Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

BEDAH PLASTIK

KELAINAN KONGENITAL TELINGA LUAR

Oleh
Era Yulian Ineka
131421200001

Pembimbing :
dr. Betha Egih Riestiano, Sp. BP-RE

SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan telinga merupakan masalah penting di negara-negara

Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Kehilangan pendengaran dan ketulian

masih merupakan masalah yang dihadapi masyarakat. Penyakit telinga

eksternal seperti otitis eksterna adalah penyakit dari penyakit telinga eksternal

yang paling sering ditemukan. Saluran pendengaran eksternal (juga disebut

saluran telinga atau saluran telinga eksternal) adalah struktur kartilago

berbentuk S yang melintasi saluran medial menuju gendang telinga. Ini

memanjang dari daun telinga ke membran timpani. Lesi kongenital, inflamasi,

neoplastik, dan traumatik dapat mempengaruhi external auditory canal

(EAC).1

Kelainan pada telinga luar dapat menimbulkan berbagai

masalah telinga yang ada atau terjadi di bagian luar telinga, pinna, saluran

telinga dan gendang telinga (membrane timpani). Kelainan pada telinga luar

dibagi menjadi tiga, ada gangguan aurikularis, gangguan saluran telinga dan

kelainan kongenital.1

Kelainan kongenital pada telinga luar yang paling umum adalah

telinga yang terlihat lebih lebar dan lebih mapan (telinga kelelawar), yang

biasanya disertai dengan atresia, mikrotia dan fistula pre auricular. Berbagai

kelainan kongenital dari telinga eksternal yang disebabkan oleh gangguan

perkembangan brachial arch pertama dan kedua.1

2
Dengan meningkatnya masalah gangguan pendengaran dan

ketulian di Indonesia, perlu untuk mengantisipasi perilaku promotif, perawatan

kesehatan preventif serta memberikan indra pendengaran yang optimal sebagai

upaya kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat. Oleh karena itu diperlukan

kerja sama dan visi bersama dari berbagai pihak agar diagnosis serta

tatalaksana kelainan kongenital telinga luar dapat dilakukan sedini mungkin

sehingga angka morbiditas akibat kelainan ini dapat ditekan serendah

mungkin.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud Kelainan Kongenital Telinga Luar?

2. Apa saja yang termasuk dalam Kelainan Kongenital Telinga Luar?

3. Bagaimana cara mendiagnosis dan tatalaksana Kelainan Kongenital

Telinga Luar?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud Kelainan Kongenital Telinga

Luar

2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam Kelainan Kongenital

Telinga Luar

3. Untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosis dan menatalaksana

Kelainan Kongenital Telinga Luar

3
BAB II

PEMBAHASAN

I. ANATOMI

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. 2,3

Gambar 1. Anatomi dan Pembagian Telinga

4
Gambar 2. Anatomi Telinga Luar

a. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula) dan liang telinga

sampai membran timpani. 2,3,4

Aurikula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan

getaran udara. Aurikula terdiri atas lempeng tulang rawan elastik tipis yang

ditutupi kulit. Aurikula mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, keduanya

disarafi oleh nervus nervus fasialis.2,3

Meatus akustikus eksterna (liang telinga) adalah tabung berkelok yang

terbentang antara aurikula sampai membran timpani. Berfungsi

menghantarkan gelombang suara dari aurikula ke membran timpani. Pada

5
orang dewasa panjangnya ± 1 inci (2,5cm) dan dapat diluruskan untuk

memasang otoskop dengan menarik aurikula ke atas dan ke belakang. Pada

anak, aurikula cukup ditarik lurus ke belakang atau ke bawah dan belakang.

Daerah meatus yang paling sempit ± 5mm dari membran timpani.2

Sepertiga meatus bagian luar mempunyai kerangka tulang rawan

elastik dan dua pertiga dalam oleh tulang, yang dibentuk lempeng timpani.

