Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

PENGARUH ANESTESI SPINAL PADA PASIEN HERNIA INGUINALIS


LATERALIS DENGAN HIPERTENSI TIDAK TERKONTROL DAN ALERGI OBAT

Oleh :
Nadia Firyal 030.14.133
Nella Itrian 030.11.212

Pembimbing :
dr. H. Ucu Nurhadiat Sp.An.
dr. Ade Nurkacan, Sp.An.
dr. Catur Pradono, Sp.An.

PERIODE 1 OKTOBER 2018 – 3 NOVEMBER 2018


KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LAPORAN KASUS DENGAN JUDUL

PENGARUH ANESTESI SPINAL PADA PASIEN HERNIA INGUINALIS


LATERALIS DENGAN HIPERTENSI TIDAK TERKONTROL DAN
ALERGI OBAT

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Catur Pradono, Sp. An selaku pembimbing

sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu

Anestesiologi di RSUD Karawang periode 1 Oktober 2018 – 3 November 2018.

Pembimbing

dr. Catur Pradono, Sp.An.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Pengaruh Anestesi Spinal pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis dengan
Hipertensi Tidak Terkontrol dan Alergi Obat”
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di Departemen Ilmu Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada :
1. dr. H. Ucu Nurhadiat Sp An
2. dr. Ade Nurkacan Sp. An
3. dr. Catur Pradono Sp. An
4. Rekan ko-asisten dan staff Anestesi RSUD Karawang

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan presentasi ini masih banyak


terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
presentasi referat ini sangat kami harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama bidang ilmu anestesiologi.

Karawang, 18 Oktober 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.....................................................................................2
2.1 Anamnesis ...........................................................................................2
2.2 Pemeriksaan Fisik ...............................................................................4
2.3 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................8
2.4 Diagnosis .............................................................................................9
2.5 Tindakan Operatif ...............................................................................9
2.5.1 Pra Operatif ...............................................................................9
2.5.2 Intra Operatif ...........................................................................10
2.5.3 Post Operatif ...........................................................................11
BAB III ANALISIS MASALAH .........................................................................12
3.1 Definisi ..............................................................................................12
3.2 Jenis Anestesi ....................................................................................12
3.3 Instrumen dan Obat ...........................................................................13
3.4 Faktor yang Mempengaruhi Ketinggian Anestesi Spinal .................16
3.5 Efek Penyulit Pada Anestesia ...........................................................19
3.5.1 Hipertensi .................................................................................19
3.5.2 Alergi Obat ...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Potongan sagittal dari bertebra lumbal .................................................13


Gambar 2. Landmark penanda ketinggian spinal ..................................................13
Gambar 3. Jarum yang digunakan dalam anestesi spinal ......................................14
Gambar 4. Obat anestesi lokal dalam anestesi spinal ............................................16
Gambar 5. Posisi tulang belakang dalam posisi berbaring ....................................18
Gambar 6. Insiden terhadap alergi obat selama periode peri operatif ...................21

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari bagian lemah dari dinding rongga yang terkait. Berdasarkan terjadinya,
hernia dapat dibedakan menjadi 2, yaitu hernia kongenital atau bawaan dan
hernia didapat atau akuisita. Berdasarkan letaknya, hernia dinamakan sesuai
dengan letak anatomis yang terkait, seperti hernia diafragma, hernia inguinal,
hernia umbilikalis, hernia femoralis, dll.(1)
Dalam Ilmu Anestesiologi, terdapat klasifikasi ASA (The American Society
of Anaesthesiologists) yang bersifat subjektif dengan tujuan memprediksi risiko
dan mortalitas seorang pasien berdasar penyakit sistemik/ penyulit yang
menyertainya. Setiap klasifikasi ASA memiliki tigkat mortalitas yang
bervariasi, yaitu 0-0.3% untuk ASA I, 0.3-1.4% untuk ASA II, 1.8-4.5% untuk
ASA III, 7.8-25.9% untuk ASA IV and 9.4-57.8% untuk ASA V. Mortalitas
pada pasien bergantung dari kriteria ASA pasien, prosedur pembedahan, serta
monitoring post operasi. (2)
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dalam pengukuran berulang.(3) Alergi
obat merupakan suatu reaksi hipersensitifitas dari system imun terhadap suatu
obat tertentu, salah satu bentuk paling berbahaya dan fatal adalah syok
anafilaktik.(4) Hipertensi kronis dan alergi obat dapat meningkatkan nilai
klasifikasi ASA.
Pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas
bawah biasanya menggunakan anestesi teknik spinal. Anestesi spinal memiliki
onset kerja yang cepat dan efektif, serta manajamen post operatif yang lebih
mudah.(5)

