Oleh :
Nadia Firyal 030.14.133
Nella Itrian 030.11.212
Pembimbing :
dr. H. Ucu Nurhadiat Sp.An.
dr. Ade Nurkacan, Sp.An.
dr. Catur Pradono, Sp.An.
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Catur Pradono, Sp. An selaku pembimbing
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Pengaruh Anestesi Spinal pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis dengan
Hipertensi Tidak Terkontrol dan Alergi Obat”
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di Departemen Ilmu Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama
kepada :
1. dr. H. Ucu Nurhadiat Sp An
2. dr. Ade Nurkacan Sp. An
3. dr. Catur Pradono Sp. An
4. Rekan ko-asisten dan staff Anestesi RSUD Karawang
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.....................................................................................2
2.1 Anamnesis ...........................................................................................2
2.2 Pemeriksaan Fisik ...............................................................................4
2.3 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................8
2.4 Diagnosis .............................................................................................9
2.5 Tindakan Operatif ...............................................................................9
2.5.1 Pra Operatif ...............................................................................9
2.5.2 Intra Operatif ...........................................................................10
2.5.3 Post Operatif ...........................................................................11
BAB III ANALISIS MASALAH .........................................................................12
3.1 Definisi ..............................................................................................12
3.2 Jenis Anestesi ....................................................................................12
3.3 Instrumen dan Obat ...........................................................................13
3.4 Faktor yang Mempengaruhi Ketinggian Anestesi Spinal .................16
3.5 Efek Penyulit Pada Anestesia ...........................................................19
3.5.1 Hipertensi .................................................................................19
3.5.2 Alergi Obat ...............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari bagian lemah dari dinding rongga yang terkait. Berdasarkan terjadinya,
hernia dapat dibedakan menjadi 2, yaitu hernia kongenital atau bawaan dan
hernia didapat atau akuisita. Berdasarkan letaknya, hernia dinamakan sesuai
dengan letak anatomis yang terkait, seperti hernia diafragma, hernia inguinal,
hernia umbilikalis, hernia femoralis, dll.(1)
Dalam Ilmu Anestesiologi, terdapat klasifikasi ASA (The American Society
of Anaesthesiologists) yang bersifat subjektif dengan tujuan memprediksi risiko
dan mortalitas seorang pasien berdasar penyakit sistemik/ penyulit yang
menyertainya. Setiap klasifikasi ASA memiliki tigkat mortalitas yang
bervariasi, yaitu 0-0.3% untuk ASA I, 0.3-1.4% untuk ASA II, 1.8-4.5% untuk
ASA III, 7.8-25.9% untuk ASA IV and 9.4-57.8% untuk ASA V. Mortalitas
pada pasien bergantung dari kriteria ASA pasien, prosedur pembedahan, serta
monitoring post operasi. (2)
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dalam pengukuran berulang.(3) Alergi
obat merupakan suatu reaksi hipersensitifitas dari system imun terhadap suatu
obat tertentu, salah satu bentuk paling berbahaya dan fatal adalah syok
anafilaktik.(4) Hipertensi kronis dan alergi obat dapat meningkatkan nilai
klasifikasi ASA.
Pembedahan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas
bawah biasanya menggunakan anestesi teknik spinal. Anestesi spinal memiliki
onset kerja yang cepat dan efektif, serta manajamen post operatif yang lebih
mudah.(5)
1
BAB II
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama :A Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 41 tahun Suku Bangsa : Sunda
Tempat/Tanggal Lahir : Karawang, 24/6/1977 Agama : Islam
Pendidikan : SMA Status pasien : BPJS
Alamat : Rengasdengklok No. RM : 00.07.25.95
2.1 ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis
Lokasi : Teluk Jambe R.106, RSUD Karawang
Tanggal masuk : 14 Oktober 2018, pukul 8.49 WIB
Tanggal/Waktu : 15 Oktober 2018, pukul 7.55 WIB
Keluhan utama : Benjolan di lipat paha yang terasa semakin nyeri
sejak 7 hari SMRS
2
lama, serta pada saat mengejan, batuk, ataupun bersin, dan akan menghilang pada
saat pasien berbaring. Benjolan awalnya tidak bersifat nyeri, namun pada 2 bulan
terakhir ini terasa nyeri dan terasa semakin nyeri pada 7 hari terakhir. Nyeri
awalnya dicetuskan pada saat pasien mengangkat beban berat, seperti melakukan
pekerjaan rumah dan mengurus ibunya yang sakit. Keluhan didahului dengan
adanya keluhan sakit kepala yang telah berlangsung lama, hingga pasien lupa kapan
tepat awalnya. Sakit kepala dirasakan hilang timbul, terutama pada saat pasien
lelah, kurang tidur, dan stress. Sakit kepala tidak berputar dan tidak disertai mual,
muntah, atau telinga berdenging. Pasien telah puasa sejak pukul 00.00 WIB.