Meatus dilapisi kulit dan sepertiga bagian luarnya memiliki rambut, kelenjar

sebasea dan kelenjar serumen. Yang terakhir ini adalah modifikasi kelenjar

keringat, yang menghasilkan lilin coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini

merupakan barier yang lengket untuk mencegah masuknya benda-benda asing.

Suplai saraf sensoris ke kulit pelapisnya, berasal dari nervus

aurikulotemporalis dan cabang nervus vagus.2,3,4

b. Telinga Tengah

Kavum timpani adalah ruang berisi udara dalam pars petrosa ossis

temporalis yang dilapisi membran mukosa. Di dalamnya didapatkan tulang-

tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani ke

perilimf telinga dalam. Merupakan suatu ruang mirip celah sempit yang

miring, dengan sumbu panjang terletak sejajar dengan bidang membran

timpani.2,5

Telinga tengah berbentuk kubus dengan:

Batas luar : Membran timpani

Batas Depan : Tuba eustachius

Batas Bawah : Vena jugularis

Batas Belakang : Aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis

6
Batas Dalam : Kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,

tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan

promontorium.2,4,6

Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berbentuk bundar

yang berwarnaputih mutiara. Membran ini terletak miring, memnghadap ke

bawah, depan dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar

cekungannya terdapat lekukan kecil yaitu umbo yang terbentuk oleh ujung

manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop, bagian cekung ini

menghasilkan “kerucut cahaya” yang memancar ke anterior dan inferior dari

umbo.4,6

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.

Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada

inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada jendela oval yang

berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengarab

merupakan persendian.2,3,6

Tuba auditiva terbentang dari dinding anterior cavum timpani ke

bawah, depan, dan medial sampai nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya

adalah tulang dan dua pertiga bagian anteriornya adalah kartilago. Tuba

berhubungan dengan nasofaring dengan berjalan melalui pinggir atas m.

Konstriktor faringes superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara

di dalam kavum timpani dengan nasofaring.2,3

7
Gambar 3. Anatomi Telinga Tengah

c. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua

setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis

semisirkularis yaitu: kanalis semisirkularis superior, kanalis semisirkularis

posterior dan kanalis semisirkularis lateral.2,3

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas,

skala timpani di sebelah bawah dan skala media (ductus koklearis)

diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan

skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane

vestibuli (reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah

membrane basalis. Pada membrane ini terletak organ korti. Pada skala media

terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane tektoria dan

pada membrane basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam,

luas dan kanalis korti yang membentuk organ korti.2,3,4

8
Gambar 4. Anatomi Telinga Dalam

II. FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi

(gelombang suara) oleh daun telinga dan melalui liang telinga diteruskan ke

membran timpani. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani

diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang

9
mengaplikasikan getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian luas membran timpani dan tingkap lonjong (oval window).2,4,7

Energi getar yang telah di amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes

yang menggetarkan oval window sehingga perilimfa pada skala vestibuli

bergerak.2,7

Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong

endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris

dan membran tektoria.4,7

Proses ini merupakan rangkaian mekanik yang menyebabkan

terjadinya defleksi steresilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan

terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.

Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut , sehingga

melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan

potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius

sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.2,4

Gambar 5. Fisiologi Pendengaran

10
II.1. FISTULA PREAURIKULA

DEFINISI

Fistula Preaurikula merupakan kelainan bawaan yang sering

ditemukan, namun tidak semuanya menimbulkan keluhan bagi penderitanya.

Kelainan ini terbentuk akibat gangguan perkembangan arkus brakial I dan II.8,9

EPIDEMIOLOGI

Dalam sebuah studi, insidensi fistula preaurikular di Amerika Serikat

sekitar 0-0,9% dan insidensinya di kota New York sekitar 0,23%. Di Taiwan,

insidensinya sekitar 1,6-2,5%, di Skotlandia sekitar 0,06% dan di Hungaria

sekitar 0,47%. Di beberapa bagian Asia dan Afrika , insidensinya sekitar 4-

10%.8

Fistula preaurikular tidak berhubungan dengan mortalitas akan tetapi

lebih kepada morbiditas. Morbiditas termasuk infeksi rekuren pada bagian

tersebut, ulserasi, jaringan parut, pioderma dan selulitis fasial. Secara spesifik

