Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

RASA MENGGANJAL DI TENGGOROKAN

Pembimbing:
dr. Yuswandi Affandi Sp. THT

Disusun Oleh:
Ashrinda J (03011046)

KEPANITERAAN KLINIK SMF THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 19 Oktober - 21 November 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan referat berjudul Rasa Mengganjal di Tenggorokan ini dengan
sebaik-baiknya.
Tugas refrat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian THT
KL Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Selain itu juga bertujuan agar penulis dapat
memahami dengan lebih baik mengenai kasus ini sendiri.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yuswandi
Affandi Sp. THT

selaku dokter pembimbing dan rekan-rekan sejawat yang telah

membantu memberikan kontribusi dalam penyelesaian referat ini.


Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu
Kedokteran khususnya ilmu THT KL.

Karawang, 14 November 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
Daftar Gambar......................................................................................iv
Daftar Tabel..........................................................................................v
BAB I Pendahuluan .............................................................................1
BAB II Anatomi dan Fisiologi Tenggorokan
2.1 Anatomi Tenggorokan........................................................... 2
2.2 Fisiologi Tenggorokan........................................................... 10
BAB III Rasa mengganjal di Tenggorkan............................................12
3.1 LPR........................................................................................12
3.1.1 Definisi..........................................................................12
3.1.2 Epidemiologi..................................................................12
3.1.3 Etiologi..........................................................................13
3.1.4 Patofisiologi...................................................................14
3.1.5 Diagnosis.......................................................................14
3.1.6 Tatalaksan......................................................................17
3.1.7 Komplikasi.....................................................................18
3.2 Tonsilitis................................................................................18
3.2.1 Definisi..........................................................................18
3.2.2 Etiologi..........................................................................18
3.2.3 Faktor Predisposisi.........................................................19
3.2.4 Gejala & Tanda Klinis...................................................19
3.2.5 Diagnosis.......................................................................19
3.2.6 Tatalaksana.....................................................................21
3.2.7 Komplikasi.....................................................................21
BAB IV Kesimpulan.............................................................................22
Daftar Pusaka........................................................................................ 23

BAB I
PENDAHULUAN

Rasa

mengganjal

di

tenggorokan

merupakan

antara

keluhan

yang

seringmembawa penderita datang berobat ke poliklinik Telinga, Hidung, dan


Tenggorok (THT). Keluhan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah
infeksi, tumor, benda asing maupun makanan yang tertahan di tenggorokan.
Keluhan rasa mengganjal di tenggorokan ini dapat biasanya dapat disertai
dengan gejala-gejala lain seperti sulit menelan, nyeri sewaktu menelan, batuk, rasa
ingin berdeham, nyeri pada telinga, rasa pahit di tenggorok. dan dapat pula adanya
benjolan yang timbul pada daerah leher. Selain itu, keluhan gangguan ketika tidur juga
sering ditemukan, seperti berdengkur sewaktu tidur.
Keluhan rasa mengganjal di tenggorokan tidak boleh dianggap remeh karena
antara penyebab tersering adalah refluks laringofaring yang terkadang tidak
terdiagnosis dengan baik sehingga pasien merasa gejala yang dialami belum teratasi.
Pada referat ini, penulis akan membahas beberapa penyakit yang menilbulkan
keluuhan rasa mengganjal pada tenggorokan dan sering ditemukan di poliklinik THT
secara ringkas dan padat

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TENGGOROKAN

2.1 Anatomi Tenggorokan


Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,
terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglotis,
yang menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan serterusnya menuju ke
esophagus. Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak didepan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang
dipersarafi oleh nervus fasialis.vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel
skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum
oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
dari prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum
mole yang dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum. Oleh karena itu, celah
palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat terjadi ke arah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah

bagian

depan terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus
lingualis dengan cabang korda timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa
dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari
sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang
bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus keleher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong
dari epitel mulut yang terletak dekat sebelahdepan saraf-saraf penting. Duktus sub
mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.(1)
Faring adalah bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempitdibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah
2

berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Di


belakang mukosa dinding faring terdapat dasar tulang sphenoid dan dasar tulang
oksiput di sebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan sumbu badan, dan
vertebra servikalis lain(1)
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kuranglebih empat belas
sentimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus

otot

dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).(9)Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar
tulang oksiput inferior,kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan
vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior,
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut fosa rosenmuller. Otot tensor
velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba
eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.(1)
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila
faringealdalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut.
Didepan tonsila,arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang
dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu
menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus
2.1.1

