Anda di halaman 1dari 24

Portofolio

Pneumothorax

Disusun oleh:
dr Vania Flowerina Hasyim

Pembimbing:
dr. Mochamad Reza Febrian Sp. B

PROGRAM INTERNSIP DOKTER IDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BREBES
2020

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................5


3.1 Definisi..................................................................................................5
3.2 Epidemiologi..........................................................................................5
3.3 Etiologi..................................................................................................5
3.4 Klasifikasi..............................................................................................6
3.5 Patogenesis............................................................................................7
3.6 Manifestasi Klinis..................................................................................8
3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.......................................................16
3.8 Tatalaksana..........................................................................................19
3.9 Prognosis ............................................................................................13

BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................14


2.1 Identitas Pasien....................................................................................14
2.2 Anamnesis...........................................................................................14
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital.....................................................................15
2.4 Pemeriksaan Fisik...............................................................................15
2.5 Diagnosis Klinis..................................................................................16
2.6 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................17
2.7 Diagnosis.............................................................................................19
2.8 Tatalaksana..........................................................................................19
2.9 Prognosis.............................................................................................20
2.10 Follow up.............................................................................................20

BAB IV DISKUSI..............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

DAFTAR TABEL

2
Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium
darah.....................................................17
Tabel 2. Follow up pasien
harian............................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon


dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam
rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi
pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal
rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan.(1)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru
leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pnumotoraks dapat terjadi spontan
atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder. (2)
Primer jika penyebab tidak diketahui, sedangkan sekunder jika terdapat latar
belakang penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu
yang iatrogenik dan bukan iatrogenik.(2)
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak dan
tidak diketahui. Perbandingan prevalensi pneumothorax pada pria dan wanita
adalah 5:1. Pneumotoraks spontan primer sering dijumpai pada individu sehat,
tanpa riwayat paru sebelumnya, dan lebih sering pada pria dengan usia dekade 3
dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus pneumotoraks
spontan primer berusia kurang dari 45 tahun.
Pada laporan kasus ini akan dibahas terutama tentang pneumotoraks
traumatik non iatrogenik yang terjadi pada pasien KLL.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam


cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga
paru-paru tidak mengembang dengan maksimal(1).
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(1).

3.2 Epidemiologi

Didapatkan dari literatur lain Pneumothorax lebih sering terjadi pada


penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada
wanita. Pneumothorax sering dijumpai pada musim penyakit batuk. (2) Kematian
akibat pneumothorax sekitar 12%.(2)
3.3 Etiologi

5
Etiologi trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebakan oleh
tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera
pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang
menimbulkan kebocoran udara ke rongga thorax. Pneumothorax dapat terjadi
berulang kali. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh(2), (3):
a. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut
sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.

b. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan


antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut disbanding traktus respiratorius yang seharusnya.
Sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan
menyebabkan kolaps pada paru ipsi lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga
dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut, kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax.

3.4 Klasifikasi
1. Pneumotoraks spontan(3)
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang
biasanya terdapat di daerah apeks paru. Faktor resiko utama adalah
merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter juga memegang peranan,
umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.
Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu
kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara patologis

6
membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang parunya
direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk
bulla yang dibatasi pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh
jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi oleh jaringan paru
emphiematous.
Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat
menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan
dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di daerah apeks
patu akibat tekanan pleura yang lebih negatif.
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valvepada
saluran nafas kecil sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.

b. Pneumothoraks spontan sekunder


Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying
lung disease). Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab
pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla
viseralis dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului.
Patogenesis pneumotoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya
terjadi akibat komplikasi PPOK, tuberkulosis, asma, penyakit paru
infiltratif lain (pneumonia supuratif, pneumocystis Carinii).
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada
pneumotoraks spontan primer, karena pada pneumotoraks spontan
sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya mendahuluinya.
2. Pneumothoraks Traumatika(3)
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam
di dinding dada.
3. Pneumothoraks Iatrogenik(3)
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat
punksi pleura, biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll

3.5 Patogenesis

7
Secara garis besar kesemua jenis pneumothorax mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama(1).
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau
shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya udara pada cavum
pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan
closed pneumothorax. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik
secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna.
Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada
saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara
terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup
terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi
jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena
penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumothorax(1), (4).
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk kedalam kavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat
dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang
bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting
udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya dapat timbulah
gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat
menyebabkan tension pneumothorax(1), (3).