kondisi ini dapat diikuti oleh terjadinya: abses pada dan anterior dari telinga

yang terlibat, drainase kronik dan rekuren dari lubang fistula, otitis eksterna

dan selulitis fasialis unilateral. Terapi dengan operasi seringkali dihubungkan

dengan angka kejadian morbiditas ini, dengan kemungkinan kekambuhan post

operasi.8,9

Insiden fistula preaurikular pada orang kulit putih adalah 0,0-0,6% dan

insidensinya pada ras Amerika, Afrika dan Asia adalah 1-10%. Baik laki-laki

maupun perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita

11
kelainan ini. Fistula preaurikular muncul pada masa antenatal dan terlihat pada

saat lahir .9

MANIFESTASI KLINIS

Biasanya pasien akan datang berobat oleh karena terdapat obstruksi

dan infeksi pada daerah fistula. Selain itu dapat juga dikarenakan muara dari

fistula mengeluarkan sekret.8,9

TERAPI

Terapi Medis

Dalam sebuah studi yang besar, 52% pasien mengalami peradangan

pada fistulanya, 34% mengalami abses dan 18% fistulanya mengalami infeksi.

Agen infeksius yang teridentifikasi adalah staphylococcus epidermidis (31%),

Staphylococcus aureus (31%), Streptococcus viridans (15%), Peptococcus sp.

(15%) dan Proteus sp.(8%). Sekali pasien mengalami infeksi pada fistulanya,

pasien tersebut harus diberikan antibiotik sistemik. Jika terdapat abses, abses

tersebut harus diinsisi dan di drainase dan eksudat harus dikirim untuk

dilakukan pengecatan gram dan kultur untuk dapat memilih antibiotik yang

tepat.8,9

Operatif

Sekali infeksi terjadi, kemungkinan terjadinya kekambuhan

eksaserbasi akut sangat tinggi dan saluran fistula harus diangkat dengan cara

operasi. Operasi perlu sekali dilakukan ketika infeksi yang telah diberikan

antibiotik dan peradangan pasti memiliki waktu untuk sembuh. Indikasi

12
operasi masih menjadi perdebatan. Beberapa percaya bahwa saluran fistula

harus diekstirpasi dengan cara operasi pada pasien yang asimptomatik karena

onset gejala dan infeksi yang berikutnya menyebabkan pembentukan jaringan

parut , yang memungkinkan pengangkatan yang tidak sempurna dari saluran

fistula dan kekambuhan setelah operasi. Angka kekambuhan setelah operasi

adalah 13-42%. 8,9

Sebagian besar kekambuhan setelah operasi terjadi karena

pengangkatan yang tidak sempurna pada saat dioperasi. Salah satu jalan untuk

mencegah kekambuhan adalah dengan mengetahui gambaran jelas dari saluran

tersebut ketika operasi. Beberapa ahli bedah memasang kanul mulut dan

menginjeksi methylene blue ke dalam saluran 3 hari sebelum operasi di bawah

kondisi yang steril. Membuka saluran dan kemudian melakukan jahitan pada

sutura. Teknik ini memperbesar saluran dan ini diperpanjang oleh sekresinya

sendiri dengan memasukkan methylene blue.8,9

Selama operasi, beberapa ahli bedah menggunakan sebuah probe atau

memasukkan methylene blue ke dalam saluran untuk kanulasi mulut. Teknik

standar untuk ekstirpasi saluran sinus meliputi insisi sekeliling fistula dan

sekaligus pembedahan traktus dekat heliks. Pendekatan insisi supra aurikular

lebih sering berhasil dan diperpanjang insisi sampai post aurikular. Sekali

fasia temporalis diidentifikasi, pembedahan traktus dimulai. Kartilago

aurikular yang menempel pada saluran diangkat untuk menurunkan angka

kekambuhan sampai dengan 5%.8

KOMPLIKASI 8

1. Pasien dapat mengalami infeksi pada salurannya dengan pembentukan

13
abses.

