PLEURITIS TB
OLEH :
KELOMPOK 6 dan 12
1. Arizal Ramadhan C014182080
2. Muh. Fadli Kamaruddin C014182081
3. Vira Indira C014182082
4. Fathimah Adi Suryadi C014182132
5. Tsuraya Yaumil Mahdiyyah C014182141
6. Anidya Ghina M. C014182257
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Muh. Ayip
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Nurjannah Lihawa, Sp.P
1. Arizal Ramadhan
2. Muh. Fadli Kamaruddin
3. Vira Indira
4. Fathimah Adi Suryadi
5. Tsuraya Yaumil Mahdiyyah
6. Anidya Ghina M.
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A, IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. IM
Tanggal Lahir : 11/9/1997 (23 tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Medical Record : 083329
Tanggal Masuk : 1/10/19
Pekerjaan : IRT
B. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Nyeri dada kiri
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pasien masuk dengan keluhan nyeri dada bagian bawah sebelah kiri sejak 1 tahun
terakhir. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri tembus kebelakang. Nyeri dirasakan
semakin memberat sejak beberapa hari sebelum masuk rumah sakit. Membaik saat
duduk atau beristirahat. Nyeri biasanya muncul jika sedang beraktivitas berat. Sesak
tidak ada, Riwayat sesak tidak ada. Batuk tidak ada, Riwayat batuk lama disangkal.
Riwayat batuk darah tidak ada. Demam saat ini tidak ada. Riwayat demam ada. Nafsu
makan baik. Mual muntah tidak ada. Nyeri ulu hati ada. BAB dan BAK ada kesan
normal. Riwayat sering keringat malam ada. Riwayat merokok tidak ada. Hidup
dengan suami perokok. Riwayat penurunan BB dalam 3 bulan terakhir sebanyak 4 kg.
Riwayat konsumsi OAT sebelumnya tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita TB
disangkal. (Hasil sputum BTA 3x negatif).
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Riwayat HT dan DM tidak ada
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:
Tidak terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada
C. PEMERIKSAAN FISIS
-STATUS GENERALISATA:
Keadaan Umum : Sakit sedang / Gizi Kurang/ Composmentis (E4M6V5)
Tinggi badan : 153 cm
Berat badan : 36 kg
IMT : 15,38 kg/m2 (Severe underweight)
3
-TANDA VITAL:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Heart rate : 86 kali/menit
Respiratory rate : 24 kali/menit
Suhu (axilla) : 36,9 oC thoracolumbal
Saturasi : 97% tanpa modalitas
-HEAD TO TOE:
Kepala
Deformitas : Tidak ada
Kesimetrisan wajah : Simetris
Rambut : Kesan normal
Mata
Exophtalmus : Tidak ada
Konjungtiva : Pucat (-)
Kornea : Refleks kornea (+)
Enopthalmus : (-)
Sklera : Ikterus (-)
Hidung
Epistaxis : Tidak ada
Rhinorrhea : Tidak ada
Telinga
Pendengaran : Normal
Otorrhea : Normal
Mulut
Bibir : Kering (-)
Lidah : Kotor (-)
Tonsils : Tidak ada pembesaran
Pharing : Tidak Hiperemis
Leher
Lymph nodes : Tidak ada pembesaran
JVP : R+2 cmH2O posisi supine 30 derajat
Thyroid : Tidak ada pembesaran
Trakea : Tidak ada deviasi
Leher kaku : Tidak ada
4
Paru
Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis
Palpasi : Vokal fremitus menurun pada hemitoraks sinistra
setinggi
ICS V – basal.
Perkusi : Redup pada hemitoraks sinistra setinggi ICS V -
basal.
