Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

PLEURITIS TB

OLEH :
KELOMPOK 6 dan 12
1. Arizal Ramadhan C014182080
2. Muh. Fadli Kamaruddin C014182081
3. Vira Indira C014182082
4. Fathimah Adi Suryadi C014182132
5. Tsuraya Yaumil Mahdiyyah C014182141
6. Anidya Ghina M. C014182257

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Muh. Ayip

DOSEN PEMBIMBING:
dr. Nurjannah Lihawa, Sp.P

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan kasus dengan judul Pleuritis TB oleh :

1. Arizal Ramadhan
2. Muh. Fadli Kamaruddin
3. Vira Indira
4. Fathimah Adi Suryadi
5. Tsuraya Yaumil Mahdiyyah
6. Anidya Ghina M.

Telah dibacakan pada Pembacaan Laporan Kasus di Bagian Pulmonologi Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar pada:

Hari / Tanggal : Senin / 7 Oktober 2019

Pukul : 07.00 WITA – selesai

Tempat : Ruang Pertemuan IC Lantai 2

Makassar, 7 Oktober 2019


Pembimbing

dr. Nurjannah Lihawa, Sp.P

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A, IDENTITAS PASIEN
 Nama Pasien : Ny. IM
 Tanggal Lahir : 11/9/1997 (23 tahun)
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Medical Record : 083329
 Tanggal Masuk : 1/10/19
 Pekerjaan : IRT

B. ANAMNESIS
 KELUHAN UTAMA : Nyeri dada kiri
 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pasien masuk dengan keluhan nyeri dada bagian bawah sebelah kiri sejak 1 tahun
terakhir. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri tembus kebelakang. Nyeri dirasakan
semakin memberat sejak beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Membaik saat
duduk atau beristirahat. Nyeri biasanya muncul jika sedang beraktivitas berat. Sesak
tidak ada, Riwayat sesak tidak ada. Batuk tidak ada, Riwayat batuk lama disangkal.
Riwayat batuk darah tidak ada. Demam saat ini tidak ada. Riwayat demam ada. Nafsu
makan baik. Mual muntah tidak ada. Nyeri ulu hati ada. BAB dan BAK ada kesan
normal. Riwayat sering keringat malam ada. Riwayat merokok tidak ada. Hidup
dengan suami perokok. Riwayat penurunan BB dalam 3 bulan terakhir sebanyak 4 kg.
Riwayat konsumsi OAT sebelumnya tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita TB
disangkal. (Hasil sputum BTA 3x negatif).
 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Riwayat HT dan DM tidak ada
 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:
Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIS
-STATUS GENERALISATA:
 Keadaan Umum : Sakit sedang / Gizi Kurang/ Composmentis (E4M6V5)
 Tinggi badan : 153 cm
 Berat badan : 36 kg
 IMT : 15,38 kg/m2 (Severe underweight)

3
-TANDA VITAL:
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Heart rate : 86 kali/menit
 Respiratory rate : 24 kali/menit
 Suhu (axilla) : 36,9 oC thoracolumbal
 Saturasi : 97% tanpa modalitas
-HEAD TO TOE:
Kepala
 Deformitas : Tidak ada
 Kesimetrisan wajah : Simetris
 Rambut : Kesan normal
Mata
 Exophtalmus : Tidak ada
 Konjungtiva : Pucat (-)
 Kornea : Refleks kornea (+)
 Enopthalmus : (-)
 Sklera : Ikterus (-)
Hidung
 Epistaxis : Tidak ada
 Rhinorrhea : Tidak ada
Telinga
 Pendengaran : Normal
 Otorrhea : Normal
Mulut
 Bibir : Kering (-)
 Lidah : Kotor (-)
 Tonsils : Tidak ada pembesaran
 Pharing : Tidak Hiperemis
Leher
 Lymph nodes : Tidak ada pembesaran
 JVP : R+2 cmH2O posisi supine 30 derajat
 Thyroid : Tidak ada pembesaran
 Trakea : Tidak ada deviasi
 Leher kaku : Tidak ada

4
Paru
 Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis
 Palpasi : Vokal fremitus menurun pada hemitoraks sinistra
setinggi
ICS V – basal.
 Perkusi : Redup pada hemitoraks sinistra setinggi ICS V -
basal.
 Auskultasi : Vesikuler, menurun pada hemithoraks sinistra
setinggi
ICS V – basal. Terdapat suara Egofoni pada
hemithorax sinistra. Rhonki dan wheezing tidak ada
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis dapat diraba, tidak ada thrill
 Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan bawah jantung ICS IV Parasternal dextra ICS IV
Batas kiri bawah jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultation : S 1/2 reguler; murmur (-).
Abdomen
 Inspeksi : Datar, mengikuti gerak napas
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi : Nyeri tekan pada epigastrium. Hepar dan Limpa tidak teraba
Massa Tumor (-), Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Tympani (+)
Extremitas
 Ekstremitas hangat
 Tidak ada edema