Otot-otot faring
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor
faring superior, mediadaninferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah
luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi
sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Disebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot
konstriktor ini adalah untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot
inidipersarafi oleh Nervus Vagus.Otot-otot faring yang tersusun longitudinal
terdiri dari M.Stilofaring dan M.Palatofaring, letak otot-otot ini di sebelah
dalam. M.Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
3

sedangkan M.Palatofaring mempertemukan ismusorofaring dan menaikkan


bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerjasebagai elevator, kerja
kedua otot ini penting padawaktu menelan. M.Stilofaringdipersarafi oleh
Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring dipersarafi olehNervus Vagus.
Pada Palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu M.Levator veli palatini, M.Tensor veli
palatine,M.Palatoglosus, M.Palatofaring dan M.Azigos uvula.M.Levator vela
palatine membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius dan otot
ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. M.Tensor veli palatini membentuk tenda
palatum

moledan

kerjanya

untuk

mengencangkan

bagian

anterior

palatummole dan membukatuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh


Nervus Vagus. M.Palatoglosusmembentuk arkus anterior faring dan kerjanya
menyempitkan ismus faring.M.Palatofaringmembentuk arkus posterior faring.
M.Azigos

uvula

merupakan

otot

yang

kecil

dan kerjanya

adalah

memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas.


2.1.2

Vaskularisasi(2)
Vaskularisasi faring berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. Karotis eksterna serta dari
cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatina superior.

2.1.3

Persarafan(2)
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang
dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi
serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot
faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glossofaringeus

2.1.4

Kelenjar Getah Bening(2)


Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu
superior,media daninferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah
bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran
limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfeinferior mengalir ke
kelenjar getah bening servikal dalam bawah

2.1.5

Pembagian Faring
Berdasarkan letak, faring dibagi atas
1) Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang
disebut fosa rosenmuller, kantongrathke, yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suaturefleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen
jugulare,yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranialdan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.(9)

2.2 anatomi regio faring

2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut
sedangkan, ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat
dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan
otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan
otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalahm.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapatsuatu ruang kecil yang dinamakan
fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputioleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu
kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang sebenabenarnya.(2)
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikatdengan kriptus didalamnya.(2)
Terdapat 4 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina
dan tonsil lingual dan tonsil tubaria yang membentuk cincin MucosaAssociated Lymphoid Tissue (MALT) pada pintu masuk saluran nafas dan
saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer.
Kumpulan jaringan pertahanan lini pertama melindungi anak terhapa
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfa pada cincin Waldeyer
menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3
tahun dan tonsil palatina pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi
pasa masa pubertas.

Tonsil palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di


dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi
oleh:
Lateral muskulus konstriktor faring superior
Anterior muskulus palatoglosus
Posterior muskulus palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak
dibawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus.Limfonoduli
terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus.Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat
germinal. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah
epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.Di dalam kriptus biasanya
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan(2) . Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.
-

Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
7

daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa


faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
-

Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Infeksi
dapat terjadi di antara kapsul tonsil dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang a. Karotis eksterna,
yaitu a.maksillaris eksterna (a. Fasialis) yang mempunyai cabang yaitu a.
Tonsilaris dan a. Palatina asenden; a. Maksilaris interna dengan cabang a.
Palatina desenden serta a. Lingualis dengan cabang a. Lingualis dorsal,
dan a. Faringeal asenden

3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekulaepiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis (muara glotis bagian medial dan lateralterdapat ruangan) dan ke
esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotikadan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal.
Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoiddan di bawahnya
terdapat muara esofagus.Bila laringofaring diperiksa dengan kaca
tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertamayang
tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekunganyang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotikalateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapaorang, kadang-kadang bila
menelan pil akan tersangkut disitu.Dibawah valekula terdapat epiglotis.
Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih
melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap
sampai

dewasa.

menjadidemikian

Dalam
lebar

perkembangannya,

dan

tipisnya

epiglotis

sehingga

pada

ini

dapat

pemeriksaan

laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis


berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketikamenelan minuman
atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformisdan ke esofagus.(2)
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisilaringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia
lokal di faring danlaring pada tindakan laringoskopi langsung.

