OLEH:
PENNY NASTITI R. L. (030.09.180)
TASYA RAHMANI (030.09.251)
M. RIDHWAN F. (030.10.195)
SINDY JANUARTA (030.10.xxx)
PEMBIMBING:
Dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun guna
memenuhi tugas kepaniteraan klinik THT-KL di RSUD Kota Bekasi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL, yang telah membimbing penulis dalam
mengerjakan referat ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penulis
selama di kepaniteraan klinik Ilmu THT-KL di RSUD Kota Bekasi.
Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada temanteman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang
telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis. Dengan penuh
kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin
untuk menyelesaikan laporan kasus ini, namun masih terdapat kelemahan
dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga
laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.
Bekasi, Februari
2015
Penulis
LEMBAR PERSETUJUAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
DAFTAR ISI.....iii
BAB I PENDAHULUAN. 1
BAB II ANATOMI & FISIOLOGI...... 3
BAB III ABSES LEHER DALAM................. 18
DAFTAR PUSTAKA..20
BAB I
4
PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan
penyalahgunaan narkoba(12%).1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.
Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses
leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob. Asmar dikutip Murray dkk, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90 %
mengandung kuman aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob.1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah. Disamping
itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik,
70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring dan tonsil ke
parafaring.4
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan
untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun
bervariasi.1
BAB II
5
2.1. ANATOMI
FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring,
orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4,5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan
tidak bersilia.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.
Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung
enzim lysozyme yang penting untuk proteksi.
3. Otot
media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas
dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor
untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh
n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens
dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus dari yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot
faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring
(n.IX).
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas,
sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam bawah.
Pembagian faring
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong
Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus,
dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus
os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.
8
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga
mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior,
uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat
dalam radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan
otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama
dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
Tonsil
tiroglosus.
Laringofaring (hipofaring)
10
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial,
saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna. Fasia servikalis profunda
terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan superfisial, media dan profunda.9,10,11
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5
1
luarnya
adalah
ramus
asendens
mandibula
yang
melekat
dengan
13
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus
mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal
fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular
lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam
ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan
ruang submaksila saja.
Gambar 13. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh
m.mylohyoideus.15
2.2.
FISIOLOGI FARING
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, fungsi untuk menelan,
14
melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini
gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara
peristaltik di esofagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mulamula m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersamasama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring.
BAB III
ABSES LEHER DALAM
3.1.
15
merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil,
yang disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul
tonsil palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus
tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil
potensial. Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa
secara cepat membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa
menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadangkadang dasar dari lidah.
3.1.2. Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per
100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data
akurat secara internasional.17
Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil
ditemukan di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi,
dengan jarak 1-76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35
tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.17
3.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab
sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui
kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering.
Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan
Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus,
bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp.,
diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti
menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 18
3.1.4. Patofisiologi
16
17
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut,
ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan
karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin
terjadi.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan
faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki
nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritema, palatum
mole asimetris, eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole
tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak
dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang
terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak
pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering
menunjukkan fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk
pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara.
18
1. Pemeriksaan laboratorium
Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil
sering tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena
intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan
darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
2. Pemeriksaan radiologi
CT scan
o
Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi
dapat dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan
kontras intravena.
19
Ultrasonografi20
Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang
3.1.7. Diagnosis
20
lain trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena. 21
Pada kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien akan
membaik. Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena
dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada
beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus
melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini
dapat menjadi indikasi tonsilektomi.
3.1.8. Terapi 1,17
1. Medikamentosa
Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak
nyaman.
21
tampaknya merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime
or cefpodoxime (dengan atau tanpa metronidazol), (2) klindamisin, (3)
trovafloxacin, atau (4) amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah
disingkirkan). Pasien dapat diberi resep antibiotik oral jika intake oral sudah
terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.
secara
signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus
dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik
parenteral.22 Dan juga, penggunaan steroid pada pasien dengan gejala dan tanda
mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan abses peritonsil.
Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
2. Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini.
Rujukan segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan
diindikasikan pada pasien dengan obstruksi jalan napas. Tindakan yang dapat
dilakukan pungsi pada daerah abses kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat
tidak biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
22
c. Tonsilektomi
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersamasama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan
bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses, disebut tonsilektomi
afroid.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
setelah drainase abses.
3.1.9. Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil
terlewat atau terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan
juga karakteristik ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera
penting.1,17
1
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
23
mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
3.1.10. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat
sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali,
membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan/atau kronis setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan.
17
3.2.
ABSES RETROFARING
3.2.1. Definisi1,2,24
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring
berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun.
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa,
masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran
limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga
tengah.
3.2.2. Epidemiologi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena
penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang
merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun
24
sebanyak 4,5 kali.25 Saat mediastinitis terjadi, mortalitas mencapai 50%, meskipun
dengan pengobatan antibiotik.
Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan,
dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil
beberapa studi.27,28,30 Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi
pada anak, namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.24
3.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma
dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis,
seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra
servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised
atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko
yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.1,2,24
3.2.4. Patofisiologi 24
Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia bukofaringeal
di anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini
memanjang superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum.
Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:
-
25
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai
laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi
suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau
pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa
terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak.
Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis
media.
Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.
2. Pemeriksaan radiologi 24
26
CT scan leher
CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray
positif karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan
selulitis. CT scan juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal
dan
Foto x-ray
mediastinitis.
3.2.7. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih
dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat
terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal.
3.2.8. Diagnosis banding 1,24
1
2
3
4
Adenoiditis
Tumor
Aneurisma aorta
Epiglotitis
27
Abses peritonsil
3.2.9. Terapi 1
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah.
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses
melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang
keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda.
Gambar 15.(A) Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg. (B)
Insisi pada abses peritonsil.31
3.2.10. Komplikasi 1,24
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1
2
3
4
5
3.2.11. Prognosis 24
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera,
ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi
40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius.
28
3.3.
ABSES PARAFARING
3.3.3. Patofisiologi 33
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan
membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring.
Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang
sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat
dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di
bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1
berada diatas garis perlekatan tersebut.
3.3.4. Gejala 1,2,33
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring, sehingga menonjol ke arah medial.
3.3.5. Pemeriksaan Penunjang
29
1. Pemeriksaan laboratorium33
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman
dan pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi33
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur
diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis,
cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan
antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan
untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu
menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas
rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak
disekitar abses.
3.3.6. Diagnosis 1,2,33
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.
Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen
jaringan lunak AP atau CT scan.
3.3.7. Terapi 1,2,33
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.
Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke
arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di
30
dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal
ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).
intrakranial,
ke
bawah
menyusuri
selubung
karotis
mencapai
mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis atau septikemia.
3.4.
ABSES SUBMANDIBULA
3.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula.1,2,34 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2
3.4.2. Etiologi
31
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau
kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher
dalam lain.1
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula,
jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. 36 Infeksi dari
gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara
langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan
melalui ruang mastikor.35
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan
adalah
Stafilokokus,
Streptococcus
sp,
Haemofilus
influenza,
3.4.3. Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38
1
Iritasi Pulpa
Hiperemic Pulpa
Pulpitis
Ganggren pulpa
Abses
32
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi
antibiotik.
Radiologis
a
33
Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan
gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah
campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan
metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah
didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.36,37 Antibiotik biasanya
dilakukan selama lebih kurang 10 hari.36,37
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses.
34
3.4.9. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering
meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.35
Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus
pterigoideus medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya.37
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses
juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis
mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.35
3.4.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi
mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian
antibiotik.
3.5.
35
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob
dan anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh
odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene
yang kurang.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri
anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan
peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum,
Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies
Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria,
Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies
Klebsiella.
3.5.3. Gejala 1,2,42
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami
kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air
liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami
kesulitan makan dan minum. Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise,
lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau
kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan,
perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan
jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice)
akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri
dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
36
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi
karena kurangnya asupan makanan dan minuman.
3.5.4. Pemeriksaan Penunjang44
1.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah
2.
Pemeriksaang radiologi
Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat
menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto
panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses,
serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif
dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk
menentukan letak abses.
37
3.5.6. Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:44
clindamycin,
cefoxitin,
piperacilin-tazobactam,
amoxicillin-
38
dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.1,45
3.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45% 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang
terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan
yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan
trakeostomi.44
39
DAFTAR PUSTAKA
1
40
The Mouth. Dalam: Grays Anatomy of The Human Body. Yahoo Education.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
di:
Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
Mouth
cavity.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
http://atlas.likar.info/Nebo/.
7
Zoltan
V.
Pharynx.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
http://www.earspecialist. eu/index.php?page=content&method=static&id=116.
8
Tonsil.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
http://www.graphicshunt.com/ health/images/lingual_tonsil-1853.htm.
9
2011.
Diperbaharui:
2003.
Terdapat
pada:
Parafaring.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.
14 Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir
diperbaharui: 22 Juli 2011. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
41
15 Hartmann
RW.
Ludwigs
Angina
in
Children.
Am
Fam
Ludovici.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
www.scribd.com/doc/6208 0690/Angina-Ludwig.
17 Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari
2010.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/194863-overview#showall.
18 Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
19 Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill.
Diakses:
13
Desember
2011.
http://www.accessemergencymedicine
Terdapat
pada:
.com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False
&searchSource=Images&ftbool=False.
20 Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft
tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or not to
drain?. Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
21 Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J
Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
22 Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the
treatment of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
23 Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation
technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
24 Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine.
Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat
pada: http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
25 Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children:
the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.
26 Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-threatening
deep cervical space infections: a review of one hundred ninety-six cases. Am J
Otolaryngol. Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
42
2011.
Terdapat
pada:
http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
32 Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association with a
retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb 2006;70(2):35963.
33 Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
34 Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
35 Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 1659.
36 Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection:
analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
37 Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011.
Terdapat pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSESLEHERDALA M-Revisi.
38 Abses
Submandibula.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
39 Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg.
40 Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular
region secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
43
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-
principles-of-treatment-of.html
42 MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
43 Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders;
2002.
44 Ludwigs
Angina.
Diakses:
Desember
2011.
Terdapat
pada:
www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.
45 Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. JanuariMaret 2008;Vol.21.
44