1
BAB II
STATUS PASIEN

Nama Mahasiswa : Nadia Firyal Pembimbing : dr. Catur Pradono,


(030.14.133) Sp.An.
Nella Itrian Tanda tangan:
(030.11.212)

IDENTITAS PASIEN
Nama :A Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 41 tahun Suku Bangsa : Sunda
Tempat/Tanggal Lahir : Karawang, 24/6/1977 Agama : Islam
Pendidikan : SMA Status pasien : BPJS
Alamat : Rengasdengklok No. RM : 00.07.25.95

2.1 ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis
Lokasi : Teluk Jambe R.106, RSUD Karawang
Tanggal masuk : 14 Oktober 2018, pukul 8.49 WIB
Tanggal/Waktu : 15 Oktober 2018, pukul 7.55 WIB
Keluhan utama : Benjolan di lipat paha yang terasa semakin nyeri
sejak 7 hari SMRS

Keluhan tambahan : Sakit kepala

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dirawat di ruang perawatan Teluk Jambe pada 14 Oktober 2018
melalui jalur masuk Poli Bedah RSUD Karawang dengan keluhan benjolan di lipat
paha yang semakin nyeri sejak 7 hari SMRS. Benjolan pertama kali dirasakan sejak
2 tahun yang lalu, setelah kelahiran anak kelimanya. Benjolan bersifat hilang
timbul, timbul terutama pada saat beraktivitas, seperti berjalan jauh ataupun berdiri

2
lama, serta pada saat mengejan, batuk, ataupun bersin, dan akan menghilang pada
saat pasien berbaring. Benjolan awalnya tidak bersifat nyeri, namun pada 2 bulan
terakhir ini terasa nyeri dan terasa semakin nyeri pada 7 hari terakhir. Nyeri
awalnya dicetuskan pada saat pasien mengangkat beban berat, seperti melakukan
pekerjaan rumah dan mengurus ibunya yang sakit. Keluhan didahului dengan
adanya keluhan sakit kepala yang telah berlangsung lama, hingga pasien lupa kapan
tepat awalnya. Sakit kepala dirasakan hilang timbul, terutama pada saat pasien
lelah, kurang tidur, dan stress. Sakit kepala tidak berputar dan tidak disertai mual,
muntah, atau telinga berdenging. Pasien telah puasa sejak pukul 00.00 WIB.

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi tidak terkontrol sejak 13 tahun yang lalu.
DM (-), asma (-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-), gangguan fungsi ginjal
(-), gangguan fungsi hati (-).

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien memiliki stroke iskemik ec hipertensi kronik tidak terkontrol.
Riwayat kesehatan Ayah tidak diketahui.

D. Riwayat Pengobatan
Pasien telah berobat ke Klinik Puri Medika untuk mengatasi keluhan
benjolan yang terasa nyeri pada 2 minggu yang lalu, namun tidak terdapat
perbaikan. Diketahui pasien mengalami reaksi alergi berupa gatal dan lepuh pada
tubuh setelah mengonsumsi obat sebagai terapi dari klinik tersebut. Obat yang
diberikan adalah Ibuprofen, Grafachlor, dan Caviplex, selanjutnya dokter di klinik
tersebut menghentikan pengobatannya dan menyarankan untuk ke Poli Bedah
RSUD Karawang.

E. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat kebiasaan berdiri lama saat memasak, mengangkat
beban berat pada saat mengurus ibunya dan melakukan pekerjaan rumah tangga,

3
seperti mencuci baju. Pasien memiliki riwayat makan makanan tinggi garam tanpa
batasan tertentu. Pasien tidak olahraga teratur, merokok, dan mengonsumsi alkohol.

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan pasien BPJS dan tidak bekerja. Kebutuhan sehari-hari
dipenuhi oleh suami pasien.

