
sedang didatanginya.

2. Sedangkan jika peserta ingin berobat jalan, maka


sebelum mengunjungi faskes (poliklinik atau
puskesmas) peserta harus membuat surat pengantar
kunjungan faskes terlebih dahulu di kantor bpjs yang
terdapat di kota tempat peserta berada.

3. Surat pengantar dapat digunakan maksimal 3 kali


kunjungan dalam 1 bulan
http://www.pasienbpjs.com/2018/07/cara-
menggunakan-kartu-kis-bpjs-di-luar-kota.html
Syarat Penggunaan Kartu
BPJS di Luar Kota
Prosedur untuk menggunakan BPJS di luar kota:
• Peserta BPJS meminta surat pengantar ke fasilitas
kesehatan pertama dari kantor cabang BPJS
terdekat di luar domisili.
• Saat berkunjung ke kantor cabang BPJS tersebut,
sebaiknya Anda membawa surat keterangan domisili
dan menunjukkannya kepada petugas BPJS

http://www.pasienbpjs.com/2018/07/cara-menggunakan-kartu-kis-bpjs-di-luar-kota.html
87
• Rapat Puskesmas tersebut diakhiri dengan
kesimpulan pelayanan kesehatan telah dapat
dijangkau oleh sebagian besar masyarakat
dengan biaya yang terjangkau.

SUBSISTEM SKN YANG SUDAH BAIK ADALAH…


DIAGNOSIS  SUBSISTEM PELAYANAN KESEHATAN
JAWABAN:
E. PEMBIAYAAN KESEHATAN
• Pada soal dikatakan pelayanan kesehatan
telah dapat dijangkau oleh sebagian besar
masyarakat dengan biaya yang terjangkau
• Oleh karena biaya terjangkau maka hal ini
termasuk di subsistem pembiayaan
kesehatan, biasanya subsistem ini
diselenggarakan dalam bentuk jaminan
social seperti JKN
Subsistem kesehatan nasional terdiri atas:
a) subsistem upaya kesehatan;
b) subsistem penelitian dan pengembangan
kesehatan;
c) subsistem pembiayaan kesehatan;
d) subsistem sumber daya manusia kesehatan;
e) subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
makanan;
f) subsistem manajemen, informasi, dan regulasi
kesehatan;
g) subsistem pemberdayaan masyarakat
Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
(Peraturan Presiden No.72 Tahun 2012)
• SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan
oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

• Diselenggarakan melalui pengelolaan administrasi


kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan,
upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan
pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan.
SISTEM KESEHATAN NASIONAL
• Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa
Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.

• Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan


revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1. Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3. Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4. Kepemimpinan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL
SISTEM KESEHATAN DAERAH
• Sistem Kesehatan Daerah (SKD) adalah merupakan implementasi sistem
Kesehatan Nasional didaerah, yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai
upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu
dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dan pada hakekatnya merupakan wujud sekaligus metode
penyelenggaraan kesehatan daerah.

• Pentingnya SKD: agar kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan masyarakat
akan dapat lebih terakomodir.

• SKD juga merupakan ruang sekaligus bentuk pengakuan terhadap potensi pelaku
dibidang kesehatan yang dimiliki daerah (pemerintah, masyarakat, swasta) yang
dengan SKD ini diikat dalam komitmen dan tujuan yang sama sebagaimana
prinsip dasar SKN, yakni : Perikemanusiaan; Hak Azasi Manusia; Adil dan merata;
Pemberdayaan dan kemandirian Masyarakat; Kemitraan; Pengutamaan dan
manfaat; Tata kepemerintahan yang baik.
SUBSISTEM DALAM SISTEM
KESEHATAN NASIONAL
a) subsistem upaya kesehatan;
b) subsistem penelitian dan pengembangan
kesehatan;
c) subsistem pembiayaan kesehatan;
d) subsistem sumber daya manusia kesehatan;
e) subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
makanan;
f) subsistem manajemen, informasi, dan regulasi
kesehatan;
g) subsistem pemberdayaan masyarakat

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL
Subsistem upaya kesehatan Subsistem Penelitian dan
• Upaya kesehatan Pengembangan Kesehatan
diselenggarakan oleh • Pengelolaan penelitian dan
Pemerintah (termasuk TNI pengembangan kesehatan terbagi atas
dan POLRI), pemerintah penelitian dan pengembangan
daerah biomedis dan teknologi dasar
provinsi/kabupaten/kota, kesehatan, teknologi terapan
dan/atau masyarakat/swasta kesehatan dan epidemiologi klinik,
• melalui upaya peningkatan teknologi intervensi kesehatan
kesehatan, pencegahan masyarakat, dan humaniora, kebijakan
penyakit, pengobatan, dan kesehatan, dan pemberdayaan
pemulihan kesehatan, di masyarakat.
fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas kesehatan. • Penelitian dan pengembangan
kesehatan dikoordinasikan
penyelenggaraannya oleh Pemerintah.
Subsistem Pembiayaan Kesehatan Subsistem Sumber Daya Manusia
• Pembiayaan pelayanan kesehatan Kesehatan
perorangan diselenggarakan melalui • Pengembangan dan
jaminan pemeliharaan kesehatan pemberdayaan sumber daya
dengan mekanisme asuransi sosial manusia kesehatan meliputi
yang pada waktunya diharapkan perencanaan kebutuhan dan
akan mencapai universal health program sumber daya manusia
coverage sesuai dengan Undang- yang diperlukan, pengadaan
Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang meliputi pendidikan
tentang Sistem Jaminan Sosial tenaga kesehatan dan pelatihan
Nasional (SJSN) dan Undang-Undang sumber daya manusia
Nomor 24 Tahun 2011 tentang kesehatan, pendayagunaan
Badan Penyelenggara Jaminan sumber daya manusia
Sosial. kesehatan, termasuk
peningkatan kesejahteraannya,
dan pembinaan serta
pengawasan mutu sumber daya
manusia kesehatan.
Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Subsistem Manajemen, Informasi,
Kesehatan, dan Makanan dan Regulasi Kesehatan
•Subsistem ini meliputi berbagai • Dari segi pengadaan data,
kegiatan untuk menjamin: aspek informasi, dan teknologi
keamanan, khasiat/kemanfaatan komunikasi untuk
dan mutu sediaan farmasi, alat penyelenggaraan upaya
kesehatan, dan makanan yang kesehatan, pengembangan
beredar; ketersediaan, sumber daya manusia, dan
pemerataan, dan keterjangkauan kegiatan lainnya, yang
obat, terutama obat esensial; kegiatannya dapat
perlindungan masyarakat dari dikelompokkan, antara lain:
penggunaan yang salah dan • pengelolaan sistem
penyalahgunaan obat; penggunaan informasi;
obat yang rasional; serta upaya • pelaksanaan sistem
kemandirian di bidang kefarmasian informasi;
melalui pemanfaatan sumber daya
dalam negeri. • dukungan sumber daya; dan
• pengembangan dan
peningkatan sistem
informasi kesehatan.
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
• SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat.
• Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata
sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan
juga sebagai subjek atau penyelenggara dan pelaku
pembangunan kesehatan.
• Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi
sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat
mampu dan mau berperan sebagai pelaku
pembangunan kesehatan.
88
• Seorang dokter puskesmas hendak mengadakan
penyuluhan di sebuah desa terpencil mengenai
pembuatan makanan pengganti susu formula
F75 dengan sasaran ibu dengan bayi risiko tinggi
gizi buruk.