Auskultasi : Vesikuler, menurun pada hemithoraks sinistra
setinggi
ICS V – basal. Terdapat suara Egofoni pada
hemithorax sinistra. Rhonki dan wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dapat diraba, tidak ada thrill
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan bawah jantung ICS IV Parasternal dextra ICS IV
Batas kiri bawah jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultation : S 1/2 reguler; murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar, mengikuti gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan pada epigastrium. Hepar dan Limpa tidak teraba
Massa Tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Tympani (+)
Extremitas
Ekstremitas hangat
Tidak ada edema
5
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
HEMATOLOGY
Routine Hematology
6
5 MCV 82,4 80,0-97,0 fL
Sewaktu (-)
Sputum BTA 3x Pagi (-), Negatif (-)
Sewaktu II (-)
Tes Mikrobiologi
Pemeriksaan Sitopatologi
• Pemeriksaan Makroskopik
• Cairan serous xanthochrome sebanyak 17 ml
• Sedimen berwarna merah
7
• Pemeriksaan Mikroskopik
• Tidak terdapat sel-sel maligna
• Sediaan apusan cukup seluler terdiri dari sebaran sangat padat
sel-sel radang limfosit matur dan foamy histiosit
• Dengan latar belakang eritrosit
KESAN
• Negative for malignancy
• Peradangan granulomatous causa TB
D. DIAGNOSIS
PLEURITIS TB KASUS BARU ON TREATMENT KATEGORI 1 FASE INTENSIF
HARI KE-1
SEVERE UNDERWEIGHT
DISPEPSIA
E. PENATALAKSANAAN
Infus NaCl 0,9% 6 tpm
Injeksi Ranitidine 1 amp/12jam/ Intravena
4 FDC (HRZE) 2 tab/24 jam/oral
Farbion 1 amp/12 jam/drips
F. PLANNING
Konsul Gizi Klinik
Pantau efek samping pengobatan
8
BAB II
DISKUSI KASUS
PLEURITIS TB
PENDAHULUAN
Beberapa kesulitan penegakan diagnosis pleuritis TB yaitu gejala klinis yang tidak
spesifik dan pemeriksaan kultur MTB yang sering memberikan hasil negative. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, yaitu reaksi hipersensitivitas berperan
dalam pathogenesis pleuritis TB dan dapat menjelaskan fenomena pemeriksaan kultur yang
sering negative.Selain itu, metode diagnosis melalui analisa cairan pleura telah
dikembangkan untuk diagnosis pleuritis TB, salah satunya pemeriksaan kadar ADA. Pleuritis
9
TB dapat menimbulkan komplikasi fibrosis paru dan penebalan pleura residual, sehingga
diperlukan diagnosis dini yang akurat dan tatalaksana yang tepat.3
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan utama pada negara berkembang. Jumlah
kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang
terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada
fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan
hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. 4
Di area geografis dengan prevalensi TB tinggi, pleuritis TB lebih sering terjadi pada
penyakit primer atau post primer. Pleuritis TB lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan rasio 3:1, dan lebih sering terjadi pada usia muda. Efusi pleura TB terjadi
pada sekitar 5% pasien dengan infeksi Mycobacterium tuberculosis.5 Persentase pasien TB
dengan efusi pleura bervariasi di masing-masing negara di dunia. Di Afrika Selatan, 20%
pasien TB mengalami efusi pleura TB, sedangkan di Amerika hanya 3-5% pasien.3 Di
Indonesia dara pleuritis TB masih belum tersedia.
Insidens efusi pleura TB terbanyak pada laki-laki sesuai dengan epidemiologi dan
prevalensi TB. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Pada kasus ini
didapatkan pleuritis TB terjadi pada perempuan. Walaupun secara epidemiologi perempuan
cenderung lebih kecil daripada laki-laki, tetapi pada kasus didapatkkan faktor resiko dimana
pasien sering terpapar asap rokok yang merupakan salah satu faktor resiko TB.
Pasien dengan penurunan daya tahan tubuh juga lebih rentan menderita TB
dibandingkan dengan individu normal. Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) dan TB memiliki insidens efusi pleura yang lebih tinggi. TB merupakan penyebab
ketiga efusi pleura massif (12%) setelah keganasan (55%) dan pneumonia (22%).