G. Riwayat Operasi
Pasien pernah menjalani 1x prosedur operasi casesar, yaitu pada kehamilan
kelimanya, pada tahun 2015. Pasien mendapat anestesi regional, yaitu spinal dan
tanpa ada komplikasi ataupun sequele setelahnya.

2.2 PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kesan gizi : tampak gizi lebih
Keadaan lain : dyspnoe (-), sianosis (-), ikterik (-), pucat (-)
Data antropometri
Berat badan : 60 kg
Panjang badan : 160 cm
IMT : 23,4 kg/m2 → kesan: BB lebih
Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 92x/menit
Nafas : 18x/menit
Suhu : 37,2 °C
SpO2 : 97%

4
Status generalis
Kepala : normocephal, mesocephal
Rambut : berwarna hitam disertai uban, tidak mudah dicabut
Wajah : wajah simetris, tidak tampak oedem, luka, ataupun sikatriks
Mata : tidak tampak konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, refleks
pupil +/+
Telinga : normotia, liang telinga lapang, tidak tampak hiperemis atau
oedem pada liang telinga
Hidung : tampak simetris, tidak tampak napas cuping hidung
Bibir : mukosa berwarna merah muda, tidak tampak sianosis dan pucat
Mulut : Tidak ada trismus, mukosa mulut berwarna merah muda, tidak
tampak sianosis
Lidah : normoglosia, berwarna merah muda, tidak tampak sianosis
Tenggorokan : dinding faring posterior tidak hiperemis, T1-T1
Leher : tidak tampak retraksi, KGB dan tiroid tidak membesar, tidak
teraba massa, tidak terdapat deviasi trakea
Thoraks : gerak dinding dada tampak simteris, tidak tampak retraksi.
• Jantung
Inspeksi : iktus kordis terlihat di ICS VII linea midclavicularis sinistra
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VII linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas kanan jantung di garis parasternal kanan, dan batas kiri
jantung pada garis midclavicularis kiri ICS VII
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, tidak terdengar S3 atau S4, murmur, dan
gallop
• Paru-paru
Inspeksi : gerak dinding dada simetris, tidak tampak retraksi
Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus sama pada kedua
hemitoraks
Perkusi : sonor pada seluruh hemitoraks

5
Auskultasi : suara napas vesikuler sama pada kedua hemitoraks, tidak
terdengar ronki, tidak terdengar wheezing, tidak terdengar
pleural rub
Abdomen
Inspeksi : supel, tidak tampak smiling umbilicus, tidak tampak caput
medusa, tampak benjolan pada regio iliaca kanan
Auskultasi : terdengar bising usus sebanyak 3x/menit
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan, undulasi (-) pembesaran organ (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Genitalia : jenis kelamin perempuan

Kelenjar getah bening


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Superior cervical : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
Ekstremitas
Inspeksi : simetris, tidak terdapat deformitas, tidak tampak sianosis, tidak
tampak oedem
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, capillary refill time< 2
detik
Kulit : warna kulit sawo matang, tidak tampak jejas, tidak tampak
ikterik maupun sianosis
Status Lokalis
Lokasi: Regio Iliaca Dextra
Inspeksi : tidak terdapat adanya sikatriks, tampak benjolan dengan ukuran
± 2 x 3 cm

6
Palpasi : benjolan memiliki karakteristik berupa konsistensi lunak,
berfluktuasi, permukaan rata, dan dasar tidak melekat. Tidak
terdapt nyeri tekan
Perkusi :-
Auskultasi : Bising usus terdengar minimal

7
2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
Tanggal: 9 Oktober 2018 (pukul 12.51WIB)
No Parameter Hasil Nilai rujukan
Hematologi
1. Leukosit 9.690/µL 4.400-11.300
2. Eritrosit 5,2 juta/ uL 4,1-5,1
3. Hemogblobin 12,8 g/dL 11,7-15,5
4. Hematokrit 44 % 42-48
5. Trombosit 327.000 ribu/µL 150.000-400.000
6. MCV 75 fl 80-100
7. MCH 25 pg 26-34
8. MCHC 33 g/dl 32-36
9. RDW-CV 13,8 % 12-14,8
10. Masa perdarahan/ BT 2,5 menit 1-3
11. Masa pembekuan/ CT 10,5 menit 5-11
12. Golongan darah ABO AB
13. Golongan darah Rhesus Positif
Imunologi
14. HbsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
Kimia
12. Glukosa darah sewaktu 85 mg/dL 70-100
13. Ureum 27,8 mg/dl 15-50
14. Creatinin 0,85 mg/dl 0,50-0,9