MEDIA PROMOSINYA…
DIAGNOSIS  MEDIA PROMOSI
JAWABAN:
E. FLIPCHART
• Media promosi paling baik dalam bentuk
workshop atau praktik, akan tetapi karena
tidak ada pilihannya, maka dipilih yang
bentuk visual, dengan yang paling ideal
adalah flipchart
• Flipchart berbentuk seperti
slideshow/powerpoint atau buku dengan
halaman berisi step by step untuk
menjelaskan tata cara/langkah langkah
• Berdasarkan
kerucut ini,
flipchart
berupa
presentasi
dapat diingat
70%,
• Sementara
poster, stiker
booklet,
spanduk
termasuk
yang 30%
MEDIA PROMOSI KESEHATAN
MEDIA PROMOSI KESEHATAN MASSAL
• Ceramah umum (public speaking), misalnya pada hari kesehatan
nasional, menteri kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya
berpidato dihadapan massa rakyat untuk menyampaikan pesan-
pesan kesehatan.
• Diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik, baik siaran TV
maupun radio.
• Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan
disuatu media massa
• Film
• Tulisan-tulisan dimajalah atau Koran, baik dalam bentuk artikel
maupaun Tanya jawab/ konsultasi tentang kesehatan dan penyakit.
• Billboard, yang dipasang dipinggir jalan, spanduk, poster, dsb.
Contoh : Billboard Ayo ke Posyandu.
Media Cetak Promosi Kesehatan

• Buklet
– merupakan media untuk menyampaikan pesan-pesan
kesehatan dalam bentuk buku, baik berupa tulisan
maupun gambar.
– Sasaran buklet adalah masyarakat yang dapat membaca.
• Leaflet
– merupakan selembar kertas yang terdiri dari 200-400 kata
dengan tulisan cetak yang berisi tentang informasi atau
pesan-pesan kesehatan.
– Biasanya leaflet diberikan kepada sasaran setelah kuliah
atau ceramah agar dapat digunakan sebagai pengingat
pesan.
Media Cetak Promosi Kesehatan
• Flip chart
– (lembar balik) merupakan alat peraga yang menyerupai kalender
balik bergambar Lembaran-lembaran ini disusun dalam urutan
tertentu.
– Lembar balik ini digunakan dengan cara membalik lembaran-
lembaran bergambar tersebut satu per satu.
– Lembar balik ini biasanya digunakan untuk pertemuan kelompok
dengan jumlah maksimal peserta 30 orang.
• Poster
– merupakan bentuk media yang berisi pesan-pesan singkat atau
informasi kesehatan yang biasanya menempel di dinding, tempat-
tempat umum atau kendaraan umum dan dalam bentuk gambar.
– Karena ukurannya sangat terbatas maka tema dalam poster tidak
terlalu banyak biasanya hanya ada satu tema dalam satu poster.
Metode Promosi Kesehatan untuk
Kelompok (<15 orang)
• Diskusi kelompok: dipimpin 1 pemimpin diskusi, pemimpin
memberi pertanyaan atau kasus sehubungan dengan topik
yang dibahas untuk memancing anggota untuk
berpendapat.

• Curah Pendapat (Brain Storming): Prinsipnya sama dengan


metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaannya
pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah dan
kemudian tiap peserta memberikan jawaban-jawaban atau
tanggapan (curah pendapat). Sebelum semua peserta
mencurahkan pendapatnya, tidak boleh diberikan
komentar oleh siapapun. Harus setelah semua
mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat
mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
Metode Promosi Kesehatan
untuk Kelompok (<15 orang)
• Bola salju (snowballing): Kelompok dibagi dalam pasangan-
pasangan (1 pasang 2 orang) kemudian dilontarkan suatu
pertanyaan atau masalah. Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2
pasang bergabung menjadi 1. Mereka tetap mendiskusikan masalah
tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian tiap-tiap pasang
yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan
pasangan lainnya dst, sampai akhirnya akan terjadi diskusi seluruh
anggota kelompok.

• Kelompok kecil (buzz group): Kelompok langsung dibagi menjadi


kelompok-kelompok kecil (buzz group) yang kemudian diberi suatu
permasalahan yang sama atau tidak sama dengan kelompok lain.
Masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut.
Selanjutnya hasil dari tiap kelompok didiskusikan kembali dan dicari
kesimpulannya.
Metode Promosi Kesehatan untuk
Kelompok (<15 orang)
• Role play: Beberapa anggota kelompok diunjuk sebagai
pemegang peran tertentu untuk memainkan peranan,
misalnya sebagai dokter Puskesmas, sebagai perawat, atau
bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain
sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka
memperagakan, misalnya bagaimana komunikasi/interaksi
sehari-hari dalam melaksanakan tugas.

• Simulation game: Gabungan antara role play dengan


diskusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam
beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli.
Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli dan
menggunakan dadu, gaco (petunjuk arah) selain papan
main. Beberapa orang menjadi pemain dan sebagian lagi
berperan sebagai narasumber.
Alat Bantu Promosi Kesehatan
(Menurut Cone of Experience, Edgar Dale)
89
• Dinkes Kesehatan Daerah di Pekanbaru
mengadakan rapat akhir tahunan.
• Mereka membicarakan apakah stunting bisa
menjadi prioritas kebijakan kesehatan di tahun
ini.