Keterlibatan pleura pada pasien TB bervariasi antara 3-5% di Eropa Timur dan Amerika, dan
10
Amerika, dan 30% di negara berkembang dengan prevalensi HIV tinggi.3 Oleh karena itu,
pada kasus pasien HIV dengan efusi pleura perlu dicurigai infeksi plaura.
PATOFISIOLOGI
1. Saat protein tuberkulosa dimasukkan ke ruang pleura marmot sudah tersensitisasi ini
dengan cepat terjadi efusi pleura eksudatif
2. Saat marmot yang telah tersensitisasi ini diberi serum antilimfosit, perkembangan
efusi pleura langsung dapat ditekan
3. Kultur cairan pleura tehadap Mycobacterium tuberculosis pada sebagian besar pasien
efusi pleura TB adalah negatif.
11
Gambar 2. Mekanisme imunologi patogenesis pleuritis tuberkulosis. 6
Pada mekanisme masuknya protein MTB ke ruang pleura akan terjadi tahap awal
reaksi yang ditandai penyusunan cepat sel mesotelial dan interleukin (IL)-8 yang memediasi
masuknya polymorphonuclear (PMN) dalam bebeapa jam. Makrofag IL-1, IL-6, dan tumor
necrosis factor (TNF)- a turut serta dalam reaksi tahap awal. 6
Dalam kira-kira 3 hari memasuki tahap intermediate dari subpopulasi limfosit dengan
dominasi sel T helper CD4+ dan sel CD8+ sitotoksik (natural killer cells) dan menghasilkan
rasio sel CD4+/CD8+ sekitar 4,3. Beberapa reseptor yang juga berperan dalam tahap ini
meliputi reseptor sel T ganda negatif (double negative/DN) dari sel Taβ dan sel Tγδ yang
diduga memiliki fungsi regulasi. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa sel-sel T
CD4+CD25+ cairan efusi pleura TB berperan menekan sel T yang mempodksi IFN-γ
sehingga mencegah reaksi inflamasi berlebih. IFN-γ mepakan interleukin yang mendominasi
tahap ini yang berperan sebagai promotor kuat aktivasi makrofag dan pembentukan
granuloma. Sel T yang memproduksi IFN-γ telah diidentifikasi sebagai sel CDW29+
subpopulasi dan menjadi bagian substansial dari struktur inti granuloma.6 Hal ini
menunjukkan bahwa sel CDW29+ subpopulasi berperan penting dalam reaksi imunitas
tehadap M.TB.
Tahap akhir reaksi seluler ditandai dengan peningkatan produksi IFN-γ sehingga
terjadi pembentukan granuloma secara terus menerus. Beberapa inteleukin lain, yaitu IL-12,
IL-10, dan transforming growth factor-β, juga berperan dalam pembentukan granuloma
menunjukkan bahwa pembentukan granuloma pada tuberkulosis pleuritis akibat reaksi
12
hipersensitivitas yang memicu peningkatan kadar IFN-γ. Pemeriksaan kadar IFN-γ dapat
dijadikan sebagai penanda untuk mendiagnosis pleuritis TB. 6
Gejala klinis biasanya bersifat akut atau subakut dengan selang waktu dari gejala awal
hingga diagnosis kurang dari 1 bulan.1 Gejala paling sering adalah batuk (70%), biasanya
nonproduktif, dan nyeri dada pleuritik (70%) nyeri biasanya mendahului batuk. Hanya 15%
pasien yang tidak demam. 3
Pleura visceral tidak memiliki reseptor nyeri, dimana pleura parietal diinervasi oleh
saraf-saraf somatik yang merasakan nyeri karena trauma atau inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi dilepaskan ke ruang pleura yang memicu reseptor nyeri lokal. Pleura parietal pada
perifer dari tulang rusuk dan lateral hemidiafragma diinervasi oleh nervus intercostalis.