5
Pemeriksaan Penunjang

Foto Thorax (02/10/2019)

Foto Thorax posisi PA


Interpretasi :
-Tampak perselubungan homogen pada bagian
basal hemithoraks paru kiri setinggi costa
posterior IX dan costa anterior V yang
menutupi sinus costophrenicus sinistra,
diafragma sinistra, dan batas jantung sinistra
yang memberikan gambaran meniscus sign
-Trakea tampak berada di midline, tidak tampak
shift mediastinum.
-COR : CTI sulit dinilai, aorta normal.
-Tulang-tulang intak
-Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesimpulan :
-Efusi Pleura Sinistra

Laboratorium

Darah Rutin (01/10/2019)

No Test Type Result Normal Value

HEMATOLOGY

Routine Hematology

1 WBC 7.61 4,00-10,0 10^3/ul

2 RBC 3.99 4,00-6,00 10^6/ul

3 HGB 11.7 12,0-16,0 gr/dl

4 HCT 32,9 37,0-48,0 %

6
5 MCV 82,4 80,0-97,0 fL

6 MCH 29,3 26,5-33,5 Pg

7 PLT 306 150-400 10^3/ul

8 NEUT 72.5 52,0-75,0 10^3/ul

9 LYMPH 22,7 20,0-40,0 10^3/ul

Test Type Result Normal value

SGOT 16 U/L <38 U/L


Fungsi Hati
SGPT 23 U/L <41 U/L

106 140 mg/dl


Kimia Darah GDS

Sewaktu (-)
Sputum BTA 3x Pagi (-), Negatif (-)
Sewaktu II (-)
Tes Mikrobiologi

Cairan Pleura BTA Negatif (-) Negatif (-)

Pemeriksaan Cairan Pleura


• BTA (-)

Pemeriksaan Sitopatologi
• Pemeriksaan Makroskopik
• Cairan serous xanthochrome sebanyak 17 ml
• Sedimen berwarna merah

7
• Pemeriksaan Mikroskopik
• Tidak terdapat sel-sel maligna
• Sediaan apusan cukup seluler terdiri dari sebaran sangat padat
sel-sel radang limfosit matur dan foamy histiosit
• Dengan latar belakang eritrosit
KESAN
• Negative for malignancy
• Peradangan granulomatous causa TB

D. DIAGNOSIS
 PLEURITIS TB KASUS BARU ON TREATMENT KATEGORI 1 FASE INTENSIF
HARI KE-1
 SEVERE UNDERWEIGHT
 DISPEPSIA

E. PENATALAKSANAAN
 Infus NaCl 0,9% 6 tpm
 Injeksi Ranitidine 1 amp/12jam/ Intravena
 4 FDC (HRZE) 2 tab/24 jam/oral
 Farbion 1 amp/12 jam/drips

F. PLANNING
 Konsul Gizi Klinik
 Pantau efek samping pengobatan

8
BAB II

DISKUSI KASUS

PLEURITIS TB

PENDAHULUAN

Pleuritis tuberculosis (TB) terjadi akibat infeksi Mycobacterium Tuberculosis (MTB)


pada pleura. Pleuritis TB merupakan salah satu manifestasi tersering TB ekstra paru. Pleuritis
TB muncul dengan manifestasi efusi pleura, yaitu akumulasi cairan berlebihan di ruang
pleura. Pleuritis TB dapat ditemukan terisolasi di ruang pleura atau berkaitan dengan TB
paru.1 TB pleura mengenai satu sisi pleura dan sebagian besar kasus efusi pleura TB memiliki
kecenderungan mengalami perbaikan secara spontan. 2,3

Gambar 1 : Pleuritis Tuberculosis dengan efusi pleura


(Sumber : https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/)

Beberapa kesulitan penegakan diagnosis pleuritis TB yaitu gejala klinis yang tidak
spesifik dan pemeriksaan kultur MTB yang sering memberikan hasil negative. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, yaitu reaksi hipersensitivitas berperan
dalam pathogenesis pleuritis TB dan dapat menjelaskan fenomena pemeriksaan kultur yang
sering negative.Selain itu, metode diagnosis melalui analisa cairan pleura telah
dikembangkan untuk diagnosis pleuritis TB, salah satunya pemeriksaan kadar ADA. Pleuritis