TAHAPAN YANG SEDANG DILAKUKAN DINKES…


DIAGNOSIS  KEBIJAKAN PUBLIK
JAWABAN:
B. AGENDA SETTING/ PENYUSUNAN AGENDA
• Pada soal didapatkan rapat dinkes yang
membahas apakah stunting bisa jadi
prioritas kesehatan, Jadi tahap ini masih
masuk ke dalam Penyusunan Agenda
• Identifikasi Masalah  Bukan tahapan
penyusunan kebijakan public
• Formulasi Kebijakan  Penentuan program apa
saja yang akan dipakai untuk mengatasi
masalah yang diangkat di agenda
• Implementasi kebijakan  Penerapan program
di masyarakat
• Evaluasi Kebijakan  Penilaian dari hasil
implementasi kebijakan
Tahapan Kebijakan Publik
(William N Dunn 1994)

William N Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 1994


Siklus Kebijakan Publik

William N Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 1994


Penilaian Evaluasi Kebijakan
Publik (William N Dunn 1994)

William N Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 1994


90
• Penelitian konsumsi tablet multisuplemen merk Universal
(kandungan asam folat, karbohidrat dan vitamin lengkap) pada
ibu hamil terhadap pencegahan BBLR.
• Variabel penelitian menggunakan kadar total jumlah suplemen
yang dikonsumsi dalam milligram, dengan keluarannya berupa
berat badan bayi yang baru lahir dalam satuan kilogram.

UJI HIPOTESIS YANG DIGUNAKAN…


DIAGNOSIS  ANALISIS STATISTIK
JAWABAN:
E. PEARSON
• Variabel penelitian menggunakan kadar
suplemen dalam milligram  variable
bebas  numerik
• Variabel berat badan bayi dalam satuan
kilogram  variabel terikat  numerik
• Penelitian ini menggunakan analisis korelasi
antar variable numerik dengan numerik,
sehingga dipilih korelasi pearson
• Chi Square  dipakai pada analisis variabel
kategorik dan kategorik
• Uji T Independen  dipakai pada analisis
variable 2 kategorik dan numerik, dengan
distribusi data normal
• Fisher test  dipakai pada analisis variabel
kategorik dan kategorik, tapi hanya bisa antar 2
variable kategorik (table 2 x 2, tidak bisa 3 x 2
atau lainnya)
• Anova  Dipakai pada analisis 3 variable
kategorik atau lebih dengan variable numerik
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua variabel,
di mana kedua variabel bersifat numerik, dapat
menggunakan korelasi Pearson dan regresi linier.

• Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui arah


dan kekuatan hubungan antara kedua variabel.
Sedangkan regresi linier digunakan untuk memprediksi
nilai variabel dependen melalui variabel independen
(dinyatakan dalam persamaan Y = a + bX).
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Contohnya penelitian ingin mengetahui hubungan
berat badan dan tekanan darah.
– Hasil uji korelasi Pearson didapatkan r =+0,8, artinya
terdapat hubungan kuat bahwa semakin tinggi berat
badan, semakin tinggi pula tekanan darah. Sebaliknya, bila
didapatkan nilai r=-(0,8), artinya terdapat hubungan kuat
bahwa semakin tinggi berat badan, semakin rendah
tekanan darah.
– Bila menggunakan regresi linier, akan didapatkan
persamaan untuk memprediksi nilai tekanan darah melalui
berat badan. Misalnya tekanan darah sistolik = 20 + (2 x
berat badan).
KOEFISIEN KORELASI
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua variabel numerik
menggunakan uji Korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson
dinyatakan dalam R (koefisen korelasi) sebagai berikut:

Prinsip:
Nilai koefisien korelasi berkisar antara 0 sampai 1. Nol berarti tidak ada korelasi sama sekali,
sedangkan satu menandakan korelasi sempurna. Koefisien korelasi yang semakin mendekati
angka 1, menunjukkan semakin kuat korelasi .
Contoh Uji Korelasi
• Misalnya pada penelitian yang ingin mengetahui
hubungan antara kolesterol total (mg/dL) dengan
tekanan darah sistolik (mmHg) didapatkan nilai R-nya
sebesar 0,8.

• Hal ini berarti terdapat korelasi kuat antara kolesterol


total dan tekanan darah sistolik (semakin tinggi
kolesterol, semakin tinggi tekanan darah sistolik).

• Namun apakah hasil tersebut bermakna secara statistik


atau hanya merupakan kebetulan saja (ada
kemungkinan tidak sesuai dengan kenyataan di
populasi)?  Harus diliihat nilai p-nya.
91
• Mayat ditemukan di sungai
• Setelah dilakukan pemeriksaan forensik, dokter
menyimpulkan kasus tersebut adalah kasus
tenggelam akibat kecelakaan

MEKANISME KEMATIAN…
DIAGNOSIS  TENGGELAM
JAWABAN:
C. FIBRILASI VENTRIKEL
• Korban ditemukan di sungai, yang
kemungkinan besar adalah meninggal
akibat tenggelam di air tawar.
• Pada kasus tenggelam di air tawar, air akan
diserap dalam jumlah besar, menyebabkan
hemodilusi dan hemolisis massif dari sel-
sel darah merah  kalium intrasel akan
dilepas  hiperkalemia  fibrilasi
ventrikel
• Edema paru, gagal jantung akibat
hemokonsentrasi, dan peningkatan magnesium
adalah sebab kematian akibat tenggelam di air
asin
TIPE TENGGELAM
• Tipe Kering (Dry drowning):
– akibat dari reflek vagal yang dapat menyebabkan henti jantung
atau akibat dari spasme laring karena masuknya air secara tiba-
tiba kedalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.
– Banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang banyak
dibawah pengaruh obat-obatan (Hipnotik sedatif) atau alkohol
 tidak adausaha penyelamatan diri saat tenggelam.

• Tipe Basah (Wet drowning)


– terjadi aspirasi cairan
– Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah paru. Air bergerak dengan cepat ke membran kapiler
alveoli. Surfaktan menjadi rusak sehingga menyebabkan
instabilitas alveoli, ateletaksis dan menurunnya kemampuan
paru untuk mengembang.
Tipe Tenggelam
• Secondary drowning/near drowning
– Korban masih hidup atau masih bisa diselamatkan
saat hampir tenggelam. Namun setelah dilakukan
resusitasi selama beberapa jam, akhirnya korban
meninggal.