Trauma atau inflamasi di tempat tersebut menghasilkan nyeri terlokalisir di kutaneus yang
didistribusi oleh nervus tersebut. Sebaliknya, nervus phrenicus menginervasi diagragma
sentral dan mengantar nyeri ke leher ipsilateral atau pundak. 7
Pasien mengeluh sesak jika efusi luas, berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu.3 Keluhan
sesak ini timbul akibat terjadinya timbunan cairan dalam rongga pleura yang akan
memberikan kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya terganggu dan sesak tidak
disertai bunyi tambahan karena bronkus tetap normal. Makin banyak timbunan cairan maka
sesak makin terasa berat.8 Akumulasi cairan di dalam rongga pleura juga akan menyebabkan
13
gangguan restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi disebabkan
atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi cukup luas maka akan
mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan ventrikel kolaps diastolik.9
Jika fungsi pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal
biasanya jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami kompresi. 10
Efusi pleura sekunder akibat pleuritis TB biasanya unilateral dan memiliki ukuran
bervariasi. Pada penelitian tehadap 254 pasien, 18% dengan efusi lebih dari 2/3 hemitoraks,
47% antara 1/3 - 2/3 hemitoraks dan 34% kurang dari 1/3 hemitoraks. 3 Pleuritis tuberkulosa
merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus subpleural yang robek atau
melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura
bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya
unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. 11
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda efusi pleura, yaitu (pada sisi
yang sakit) dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal. Pada efusi dengan ukuran
yang besar terjadi peningkatan ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal
menggembung pada sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati vokal fremitus
berkurang atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru
dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati perkusi redup
dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada auskultasi
akan didapati suara napas yang melemah hingga menghilang tergantung ukuran efusi.
Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari penyebab jaringan
paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika terjadi iritasi di pleura, tetapi
kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai cairan terevakuasi. Sulit untuk menemukan
tanda-tanda efusi apabila efusi yang terjadi minimal gejala dan tanda klinis yang tidak
spesifik ini menjadi tantangan dalam diagnosis pleuritis TB. 3,9
Tuberkulosis ekstraparu lebih sering ditemukan pada pasien HIV dibandingkan pasien
tanpa HIV, sehingga tiap ditemukan kasus TB ekstraparu maka harus dipikirkan adanya
14
infeksi HIV. Pasien HIV gejala klinis TB dapat berbeda. Gejala yang perlu diperhatikan pada
3
TB-HIV adalah demam dan penurunan berat badan, sedangkan batuk bukan gejala umum.
Di Tanzania, ditemukan bahwa selang waktu gejala awal hingga diagnosis pleuritis TB lebih
panjang pada pasien HIV.1 Adanya pleuritis TB yang merupakan salah satu manifestasi TB
ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.
DIAGNOSIS
15
1. Foto Rontgen Dada
Foto rontgen biasanya menunjukkan gambaran efusi pleura unilateral minimal hingga
sedang. Gambaran sudut prenikokostalis tumpul pada posisi lateral jika cairan lebih dari
50 mL. Pada posisi posteroanterior (PA) sudut prenikokostalis tumpul apabila cairan
pleura lebih dari 200 mL(Gambar 4). Pada pasien anteroposterior (AP) terlihat gambaran
efusi jika cairan lebih dari 300 mL. 12
2. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dada lebih sensitif dari pemeriksaan-pemeriksaan rontgen. USG dapat
membantu melihat adanyapita-pita fibrin (fibrin bands), septa,, dan efusi pleura
berkantong (Gambar 5). USG dapat menentukan volume cairan lebih tepat daripada foto
rontgen, lokalisasi septa, membran, ruang pleura, dan penebalan pleura dan dapat
dilakukan di tempat tidur pasien. 12
16
Gambar 5. USG dada menunjukkan efusi pleura dengan inflamasi membran pada pleuritis
tuberkulosis. 12
3. CT Scan
Pemeriksaan ini lebih akurat untuk menentukan adanya lesi parenkimal, limfadenopati,
eksklusi penyakit lain, dan deteksi komplikasi yang berkaitan dengan pleuritis TB.
Sebanyak 20% pasien dengan efusi pleura TB memiliki penyakit parenkim paru pada
radiografi toraks, pada CT Scan toraks lebih dari 80% memiliki kelainan parenkim paru.