9
TB dapat menimbulkan komplikasi fibrosis paru dan penebalan pleura residual, sehingga
diperlukan diagnosis dini yang akurat dan tatalaksana yang tepat.3

EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan utama pada negara berkembang. Jumlah
kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang
terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada
fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan
hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. 4

Di area geografis dengan prevalensi TB tinggi, pleuritis TB lebih sering terjadi pada
penyakit primer atau post primer. Pleuritis TB lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan rasio 3:1, dan lebih sering terjadi pada usia muda. Efusi pleura TB terjadi
pada sekitar 5% pasien dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis.5 Persentase pasien TB
dengan efusi pleura bervariasi di masing-masing negara di dunia. Di Afrika Selatan, 20%
pasien TB mengalami efusi pleura TB, sedangkan di Amerika hanya 3-5% pasien.3 Di
Indonesia dara pleuritis TB masih belum tersedia.

Insidens efusi pleura TB terbanyak pada laki-laki sesuai dengan epidemiologi dan
prevalensi TB. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Pada kasus ini
didapatkan pleuritis TB terjadi pada perempuan. Walaupun secara epidemiologi perempuan
cenderung lebih kecil daripada laki-laki, tetapi pada kasus didapatkkan faktor resiko dimana
pasien sering terpapar asap rokok yang merupakan salah satu faktor resiko TB.

Pasien dengan penurunan daya tahan tubuh juga lebih rentan menderita TB
dibandingkan dengan individu normal. Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) dan TB memiliki insidens efusi pleura yang lebih tinggi. TB merupakan penyebab
ketiga efusi pleura massif (12%) setelah keganasan (55%) dan pneumonia (22%).
Keterlibatan pleura pada pasien TB bervariasi antara 3-5% di Eropa Timur dan Amerika, dan

10
Amerika, dan 30% di negara berkembang dengan prevalensi HIV tinggi.3 Oleh karena itu,
pada kasus pasien HIV dengan efusi pleura perlu dicurigai infeksi plaura.

Tanpa pengobatan, pleuritis TB biasanya membaik spontan, tetapi sering berkembang


menjadi TB aktif di kemudian hari. Patiala mengikuti 2816 anggota Finnish Armed Forces
selama 7 tahun yang mengalami efusi pleura, mendapatkan 43% berkembang menjadi TB.
Ukuran efusi awal da nada/tidaknya gambaran radiologi residual penyakit pleura tidak
berhbungan dengan perkembangan TB aktif. 3

PATOFISIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis dapat mengenai pleura pada berbagai stadium penyakit


paru atau sistemik. Keterlibatan pleura dapat terajdi pada TB primer pasca-primer, dan
reaktivasi, diperkirakan muncul langsung dari lesi paru mikroskopik atau makroskopik atau
penyebaran melalui aliran darah atau limfa, dan bisa juga melalui mekanisme imunologi.
Pleuritis tuberkulosis eksudatif sejauh ini diinterpretasikan sebaai satu reaksi hipersensitivitas
tipe lambat dibandingkan keterlibatan paru secara langsung. Beberapa bukti penelitian
terhadap peran reaksi hipersensitivitas pada pleuritis TB adalah sebagai berikut: 6

1. Saat protein tuberkulosa dimasukkan ke ruang pleura marmot sudah tersensitisasi ini
dengan cepat terjadi efusi pleura eksudatif
2. Saat marmot yang telah tersensitisasi ini diberi serum antilimfosit, perkembangan
efusi pleura langsung dapat ditekan
3. Kultur cairan pleura tehadap Mycobacterium tuberculosis pada sebagian besar pasien
efusi pleura TB adalah negatif.

Berdasarkan bukti penelitian, mekanisme proses imunologi dalam pleuritis TB


mengikuti pola 3 tahapan reaksi seluler dan pembentukan granuloma (Gambar 2). 6

11
Gambar 2. Mekanisme imunologi patogenesis pleuritis tuberkulosis. 6

Pada mekanisme masuknya protein MTB ke ruang pleura akan terjadi tahap awal
reaksi yang ditandai penyusunan cepat sel mesotelial dan interleukin (IL)-8 yang memediasi
masuknya polymorphonuclear (PMN) dalam bebeapa jam. Makrofag IL-1, IL-6, dan tumor
necrosis factor (TNF)- a turut serta dalam reaksi tahap awal. 6