2.2 Fisiologi Tenggorokan


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan,
resonasi suara dan untuk artikulasi(2)
Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan
dari mulut kefaring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan
melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya
secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan
makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum
mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahiod berkontraksi, elevasi
tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti
sfingter untuk mencegahaspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian
belakang akan mendorong makanan kebawah melalui orofaring, gerakan
dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis mediadan superior. Bolus
dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringisinferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi.Peristaltik dibantu oleh
gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke
lambung(2)

10

Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum
mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat
cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaringdan m.palatofaring,
kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa inidiisi oleh tonjolan (fold of)
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2macam
mekanisme,

yaitu

pengangkatan

m.palatofaring(bersama

faring

m,salpingofaring)

sebagai
oleh

hasil
kontraksi

gerakan
aktif

m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak


pada waktu bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant
ini menetap pada periode fonasi, tetapiada pula pendapat yang mengatakan
tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum.

BAB III
11

Rasa Mengganjal di Tenggorokan


3.1
3.1.1

Laringofarigeal refluks
Definisi
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat

dari refluks kandungan lambung ke dalam esophagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran nafas.Manifestasi klinis
dari Penyakit refluks gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus.
Manifestasi dari penyakit refluks gastroesofagus di luar esofagus didefinisikan
sebagai refluks ekstraesofagus (REE). Istilah Refluks laringo faring (LPR) adalah
REE yang menimbulkan manifestasi dari penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan
paru. Laryngopharyngeal refluks (LPR) atau refluks laringofaring adalah pergerakan
retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringfaring. Sehingga perlu
diketahui adanya hubungan yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan
oleh Penyakit refluks gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagai rinitis
non alergi dengan sekret belakang hidung, rinofaringitis nonspesifik, sinusitis rekuren.
Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan terasa mengganjal
(globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk, berdeham (3)
3.1.2

Epidemiologi
Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadap penyakit

yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada penelitian
yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita
GERD dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau ekstraesophageal
refluks (REE) (4)
Prevalensi GERD di asia di laporkan cukup rendah yaitu 3-5%. (5) GERD dapat
diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada predileksi seksual. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (6) GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan
usia yang seringkali mengalami GERD(7). Prevalensi pasien dengan keluhan LPR
berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis
THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien
dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa dapat mengalami LPR.
LPR pada bayi dan anak seringtak terperhatikan.(7)

12

3.1.3 Etiologi
a. Gastro Esophageal Reflux Disease
Penyakit GERD bersifat multifaktorial(8,9). GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural

(10).

Gangguan fungsional lebih pada

disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus

(10).

Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup
lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan
refluksat tidak terlalu lama(11). Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus
bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan, dan alkohol juga ditengarai
sebagai penyebab terjadinya refluks(12). Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi
bila terdapat hipotoni atauatoni sfingter esofagus bawah.(11,12) Beberapa keadaan
seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan
hipotoni pada sfingter esofagus bawah(12). Tonus SEB dikatakan rendah bila berada
pada < 3 mmHg (11). Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.(10)
b. Laringofaringeal reflux
Pada LPR dapat disebabkan oleh berbagai faktor, penyebab yang dapat menimbulkan
LPR adalah sebagai berikut (13,14):
Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya ( pepsin) atau keduanya ke
esofagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring dan
laring.
Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi
pada laring dan faring.
Defek pada enzim karbonat anhydrase isoenzyme III

3.1.4 Patofisiologi

13

Episode refluks bergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan


hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus, jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut
tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung.
Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka
isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring. Terdapat dua teori
yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda
klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke
laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus
menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi
yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk, yang
memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin saling
berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia,
mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk serta
rasa mengganjal di tenggorokan. Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 04 yang paling berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi
pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus tanpa
gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel
respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin yang
teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus. Waktu dan frekuensi dari
paparan

asam

yang

menyebabkan

penyakit

refluks

laringofaring

masih

diperdebatkan.menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal


ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama
1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring
3.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh
Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita

14

refluks laringofaring adalah throat clearing (98%), batuk yang terus mengganggu
(97%), perasaan mengganjal di tenggorok (95%) dan suara parau (95%).
b.Gejala Klinis
Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks laringofaring,
Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008) membuat sembilan komponen
indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala refluks ( Reflux Symptom Index =
RSI). RSI mudah dilaksanakan , mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta
dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen
bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5 (keluhan
berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13 dicurigai penyakit
refluks laringofaring

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah
laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari
glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer, stenosis
subglottis. Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks
laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip oleh
Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS) yang merupakan delapan skala
penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari
pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai
0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang terburuk) dan
RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah
dilakukan dan mempunyai inter and intraobserver reproducibility yang baik.
15

Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan


merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi
anti refluks

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang
ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan sekelilingnya
skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas
skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian
terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila
ditemukan maka skor 2
c.

Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat dipercaya


sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara
intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas
sfingter atas esophagus. Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk
diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal
dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya
50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan
16

prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil
negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas
d. Tes PPI
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes
yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang
tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan
pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam
3.1.6

Tatalaksana
Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:
a. Perubahan Pola Hidup
Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk mendiagnosis
keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera disarankan untuk
mengubah pola hidup dan pola makan, diantaranya adalah menghentikan
kebiasaan merokok dan minumminuman beralkohol, mengurangi berat badan
yang berlebih, membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat,
lemak, citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu
makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur
b. Medikamentosa
Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti omeprazole,
esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan rabeprazole. Obat lain yang
sering digunakan dalam pengobatan refluks laringofaring adalah antagonis H2
receptor seperti cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi
mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti cisapride,
metoclopramide yang berfungsi mempercepat pembersihan esofagus serta
meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti
sucralfate yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida
juga dapat diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium hidroksida
atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi mengurangi gejala refluks

17

c. Pembedahan
Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila dalam pemberian
terapi tidak memberikan respon yang signifikan. Pendekatan yang biasa digunakan
seperti partial atau complete fundoplication
3.1.7

Komplikasi
Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada saluran

pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan
suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan
mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada orang dewasa, LPR
dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan mengakibatkan karsinoma
esofagus(15,16)
3.2 Tonsilitis Kronis
3.2.1 Definisi
Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya
menahun. Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau
karena pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari
tempat lain, misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung
(sinusistis kronis dan rhinitis kronik), atau karies gigi. Pada sinusitis kronik dan
rhinitis kronik terdapat sekret di hidung yang mengandung kuman penyakit. Sekret
tersebut kontak dengan permukaan tonsil. Sedangkan penyebaran infeksinya adalah
secara hematogen maupun secara limfogen ke tempat jaringan yang lain. Adapun
yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada tonsil, yaitu
didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan
dikelilingi oleh zona sel sel radang
3.2.2

Etiologi Tonsilitis Kronis


Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis

akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat
terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada
umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak
ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus hemolyticus. Beberapa jenis
18

bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus,


Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob.
3.3.3

Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis

Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu :


Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca
Kelelahan fisik
Merokok
Makanan
3.3.4

Gejala dan Tanda Klinis Tonsilitis Kronis

Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, kadang
kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut berbau, badan lesu,
nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang meriang. Tanda klinik
pada tonsilitis kronis adalah:
Pilar/plika anterior hiperemis
Kripta tonsil melebar
Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba
Muara kripta terisi pus
Tonsil tertanam atau membesar
Tanda klinik tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta melebar dan
pembesaran kelenjar sub angulus mandibula. Gabungan tanda klinik yang sering
muncul adalah kripte melebar, pembesaran kelenjar angulus mandibula dan tonsil
tertanam atau membesar
3.3.5

Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang Tonsilitis Kronis


Dari pemeriksaan dapat dijumpai : a. Tonsil dapat membesar bervariasi. b.

Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil c. Bila dilakukan
penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju d.
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini
merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. Pada
pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
19

(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada
dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe
angulus mandibula
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 T4 :
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula
T2 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak anterioruvula
T3 : batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior uvula sampai jarak pilar
anterior uvula
T4 : batas medial tonsil melewati jarak anterior uvula sampai uvula atau lebih

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas
yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang
dapat diketahui dalam anamnesis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu
secara mikrobiologi. Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera
dikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika
atau penetrasi anitbiotika yang inadekuat.

20

3.3.6

Tatalaksana
Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan

mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam


parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang
efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil.
Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim
tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan
aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang
menjanjikan Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur.
Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin
ditambah Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau
absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis).
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma
3.3.7

Komplikasi Tonsilitis Kronis

Komplikasi secara kontinuitatum kedaerah sekitar berupa rhinitis kronis, sinusitis dan
otitis media. Komplikasi secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari
tonsil seperti endokarditis, arthiritis miositis, uveitis, nefritis, dermatitis, urtikari,
furunkolitis,dll

BAB IV
KESIMPULAN

21

Secara umum dan dalam kebanyakan kasus, rasa mengganjal di tenggorokan


ini dapat disebabkan oleh berbagai hal namun terkadang sulit terdiagnosis
penyebabnya, penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan baik apabila dilakukan
anamnesis yang baik pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan tenggorok secara teliti,
dan mengedukasi pasien dalam perubahan pola hidup, karena biasanya penyebab
kelainan dari tenggorokan banyak disebabkan oleh konsumsi makanan yang kuran
baik, dalam hal ini yang menyebabkan infeksi maupun mengiritasi mukosa.
Laringofaringeal refluks adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring,
trakea dan bronkus.Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara
tekanan positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun
laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena
adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). Pengobatannya
adalah dengan PPI serta yang paling penting adalah edukasi untuk merubah pola
hidup terutama diet untuk mengurangi gejala refluks.
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut yang
terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Pengobatan pasti untuk Tonsilitis Kronis
adalah pembedahan pengangkatan tonsil (tonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada
kasus-kasus di mana penatalaksanaan medis atau terapi konservatof yang gagal untuk
meringankan gejala

DAFTAR PUSTAKA

22

1. Spencer M. Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal


of Singing. 2006: 63(2):177-81
2. Smith J, Houghton L. The Oesephagus and Cough: Laryngo-pharyngeal
Reflux, Microaspiration and Vagal Reflexes. Smith and Houghton Cough
Journal. 2013: 9(12):1-4
3. Amirlak B. Reflux Laryngitis. 2014 [Diakses pada 6 Oktober 2014]. Didapat
dari: http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview
4. Rees L, et al. 3he Mucosal 4mmune Response to LaryngopharyngealReflux.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2008: 177: 118788
5. Ford C. Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux. JAMA.
2005: 294 (12): 1534-39
6. Diamond L. Laryngopharyngeal Reflux-Its not GERD. Blue Ridge ENT.
2005: 18 (8): 1-3
7. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf

A, Charag, Ahmad A.

Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various Nonsurgical


Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of Phonosurgery and
Laryngology. 2012: 2 (1): 5-7
8. Yunizaf M, Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi
Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R,
Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2007: 303-09
9. Sloane E. Sistem Pernafasan: Anatomi Fungsional Saluran Pernafasan. Dalam:
Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC:
2003 : 267-68
10. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia. Dalam : Soepardi EA, dkk (eds). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal
212-5
11. Grevers G.Oral Cavity and Pharynx: Anatomy, Physiology and Immunology
of the Pharynx and Esophagus. In Basic Otorhinolaringy. Thieme:2006: 98100
12. Sloane E. Sistem Pencernaan: Rongga Oral, Faring, Esofagus. Dalam:
Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC:
2003 : 285

23

13. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Hidung dan Telinga Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
14. Barry D, Vaezi M. Laryngopharyngeal Reflux: More Questions than Answers.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2010: 77 (5): 327-33
15. Iro H, waldfahrer F. Larynx and Trachea: Embryology, Anatomy, and
Physiology of the Larynx and Trachea. In Basic Otorhinolaringy. Thieme:
2006: 338-44
16. Soepardi EA, Esofagoskopi. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan
Telinga Kepala dan Leher, edisi 6, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007; hal 231-6.

24

Anda mungkin juga menyukai