D. Riwayat Pengobatan
Pasien telah berobat ke Klinik Puri Medika untuk mengatasi keluhan
benjolan yang terasa nyeri pada 2 minggu yang lalu, namun tidak terdapat
perbaikan. Diketahui pasien mengalami reaksi alergi berupa gatal dan lepuh pada
tubuh setelah mengonsumsi obat sebagai terapi dari klinik tersebut. Obat yang
diberikan adalah Ibuprofen, Grafachlor, dan Caviplex, selanjutnya dokter di klinik
tersebut menghentikan pengobatannya dan menyarankan untuk ke Poli Bedah
RSUD Karawang.
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat kebiasaan berdiri lama saat memasak, mengangkat
beban berat pada saat mengurus ibunya dan melakukan pekerjaan rumah tangga,
3
seperti mencuci baju. Pasien memiliki riwayat makan makanan tinggi garam tanpa
batasan tertentu. Pasien tidak olahraga teratur, merokok, dan mengonsumsi alkohol.
G. Riwayat Operasi
Pasien pernah menjalani 1x prosedur operasi casesar, yaitu pada kehamilan
kelimanya, pada tahun 2015. Pasien mendapat anestesi regional, yaitu spinal dan
tanpa ada komplikasi ataupun sequele setelahnya.
4
Status generalis
Kepala : normocephal, mesocephal
Rambut : berwarna hitam disertai uban, tidak mudah dicabut
Wajah : wajah simetris, tidak tampak oedem, luka, ataupun sikatriks
Mata : tidak tampak konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, refleks
pupil +/+
Telinga : normotia, liang telinga lapang, tidak tampak hiperemis atau
oedem pada liang telinga
Hidung : tampak simetris, tidak tampak napas cuping hidung
Bibir : mukosa berwarna merah muda, tidak tampak sianosis dan pucat
Mulut : Tidak ada trismus, mukosa mulut berwarna merah muda, tidak
tampak sianosis
Lidah : normoglosia, berwarna merah muda, tidak tampak sianosis
Tenggorokan : dinding faring posterior tidak hiperemis, T1-T1
Leher : tidak tampak retraksi, KGB dan tiroid tidak membesar, tidak
teraba massa, tidak terdapat deviasi trakea
Thoraks : gerak dinding dada tampak simteris, tidak tampak retraksi.
• Jantung
Inspeksi : iktus kordis terlihat di ICS VII linea midclavicularis sinistra
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS VII linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas kanan jantung di garis parasternal kanan, dan batas kiri
jantung pada garis midclavicularis kiri ICS VII
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, tidak terdengar S3 atau S4, murmur, dan
gallop
• Paru-paru
Inspeksi : gerak dinding dada simetris, tidak tampak retraksi
Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus sama pada kedua
hemitoraks
Perkusi : sonor pada seluruh hemitoraks
5
Auskultasi : suara napas vesikuler sama pada kedua hemitoraks, tidak
terdengar ronki, tidak terdengar wheezing, tidak terdengar
pleural rub
Abdomen
Inspeksi : supel, tidak tampak smiling umbilicus, tidak tampak caput
medusa, tampak benjolan pada regio iliaca kanan
Auskultasi : terdengar bising usus sebanyak 3x/menit
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan, undulasi (-) pembesaran organ (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
6
Palpasi : benjolan memiliki karakteristik berupa konsistensi lunak,
berfluktuasi, permukaan rata, dan dasar tidak melekat. Tidak
terdapt nyeri tekan
Perkusi :-
Auskultasi : Bising usus terdengar minimal
7
2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
Tanggal: 9 Oktober 2018 (pukul 12.51WIB)
No Parameter Hasil Nilai rujukan
Hematologi
1. Leukosit 9.690/µL 4.400-11.300
