Anda di halaman 1dari 12

REFRESHING

DEMAM TIFOID

Dosen Pembimbing:
dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD-KHOM., M.Kes

Disusun Oleh:
Charissa Adha Nabilla
2015730021

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik. Refreshing ini disusun
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik stase Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RSUD Sayang Cianjur.
Dalam penulisan laporan ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan
secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Tuti Sri Hastuti, Sp.PD-KHOM., M. Kes., sebagai dokter
pembimbing.
Dalam penulisan laporan ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan jurnal ini.
 Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan refreshing ini
telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas
semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.

Jakarta,  4 Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................1

1.1. Definisi Demam Tifoid.........................................................................................1

1.2. Epidemiologi Demam Tifoid...............................................................................1

1.3. Etiologi Demam Tifoid.........................................................................................2

1.4. Patofisiologi Demam Tifoid.................................................................................2

1.5. Klasifikasi Demam Tifoid....................................................................................3

1.6. Manifestasi Klinis Demam Tifoid.......................................................................4

1.7. Langkah Diagnostik Demam Tifoid...................................................................5

a. Anamnesis..............................................................................................................5

b. Pemeriksaan fisik...................................................................................................5

c. Pemeriksaan penunjang..........................................................................................5

1.8. Penatalaksanaan Demam Tifoid.........................................................................7

a. Non farmakologi....................................................................................................7

b. Farmakologi...........................................................................................................7

1.9. Pemantauan Demam Tifoid................................................................................8

1.10. Prognosis...............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................9

iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Perbandingan antara Salmonella typhi
dengan Salmonella paratyphi adalah 10:1. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke
aliran darah.1,2
1.2. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid masih menjadi permasalahan kesehatan secara global. Hingga sampai
saat ini masih sulit untuk memperkirakan kejadian terjadinya demam tifoid dikarenakan
gambaran klinis yang hampir mirip dengan penyakit infeksi lainnya dan kurangnya
beberapa sumber laboratorium di negera berkembang. Sebagai hasilnya, banyak kasus
demam tifoid yang masih tidak terdiagnosis dengan benar.1
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena
penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat. Permasalahannya
semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan
resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan
pencegahan. Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7
per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk
(0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan
51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah
pada kelompok usia 2-15 tahun.2
Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata
kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%. 
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam
tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14
tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).2

1
1.3. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Penyakit yang
menyebabkan gejala lebih ringan disebabkan oleh Salmonella serotype paratyphi A. Di
berbagai negara, perbandingan demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi dengan S.
paratyphi adalah 10:1.1
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk
batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil dengan
menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S.
typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain
antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikan S.
enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan antigen Vi (virulen) capsular
yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan
resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain atau melindungi O antigen
terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun
bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu
Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya lebih
ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S. typhi.2
Manusia merupakan satu-satunya sumber infeksi. Infeksi ditularkan melalui saluran
pernapasan secara fekal-oral oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi. Masa
inkubasi biasanya 8 – 14 hari, tetapi rata-rata 3 hari sampai dengan 2 bulan. Dua sampai
lima persen dari manusia yang terinfeksi menjadi karier kronik yaitu manusia tersebut
memiliki S. typhi berada di kandung empedunya.1
1.4. Patofisiologi Demam Tifoid
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

2
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.2
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi,
hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan
koagulasi.2
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi.2
1.5. Klasifikasi Demam Tifoid
Klasifikasi demam tifoid berdasarkan WHO (2011), yaitu:1
1. Confirmed Case
 Seorang pasien dengan demam terus-menerus (38°C atau lebih) yang bertahan 3
hari atau lebih, dengan organisme S. typhi yang dikonfirmasi laboratorium (darah,
sumsum tulang, cairan usus)
 Kasus klinis yang sesuai yang dikonfirmasi laboratorium
2. Probable Case
 Seorang pasien dengan demam persisten (38°C atau lebih) yang berlangsung
selama 3 hari atau lebih, dengan tes deteksi sero-diagnosis atau antigen yang
positif namun tidak ada isolasi S. typhi
 Kasus klinis yang kompatibel secara epidemiologis dengan kasus yang
dikonfirmasi dalam wabah