• Immersion syndrome
– Korban meninggal tiba-tiba saat tenggelam pada air
yang sangat dingin
– Akibat refleks vagal
Berdasarkan Lokasi Tenggelam
AIR TAWAR AIR LAUT
• Air dengan cepat diserap • Pertukaran elektrolit dari
dalam jumlah besar air asin ke darah 
hemodilusi  natrium plasma
hipervolemia dan meningkat  air akan
hemolisis massif dari sel- ditarik dari sirkulasi 
sel darah merah  hipovolemia dan
kalium intrasel akan hemokonsentrasi 
dilepas  hiperkalemia hipoksia dan anoksia
 fibrilasi ventrikel dan
anoksia yang hebat pada
miokardium.
5 Tanda Tenggelam
• Terdapat tanda asfiksia
• Diatome pada pemeriksaan getah paru
• Bercak paltouf di permukaan paru
• Berat jenis darah yang berbeda antara jantung
kiri dan kanan
• Mushroom-like mass
Pemeriksaan Luar Korban
Tenggelam
• Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan benda-benda
asing lainnya yang terdapat di dalam air laut dan kadang-kadang
bercampur lumpur.

• Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush room-like mass).


– Masuknya cairan kedalam saluran pernafasan merangsang terbentuknya
mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-
paru dan terkocok oleh karena adanya upaya pernafasan yang hebat. Busa
dapat meluas sampai trakea, bronkus utama dan alveoli.

• Cutis anserina pada ekstremitas akibat kontraksi otot erector pilli


yang dapat terjadi karena rangsangan dinginnya air.
Pemeriksaan Luar Korban
Tenggelam
• Washer woman hand. Telapak tangan dan kaki berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena inhibisi
cairan ke dalam cutis dan biasanya membutuhkan waktu yang
lama.
• Cadaveric spasme. Merupakan tanda vital yang terjadi pada
waktu korban berusaha menyelamatkan diri., dengan cara
memegang apa saja yang terdapat dalam air.
• Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air.
• Penurunan suhu mayat
• Lebam mayat terutama pada kepala dan leher
Pemeriksaan Dalam Korban
Tenggelam
• Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih
dapat mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan,
demikian pula halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama
benda air.
• Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopis misalnya pasir,
lumpur, binatang air, tumbuhan air dan lain sebagainya; sedangkan yang tampak
secara mikroskopis diantaranya telur cacing dan diatome (ganggang kersik).
• Pleura dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan.
Perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum
interalveoli, atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.
• Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi
inter alveolar, dan sering terlihat di bawah pleura; bercak ini disebut sebagai
bercak ”Paltauf”.
– Bercak berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-paru,
yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru.
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam
• Kongesti pada laring
• Emphysema aquosum atau emphysema
hyroaerique yaitu paru-paru tampak pucat
dengan diselingi bercak-bercak merah di antara
daerah yang berwarna kelabu;
• Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan
menyebabkan distensi jantung kanan dan
pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi
darah yang merah gelap dan cair, tidak ada
bekuan.
PEMERIKSAAN KHUSUS
PADA KASUS TENGGELAM
• Terdapat pemeriksaan khusus pada kasus mati
tenggelam (drowning), yaitu :
– Percobaan getah paru (lonset proef)
– Pemeriksaan diatome (destruction test)
– Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher
test).
Tes getah paru (lonset proef)
• Kegunaan melakukan percobaan paru (lonsef proef)
yaitu mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan,
telur cacing) dalam getah paru-paru mayat.
• Syarat melakukannya adalah paru-paru mayat
harus segar / belum membusuk.
• Cara melakukan percobaan getah paru (lonsef proef)
yaitu permukaan paru-paru dikerok (2-3 kali) dengan
menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris
permukaan paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek
gelas. Syarat sediaan harus sedikit mengandung
eritrosit.
Tes Diatom
Tes Kimia Darah
TEST KIMIA DARAH • Test Gettler: Menunjukan
• Mengetahui ada tidaknya adanya perbedaan kadar
hemodilusi atau klorida dari darah yang diambil
hemokonsentrasi pada dari jantung kanan dan
masing-masing sisi dari jantung kiri. Pada korban
jantung, dengan cara tenggelam di air laut kadar
memeriksa gaya berat spesifik klorida darah pada jantung kiri
dari kadar elektrolit antara lain lebih tinggi dari jantung kanan.
kadar sodium atau clorida dari
serum masing-masing sisi. • Tes Durlacher: Penentuan
perbedaan berat plasma
• Dianggap reliable jika jantung kanan dan kiri. Pada
dilakukan dalam waktu 24 jam semua kasus tenggelam berat
setelah kematian jenis plasma jantung kiri lebih
tinggi daripada jantung kanan .
92
• Pria usia 40 th dgn keluhan luka/ulkus penis
• Dokter mendiagnosa pasien menderita siphylis.
• Akan Tetapi pasien meminta untuk tidak
memberitahukan istrinya.

YANG DILAKUKAN DOKTER…


DIAGNOSIS  RAHASIA MEDIS
JAWABAN:
C. DOKTER MENGEDUKASI PASIEN AGAR
MEMBERITAHUKAN ISTRI PS AGAR TIDAK MENULARI
• Pada kasus di atas rahasia medis memang sepenuhnya
milik pasien, dan dokter berkewajiban untuk menjaga
rahasia medis, sehingga dokter tidak bisa
memberitahu istri pasien tanpa seizin pasien
• Akan tetapi karena dokter juga mengetahui bahwa
penyakit ini menular dan bisa mengenai istri pasien
juga, dokter dapat melakukan pencegahan dengan
mengedukasi pasien supaya pasien mau
memberitahukan istri pasien agar tdk menulari istrinya
• Apabila kelak istri pasien terjangkit penyakit, istri pasien
tidak bisa menyalahkan dokter, tapi suaminya karena
tidak memberitahunya
• Dokter memberitahukan istri pasien  tidak bisa
karena dokter harus menjaga rahasia medis
• Dokter hanya mengobati pasien  tidak karena
dokter juga harus berusaha mencegah persebaran
penyakit
• Mengobati pasien dan istrinya juga  istrinya
belum sakit jadi tidak diobati, dan tidak ada
profilaksis buat sifilis
• Dokter tidak memberitahu istri pasien  benar
tapi lebih baik istri pasien tahu secara langsung
dari suaminya
RAHASIA MEDIS
• Segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik atau rahasia
kedokteran dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien.
• Sumpah dokter (Sumpah Hipocrates) terdapat sumpah untuk merahasiakan
apapun yang dilihat dan didengar dalam sepanjang proses menjalankan profesi
seorang dokter
• Dasar hukum
– PP no 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran tgl 21 mei 1966.
– UU RS no 44 thn 2009
– UU Kesehatan no 36 thn 2009
– UU Praktik Kedokteran no 29 tahun 2004
– Pasal 11 PP 749.MENKES/PER/XII/1989 tentang REKAM MEDIS: “rekam medis
merupakan berkas yang wajib disimpan kerahasiaannya”
– PERMENKES NO. 36 TAHUN 2012 ttg Rahasia Kedokteran
– PERMENKES NO. 269 TAHUN 2008
• Dasar etik: Rahasia medis harus tetap dijaga, bahkan setelah pasien meninggal
dunia (KODEKI pasal 16).
Siapa Saja Yang Wajib
Menyimpan Rahasia Medis?
• Yang diwajibkan menyimpan rahasia medis
ialah:
– Dokter/Dokter ahli
– Mahasiswa Kedokteran
– Perawat/Bidan
– Petugas Administrasi Kedokteran
– Forensik/kamar jenazah