2. Eritrosit 5,2 juta/ uL 4,1-5,1
3. Hemogblobin 12,8 g/dL 11,7-15,5
4. Hematokrit 44 % 42-48
5. Trombosit 327.000 ribu/µL 150.000-400.000
6. MCV 75 fl 80-100
7. MCH 25 pg 26-34
8. MCHC 33 g/dl 32-36
9. RDW-CV 13,8 % 12-14,8
10. Masa perdarahan/ BT 2,5 menit 1-3
11. Masa pembekuan/ CT 10,5 menit 5-11
12. Golongan darah ABO AB
13. Golongan darah Rhesus Positif
Imunologi
14. HbsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
Kimia
12. Glukosa darah sewaktu 85 mg/dL 70-100
13. Ureum 27,8 mg/dl 15-50
14. Creatinin 0,85 mg/dl 0,50-0,9
B. Rontgen thorax
Tanggal : 10 Oktober 2018 (7.19 WIB)
Jenis foto : Thorax AP
Kesan : Jantung dan paru dalam batas normal
8
2.4 Diagnosis
- Diagnosis pra bedah: Hernia inguinalis lateralis dextra reponibel
- Tindakan pembedahan: Herniorraphy
- Kriteria ASA: ASA III dengan hipertensi tidak terkontrol dan alergi obat
9
2.5.2 Intra Operatif
Tabel 1. Catatan anestesi
Pukul Tindakan Anestesi
10.15 Pasien masuk ke dalam ruangan operasi dan
diposisikan di atas meja operasi, memakai mitela/
cap, dan dipasang alat monitoring (NIBP, nadi dan
SpO2). Telah terpasang akses IV di tangan kiri
dengan cairan infus kristaloid (Ringer Laktat) dari
ruang perawatan dengan volume 300 cc.
10.30 Pemberian obat analgesi: Fentanyl 25 µg
Pemberian obat anestesi spinal: Bunascan 20 mg
10.35 Cek respon pasien, kemudian memberikan
oksigenasi secara nasal dengan kecepatan 2 L/menit
10.40 Operasi dimulai
11.20 Penggantian cairan infus: Asering 500 mL
11.30 Pemberian Ketolorac 30 mg (drip)
11.40 Operasi selesai
11.45 Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
10
• Tekanan Darah : 120/70 mmHg
• Saturasi : 99%
• Nadi : 80 x/menit
11
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1 Definisi
Hernia merupakan penonjolan isi rongga melalui defek atau bagian lemah
dari bagian lemah dari dinding rongga yang terkait. Berdasarkan terjadinya, hernia
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu hernia kongenital atau bawaan dan hernia didapat
atau akuisita. Berdasarkan letaknya, hernia dinamakan sesuai dengan letak
anatomis yang terkait, seperti hernia diafragma, hernia inguinal, hernia umbilikalis,
hernia femoralis, dll.(1)
Pada pasien ini dilakukan anestesi jenis regional, yaitu anestesi spinal.
Anestesi spinal merupakan salah satu jenis anestesi dari teknik anestesi neuroaksial.
Anestesi neuroaksial merupakan jenis anestesi regional yang memiliki target pada
medulla spinalis pada segmen tertentu, sehingga sering digunakan pada operasi di
daerah abdomen, inguinal, urogenital, rektal, dan ekstremitas bawah. Anestesi
neuroaxial memiliki beberapa jenis, yaitu spinal, epidural, dan caudal (epidural
pada segmen sacrum).(6) Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan
mempertimbangan lokasi target pembedahan, durasi operasi, dan keefektifan biaya.
12
Gambar 1. Potongan sagittal dari vertebra lumbal
Jarum yang digunakan pada anestesi spinal terdapat 2 jenis berdasarkan bentuk
dari ujung jarumnya, yaitu jarum dengan ujung tajam, yaitu Quincke dan ujung
13
tumpul (pencil point), yaitu Whitrace dan Sprotte. Penggunaan jarum dengan ujung
tumpul dapat menghindari insidens dari postdural pucture headache.(6) Pada
pasien, digunakan jarum Quincke dengan ukuran 25G, dikarenakan
ketidaktersedianya jarum dengan ujung tumpul di Rumah Sakit.
Bupivacaine adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari asalnya.