Dalam kira-kira 3 hari memasuki tahap intermediate dari subpopulasi limfosit dengan
dominasi sel T helper CD4+ dan sel CD8+ sitotoksik (natural killer cells) dan menghasilkan
rasio sel CD4+/CD8+ sekitar 4,3. Beberapa reseptor yang juga berperan dalam tahap ini
meliputi reseptor sel T ganda negatif (double negative/DN) dari sel Taβ dan sel Tγδ yang
diduga memiliki fungsi regulasi. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa sel-sel T
CD4+CD25+ cairan efusi pleura TB berperan menekan sel T yang mempodksi IFN-γ
sehingga mencegah reaksi inflamasi berlebih. IFN-γ mepakan interleukin yang mendominasi
tahap ini yang berperan sebagai promotor kuat aktivasi makrofag dan pembentukan
granuloma. Sel T yang memproduksi IFN-γ telah diidentifikasi sebagai sel CDW29+
subpopulasi dan menjadi bagian substansial dari struktur inti granuloma.6 Hal ini
menunjukkan bahwa sel CDW29+ subpopulasi berperan penting dalam reaksi imunitas
tehadap M.TB.

Tahap akhir reaksi seluler ditandai dengan peningkatan produksi IFN-γ sehingga
terjadi pembentukan granuloma secara terus menerus. Beberapa inteleukin lain, yaitu IL-12,
IL-10, dan transforming growth factor-β, juga berperan dalam pembentukan granuloma
menunjukkan bahwa pembentukan granuloma pada tuberkulosis pleuritis akibat reaksi

12
hipersensitivitas yang memicu peningkatan kadar IFN-γ. Pemeriksaan kadar IFN-γ dapat
dijadikan sebagai penanda untuk mendiagnosis pleuritis TB. 6

Efusi pleura TB tanpa gambaran radiologi khas TB mungkin merupakan lanjutan


infeksi primer 6-12 minggu sebelumnya atau sebagai reaktivasi TB. Efusi pleura TB terjadi
melalui robekan fokus kaseosa subpleura ke ruang pleura. Reaksi hipersensitivitas tipe
lambat diyakini memiliki peran besar dalam patogenesis efusi pleura TB; diawali saat protein
tuberkulosa memasuki ruang pleura dan beinteraksi dengan sel limofsit T yang telah
tersensitisasi. Efusi pleura TB terjadi saat reaksi hipersensitivitas tipe lambat meningkatkan
permeabilitas kapiler pleura tehadap protein dan meningkatkan kadar protein di dalam cairan
pleura yang menyebabkan peningkatan pembentukan cairan pleura. Adanya pleuritis
limfositik menyebabkan obstruksi aliran limfa di pleura parietalis sehingga pengeluaran caian
pleura dari ruang pleura menurun. 3

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Gejala klinis biasanya bersifat akut atau subakut dengan selang waktu dari gejala awal
hingga diagnosis kurang dari 1 bulan.1 Gejala paling sering adalah batuk (70%), biasanya
nonproduktif, dan nyeri dada pleuritik (70%) nyeri biasanya mendahului batuk. Hanya 15%
pasien yang tidak demam. 3

Pleura visceral tidak memiliki reseptor nyeri, dimana pleura parietal diinervasi oleh
saraf-saraf somatik yang merasakan nyeri karena trauma atau inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi dilepaskan ke ruang pleura yang memicu reseptor nyeri lokal. Pleura parietal pada
perifer dari tulang rusuk dan lateral hemidiafragma diinervasi oleh nervus intercostalis.
Trauma atau inflamasi di tempat tersebut menghasilkan nyeri terlokalisir di kutaneus yang
didistribusi oleh nervus tersebut. Sebaliknya, nervus phrenicus menginervasi diagragma
sentral dan mengantar nyeri ke leher ipsilateral atau pundak. 7

Pasien mengeluh sesak jika efusi luas, berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu.3 Keluhan
sesak ini timbul akibat terjadinya timbunan cairan dalam rongga pleura yang akan
memberikan kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya terganggu dan sesak tidak
disertai bunyi tambahan karena bronkus tetap normal. Makin banyak timbunan cairan maka
sesak makin terasa berat.8 Akumulasi cairan di dalam rongga pleura juga akan menyebabkan

13
gangguan restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi disebabkan
atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi cukup luas maka akan
mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan ventrikel kolaps diastolik.9

Jika fungsi pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal
biasanya jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami kompresi. 10