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966


Permenkes no. 269 thn 2008

Pasal 10
• Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat
pengobatan harus dijaga kerahasiaannya
• Informasi tersebut dapat dibuka dalam hal:
– untuk kepentingan kesehatan pasien;
– memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
– permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
– permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
– untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit
medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS
PERMENKES NO.36 TAHUN 2012

PASAL 5:
• Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS
PERMENKES NO.36 TAHUN 2012
Yang Dimaksud Untuk Kepentingan Kesehatan Pasien

Pasal 6
Kepentingan kesehatan pasien meliputi:
• Kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan
perawatan pasien; dan
• Keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan
kesehatan.

o Dilakukan dengan persetujuan dari pasien


o Dalam hal pasien tidak cakap untuk memberikan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan dapat diberikan oleh
keluarga terdekat atau pengampunya
Membuka Rahasia Medis
Dalam Etika Profesi
• Dokter memiliki tanggung jawab etika profesi
yang dijunjung, salah satunya terkait menjaga
rahasia pasien (rahasia pekerjaan)
• Pasal 16 KODEKI
– Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
93
• Penelitian ini menggunakan obat yang sama
diberikan 1x sehari dan hasil diukur dalam kadar
gula darah puasa.
• Untuk mencegah ascertainment bias, baik peneliti
dan subyek penelitian tidak mengetahui obat yang
diberikan

METODE PENELITIAN…
DIAGNOSIS  DOUBLE BLIND RCT
JAWABAN:
B. DOUBLE BLIND
• Pada penelitian eksperimental tersebut,
baik peneliti maupun subjek penelitian
tidak mengetahui perlakuan yang
diberikan.
• Metode tersebut adalah metode double
blinded.
• Single blind: hanya pasien atau hanya peneliti saja
yang tidak mengetahui perlakuan yang diberikan.
• Triple blind: pasien, peneliti, dan evaluator (pihak
ketiga) tidak mengetahui perlakuan yang diberikan.
• RCT: jenis penelitian eksperimental di mana
dilakukan randomisasi untuk menetapkan
pemberian perlakuan pada subjek penelitian.
• Non blind: penelitian tanpa blinding, biasa
digunakan bila blinding tidak memungkinkan,
contohnya terapi yang diberikan berupa tindakan
operasi
Blinding dalam Penelitian
• Single blind: only patients or only investigators
are ignorant of the assigned treatment.

• Double blind: patients and investigators are


ignorant of the assigned treatment.

• Triple blind: patients, investigators, and data


evaluators are ignorant of the assigned
treatment.
Ascertainment bias
• Ascertainment bias happens when the results of your study
are skewed due to factors you didn’t account for, like a
researcher’s knowledge of which patients are getting which
treatments in clinical trials or poor Data Collection
Methods that lead to non-representative samples.
• Ascertainment bias in clinical trials happens when one or
more people involved in the trial know which treatment
each participant is getting. This can result in patients
receiving different treatments or co-treatments, which will
distort the results from the trial. A patient who knows they
are receiving a placebo might be less likely to report
perceived benefits (the “placebo effect“).
94
• Sesama dokter saling berselisih dan saling
menjelekkan karena persoalan penanganan
pasien.
• Dari sisi etika kedokteran,

MEREKA MELANGGAR KODEKI PASAL…


DIAGNOSIS  PELANGGARAN ETIK
JAWABAN:
C. PASAL 13 KODEKI
• Kasus di atas didapatkan sesame dokter
yang saling berselisih yang berarti tidak
menghargai sesama sejawat
• Kasus ini adalah pelanggaran kodeki pasal
13
Pasal Kodeki
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
12. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan
semua aspek pelayanaan (holistic, etc).
13. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas
sektoral di bidang kesehatan, bidang lainnya, dan masyarakat, harus
saling menghormati.
14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan untuk kepentingan pasien dan merujuk bila tidak
mampu
15. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga
KODEKI
• Dokter Indonesia memiliki Kode Etik
Kedokteran sendiri yang diberlakukan
didasarkan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 434/MENKES/SK/X/1983
Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia

Kode Etik Kedokteran Indonesia


Pasal-Pasal KODEKI: Kewajiban Umum

1. Seorang doker wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan


mengamalkan sumpah dokter.
2. Seorang dokter harus melakukan profesinya sesuai ukuran yang
tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter
tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
4. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri sendiri.
5. Setiap pembuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk
kepetingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.

Kode Etik Kedokteran Indonesia


Pasal-Pasal KODEKI: Kewajiban Umum
6. Setiap dokter harus senantiasa berhati- hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenrannya dan
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
7. Seorang dokter hanya memberikan keterangan atau
pendapat yang telah diperiksa sendiri keberannya.
a. Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya,
memberikan pelayanaan medis yang kompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia. (Pasal 7a)

Kode Etik Kedokteran Indonesia


Pasal-Pasal KODEKI: Kewajiban Umum
b. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan,dalam menangani
pasien.
c. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-
hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan
harus menjaga kepercayaan pasien
d. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melingdungi hidup makhluk insani.