Bupivacaine memiliki mula kerja yang cepat (5-10 menit) dengan durasi kerja
analgesia (90-150 menit). Untuk mula kerja bupivacaine isobarik dan hiperbarik
sebagian penelitian ada yang menyebutkan bupivacaine hiperbarik memiliki mula
kerja yang cepat serta durasi kerja yang lama dibandingkan dengan isobarik dan
begitu juga sebaliknya. Obat ini tersedia di dalam sediaan 5 mg/ml, dengan
konsentrasi 0,75% dengan 8,25 % dekstrose ataupun tanpa dekstrose serta
14
konsentrasi 0,5% dengan atau tanpa dekstrose. Pada tahun-tahun terakhir ini
bupivacaine menjadi sering dipakai untuk operasi-operasi abdomen bagian bawah,
baik yang isobarik ataupun yang hiperbarik. Kualitas blok motorik yang
ditimbulkannya tidak terlalu baik tetapi kualitas sensorik bloknya jauh lebih baik
sehingga obat ini sangat ideal sebagai analgesi paska operasi. Prinsip kerja
bupivacaine dengan cara yaitu menghambat permeabilitas membran sel terhadap
natrium sehingga mencegah terjadinya hantaran saraf disepanjang serabut saraf.
Eliminasi bupivacaine terjadi melalui hati dan paru-paru. Bupivacaine memiliki
daya ikat yang tinggi terhadap protein plasma (95,6%), dan memiliki nilai pKa
yang tinggi pula. Telah dilaporkan terjadinya henti jantung pada penggunaan
bupivacaine. Kejadian ini terjadi jika bupivacaine dalam dosis besar masuk secara
tidak sengaja ke dalam pembuluh darah.(7)
Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia yang potensi
tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara
intramuscular atau intravena Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan
baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi engan opioid. Ketorolak 30 mg IM
menghasilkan analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau petidin 100
mg. Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada
kardiovaskuler maupun pernafasan. Waktu paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula
kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Bioavailibilitas dari
ketorolak dilaporkan sekitar 81-100 %. Metabolisme berkonjugasi dengan asam
glukoronik dan parahidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan
dikeluarkan melalui urin.(8)
15
3.4 Faktor yang mempengaruhi ketinggian anestesi spinal
Ketinggian dari anestesi spinal bergantung pada banyak hal, yaitu yang
paling penting adalah tekanan gravitasi pada obat anestesi lokal, serta posisi
pasien saat dan sesaat setelah injeksi obat anestesi. Terdapat juga faktor lainnya
seperti, usia, kelengkungan tulang belakang, tekanan intrabdomen, tinggi badan
pasien, kehamilan.(6)
16
Obat anestesi pada anestesi spinal yang paling sering digunakan adalah
Bupivakain dan Tetrakain. Keduanya memiliki onset yang cepat (5-10 menit) dan
durasi kerja yang lama (90-120 menit). Lidokain dan Prokain memiliki onset yang
cepat (3-5 menit), namun memiliki durasi kerja yang lebih singkat (60-90 menit).
Untuk memperpanjang durasi kerja dari obat anestesi spinal, maka dapat
ditambahkan vasokonstriktor, yaitu Epinefrin melalui mekanisme kerja
memperlama uptake obat anestesi di LCS, sehingga obat dapat bertahan lebih lama.
Lidokain dan Prokain sudah jarang digunakan sebagai obat anetesi spinal
dikarenakan dapat menyebabkan gejala neurologis transien dan cauda equina
syndrome.(6)
Pada pasien ini digunakan obat Bupivakain 0,5% dalam dextrose yang
bersifat hiperbarik terhadap LCS dengan dosis 20 mg, sehingga obat akan
menyebar ke arah caudal, sehingga memungkinkan untuk dilakukannya
pembedahan pada abdomen bagian bawah.
17
Pasien dalam posisi duduk saat injeksi dan sesaat setelah injeksi obat
anestesi, sehingga didapatkan adanya blockade saraf segmen lumbal dan sacral
dengan tujuan akan dilakukanya pembedahan bagian bawah dari abdomen.
4. Usia
Peningkatan usia terkait dengan jumlah volume LCS yang menurun. Hal ini
menyebabkan akan didapatkannya efek anestesi yang lebih besar, sehingga perlu
diperhatikan adanya penyesuaian dosis obat anestesi pada lansia.(6)
Pasien berusia 41 tahun, sehingga tidak termasuk dalam kelompok lansia.
18
Pada pasien tidak didapatkan adanya abnormalitas pada lengkung tulang
belakangnya.