Efusi pleura sekunder akibat pleuritis TB biasanya unilateral dan memiliki ukuran
bervariasi. Pada penelitian tehadap 254 pasien, 18% dengan efusi lebih dari 2/3 hemitoraks,
47% antara 1/3 - 2/3 hemitoraks dan 34% kurang dari 1/3 hemitoraks. 3 Pleuritis tuberkulosa
merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus subpleural yang robek atau
melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya
unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. 11

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda efusi pleura, yaitu (pada sisi
yang sakit) dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal. Pada efusi dengan ukuran
yang besar terjadi peningkatan ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal
menggembung pada sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati vokal fremitus
berkurang atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru
dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati perkusi redup
dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada auskultasi
akan didapati suara napas yang melemah hingga menghilang tergantung ukuran efusi.
Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari penyebab jaringan
paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika terjadi iritasi di pleura, tetapi
kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai cairan terevakuasi. Sulit untuk menemukan
tanda-tanda efusi apabila efusi yang terjadi minimal gejala dan tanda klinis yang tidak
spesifik ini menjadi tantangan dalam diagnosis pleuritis TB. 3,9

Tuberkulosis ekstraparu lebih sering ditemukan pada pasien HIV dibandingkan pasien
tanpa HIV, sehingga tiap ditemukan kasus TB ekstraparu maka harus dipikirkan adanya

14
infeksi HIV. Pasien HIV gejala klinis TB dapat berbeda. Gejala yang perlu diperhatikan pada
3
TB-HIV adalah demam dan penurunan berat badan, sedangkan batuk bukan gejala umum.
Di Tanzania, ditemukan bahwa selang waktu gejala awal hingga diagnosis pleuritis TB lebih
panjang pada pasien HIV.1 Adanya pleuritis TB yang merupakan salah satu manifestasi TB
ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.

DIAGNOSIS

Diagnosis pleuritis TB berdasarkan pada ditemukan Mycobacterium tuberculosis


dicairan pleura, bahan biopsi pleura, atau granuloma pleura. Saat ini diagnosis pleuritis TB
dapat ditegakkan lebih mudah berdasarkan peningkatan kadar adenosine deaminasi (ADA)
cairan pleura. Algoritma pendekatan diagnosis pleuritis TB dapat dilihat pada gambar 3. 12

Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnosis pleuritis tuberkulosis..12

15
1. Foto Rontgen Dada

Foto rontgen biasanya menunjukkan gambaran efusi pleura unilateral minimal hingga
sedang. Gambaran sudut prenikokostalis tumpul pada posisi lateral jika cairan lebih dari
50 mL. Pada posisi posteroanterior (PA) sudut prenikokostalis tumpul apabila cairan
pleura lebih dari 200 mL(Gambar 4). Pada pasien anteroposterior (AP) terlihat gambaran
efusi jika cairan lebih dari 300 mL. 12

Gambar 4. Rontgen dada posteroanterior menunjukkan efusi pleura kiri. 12

2. Ultrasonography (USG)

Pemeriksaan USG dada lebih sensitif dari pemeriksaan-pemeriksaan rontgen. USG dapat
membantu melihat adanyapita-pita fibrin (fibrin bands), septa,, dan efusi pleura
berkantong (Gambar 5). USG dapat menentukan volume cairan lebih tepat daripada foto
rontgen, lokalisasi septa, membran, ruang pleura, dan penebalan pleura dan dapat
dilakukan di tempat tidur pasien. 12

16
Gambar 5. USG dada menunjukkan efusi pleura dengan inflamasi membran pada pleuritis
tuberkulosis. 12

3. CT Scan

Pemeriksaan ini lebih akurat untuk menentukan adanya lesi parenkimal, limfadenopati,
eksklusi penyakit lain, dan deteksi komplikasi yang berkaitan dengan pleuritis TB.
Sebanyak 20% pasien dengan efusi pleura TB memiliki penyakit parenkim paru pada
radiografi toraks, pada CT Scan toraks lebih dari 80% memiliki kelainan parenkim paru.
Penyakit parenkimal ini hampir selalu ditemukan pada sisi efusi pleura. Efusi pleura
berkantong dapat terjadi pada pleuritis TB yang dapat dideteksi melalui CT Scan. 12

Gambar 5. CT scan pada pleuritis tuberkulosis yang mendeteksi adanya pengumpulan


cairan pleura yang terlokasi besar di hemithorax lateral kanan bawah

17
4. Pemeriksaan Cairan Pleura

Pasien dengan efusi pleura unilateral baru harus menjalani torakosintesis diagnostik untuk
menentukan jenis efusi transudat atau eksudat dan unuk analisis cairan pleura.