Kode Etik Kedokteran Indonesia


Pasal-Pasal KODEKI:
Kewajiban Umum
8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan secara kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,
atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga
kepercayaan pasien.

Kode Etik Kedokteran Indonesia


Pasal-Pasal KODEKI:
Kewajiban Umum
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban
dirinya melindungi hidup makhluk insani.
12. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan semua aspek pelayanaan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif), baik fisk maupun psikososial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-
benarnya.
13. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat
lintas sektoral di bidang kesehatan, bidang lainnya, dan
masyarakat, harus saling menghormati.
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Pasal-Pasal KODEKI -
Kewajiban Dokter Terhadap
Pasien
14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang
ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada
dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
15. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beradat dan atau dalam masalah lainnya.
16. Setiap doker wajib melakukan merahasiakan segala sesuatu yang
diketahui tentang seorang penderita, bahka juga setelah penderita itu
meninggal dunia.
17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suaru tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakni ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia
KODEKI-Kewajiban Dokter
Terhadap Teman Sejawat
• Pasal 18: Setiap dokter memperlakukan
teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.

• Pasal 19: Setiap dokter tidak boleh mengambil


alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis.
KODEKI-Kewajiban Dokter
Terhadap Diri Sendiri
• Pasal 20: Setiap dokter harus memelihara
kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.

• Pasal 21: Setiap dokter harus senantiasa


mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.
95
• Apabila terjadi bencana semisalkan di daerah
Perbatasan Kalimantan Utara terjadi gempa bumi
yang hebat dan menelan banyak korban di
daerah tersebut, maka berdasarkan undang-
undang

CAKUPAN WILAYAH TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH…


DIAGNOSIS  DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
JAWABAN:
E. INTERNASIONAL
• Berdasarkan UU no 29 tahun 2014 pasal 2,
cakupan wilayah pertolongan pemerintah
terhadap bencana alam dilakukan tanpa
mengenal batas wilayah
• Seperti di soal bencana terjadi di perbatasan
Kalimantan Utara, dimana ada warga Malaysia
yang kemungkinan berkunjung
• Maka pemerintah wajib mencari dan
menolong korban bencana alam baik itu
penduduk local ataupun turis asing
• Jadi jawabannya internasional
UU no 29 tahun 2014
• Negara Kesatuan Republik Indonesia
bertanggungjawab untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan hidup dan penghidupannya
termasuk perlindungan kecelakaan, bencana,
dan kondisi membahayakan manusia
berlandasankan pada Pancasila
UU no 29 tahun 2014

• Jadi pemerintah berkewajiban mencari dan


menolong korban bencana alam baik itu
penduduk local ataupun turis asing
Disaster Victim Identification (DVI)
• Prinsip identifikasi  membadingkan data
antemortem dan postmortem
• Fase Operasi Penyidikan DVI:
– Fase 1  TKP (pencarian dan pencatatan)
– Fase 2  Postmortem (pemeriksaan mayat)
– Fase 3  Antemortem (Analisis data orang hilang)
– Fase 4  Rekonsiliasi (Pencocokan data PM-AM)
– Fase 5  Debriefing (Evaluasi DVI)
ILMU THT-KL
96
• Laki-laki, 25 tahun, keluhan hidung tersumbat sudah 3
bulan ini.
• Terdapat riwayat alergi dalam keluarga.
• Pasien merasa tidurnya terganggu dan sering
menggunakan obat semprot hidung yang dijual bebas
• 1 minggu ini keluhan tidak membaik.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  RHINTIS MEDIKAMENTOSA
JAWABAN:
D. MOMETHASONE FUROAT SEMPROT
• Pasien ini kemungkinan  rhinitis alergi
karena ada riwayat hidung tersumbat sejak
3 bulan dan riwayat alergi pada keluarga.
• Adanya riwayat penggunaan obat semprot
yang dijual bebas  rebound phenomenon
 saat ini mengalami  rhinitis
medikamentosa.
• Cetirizine oral  tidak tepat
• Cefadroxil oral  tidak ada indikasi
• Phenilyephrin semprot hidung  justru tidak
boleh diberikan saat ini
• Steroid PO  tidak selalu diberikan
Rinitis Medikamentosa
• Kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor
akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau
semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan menetap  terjadi rebound dilatation dan
rebound congestion
• Patofisiologi Adanya disregulasi pada tonus
sympathetic/parasympathetic oleh molekul vasokonstriktor
• Ditandai dgn kongesti nasal tanpa rinorea dan bersin2 yg dicetus
oleh penggunaan obat-obatan vasokonstriktor lebih dari 4-6 hari.
• Anjuran: pemakaian obat topikal sebaiknya tidak lebih dari 1
minggu
• PF: edema/hipertrofi konka dengan sekret berlebihan. Apabila
diberi tampon, edema tidak berkurang

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
Rhinitis Medikamentosa
• Patofisiologi rhinitis medikamentosa tidak diketahui sepenuhnya.
• Diduga karena penurunan produksi norepinefrin endogen oleh mekanisme
feedback. Pada pemakaian dekongestan jangka panjang/penghentian pemakaian,
saraf simpatis tidak bisa menjaga vasokonstriksi karena produksi norepinefrin
tersupresi.
Rinitis Medikamentosa
Anamnesis
• Adanya kongesti nasal tanpa rinorea ataupun bersin2.
• Gejala tidak dipengaruhi oleh musim ataupun lokasi di dalam
atau di luar rumah.
• Adanya riwayat penggunaan obat vasokonstriktor nasal yang
digunakan dalam jangka waktu yang lama

PF
• Mukosa nasal  "beefy-red" with punctate bleeding, granular
because of the redness and irritation of the mucosa.
• Patients with RM often snore, have sleep apnea, and mouth-
breath resulting in sore throat and dry mouth complains.
Rinitis Medikamentosa
Tatalaksana
 Pada minggu pertama: pemberian kortikosteroid
intranasal sambil pasien diedukasi untuk
menghentikan penggunaan vasokonstriktor secara
perlahan.
 Solusio garam buffer dpt diberikan untuk irigasi untuk
melembabkan.
 Dekongestan sistemik.
 Kortikosteroid oral  tidak selalu diberikan.
 Operasi  jika terdapat polip atau deviasi septum.
Tatalaksana Rinitis Medikamentosa
• Topical decongestant use must be discouraged and discontinued as
soon as possible.