6. Tinggi badan
Tinggi badan berpengaruh dalam sebaran obat anestesi spinal. Pasien
dengan tinggi badan yang kurang akan membutuhkan dosis obat yang lebih
sedikit daripada pasien yang memiliki tinggi badan yang lebih. Hal ini
dikarenakan struktur anatomi tubuh, yaitu jika pasien memiliki tinggi badan yang
lebih, maka akan bertambah dan semakin luas permukaan dari saraf yang akan
berikatan dengan obat, sehingga dibutuhkan obat dalam dosis yang lebih
banyak.(6)
19
Pada ginjal, akan terjadi gangguan autoregulasi yang dapat meningkatkan
risiko terhadap kegagalan fungsi ginjal. Tekanan nadi yang tinggi didapatkan
dapat meningkatkan risiko terhadap gagal fungsi renal post operasi, stroke, dan
infark miokard. Tekanan nadi yang tinggi (> 60 mmHg) dapat berkontribusi
hipertensi grade 3 atau lebih akan memiliki fluktuasi nilai tekanan darah yang
lebih besar selama anestesi dan tekanan darah ini dapat digunakan sebagai
penanda dari potensi terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Maka,
pengendalian tekanan darah pre operatif dapat memngurangi potensi dari
terjadinya iskemia perioperative dan morbiditas post operatif.(9)
Pada otak, hipertensi akan meningkatkan risiko terhadap stroke terhadap
instabilitas hemodinamik.(9) Manajemen pada kondisi ini dapat diterapi dengan
pemberian obat antihipertensi, terutama jika didapatkan tekanan darah sistolik
>180 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg berisiko terhadap krisis
hipertensi.(10)
2. Alergi obat
Alergi obat merupakan salah satu penyebab dari malapetaka yang dapat
terjadi selama periode peri operatif dan menjadi perhatian khusus dari
enestesiologis. Walaupun kejadian syok anafilaktik selama operasi (intra
operatif) merupakan sesuatu yang jarang, namun hal itu berkontribusi 4,3%
pada kematian akibat anestesi. Hipersensitif yang mengancam jiwa lebih
banyak terjadi pada pasien yang memiliki riwayat alergi sebelumnya, atopi,
atau asma.
20
Skin test secara intradermal harus dilakukan pada pasien dengan
risiko tinggi, dikarenakan memiliki potensi terhadap anafilaksis yang ebih
tinggi. Sebelum dilakukannya prosedur, penggunaan antihistamin dan steroid
harus dihentikan minimal 1 minggu sebelumnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi IV. Jakarta 2017:
EGC; 583.
2. Daabiss M. American Society of Anaesthesiologists physical status
classification. Indian J Anaesth. 2011; 55(2): 111–5.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Jakarta.
2015: 1.
4. Mustafa SS. Anaphylaxis. 2018. Diakses pada 18 Oktober 2018. Tersedia di
https://emedicine.medscape.com/article/135065-overview
5. Ankichetty SP, Chin KJ, Chan VW, Sahajanandan R, Tan H, Grewal A, et al.
Regional anesthesia in patients with pregnancy induced Hypertension. J
Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2013; 29(4): 435-44.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology, 5th edition. New York; McGraw Hil: 2013: 937-58.
7. Nainggolan HD, Fuadi I, Redjeki IS. Perbandingan anestesi spnal
menggunakan Ropivakain hiperbarik 13,5 mg dengan Ropivakain isobarik 13,5
mg terhadap mula dan lama kerja blokade sensorik. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2014: 2-1.
8. Wijayanti V, Sitanggang RH, Wargahadibrata AH. Perbandingan lama
analgesia antara kombinasi Bupivakain 0,125% dan Tramadol 1mg/kgbb
dengan Bupivakain 0,125% melalui blokade kaudal pada pasien anak pasca
operasi hipospadia. Jurnal Anestesi Perioperatif.2014: 2-2.
9. Lines D. Hypertension and Anaesthesia. S Afr Fam Pract 2014. 2014; 56(2):S5-
S9.
10. Nadella V. Howell SJ. Hypertension: pathophysiology and perioperative
Implications. BJA Education. 2015; 15 (6): 275–9.
11. Kulkarni SJ, Kelkar VP, Nayak PP. Anesthesia in a patient with multiple
allergies. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2014; 30(3): 433–4.
22