1) Karakteristik Cairan Pleura

Karakteristik cairan pleura yang mengarah ke efusi pleura tuberkulosis adalah eksudat
dengan kadar protein cairan pleura >5 g/d, persentase sel limfosit cairan pleura bisa
rendah atau normal, pH cairan pleura >7,30, lactic acid dehydrogenase (LDH) cairan
pleura > LDH serum, dan sel mesotelial tidak lebih dari 5%. Kriteria Light digunakan
untuk menentukan jenis efusi pleura, transudat atau eksudat.

Efusi pleura eksudat jika memenuhi satu atau lebih dari kriteria Light tersebut:

1. Rasio LDH cairan pleura dengan LDH seru >0,6


2. Rasio protein cairan pleura dengan protein serum >0,5
3. LDH cairan pleura >2/3 dari batas atas normal LDH serum

2) Adenosine Deaminase/ ADA

Pemeriksaan kadar ADA cairan pleura mudah dan tidak mahal. ADA merupakan
suatu enzim limfosit T predominan yang berperan sebagai katalisator konversi
adenosine dan deoyadenosine menjadi iosine dan deoxyinosine. ADA adalah salah satu
penanda yang paling banyak digunakan pada kasus pleuritis TB. Dari hasil studi
metaanalisis terhadap 63 penelitian meliputi 2.796 pasien dengan pleuritis TB dan
5.297 pasien dengan efusi pleura non-TB, sensitivitas dan spesifisitas ADA untuk
diagnosis pleuritis TB adalah 92% dan 90%. Nilai batasan kadar ADA cairan pleura
yang paling banyak digunakan adalah 40 U/L. pemeriksaan ADA memiliki hasil positif
palsu pada efusi pleura non-tuberkulosis meliputi efusi parapneumonia, empiema, dan
keganasan (limfoma, karsinoma bronkoalveolar, mesotelioma). Jika kadar ADA >70
U/L maka diagnosis pleuritis TB dapat ditegakkn dan pleuritis TB dapat disingkirkan
jika kadar ADA <40 U/L. pada kasus kadar ADA antara 40-70 U/L, diperlukan biopsi
pleura atau torakoskopi untuk menegakkan diagnosis pleuritis TB dan menyingkirkan
penyakit lain. 12

18
3) Gamma Interferon/ γ-IFN

Pemerikasaan kadar γ-IFN cairan pleura juga sangat efisien untuk membedakan efusi
pleura tuberkulosis dan efusi pleura non tuberkulosis. Gamma interferon adalah adalah
sitokin yang dilepaskn dari limfosit T CD4+ yang teraktivasi yang dapat meningkatkan
aktivitas mikrobakterisidal dari makrofag. Pemeriksaan γ-IFN cairan pleura memiliki
sensitivitas 89% dan spesifisitas 97%. Pemeriksaan γ-IFN lebih jatrang digunakan
daripada pemeriksaan ADA karena lebih mahal dan belum ada nilai batasam jelas
untuk menegakkan diagnosis pleuritis TB. 12

5. Pegecatan dan Kultur Mycobacterial Tuberculosis

Pemeriksaan sputum pada pasien pleuritis TB tanpa lesi parenkimal memberikan hasil
negatif. Pemeriksaan mikroskopi terhadap BTA pada cairan pleura positif pada kurang
dari 10% pasien pleuritis TB. Pengecatan rutin cairan pleura untuk mikobakteria pada
individu tanpa penurunan daya tahan tubuh tidak diindikasikan karena hampir selalu
memberikan hasil negatif kecuali pasien empiema tuberkulosa. Pengecatan sebaiknya
dilakukan pada individu penurunan daya tahan tubuh. Hasil positif ditemukan pada 20%
pasien HIV. Kultur cairan pleura untuk mikobakteria harus dilakukan pada pasien efusi
pleura yang belum terdiagnosis. 12

6. Sitopatologi

Analisis histologi dan kultur mikobakteri jaringan biopsi pleura secara tradisional
menjadi standar baku diagnosis pleuritis TB. Biopsi pleura menggunakan jarum Cope/s
atau Abraham sensitif untuk pleuritis TB. Jika granuloma tidak ditemukan, harus
dilakukan pemeriksaan BTA pada biopsi pleura. Walaupum terdapat peyakit lain yang
menimbulkan pleuritis granuloma, seperti penyakit jamur, sarkoidosis, tularemia, dan
reumatoid pleuritis, lebih dari 95% pasien pleuritis granuloma memiliki tuberkulosis.
Biopsi jarang diindikasikan karena diagnosis pleuritis TB dapat dengan mudah ditegakkan
melaui pemeriksaan kadar ADA >70 U/L. bipsi pleura dapat berguna untuk diagnosis
pleuritis TB dan menyingkirkan penyakit pleura lainnya jika kadar ADA 40-70 U/L. 12