B. Rontgen thorax
Tanggal : 10 Oktober 2018 (7.19 WIB)
Jenis foto : Thorax AP
Kesan : Jantung dan paru dalam batas normal

8
2.4 Diagnosis
- Diagnosis pra bedah: Hernia inguinalis lateralis dextra reponibel
- Tindakan pembedahan: Herniorraphy
- Kriteria ASA: ASA III dengan hipertensi tidak terkontrol dan alergi obat

2.5 Tindakan Operatif


2.5.1 Pre operatif :
- Memastikan identitas pasien sudah lengkap dan benar
- Diagnosa pre operatif : Hernia inguinalis lateralis dextra reponibel
- Tindakan pembedahan: Herniorraphy
- Mempersiapkan dokumen persetujuan tindakan anestesi,
pembedahan, dan assessment pre anestesi
- Akses intravena pasien terpasang pada tangan kiri pasien
- Persiapan obat dan alat anestesi spinal
- Persiapan monitor, saturasi oksigen, tekanan darah, dan nadi.
- Menyiapkan obat emergency: Ephedrin HCl, Epinephrine,
Atropine, Aminofilin, Natrium Bikarbonat.
- Keadaan umum:
• Kesan sakit : tampak sakit sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Kesan gizi : tampak gizi lebih
• Keadaan lain : dyspnoe (-), sianosis (-), ikterik (-),
pucat (-)
- Tanda Vital:
• Tekanan darah : 140/90 mmHg
• Nadi : 92x/menit
• Nafas : 18x/menit
• SpO2 : 97%

9
2.5.2 Intra Operatif
Tabel 1. Catatan anestesi
Pukul Tindakan Anestesi
10.15 Pasien masuk ke dalam ruangan operasi dan
diposisikan di atas meja operasi, memakai mitela/
cap, dan dipasang alat monitoring (NIBP, nadi dan
SpO2). Telah terpasang akses IV di tangan kiri
dengan cairan infus kristaloid (Ringer Laktat) dari
ruang perawatan dengan volume 300 cc.
10.30 Pemberian obat analgesi: Fentanyl 25 µg
Pemberian obat anestesi spinal: Bunascan 20 mg
10.35 Cek respon pasien, kemudian memberikan
oksigenasi secara nasal dengan kecepatan 2 L/menit
10.40 Operasi dimulai
11.20 Penggantian cairan infus: Asering 500 mL
11.30 Pemberian Ketolorac 30 mg (drip)
11.40 Operasi selesai
11.45 Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan

Jenis anestesi : Anestesi regional (spinal anesthesia)


Tindakan pembedahan : Herniorraphy
Lama Pembiusan : 70 menit
Lama Pembedahan : 60 menit
Posisi : Terlentang
Akses intravena : Tangan kiri dengan kristaloid (Ringer laktat
→Asering)
Medikasi : Fentanyl 25 µg, Bunascan 20 mg, Ketolorac
30 mg
Jumlah Cairan : 800 cc
Keadaan setelah pembedahan:
• Kesadaran : compos mentis

10
• Tekanan Darah : 120/70 mmHg
• Saturasi : 99%
• Nadi : 80 x/menit

2.5.3 Post Operatif


Pembedahan selesai dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2018 pukul
11.45 WIB. Diagnosa post pembedahan adalah batu ureter sinistra.
Setelah pembedahan selesai, pasien dipindahkan segera ke ruang
pemulihan dengan dipantau selama 60 menit. Indikator yang dipantau
adalah kesadaran, tekanan darah, saturasi O2, dan nadi. Pada skor
Alderete didapatkan nilai 10, sehingga pasien dapat dirawat di ruang
perawatan.
Saat berada di ruang perawatan, kondisi pasien kembali dipantau.
Kondisi pasien setelah di bangsal, kedaran pasien compos mentis
dengan kondisi berikut:
Tabel 2. Kondisi pasien saat di ruang perawatan
Tanda vital
Tekanan darah 130/70 mmHg
Nadi 76 x/ menit
Laju napas 19 x/menit
Suhu 36, 7O C
Saturasi O2 98%
Nyeri luka operasi (+), mual (-), muntah (-), demam (-), gangguan
motorik dan sensorik (-), gangguan berkemih (-).