2. Kekambuhan post operasi merupakan komplikasi dari ekstirpasi

saluran fistula

3. Sebagian kekambuhan baru dicurigai ketika discharge dari saluran

sinus tetap ada. Insidensi kekambuhan terjadi sekitar 5-42%.

PROGNOSIS 8

Umumnya fistula preaurikular memiliki prognosis yang baik.

II.2. MIKROTIA

DEFINISI

Mikrotia terbentuk dari dua kata yaitu micro yang artinya kecil dan

otia yang artinya telinga. Mikrotia adalah malformasi daun telinga yang

memperlihatkan kelainan bentuk ringan sampai berat, dengan ukuran kecil

sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia). Mikrotia merupakan kelainan

kongenital telinga dimana bentuk daun telinga lebih kecil dari ukuran

normal.10,11

Mikrotia dapat bilateral maupun unilateral dan terkadang didapatkan

atresia meatus akustikus eksternus. Kelainan kongenital ini akibat cacat

pertumbuhan tulang rawan Meckel dari arkus brankialis I. Kelainan berupa

gangguan pertumbuhan pina sehingga telinga luar menjadi kecil sekali dan

bentuknya tidak normal. Kelainan ini sering kali diikuti dengan gangguan

pertumbuhan telinga bagian tengah dengan akibat tuli konduksi. Mikrotia

mempunyai kejadian yang jarang sehingga dokter yang menangani sering

tidak mempunyai keahlian untuk melakukan rekonstruksi. 10,11

14
ETIOLOGI

Adapun penyebab pasti kelainan ini belum diketahui dengan jelas.

Diduga penyebabnya adalah faktor genetik, infeksi virus, intoksikasi bahan

kimia dan obat yang teratogenik pada kehamilan muda. Berdasar beberapa

dugaan faktor lingkungan dan genetik turut berperan dalam terjadinya

mikrotia. Faktor risiko terjadinya mikrotia antara lain ras, anemia saat

kehamilan,kehamilan resiko tinggi, kelahiran tidak cukup. 10,11

EPIDEMIOLOGI

Mikrotia terjadi pada setiap 5000-7000 kelahiran (bergantung kepada

statistik tiap-tiap negara dan ras individual). Jumlahnya di Indonesia tidak

diketahui dengan pasti karena belum pernah ada koleksi data sehubungan

dengan mikrotia. Sekitar 90% kasus mikrotia hanya mengenai satu telinga saja

(unilateral) dan 10% dari kasus mikrotia adalah mikrotia bilateral. Telinga

terbanyak yang terkena adalah telinga kanan. Anak laki-laki lebih sering

terkena dibandingkan dengan anak perempuan (sekitar 65:35). Ras Asia lebih

sering terkena dibanding ras lain. Di Amerika dilaporkan angka kejadian

mikrotia sekitar 2-3 tiap 10.000 kelahiran lebih sering pada ras Hispanik dan

Asia (Jepang), angka kejadian mikrotia di India relatif tinggi yaitu 1:1200

kelahiran. Pada penelitian dari 2,5 juta jiwa angka kelahiran di California

tercatat perbandingan insiden berdasarkan ras Hispanik dibandingkan ras

Kaukasian 7:1, ras Asia dibandingkan ras Kaukasian 3:1. Angka kejadian pada

laki-laki lebih sering daripada wanita. Perbandingan mikrotia telinga

kanan:kiri:bilateral adalah 5:3:1. Sejumlah kelainan yang berhubungan dan

15
sindrom dapat muncul bersamaan dengan mikrotia. Dalam tinjauan 1200 kasus

mikrotia, kelainan yang terkait termasuk cacat lengkung brakial (36,5%),

kelemahan saraf wajah (15,2%), bibir sumbing (4.3%), cacat urogenital (4%),

kelainan kardiovaskular (2,5 %), dan makrostomia (2,5%).10,11

EMBRIOLOGI

Telinga luar berasal dari kantong dan celah brankial pertama, dan

perkembangannya mulai pada minggu ke empat kehamilan. Pertumbuhan

daun telinga dimulai pada minggu ke empat dari fetus. Dimana bagian

mesoderm dari cabang pertama dan kedua brankial membentuk enam tonjolan

(Hillock of His) seperti yang ditunjukkan pada, yang mengelilingi telinga luar

dan kemudian bersatu untuk membentuk daun telinga dan liang telinga. 11

Gambar 6. Enam tonjolan mesenkemial berasal dari lengkungan brachial

pertama dan kedua yang muncul di sisi lain dari celah brachial yang

pertama.