19
Untuk melihat morfologi dan hitung jenis sel, dimana pada pemeriksaan rutin
biasanya hanya membedakan dua golongan jenis sel yaitu golongan yang berinti satu yang
digolongkan dengan nama “limfosit” dan golongan sel polinuklear atau “segment”. Sel
yang dapat dijumpai antara lain : neutrofil, eosinofil, limfosit, monosit, makrofag, sel
plasma dan mesotel. Bila leukosit polimorfonuklear yang banyak dapat diduga adanya
infeksi non tuberkulosis, sedang limfosit yang meningkat dapat ditemukan pada
tuberculosis dan infeksi kronik, namun pada cairan efusi sangat sedikit mengandung
kuman tuberkulosis akibat reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, pada dinding
pleura juga dapat ditemukan adanya granuloma. Eosinofil dapat ditemukan pada penyakit
alergi seperti asthma dan penyakit parasit, pneumonia yang akan sembuh, pneumothorax,
infark pulmonum dan limfoma. Leukosit muda dapat ditemukan pada leukemia, leukosit
dan eritrosit muda dapat ditemukan pada hemopoesis ekstrameduler. 13,14,15

Gambar 6. Gambaran mikroskopik dari pemeriksaan sitopatologi

Pengambilan sanpel jaringan pleura juga dapat dilakukan melalui torakoskopi, namun
biasanya tidak dilakukan dalam diagnosis pleuritis TB. Torakoskopi dilakukan jika
gambaran klinis penyakit meragukan. Totakoskopi dapat dipandu video yang disebut video
assisted thoracoscopy surgery/VATS. VATS menampilkan seluruh permukaan pleura dan
melakukan intervensi seperti biopsi target, memutus septa, adhesionolisis, dan drainase
efusi. 12

20
KOMPLIKASI

Keterlambatan diagnosis dan penanganan pleuritis tuberkulosis akan menyebabkan


gangguan regulasi fibrin pada ruang pleura, selanjutnya terjadi pengendapan fibrin dan
pengantongan cairan pleura dan dapat mengganggu penyembuhan efusi pleura. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah empiema tuberkulosis, pneumotoraks sponran sekunder,
hidropneumotorax, kombinasi tuberkulosa dan bakteri, serta penebalan pleura residual. 12

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana pleuritis TB memiliki 3 tujuan, yaitu: 12

1. Mencegah perkembangan menjadi TB aktif,


2. Meredakan gejala
3. Mencegah fibrotoraks

Terapi berdasarkan panduan meliputi: 12

1. Keadaan umum pasien


2. Status HIV
3. Ada atau tidaknya penyakit parenkim paru terkait
4. Riwayat pengobatan obat antituberkulosis (OAT)
5. Kemungkinan organisme resisten obat

Tatalaksana pleuritis TB meliputi pemberian obat anti-tuberkulosis, terapi lokal, dan


kortikosteroid.

1. Obat Anti-Tuberkululosis (OAT)

Pengobatan pleuritis TB sama deengan panduan pengobatan TB paru kasus baru, yaitu
OAT kategori 1 selama 6 bulan terdiri dari 2 bulan dengan rifampisin, isoniazd,
pirazinamid, dan etambutol, dan 4 bulan dengan rifampisin dan isoniazid. Secara umum,
regimen OAT pada pasien dengan HIV adalah sama dengan pasien non-HIV. Pengobatan
pasien TB harus dipantau oleh petugas layanan kesehatan untuk memastikan tatacara
pemberian OAT yang benar yang dapat membantu mencegah berkembangnya
mikobakteria resisten. 12

21
2. Terapi Lokal

Jika pasien mengalami sesak akibat efusi pleura luas, dilakukan torakosintesis
terapeutik. Cairan dievakuasi seoptimal mungkin sesuai keadaan pasiren, evakuasi cairan
dapat diulang jika diperlukan. 12