11
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Definisi

Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari bagian lemah dari dinding rongga yang terkait. Berdasarkan terjadinya, hernia
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu hernia kongenital atau bawaan dan hernia didapat
atau akuisita. Berdasarkan letaknya, hernia dinamakan sesuai dengan letak
anatomis yang terkait, seperti hernia diafragma, hernia inguinal, hernia umbilikalis,
hernia femoralis, dll.(1)

3.2 Jenis anestesi

Pada pasien ini dilakukan anestesi jenis regional, yaitu anestesi spinal.
Anestesi spinal merupakan salah satu jenis anestesi dari teknik anestesi neuroaksial.
Anestesi neuroaksial merupakan jenis anestesi regional yang memiliki target pada
medulla spinalis pada segmen tertentu, sehingga sering digunakan pada operasi di
daerah abdomen, inguinal, urogenital, rektal, dan ekstremitas bawah. Anestesi
neuroaxial memiliki beberapa jenis, yaitu spinal, epidural, dan caudal (epidural
pada segmen sacrum).(6) Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan
mempertimbangan lokasi target pembedahan, durasi operasi, dan keefektifan biaya.

Anestesi spinal memiliki target injeksi obat anestesi ke ruang subarachnoid,


sehingga berkontak langsung dengan liquor cerebrospinal (LCS). Injeksi dilakukan
pada segmen lumbal, yaitu dibawah dari L1 pada dewasa dan L3 pada anak dengan
tujuan menghindari trauma pada medulla spinalis.(6)

12
Gambar 1. Potongan sagittal dari vertebra lumbal

Gambar 2. Landmark penanda ketinggian spinal

3.3 Instrumen dan Obat

Jarum yang digunakan pada anestesi spinal terdapat 2 jenis berdasarkan bentuk
dari ujung jarumnya, yaitu jarum dengan ujung tajam, yaitu Quincke dan ujung

13
tumpul (pencil point), yaitu Whitrace dan Sprotte. Penggunaan jarum dengan ujung
tumpul dapat menghindari insidens dari postdural pucture headache.(6) Pada
pasien, digunakan jarum Quincke dengan ukuran 25G, dikarenakan
ketidaktersedianya jarum dengan ujung tumpul di Rumah Sakit.

Gambar 3. Jarum yang digunakan dalam anestesi spinal

Obat yang digunakan adalah Fentanyl, Bupivakain (Buscapan), dan Ketolorac.


Bupivakain berperan sebagai agen anestesi, dan Ketolorac berperan sebagai agen
analgesia, sedangkan Fentanyl berperan sebagai premedikasi. Pasien dirasa kurang
kooperatif pada saat induksi, yaitu adanya rasa nyeri yang berlebihan, sehingga
menimbulkan banyak gerakan dan mempersulit tindakan, sehingga diberikan
Fentanyl 25 µg.

Bupivacaine adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari asalnya.
Bupivacaine memiliki mula kerja yang cepat (5-10 menit) dengan durasi kerja
analgesia (90-150 menit). Untuk mula kerja bupivacaine isobarik dan hiperbarik
sebagian penelitian ada yang menyebutkan bupivacaine hiperbarik memiliki mula
kerja yang cepat serta durasi kerja yang lama dibandingkan dengan isobarik dan
begitu juga sebaliknya. Obat ini tersedia di dalam sediaan 5 mg/ml, dengan
konsentrasi 0,75% dengan 8,25 % dekstrose ataupun tanpa dekstrose serta