Cabang brankial pertama membentuk tonjolan pertama dimana akan

terbentuk tragus, tonjolan kedua dimana akan terbentuk crus heliks, dan

tonjolan ketiga dimana akan terbentuk heliks. Sedangkan cabang brankial

kedua membentuk tonjolan keempat dimana akan terbentuk anti heliks ,

16
tonjolan kelima dimana akan terbentuk anti tragus dan tonjolan keenam akan

membentuk lobulus dan heliks bagian bawah. (Gambar 7) 11

Pada minggu ketujuh hingga minggu kedua belas, daun telinga

terbentuk oleh penggabungan dari tonjolan-tonjolan tersebut diatas. Pada

minggu ke duapuluh daun telinga sudah seperti bentuk telinga dewasa, tetapi

ukurannya belum seperti ukuran dewasa sampai umur 9 tahun. Kalau proses

penggabungan tersebut terhenti, bisa mengakibatkan anomali/kelainan

kongenital seperti mikrotia , anotia, dan atresia liang telinga. Sedangkan fistel

preaurikuler yang menyertainya diduga karena kegagalan dari penggabungan

tonjolan-tonjolan brankhialis.11

Gambar 7. Tonjolan pertama dan ke enam relatif berada pada posisi

yang tetap, sementara tonjolan yang lain berputar di sekitar celah

menuju posisi baru mereka, memberikan pertumbuhan kepada bagian-

bagian dari anatomi aurikuler.

17
MANIFESTASI KLINIS

Pada mikrotia, daun telinga tampak lebih kecil dan tidak sempurna.

Mikrotia seringkali terdiri dari tulang rawan yang kecil, dengan bentuknya

yang buruk, atau hanya berupa tanda saja. Daun telinga biasanya terletak jauh

ke depan dan lebih rendah daripada normal, sering terletak diatas ramus

mandibula. Beratnya malformasi bukan merupakan petunjuk beratnya kelainan

liang telinga atau tulang-tulang pendengaran. 11

Kebanyakan pasien dengan mikrotia terdapat atresia (ketiadaan) dari

kanal auditory external dan membran timpani dengan kelainan yang bervariasi

dari osikel telinga tengah. Jarang pasien datang dengan mikrotia dan kanal

stenosis yang paten. Jarang terjadi tapi sangat sulit diperbaiki adalah pasien

dengan sisa aurikuler yang berada dalam posisi abnormal. Karena meatus

hanya bisa dipindahkan dalam jarak yang terbatas, dokter bedah harus

mempertimbangkan eksisi komplit dari kanal. Telinga bagian dalam berasal

dari jaringan embriologi yang terpisah sama sekali dari telinga bagian tengah

dan bagian luar, sehingga hampir selalu normal pada pasien dengan mikrotia.

Dengan kata lain kehilangan pendengaran pada pasien mikrotia atau atresia

adalah tuli konduktif.10,11

Terdapat tiga kategori penting yang memudahkan menilai kelainan

daun telinga dengan cepat. Kriteria menurut Aguilar dan Jahrsdoerfer, yaitu
10,11

a. Derajat I: jika telinga luar terlihat normal tetapi sedikit lebih kecil.

Tidak diperlukan prosedur operasi untuk kelainandaun telinga ini.