Penyakit parenkimal ini hampir selalu ditemukan pada sisi efusi pleura. Efusi pleura
berkantong dapat terjadi pada pleuritis TB yang dapat dideteksi melalui CT Scan. 12
17
4. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pasien dengan efusi pleura unilateral baru harus menjalani torakosintesis diagnostik untuk
menentukan jenis efusi transudat atau eksudat dan unuk analisis cairan pleura.
Karakteristik cairan pleura yang mengarah ke efusi pleura tuberkulosis adalah eksudat
dengan kadar protein cairan pleura >5 g/d, persentase sel limfosit cairan pleura bisa
rendah atau normal, pH cairan pleura >7,30, lactic acid dehydrogenase (LDH) cairan
pleura > LDH serum, dan sel mesotelial tidak lebih dari 5%. Kriteria Light digunakan
untuk menentukan jenis efusi pleura, transudat atau eksudat.
Efusi pleura eksudat jika memenuhi satu atau lebih dari kriteria Light tersebut:
Pemeriksaan kadar ADA cairan pleura mudah dan tidak mahal. ADA merupakan
suatu enzim limfosit T predominan yang berperan sebagai katalisator konversi
adenosine dan deoyadenosine menjadi iosine dan deoxyinosine. ADA adalah salah satu
penanda yang paling banyak digunakan pada kasus pleuritis TB. Dari hasil studi
metaanalisis terhadap 63 penelitian meliputi 2.796 pasien dengan pleuritis TB dan
5.297 pasien dengan efusi pleura non-TB, sensitivitas dan spesifisitas ADA untuk
diagnosis pleuritis TB adalah 92% dan 90%. Nilai batasan kadar ADA cairan pleura
yang paling banyak digunakan adalah 40 U/L. pemeriksaan ADA memiliki hasil positif
palsu pada efusi pleura non-tuberkulosis meliputi efusi parapneumonia, empiema, dan
keganasan (limfoma, karsinoma bronkoalveolar, mesotelioma). Jika kadar ADA >70
U/L maka diagnosis pleuritis TB dapat ditegakkn dan pleuritis TB dapat disingkirkan
jika kadar ADA <40 U/L. pada kasus kadar ADA antara 40-70 U/L, diperlukan biopsi
pleura atau torakoskopi untuk menegakkan diagnosis pleuritis TB dan menyingkirkan
penyakit lain. 12
18
3) Gamma Interferon/ γ-IFN
Pemerikasaan kadar γ-IFN cairan pleura juga sangat efisien untuk membedakan efusi
pleura tuberkulosis dan efusi pleura non tuberkulosis. Gamma interferon adalah adalah
sitokin yang dilepaskn dari limfosit T CD4+ yang teraktivasi yang dapat meningkatkan
aktivitas mikrobakterisidal dari makrofag. Pemeriksaan γ-IFN cairan pleura memiliki
sensitivitas 89% dan spesifisitas 97%. Pemeriksaan γ-IFN lebih jatrang digunakan
daripada pemeriksaan ADA karena lebih mahal dan belum ada nilai batasam jelas
untuk menegakkan diagnosis pleuritis TB. 12
Pemeriksaan sputum pada pasien pleuritis TB tanpa lesi parenkimal memberikan hasil
negatif. Pemeriksaan mikroskopi terhadap BTA pada cairan pleura positif pada kurang
dari 10% pasien pleuritis TB. Pengecatan rutin cairan pleura untuk mikobakteria pada
individu tanpa penurunan daya tahan tubuh tidak diindikasikan karena hampir selalu
memberikan hasil negatif kecuali pasien empiema tuberkulosa. Pengecatan sebaiknya
dilakukan pada individu penurunan daya tahan tubuh. Hasil positif ditemukan pada 20%
pasien HIV. Kultur cairan pleura untuk mikobakteria harus dilakukan pada pasien efusi
pleura yang belum terdiagnosis. 12
6. Sitopatologi
Analisis histologi dan kultur mikobakteri jaringan biopsi pleura secara tradisional
menjadi standar baku diagnosis pleuritis TB. Biopsi pleura menggunakan jarum Cope/s
atau Abraham sensitif untuk pleuritis TB. Jika granuloma tidak ditemukan, harus
dilakukan pemeriksaan BTA pada biopsi pleura. Walaupum terdapat peyakit lain yang
menimbulkan pleuritis granuloma, seperti penyakit jamur, sarkoidosis, tularemia, dan
reumatoid pleuritis, lebih dari 95% pasien pleuritis granuloma memiliki tuberkulosis.