• The oral corticosteroids are often used for 5-10 days, with nasal
corticosteroids started at the same time and continued until the
process is corrected.

• Pain relief from analgesics should be offered to patients who


experience headaches during withdrawal from intranasal
decongestants.

• Oral systemic decongestants may be helpful in relieving nasal


congestion as intranasal decongestants are withdrawn.

https://emedicine.medscape.com/article/995056-treatment
97
• Perempuan 40 tahun keluhan telinga terasa
penuh dan sangat gatal sejak 1 minggu lalu.
• Kulit sekitar liang telinga hiperemis dengan sisik
putih, liang telinga tertutup serumen.
• Serumen ditemukan blastospora dan hifa semu.
TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  OTOMIKOSIS
JAWABAN:
E. IRIGASI TELINGA DAN MEMBERIKAN OBAT LOKAL
ANTI JAMUR KE DALAM LIANG TELINGA
• Kemungkinan diagnosis pada pasien ini adalah
Otomikosis, karena terdapat keluhan:
– telinga terasa penuh dan sangat gatal sejak 1
minggu lalu
– Ditemukan kulit sekitar liang telinga hiperemis
dengan sisik putih, liang telinga tertutup serumen.
– Pada pemeriksaan serumen ditemukan blastospora
dan hifa semu
• Pengobatan pada otomikosis adalah dengan
pemberian obat antijamur topical, sehingga
jawaban yang paling tepat adalah E. Irigasi
telinga dan memberikan obat lokal anti jamur
ke dalam liang telinga
• Pilihan A  untuk serumen plug
• Pilihan D  untuk otitis eksterna karena bakteri
• Pilihan B  Tidak spesifik obat tetes apa yg
diberikan
• Pilihan C  tidak selalu dianjurkan
Otomikosis
• The infection may be either sub
acute or acute and is characterized
by inflammation, pruritis, scaling and
severe discomfort.

• The mycosis results in inflammation,


superficial epithelial masses of
debris containing hyphae,
suppuration and pain.

• In addition, symptoms of hearing


loss and aural fullness are as a result
of accumulation of fungal debris in
the canal.

Pak J Med Sci. 2014 May-Jun; 30(3): 564–567.


Otomikosis (Fungal Otitis Externa)

Tatalaksana
Asam asetat 2% dalam alkohol atau povidon iodine 5%
atau antifungal topikal (nistatin/clotrimazol 1%)
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.
Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otomikosis (Fungal Otitis Externa)

• Univariate analysis showed that the predisposing factors for


otomycosis were:
– frequent swimming in natural or artificial pools (Relative Risk (RR) 3.7;
CI 1.7-8.1),
– daily ear cleaning (RR 3.5; CI 1.8-6.8) and
– excessive use of eardrops containing antibiotics and corticoids (RR =
9.3; IC95% = 4.3-20.1).

• The most common etiologic agents were:


– Aspergillus flavus (20.4%), Candida albicans (16.3%), Candida
parapsilosis (14.3%), & Aspergillus niger (12.2%).
98
• Anak, 15 tahun, keluhan hidung berair dan
tersumbat dan batuk berdahak, ingus warna putih
kental, tidak disertai demam, ingus berbau
• Riwayat bersin-bersin akibat cuaca dingin/ debu
disangkal.
• Kavum nasi sempit, konka hiperemis dan bengkak.

TATALAKSANA…
DIAGNOSIS  RHINTIS AKUT
JAWABAN:
D. ANTIHISTAMIN
• Pada soal terdapat gejala rhinitis akut, 
bersin, hidung berair dan tersumbat, tidak
demam, sekret berwarna putih, rhinoskopi
anterior didapatkan kavum nasi sempit, konka
hiperemis dan bengkak  infeksi virus.
• Untuk pasien dibutuhkan terapi simptomatik.
• Beberapa pilihan obat dapat digunakan untuk
terapi simptomatik  yang paling efektif dan
risiko lebih kecil  antihistamin 
mengurangi keluhan rhinorrhea, bersin, dan
gatal.
• Kortikosteroid nasal efektif dalam mengatasi
keluhan rhinorrhea, bersin, dan sumbatan,
namun ada risiko untuk perdarahan mukosa.
Infectious Rhinitis
• Infectious rhinitis is • Therapy should be
usually caused by an directed at symptomatic
upper respiratory tract care
infection, usually of viral
origin
• Patients with infectious
rhinitis typically present
with clear-to-
mucopurulent nasal
discharge
https://emedicine.medscape.com/article/874171-overview#a2
Pharmacotherapy
• Anticholinergics • Nasal corticosteroids
– Ipratropium Bromide for – useful for managing
rhinorrhea only rhinorrhea, sneezing,
• Antihistamines pruritus, and congestion
– useful in relieving – risk for nasal bleeding
rhinorrhea, sneezing,
and nasal pruritus
• Sympathomimetics
– useful for the short-term
treatment of nasal
obstruction
DIAGNOSIS CLINICAL FINDINGS
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
RINITIS ALERGI
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:


RINITIS
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
VASOMOTOR
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
RINITIS HIPERTROFI
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada
RINITIS ATROFI / pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung
OZAENA tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior,
sekret & krusta hijau.

Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor


RINITIS
topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
MEDIKAMENTOSA
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.

Rhinitis akut: umumnya disebabkan oleh rhinovirus, sekret srosa,


RINITIS AKUT
demam, sakit kepala, mukosa bengkak dan merah.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
99
• Laki-laki usia 28 tahun, mengeluh hidung sering
tersumbat, gejala tersebut dipengaruhi posisi.
• Berbaring miring kanan, hidung akan tersumbat
pada sisi kanan, dan begitu pula sebaliknya bila
berbaring miring ke kiri