Telinga berbentuk lebih kecil dari telinga normal. Semua struktur

telinga luar ada pada grade I ini, yaitu kita bisa melihat adanya lobule,

18
helix dan anti helix. Grade I ini dapat disertai dengan atau tanpa lubang

telinga luar (external auditory canal).

b. Derajat II jika terdapat defisiensi struktur telinga seperti tidak

terbentuknya skapa, lobul, heliks atau konka. Ada beberapa struktur

normal telinga yang hilang. Namun masih terdapat lobule dan sedikit

bagian dari helix dan anti helix.

c. Derajat III terlihat seperti bentuk kacang tanpa struktur telinga atau

anotia. Kelainan ini membutuhkan proses operasi rekonstruksi dua

tahap atau lebih. Kelompok ini diklasifikasikan sebagai mikrotia

klasik. Sebagian besar pasien anak akan mempunyai mikrotia jenis ini.

Telinga hanya akan tersusun dari kulit dan lobulus yang tidak

sempurna pada bagian bawahnya. Biasanya juga terdapat jaringan

lunak di bagian atasnya, dimana ini merupakan tulang kartilago yang

terbentuk tidak sempurna. Biasanya pada kategori ini juga akan disertai

atresia atau ketiadaan lubang telinga luar.

19
Gambar 8. Derajat/ Grade Mikrotia Menurut Kriteria Aguilar dan

Jahrsdoerfer

DIAGNOSIS

Mikrotia akan terlihat jelas pada saat kelahiran, ketika anak yang

dilahirkan memiliki telinga kecil atau tidak ada telinga. Tes pendengaran akan

digunakan untuk mengetahui apakah ada gangguan pendengaran di telinga

yang bermasalah atau tidak. Dan jika ada gangguan pendengaran maka derajat

berapa gangguan pendengarannya.11

PENATALAKSANAAN

Usia pasien menjadi pertimbangan operasi, minimal berumur 6–8

tahun. Pada usia ini, kartilago tulang iga sudahcukup memadai untuk dibentuk

sebagai rangka telinga dan telinga sisi normal telah mencapaipertumbuhan

maksimal, sehingga dapatdigunakan sebagai contoh rangka telinga. Pada usia

ini daun telinga mencapai 80–90% ukuran dewasa. 11

Dengan tidak adanya tulang rawan daun telinga, pembedahan

rekonstruksi jarang menghasilkan kosmetik yang memuaskan. Prostesis yang

artistik adalah pemecahanyang paling baik untuk kosmetiknya. Pada kelainan

20
unilateral dengan pendengaran normal dari telinga telinga sisi lain,

rekonstruksi telinga tengah tidak dianjurkan, tetapi bila terjadi gangguan

pendengaran bilateral, dianjurkan rekonstruksi telinga tengah. 10,11

Indikasi pembedahan pada mikrotia yaitu mikrotia unilateral,mikrotia

bilateral, rekonstruksi atresia meatus akustikus eksternus. Terdapat tiga model

rangka telinga untuk operasi rekonstruksi, antara lain metode tandur

autologus, yaitu rekonstruksi menggunakan kartilago autologus, telah menjadi

standar operasi rekonstruksi karena tandur diterima dengan baik dan tidak

terjadi reaksi penolakan jaringan. Metode prosthetic framework, bila

rekonstruksi menggunakan rangka silikon atau goretex. Metode ini sering

menimbulkan komplikasi nekrosis. Integritas jaringan host dengan bahan

prostetik masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Metode yang terakhir