Biopsi jarang diindikasikan karena diagnosis pleuritis TB dapat dengan mudah ditegakkan
melaui pemeriksaan kadar ADA >70 U/L. bipsi pleura dapat berguna untuk diagnosis
pleuritis TB dan menyingkirkan penyakit pleura lainnya jika kadar ADA 40-70 U/L. 12
19
Untuk melihat morfologi dan hitung jenis sel, dimana pada pemeriksaan rutin
biasanya hanya membedakan dua golongan jenis sel yaitu golongan yang berinti satu yang
digolongkan dengan nama “limfosit” dan golongan sel polinuklear atau “segment”. Sel
yang dapat dijumpai antara lain : neutrofil, eosinofil, limfosit, monosit, makrofag, sel
plasma dan mesotel. Bila leukosit polimorfonuklear yang banyak dapat diduga adanya
infeksi non tuberkulosis, sedang limfosit yang meningkat dapat ditemukan pada
tuberculosis dan infeksi kronik, namun pada cairan efusi sangat sedikit mengandung
kuman tuberkulosis akibat reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, pada dinding
pleura juga dapat ditemukan adanya granuloma. Eosinofil dapat ditemukan pada penyakit
alergi seperti asthma dan penyakit parasit, pneumonia yang akan sembuh, pneumothorax,
infark pulmonum dan limfoma. Leukosit muda dapat ditemukan pada leukemia, leukosit
dan eritrosit muda dapat ditemukan pada hemopoesis ekstrameduler. 13,14,15
Pengambilan sanpel jaringan pleura juga dapat dilakukan melalui torakoskopi, namun
biasanya tidak dilakukan dalam diagnosis pleuritis TB. Torakoskopi dilakukan jika
gambaran klinis penyakit meragukan. Totakoskopi dapat dipandu video yang disebut video
assisted thoracoscopy surgery/VATS. VATS menampilkan seluruh permukaan pleura dan
melakukan intervensi seperti biopsi target, memutus septa, adhesionolisis, dan drainase
efusi. 12
20
KOMPLIKASI
PENATALAKSANAAN
Pengobatan pleuritis TB sama deengan panduan pengobatan TB paru kasus baru, yaitu
OAT kategori 1 selama 6 bulan terdiri dari 2 bulan dengan rifampisin, isoniazd,
pirazinamid, dan etambutol, dan 4 bulan dengan rifampisin dan isoniazid. Secara umum,
regimen OAT pada pasien dengan HIV adalah sama dengan pasien non-HIV. Pengobatan
pasien TB harus dipantau oleh petugas layanan kesehatan untuk memastikan tatacara
pemberian OAT yang benar yang dapat membantu mencegah berkembangnya
mikobakteria resisten. 12
21
2. Terapi Lokal
Jika pasien mengalami sesak akibat efusi pleura luas, dilakukan torakosintesis
terapeutik. Cairan dievakuasi seoptimal mungkin sesuai keadaan pasiren, evakuasi cairan
dapat diulang jika diperlukan. 12
3. Kortikosteroid
22
4. Tatalaksana Komplikasi Pleuritis Tuberkulosis
23
DAFTAR PUSTAKA
24
13. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV,jilid II. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2010:
2329-38.
14. Hardjoeno H, Fitriani M. Tes dan Interpretasi Cairan Pleura. Dalam: Substansi
dan Cairan Tubuh. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
2007: 67-83.
15. Wirawan R. Pemeriksaan dan Pelaporan Cairan Pleura dan Ascites.
Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM. Dibawakan pada 9th Quality
Seminar and Workshop In Laboratory Medicine. Jakarta.2011.
25