14
konsentrasi 0,5% dengan atau tanpa dekstrose. Pada tahun-tahun terakhir ini
bupivacaine menjadi sering dipakai untuk operasi-operasi abdomen bagian bawah,
baik yang isobarik ataupun yang hiperbarik. Kualitas blok motorik yang
ditimbulkannya tidak terlalu baik tetapi kualitas sensorik bloknya jauh lebih baik
sehingga obat ini sangat ideal sebagai analgesi paska operasi. Prinsip kerja
bupivacaine dengan cara yaitu menghambat permeabilitas membran sel terhadap
natrium sehingga mencegah terjadinya hantaran saraf disepanjang serabut saraf.
Eliminasi bupivacaine terjadi melalui hati dan paru-paru. Bupivacaine memiliki
daya ikat yang tinggi terhadap protein plasma (95,6%), dan memiliki nilai pKa
yang tinggi pula. Telah dilaporkan terjadinya henti jantung pada penggunaan
bupivacaine. Kejadian ini terjadi jika bupivacaine dalam dosis besar masuk secara
tidak sengaja ke dalam pembuluh darah.(7)

Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia yang potensi
tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara
intramuscular atau intravena Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan
baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi engan opioid. Ketorolak 30 mg IM
menghasilkan analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau petidin 100
mg. Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada
kardiovaskuler maupun pernafasan. Waktu paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula
kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Bioavailibilitas dari
ketorolak dilaporkan sekitar 81-100 %. Metabolisme berkonjugasi dengan asam
glukoronik dan parahidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan
dikeluarkan melalui urin.(8)

Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300


kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur susunan
saraf pusat dengan cepat.(8)

15
3.4 Faktor yang mempengaruhi ketinggian anestesi spinal

Ketinggian dari anestesi spinal bergantung pada banyak hal, yaitu yang
paling penting adalah tekanan gravitasi pada obat anestesi lokal, serta posisi
pasien saat dan sesaat setelah injeksi obat anestesi. Terdapat juga faktor lainnya
seperti, usia, kelengkungan tulang belakang, tekanan intrabdomen, tinggi badan
pasien, kehamilan.(6)

1. Tekanan gravitasi pada obat anestesi & obat anestesi


Liquor cerebrospinal (LCS) memiliki tekanan gravitasi sebesar 1,003-1,008
pada suhu 37O C. Obat anestesi dapat bersifat hiperbarik, isobarik, dan hipobarik,
tergantung dari nilai tekanan gravitasi yang dimiliki oleh obat tersebut terhadap
tekanan gravitasi dari LCS. Obat anestesi local dapat dibuat menjadi hiperbarik
dengan menambahkan glukosa ke dalamnya, dan dapat menjadi hipobarik dengan
menambahkan aquadest streil atau Fentanyl. Pada anestesi spinal, obat akan
bergerak sesuai tekanan gravitasi yang dimilikinya, jika bersifat hiperbarik, maka
obat akan cenderung menyebar ke caudal, jika hipobarik akan menyebar ke
cephalad, dan jika isobaric akan menetap setinggi lokasi injeksi. Berikut
merupakan obat anestesi local yang digunakan dalam anestesi spinal beserta nilai
tekanan gravitasinya. (Gambar 2)

Gambar 4. Obat anestesi lokal dalam anestesi spinal

16
Obat anestesi pada anestesi spinal yang paling sering digunakan adalah
Bupivakain dan Tetrakain. Keduanya memiliki onset yang cepat (5-10 menit) dan
durasi kerja yang lama (90-120 menit). Lidokain dan Prokain memiliki onset yang
cepat (3-5 menit), namun memiliki durasi kerja yang lebih singkat (60-90 menit).
Untuk memperpanjang durasi kerja dari obat anestesi spinal, maka dapat
ditambahkan vasokonstriktor, yaitu Epinefrin melalui mekanisme kerja
memperlama uptake obat anestesi di LCS, sehingga obat dapat bertahan lebih lama.
Lidokain dan Prokain sudah jarang digunakan sebagai obat anetesi spinal
dikarenakan dapat menyebabkan gejala neurologis transien dan cauda equina
syndrome.(6)

Pada pasien ini digunakan obat Bupivakain 0,5% dalam dextrose yang
bersifat hiperbarik terhadap LCS dengan dosis 20 mg, sehingga obat akan
menyebar ke arah caudal, sehingga memungkinkan untuk dilakukannya
pembedahan pada abdomen bagian bawah.