prosthetic ear replacements. Untuk pilihan rekonstruksi mikrotia juga terdapat

3, yaitu rekonstruksi autogenik, gabungan rekonstruksi autogenik dan

aloplastik menggunakan sebuah kerangka telinga aloplastik, dan yang terakhir

rekonstruksi prostetik. 11

KOMPLIKASI

Komplikasi daerah donor termasuk luka pada dada yang tidak bagus,

retrusi ringan sampai berat dan perataan dari kontur tulang rusuk. Kerangka

alloplastik memiliki resiko ekstrusi yang lebih besar dibandingkan dengan

kerangka kartilago tulang rusuk. Ekstrusi yang membutuhkan pemindahan

terjadi pada 5-30% dari kerangka silastik, dibandingkan pada 1-2% dari

kartilago tulang rusuk. Komplikasi lainnya termasuk infeksi, hematom, dan

kehilangan kulit. Hal ini biasanya jarang terjadi dan kerangka hampir selalu

21
bisa diselamatkan. Hematom kecil atau cedera pembuluh darah dapat

menyebabkan sebagian dari graf untuk menjadi nekrosis. Jika sebagian kecil

(1-2 mm) dari graf menjadi terbuka tapi perikondrium masih utuh, terapi

antibiotik oral dengan yang sensitive terhadap Stafilokokus dan Pseudomonas

harus digunakan. Defek yang besar mungkin memerlukan rekonstruksi dengan

flap lokal, seperti flap fasia temporoparietal. Penggunaan antibiotik jangka

panjang diperlukan untuk menghindari penyebaran infeksi. Komplikasi

kosmetik yang dapat terjadi seperti posisi yang buruk, kontraktur parut dan

hipertrofi.11

Umumnya, semua akan membaik seiring berjalannya waktu, revisi

bekas luka kecil dapat dilakukan setelah fase penyembuhan selesai.

Pneumotoraks akut dan atelektasis dapat terjadi akibat dari pengambilan

tulang rawan rusuk. Komplikasi tertunda dari pengambilan tulang rusuk yaitu

deformitas dinding dada dan jaringan parut. Untuk menghindari komplikasi

dari pneumotoraks, beberapa ahli bedah menganjurkan penggunaan tabung

dada pada periode pasca operasi segera setelah pengambilan tulang rusuk. 11

Ohara, et al yang dikutip oleh Peggy E, et al melaporkan penurunan

kelainan dinding dada jika pasien berusia lebih dari 10 tahun pada saat

pengambilan tulang rusuk, dibandingkan dengan anak-anak berusia kurang

dari 10 tahun.11 Rekonstruksi atresia meatus akustikus eksternus mempunyai

komplikasi sepertilateralisasi dari graf membrane timpani (22% -28%),

stenosis kanal (8%), nyeri sendi temporomandibular (2%), kerusakan saraf

fasialis (1%), dan SNHL (2%-5%). Lateralisasi graf dapat dihindari dengan

menggunakan kemasan gel foam untuk menstabilkan jaringan selama fase

penyembuhan. Parapasien dan ahli bedah harus berhati-hati teliti untuk

22
menghindari stenosis kanal, termasuk pemeriksaan reguler, debridement, dan

pengobatan yang tepatdari setiap infeksi.11

PROGNOSIS

Sekitar 90% anak dengan mikrotia akan mempunyai pendengaran yang

normal. Karena adanya atresia pada telinga yang terkena, anak-anak ini akan

terbiasa dengan pendengaran yang mono aural (tidak stereo). Sebaiknya orang

tua berbicara dengan gurunya untuk menempatkan anak di kelas sesuai dengan

sisi telinga yang sehat agar anak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Pada

kasus bilateral (pada kedua telinga) umumnya juga tidak terjadi gangguan

pendengaran. Hanya saja anak-anak perlu dibantu untuk dipasang dengan alat

bantu dengar konduksi tulang (BAHA= Bone Anchor Hearing Aid). Hal ini

diperlukan agar tidak terjadi gangguan perkembangan bicara pada anak. Lebih

jauh lagi agar proses belajar anak tidak terganggu. 11

II.3. LOP’S EAR (BAT’S EAR)

Kelainan ini merupakan kelainan kongenital yaitu bentuk abnormal

daun telinga dimana terjadi kegagalan pelipatan antiheliks. Tampak daun

telinga lebih lebar dan lebih berdir. Secara fisiologik tidak terdapat gangguan

pendengaran, tetapi dapat menyebabkan gangguan psikis karena estetik.