TEMUAN PEMERIKSAAN RHINOSKOPI ANTERIOR…


DIAGNOSIS  RHINTIS VASOMOTOR
JAWABAN:
B. KONKA EDEMA DAN BERWARNA MERAH GELAP
• Kemungkinan diagnosis pasien ini adalah
rhinitis vasomotor karena terdapat keluhan
hidung sering tersumbat yang dipengaruhi
posisi
• Pada rinoskopi, akan ditemukan konka
edema dan berwarna kebiruan, sehingga
jawaban yang benar adalah yang B. Konka
edema dan berwarna merah gelap
• Pilihan Aditemukan pada rhinitis atrofikans
• Pilihan Cdapat ditemukan pada rhinosinusitis
• Pilihan Ddapat ditemukan pada hamper
smua rhinitis kec.rhinitis atrofi
• Pilihan EPada polip nasi
Rinitis Vasomotor
DESKRIPSI
keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, hormonal
BATASAN atau pajanan obat

belum diketahui; Dicetuskan oleh rangsang non-spesifik  asap, bau, alkohol, suhu,
ETIOLOGI
makanan, kelembaban, kelelahan, emosi/stres
Anamnesis: Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien
disertai sekret yang mukoid atau serosa yang dicetuskan oleh rangsangan non spesifik
Rinoskopi anterior: Edema mukosa hidung, konka merah gelap atau merah tua
DIAGNOSIS dengan permukaan konka dapat licin atau berbenjol (hipertrofi) disertai sedikit sekret
mukoid
Penunjang: Eosinofilia ringan, tes alergi hasil (-)

1. Menghindari stimulus
2. Simptomatis: dekongestan oral, kortikosteroid topikal, antikolinergik topikal,
TATALAKSANA kauterisasi konka, cuci hidung)
3. Operasi (bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi)
4. Neurektomi nervus vidianus bila cara lain tidak berhasil
Buku ajar ilmu THT 2007
Rhinitis
Rinitis Vasomotor
• Rinitis non imunologis
• Ditandai dengan gejala obstruksi nasal, rinorea, dan
kongesti.
• Gejala dieksaserbasi oleh bau tertentu (parfum, asap
rokok, cat semprot, tinta), alkohol, makanan pedas,
emosi, dan faktor lingkungan seperti suhu dan
perubahan tekanan udara.
• Diduga disebabkan peningkatan aktivitas kolinergik
(hidung berair) dan peningkatan sensitivitas neuron
nosiseptif (obstruksi nasal)
• Pemeriksaan penunjang  menyingkirkan diagnosis
lain.

Vasomotor Rhinitis. Am Fam Physician.


Rinitis Vasomotor:
Tatalaksana
• Tatalaksana Rinitis vasomotor
didasarkan pada keluhan yang
dominan:
– Rhinorea + bersin + congesti
nasal +PND akan diberikan
antihistamin topical.
– Rhinorea saja akan diberikan
antikolinergik topical.
– Congesti nasal + obstruksi nasal
akan diberikan antiinflamasi
topical (kortikosteroid topical).
– Cell mast stabilizer (sodium
cromolyn) dipakai bila
antihistamin topical dan
antikolinergik topical tidak
memberikan respon adekuat.

Vasomotor Rhinitis. Am Fam Physician.


DIAGNOSIS CLINICAL FINDINGS
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
RINITIS ALERGI
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:


RINITIS
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
VASOMOTOR
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
RINITIS HIPERTROFI
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada
RINITIS ATROFI / pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung
OZAENA tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior,
sekret & krusta hijau.

Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor


RINITIS
topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
MEDIKAMENTOSA
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.

Rhinitis akut: umumnya disebabkan oleh rhinovirus, sekret srosa,


RINITIS AKUT
demam, sakit kepala, mukosa bengkak dan merah.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
100
• Laki-laki, usia 27 tahun datang untuk berobat,
dengan keluhan hidung buntu sejak 1 bulan ini.
• Krusta kehijauan, ingus berwarna hijau, kental
dan berbau busuk.

ETIOLOGI…
DIAGNOSIS  RHINITIS ATROFI
JAWABAN:
A. KLABSIELLA OZAENA
• Diagnosis pasien ini adalah rhinitis atrofi
karena terdapat keluhan:
– hidung buntu sejak 1 bulan ini
– Rhinoskopi anterior didapatkan krusta
kehijauan, ingus berwarna hijau, kental dan
berbau busuk.
• Penyebab dari rhinitis atrofi adalah A.
Kleibsiella ozaena
• Staphylococcus aureus  menyebabkan
pioderma
• Streptococcus grup b hemolyticus  faringitis
dan pioderma
• Rhinovirus  ISPA
• hemophilus influenza  menyebabkan croup
Atrophic Rhinitis/Ozaena
• Atrophic rhinitis is a chronic condition characterized by:
– progressive atrophy of the nasal mucosa
– nasal crusting
– nasal dryness (caused by atrophy of glandular cells)
– Fetor/foul smell from the nose
– Other symptoms: epistaxis, loss of smell, cacosmia (even normal
smells are perceived as foul) and nasal obstruction
• Onset usually at puberty, more common in female
• Etiology:
– Primary: Klebsiella ozaena
– Secondary: after sinonasal surgery/trauma, granulomatous
diseases (sarcoidosis, leprosy), and infections (tuberculosis and
syphilis).
Rinitis Atrofi
• Pengobatan konservatif
– Cuci hidung, jika sekret dan krusta tidak menghilang, cairan
irigasi dicampur dengan AB
– Lama pengobatan bervariasi tergantung hilangnya tanda klinis
berupa askret purulent kehijauan.
– Antibiotik spektrum luas jika ada infeksi bakteri akut

• Pengobatan operatif
– Dilakukan jika pengobatan konservatif tidak menolong, namun
efikasi tidak jelas
– Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung
atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau jabir
osteoperiosteal.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Tatalaksana Rhinitis Atrofi
• Irigasi hidung dgn NS hangat minimal 2 kali sehari
• Setelah irigasi  lubrikasi mukosa nasal dgn petroleum
jelly, xylitol-containing saline sprays, or personal
lubricants.
• Antibiotik dpt ditambahkan ke larutan irigasi jika cairan
nasal tetap purulen selama lebih dari 2 hari . Antibiotik
dpt diteruskan hingga purulen hilang.
• Antibotik awal yg dapat digunakan  mupirosin
• Jika curiga gram negatif  quinolon atau aminoglikosida.
• The oral administration of antibiotics may also be
required for acute infections  pakai broad spectrum AB
Tatalaksana Rhinitis Atrofi
Operasi
• A number of surgical procedures have been proposed; however,
controlled trials have not been performed to adequately assess
their efficacy.
 Operasi Young  Penutupan total rongga hidung dengan flap
 Operasi Young yang dimodifikasi  penutupan lubang hidung
dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
 Operasi Lautenschlager  memobilisasi dinding medial antrum
dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang
hidung.
 Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit,
bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.
 Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila
(operasi Wittmack) dengan tujuan membasahi mukosa hidung

Anda mungkin juga menyukai