2. Posisi pasien saat dan sesaat setelah injeksi


Posisi sangat mempengaruhi arah sebaran obat anestesi yang telah
diinjeksikan terkait dengan gaya gravitasi. Pada obat anestesi yang bersifat
hiperbarik, obat akan menyebar kea rah bagian terendah dari tubuh. Dalam posisi
duduk, yaitu pada saat injeksi dan 3-5 menit setelah injeksi, maka akan didapatkan
blokade saraf pada segmen lumbal dan sacral atau “saddle block”. Jika dalam
posisi berbaring, maka obat akan terkonsentrasi pada segmen torakolumbal,
tepatnya pada vertebra T4-T8.(6)

17
Pasien dalam posisi duduk saat injeksi dan sesaat setelah injeksi obat
anestesi, sehingga didapatkan adanya blockade saraf segmen lumbal dan sacral
dengan tujuan akan dilakukanya pembedahan bagian bawah dari abdomen.

Gambar 5. Posisi tulang belakang dalam posisi berbaring

3. Tekanan intraabdominal yang tinggi


Pada tekanan intraabdominal yang tinggi atau adanya pelebaran vena
epidural, maka dapat menurunkan volume LCS. Efek yang terjadi adalah efek
blockade yang lebih hebat ataupun yang lebih luas sebaran saraf yang terblok.
Tekanan intraabdominal yang tinggi didapatkan pada kondisi ascites, kehamilan,
dan tumor abdomen yang besar.(6)

Pada pasien tidak didapatkan adanya kondisi tekanan intraabdominal yang


tinggi.

4. Usia
Peningkatan usia terkait dengan jumlah volume LCS yang menurun. Hal ini
menyebabkan akan didapatkannya efek anestesi yang lebih besar, sehingga perlu
diperhatikan adanya penyesuaian dosis obat anestesi pada lansia.(6)
Pasien berusia 41 tahun, sehingga tidak termasuk dalam kelompok lansia.

5. Kelengkungan tulang belakang


Adanya kelaianan pada lengkung tulang belakang, seperti kifosis atau
scoliosis terkait dengan penurunan pada volume LCS, sehingga akan didapatkan
efek anestesi diatas dari estimasi. Maka, perlu dilakukan penyesuaian dosis
terhadap pasien dengan lengkung tulang belakang yang abnormal.(6)

18
Pada pasien tidak didapatkan adanya abnormalitas pada lengkung tulang
belakangnya.

6. Tinggi badan
Tinggi badan berpengaruh dalam sebaran obat anestesi spinal. Pasien
dengan tinggi badan yang kurang akan membutuhkan dosis obat yang lebih
sedikit daripada pasien yang memiliki tinggi badan yang lebih. Hal ini
dikarenakan struktur anatomi tubuh, yaitu jika pasien memiliki tinggi badan yang
lebih, maka akan bertambah dan semakin luas permukaan dari saraf yang akan
berikatan dengan obat, sehingga dibutuhkan obat dalam dosis yang lebih
banyak.(6)

3.5 Efek penyulit pada anestesi


1. Hipertensi
Hipertensi memiliki risiko terhadap adanya kerusakan organ target, dan hal
ini tentu akan berpengaruh pada tindakan anesthesia, seperti jantung, otak, dan
ginjal. Pada jantung, hipertensi akan meningkatnya kebutuhan oksigen pada
miokard akibat dari meningkatnya tegangan dari dinding miokard. Hal ini
selanjutnya akan menyebabkan gagal jantung. Hubungan antara hipertensi kronis
dan penyakit jantung koroner dapat berpotensi menyebabkan iskemia dan aritmia
selama operasi, terutama jika disertai dengan tidak stabilnya hemodinamik.
Waktu yang rentan dalam rangkaian peri-operatif adalah pada saat induksi dan
intubasi, selama proses pembedahan, dan pada saat ekstubasi. Selama induksi
anesthesia, tekanan darah akan cenderung menurun dikarenakan adanya blockade
terhadap saraf simpatis, yang kemudian menyebabkan adanya tekanan darah
diastolic yang rendah. Hal ini dapat berpotensi menyebabkan menurunnya perfusi
terhadap miokard, sehingga akan terjadi iskemia pada miokard. Pasien dengan
hemoragik dan iskemia. Penyakit jantung koroner (PJK) juga mayoritas terdapat
pada pasien dengan hipertensi, yang menyebabkan ia lebih rentan terhadap
iskemia serebral. Hipertensi kronis akan menyebabkan perfusi serebral menurun,
terutama pada hipotensi yang sangat pada sesaat setelah induksi anesthesia.(9)