Koreksi bedah umumnya dilakukan pada usia 5 tahun karena

perkembangantelinga luar hampir sempurna. Operasi dilakukan sebelum anak

masuk sekolah untuk mencegah ejekan teman, dan efek emocional serta

psikologis.8,9

23
II.4. ATRESIA LIANG TELINGA

Selain dari liang telinga yang tidak terbentuk, biasanya juga disertai

dengan kelainan daun telinga dan tulang pendengaran. Kelainan ini jarang

disertai kelainan telinga dalam, karena perkembangan embriologik yang

berbeda antara telinga dalam dengan telinga luar dan telinga tengah.8,9

Atresia telinga kongenital merupakan kelainan yang jarang ditemukan.

Penyebab kelainan ini belum diketahui dengan jelas, diduga oleh faktor

genetik, seperti infeksi virus atau intoksikasi bahan kimia pada kehamilan

muda. 8,9

Diagnosis atresia telinga kongenital hanya dengan melihat daun telinga

yang tidak tumbuh dan liang telinga yang atresia saja, keadaan telinga

tengahnya tidak mudah dievaluasi. Sebagai indikator untuk meramalkan

keadaan telinga tengah adalah keadaan dau telinganya. Makin buruk keadaan

daun telinga, makin buruk pula keadaan telinga tengah. 8,9

Atresia liang telinga dapat unilateral dan bilateral. Tujuan operasi

rekonstruksi ialah selain dari memperbaiki fungsi pendengaran, juga untuk

kosmetik. Pada atresia liang telinga bilateral masalah utamanya adalah

gangguan pendengaran. Setelah diagnosis ditegakkan sebaiknya pada pasien

dipasang alat bantu dengar, baru setelah berusia 5-7 tahun dilakukan operasi

pada sebelah telinga. Pada atresia liang telinga unilateral, operasi sebaiknya

dilakukan setelah dewasa yaitu pada usia 15-17 tahun. Operasi dilakukan

dengan bedah mikro telinga. 8,9

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kelainan pada telinga luar dapat menimbulkan berbagai

masalah telinga yang ada atau terjadi di bagian luar telinga, pinna, saluran

telinga dan gendang telinga (membran timpani). Kelainan pada telinga luar

dibagi menjadi tiga, ada gangguan aurikularis, gangguan saluran telinga dan

kelainan kongenital.

Beberapa kelainan kongenital yang paling sering ditemukan

meliputi Fistula preaurikula, Mikrotia, Bat’s ear dan Atresia liang telinga.

Dengan mengetahui dan mengenali manifestasi klinisnya maka akan

mempermudah dalam mendiagnosis serta melakukan tatalaksana lebih awal

sehingga angka morbiditas akibat kelainan ini dapat diminimalisir.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi UM. Karakteristik Penyakit Telinga Luar di Makasar Sulawesi


Selatan. Alami Journal. 2018; 2 (1): 28-36.
2. Snell Richard S. Anatomi Telinga in Anatomi Klinik, Ed, ECG 2006,
hal: 782-792.
3. Wijana, Mahdiani S. Pemeriksaan Pendengaran Sederhana, Paramedia
Komunikatama 2019, hal: 1-24.
4. Soetirto I and Bashiruddin J in Soepardi A.E Iskandar N edt. Gangguan
Pendengaran in Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok
Kepala Leher, Ed 6, FKUI 2007, hal: 10-16.
5. Boies R.L in Effendi H Santoso K. Penyakit Telinga Luar in Boies Buku
Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamental of Otolaringology), Ed 6.
Penerbit Buku Kedokteran, Hal 84-85.
6. K.J.Lee. Anatomy Of The Ear, Essential Otolaryngology Head And Neck
Surgery. Tenth Edition. United State; Mc Graw Hill. 2012.
7. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta: EGC.
2014.
8. Indriyani F, dr and Rachman L Y, dr. Anomali Telinga in Ilmu THT
Esensial, Ed. 5, EGC 2011,hal: 548-549.
9. Omar R, Rajagopalan R. Ear Nose Throat Colour Atlas and Synopsis,
University Malaya 2005, hal: 3-5.
10. Sosialisman, Alfian F Hafil & Helmi, Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi
ke enam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007, hal 57-62.
11. Milyantono RC, Artono. Mikrotia, Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2014, hal 1-7.

26

Anda mungkin juga menyukai