3
3. Chronic Carrier
 Seorang individu mengeluarkan S. typhi di tinja atau air kencing selama lebih dari
satu tahun setelah onset demam tifoid akut
 Karier jangka pendek juga ada, namun peran epidemiologisnya tidak sepenting
karier kronis
 Beberapa pasien yang mengekskresikan S. typhi tidak memiliki riwayat demam
tifoid
1.6. Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Menurut WHO (2011) berikut beberapa manifestasi dari tifoid, yaitu:1
 Demam, sakit kepala, penurunan nafsu makan, dan batuk kering
 Denyut nadi menurun dan terdapat pembesaran limpa
 Beberapa pasien memiliki bercak kemerahan pada batang tubuh
 Konstipasi atau diare
 Gejala dapat muncul 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
 Beberapa pasien mungkin tidak memiliki gejala
Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan hampir
selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore
hingga malam hari, pusing, batuk, nyeri otot, anoreksia, mual, dan muntah. Biasanya
terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak
enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.2
Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap tinggi
dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat
ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami
delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain berupa bradikardia
relatif dengan limpa membesar dapat pula ditemukan. Perbaikan dapat mulai terjadi pada
akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik.2
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik
tangga (step ladder) sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala,
malaise dan menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien
yang tidak diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja,
selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten),

4
sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin
tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka
pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu ke-3.2
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering
dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung
dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak jarang
ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.2
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya
kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas
biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada
kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya
berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan,
letargi dan demam.2
1.7. Langkah Diagnostik Demam Tifoid
a. Anamnesis
Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari, demam
naik secara bertahap setiap hari. Disertai dengan nyeri kepala, batuk, mual dan
muntah, konstipasi atau diare, dan perasaan tidak enak di perut.2
b. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar mempunyai lidah tifoid yaitu bagian
tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, hepatomegali atau splenomegali sering
ditemukan.3
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering
ditemukan leukopenia namun dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan serologi dapat dilakukan pemeriksaan uji Widal atau uji Tubex. Uji
Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang

5
bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal
adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela
kuman), dan aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya
aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya,
makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan apabila ditemukan titer antibodi O mencapai ≥ 1/200, titer antibodi
H 1/640, atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Pada fase akut mula-mula
timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada infeksi yang aktif, titer
Uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling
sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12
bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.2
Uji Tubex adalah tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji
Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.2
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan menggunakan kultur
spesimen darah, feses, urin, dan sum-sum tulang. Untuk menegakkan diagnosis
definitif pada demam tifoid bergantung pada isolasi dari kuman tersebut di darah atau
sum-sum tulang atau feses.2

6
1.8. Penatalaksanaan Demam Tifoid
a. Non farmakologi
 Terapi suportif: tirah baring, isolasi memadai serta kebutuhan cairan dan
kalori yang adekuat. Berikan diet makanan lunak (mudah dicerna) dan tidak
berserat. Setelah demam menurun, dapat diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori terpenuhi sesuai kebutuhan.2
 Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus.2
 Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
decubitus dan hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.2
b. Farmakologi
Lebih dari 90% pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan antimikroba
oral. Tidak diperlukan adanya uji kultur dan tes sensitifitas untuk memberikan
pilihan antibiotik. Beberapa bukti menganjurkan bahwa flurokuinolon
(Ciprofloxacin) merupakan pilihan obat yang optimal untuk demam tifoid di semua
kelompok usia. Bagaimanapun, di beberapa daerah yang bakterinya masih sensitive
dengan pengobatan pilihan pertama seperti Kloramfenikol, Ampisilin, Amoksisilin,
atau Trimethoprim-Sulfamethoxazole) dan flurokuinolon tidak tersedia atau terlalu
mahal, pilihan antibiotik ini masih digunakan untuk pengobatan demam tifoid.1

7
Gambar 1
Pilihan Antimikroba Demam Tifoid

1.9. Pemantauan Demam Tifoid


Pemantauan demam tifoid, yaitu:3
a. Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adalah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S. typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjut di rumah.
b. Penyulit
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, dan syok septik.
1.10.Prognosis
Gejala demam tifoid biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu
pengobatan dan hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal tetapi akan menjadi
lebih buruk apabila timbul komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.4

8
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever.
WHO: 2011.
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. InternaPublishing: Jakarta Pusat, 2015.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradita EA. Kapita Selekta Kedokteran. IV Jilid I.
Media Aesculapius: Jakarta, 2014.
4. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. 2002.

Anda mungkin juga menyukai