Torakosentesis dapat dilakukan di ruangan, direkomendasikan menggunakan


panduans USG untuk mencegah komplikasi seperti pneumotoraks iatrogenic. Pada efusi
pleura tuberculosis berkantong, pemberian fibrinolitik dapat menurunkan derajat resiula
penebalan pleura. Drainasi efektif efusi pleura sejak awal dan pengobatan OAT tuntas
mempercepat klirens efusi pleura residual dan mempercepat perbaikan fungsi paru pada
pasien pleuritis TB dengan efusi berkantong simptomatik. Torakoskopi adalah Teknik
yang dapat memberikan akses penglihatan langsung secara invasi minimal ke ruang pleura
untuk menghisap cairan pleura, melepaskan perlengketan pada efusi pleura berkantong
dan untuk memasang chest tube pada regio yang terdapat cairan pleura. 12

3. Kortikosteroid

Peran kortikosteroid pada pengobatan pleuritis TB masih kontroversional. Beberapa


pemikiran rasional adalah bahwa kortikosteroid sebagai antiflamasi dapat memepercepat
penyerapan cairan efusi dan mencegah penebalan pleura. Penelitian Cochrane terbaru
menunjukkan belum ada cukup data untuk mendukung rekomendasi penggunaan
kortikostreoid pada pasien dengan pleuritis TB. Rekomendasi untuk pasien pleuritis TB
adalah jika gejala sistemik berat (demam, malaise, nyeri dada pleuritic) berlanjut setelah
torakosentesis, diberikan prednisone 80 mg/hari hingga gejala berkurang. Kortikosteroid
dapat diberikan dengan cara tapering off pada pleuritis eksudatif TB tanpa ada lesi paru. 12

22
4. Tatalaksana Komplikasi Pleuritis Tuberkulosis

Tube thatacostomy dilakukan pada efusi pleura tuberculosis dengan komplikasi


seperti empyema, pneumoroaks, atau hidropneumotoraks. Pada fistula bronkopleura akibat
TB diperlukan OAT dan drainase, torakostomi terbuka dan pleuropneurnonektorni untuk
eradikasi fistula dan empyema. Saat optimal intervensi bedah masih diperdebatkan,
beberapa pasien berespons terhadap pengobatan agresif untuk empyema tuberkulosa
primer, sehingga mencegah intervensi bedah. 12

Pleuropneumonektomi dapat sebagai prosedur pilihan pada empyema kronik dan


penyakit dengan kavitas tahap lanjut atau bronkektasis.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rodriguez EP, Light RW. Effusions From Infection :Tuberculosis. In Light


RW, Lee YCG, Editors.textook of pleural diseases. 2nd ed. London : Hodder
Arnold, 2008. P 365-75.
2. Bossink A. Extrapulmonary Tuberculosis. In: Palange P, Simonds AK,
Editors. Respiratory edicine. 2nd ed. ERS Handbook: HERMES; 2013. P 241-
6.
3. Light RW. Update On Tuberculosis Pleural Effusion. Respirology. 2010; 15. P
451-8.
4. InfoDATIN. Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Tuberkulosis. 2018. P 1-8.
5. Gapi A, Madhavan SM, Sharma SK, Sahn SA. Diagnosis And Treament Of
Tuberculosis Pleural Effusion in 2006. Chest 2007; 131(13). P 880-9.
6. Frank W. Tuberculous Pleural Effusion. Mahboub BH, Vats MG, Editors.
Tuberculosis – current issues in diagnosis and management. 2013.
7. Metlay JP, Kapoor WN, Fine MJ. Does this patient have community-acquired
pneumonia? Diagnosing pneumonia by history and physical examination.
JAMA. 1997;278(17):1440–1445
8. Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in
Pulmonary Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003.
9. Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. Roberts and Hedges’
Clinical Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition. Elsevier Saunders.
Philadelpia. 2014.
10. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess . Semin
Intervent Radiol 2011;28:75-86
11. Slamet H. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H, Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press ; Surabaya ; 2002.
12. Wesnawa, MA. Review Article : Diagnosis dan Tatalaksana Pleuritis
Tuberkulosis. Jakarta : CDK-240/vol. 43 No.5 th. 2016. P 341-5.

24
13. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV,jilid II. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2010:
2329-38.
14. Hardjoeno H, Fitriani M. Tes dan Interpretasi Cairan Pleura. Dalam: Substansi
dan Cairan Tubuh. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
2007: 67-83.
15. Wirawan R. Pemeriksaan dan Pelaporan Cairan Pleura dan Ascites.
Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM. Dibawakan pada 9th Quality
Seminar and Workshop In Laboratory Medicine. Jakarta.2011.

25

Anda mungkin juga menyukai