19
Pada ginjal, akan terjadi gangguan autoregulasi yang dapat meningkatkan
risiko terhadap kegagalan fungsi ginjal. Tekanan nadi yang tinggi didapatkan
dapat meningkatkan risiko terhadap gagal fungsi renal post operasi, stroke, dan
infark miokard. Tekanan nadi yang tinggi (> 60 mmHg) dapat berkontribusi
hipertensi grade 3 atau lebih akan memiliki fluktuasi nilai tekanan darah yang
lebih besar selama anestesi dan tekanan darah ini dapat digunakan sebagai
penanda dari potensi terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Maka,
pengendalian tekanan darah pre operatif dapat memngurangi potensi dari
terjadinya iskemia perioperative dan morbiditas post operatif.(9)
Pada otak, hipertensi akan meningkatkan risiko terhadap stroke terhadap
instabilitas hemodinamik.(9) Manajemen pada kondisi ini dapat diterapi dengan
pemberian obat antihipertensi, terutama jika didapatkan tekanan darah sistolik
>180 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg berisiko terhadap krisis
hipertensi.(10)
2. Alergi obat
Alergi obat merupakan salah satu penyebab dari malapetaka yang dapat
terjadi selama periode peri operatif dan menjadi perhatian khusus dari
enestesiologis. Walaupun kejadian syok anafilaktik selama operasi (intra
operatif) merupakan sesuatu yang jarang, namun hal itu berkontribusi 4,3%
pada kematian akibat anestesi. Hipersensitif yang mengancam jiwa lebih
banyak terjadi pada pasien yang memiliki riwayat alergi sebelumnya, atopi,
atau asma.

20
Skin test secara intradermal harus dilakukan pada pasien dengan
risiko tinggi, dikarenakan memiliki potensi terhadap anafilaksis yang ebih
tinggi. Sebelum dilakukannya prosedur, penggunaan antihistamin dan steroid
harus dihentikan minimal 1 minggu sebelumnya.

Gambar 6. Insiden terhadap alergi obat selama periode peri operatif

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi IV. Jakarta 2017:
EGC; 583.
2. Daabiss M. American Society of Anaesthesiologists physical status
classification. Indian J Anaesth. 2011; 55(2): 111–5.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Jakarta.
2015: 1.
4. Mustafa SS. Anaphylaxis. 2018. Diakses pada 18 Oktober 2018. Tersedia di
https://emedicine.medscape.com/article/135065-overview
5. Ankichetty SP, Chin KJ, Chan VW, Sahajanandan R, Tan H, Grewal A, et al.
Regional anesthesia in patients with pregnancy induced Hypertension. J
Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2013; 29(4): 435-44.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, 5th edition. New York; McGraw Hil: 2013: 937-58.
7. Nainggolan HD, Fuadi I, Redjeki IS. Perbandingan anestesi spnal
menggunakan Ropivakain hiperbarik 13,5 mg dengan Ropivakain isobarik 13,5
mg terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2014: 2-1.
8. Wijayanti V, Sitanggang RH, Wargahadibrata AH. Perbandingan lama
analgesia antara kombinasi Bupivakain 0,125% dan Tramadol 1mg/kgbb
dengan Bupivakain 0,125% melalui blokade kaudal pada pasien anak pasca
operasi hipospadia. Jurnal Anestesi Perioperatif.2014: 2-2.
9. Lines D. Hypertension and Anaesthesia. S Afr Fam Pract 2014. 2014; 56(2):S5-
S9.
10. Nadella V. Howell SJ. Hypertension: pathophysiology and perioperative
Implications. BJA Education. 2015; 15 (6): 275–9.
11. Kulkarni SJ, Kelkar VP, Nayak PP. Anesthesia in a patient with multiple
allergies. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2014; 30(3): 433–4.

22

Anda mungkin juga menyukai