3.6 Manifestasi Klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul pada
pasien pneumothorax adalah (3), (4), (5) :

8
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut, (3):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang
lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


- Miokardium infark akut(5) :
Napas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI
biasanya spesifik seperti di hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah
rahang, tangan kiri atau perut. Namun pasien dengan MI bisa juga
superinfeksi dengan penyakit paru.
- Emphysema(5) :
Kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga
berudara yang juga menyebabkan nafas yang pendek-pendek berkurangnya
asupan udara dan meningkatnya resonansi pada pemeriksaan. Emphysema

9
merupakan penyakit kronik, bedanya emphysema difus sedangkan
pneumothorax local, anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus
dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan (6), (7):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar.
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang,
suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.

10
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan
dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax

11
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.

3.8 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Primary survey dengan memperhatikan(6), (8) :
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation

Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar
dengan cara(6), (8) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan
berubah menjadi negative karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Mempuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1. Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai
kedalam rongga pleura, kemudian infuse set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
2. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastic
infuse set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi
air .

3. Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan

12
bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thorax kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleural tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi
tekanan negative sebesar 10-20 cm H2O.

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

13
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. JS
Umur : 25 tahun
Alamat : Ketanggungan RT04/RW04
Pekerjaan : Nelayan
Agama : Islam
Status : Belum menikah
CM : 784089
Tanggal Masuk : 05 April 2020
Tanggal Pemeriksaan : 06 April 2020

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Nyeri punggung kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 1
hari SMRS setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien kecelakaan saat mengendarai
motor sekitar jam 3 pagi di wilayah Bulakelor, pasien oleng dan saat berusaha
menghindari pengemudi lain, pasien ditabrak dari belakang oleh mobil. Pasien
tidak menggunakan helm dan mengaku mengkonsumsi alkohol sebelum
berkendara. Nyeri punggung kiri juga dikeluhkan pasien. Nyeri bertambah saat
pasien bergerak dan berkurang ketika pasien diam. Pasien meyangkal adanya
pingsan, pusing, mual, muntah proyektil, maupun nyeri di bagian tubuh lain. BAK
dan BAB pasien tidak ada keluhan.

14
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami kecelakaan, riwayat operasi, maupun
penyakit lain seperti diabetes maupun hipertensi sebelumnya.

Riwayat Penggunaan Obat


Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma, hipertensi, diabetes melitus dan alergi obat pada keluarga
pasien disangkal.

2.3 Pemeriksaan Tanda Vital


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 kali/menit
Frekuensi nafas : 24 kali/menit, regular
SpO2 : 98% room air
Suhu : 37° C

2.4 Pemeriksaan Fisik


 Kepala : Normocephal, Jejas (-)
 Wajah : Simetris, Edema (-), deformitas (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks
cahaya langsung (+/+)
 Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-),
 Hidung : Sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-/-), napas cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis perioral (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1 – T1.
 Leher : JVP tidak meningkat, retraksi suprasternal (-), pembesaran
KGB(-)
 Thorax anterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru

15
Inspeksi Bentuk: Asimetris, dada kiri sedikit lebih cembung
Gerak : Asimetris, dada kiri tertinggal, tipe pernapasan abdomino thoracal,
retraksi interkostal (-/-), jejas (-/+)

Palpasi
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: berkurang

Perkusi Sonor Hipersonor

Vesikuler berkurang, tidak sama


vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
Auskultasi dengan thorax dextra, rhonki (-),
(-),
wheezing (-), Vokal fremitus berkurang
Vokal fremitus normal

 Thoraks posterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi Bentuk: Asimetris, dada kiri sedikit lebih cembung, jejas (+/-), Deformitas
(+/-), Krepitasi (+/-)
Gerak : Asimetris, dada kiri tertinggal, retraksi interkostal (-/-),

Palpasi
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: melemah

Perkusi Sonor Hipersonor

Bunyi nafas vesikuler berkurang,


Bunyi nafas vesikuler (+), rhonki (-), tidak sama dengan thorax dextra,
Auskultasi
wheezing (-), Vokal fremitus normal rhonki (-), wheezing (-), Vokal
fremitus berkurang

 Jantung
Auskultasi : S1 S2 regular (+) Murmur (-), Gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Cembung normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lembut, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

 Ekstremitas :
 Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), CRT <2”
 Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), CRT <2”

16
2.5 Diagnosis Klinis
 Simple pneumothorax e.c trauma
 Hemopneumothorax e.c trauma

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah
Pemriksaan dilakukan pada tanggal 5 April 2020

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah


NILAI
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 16.3 12.0-15.0 g/dL
Hematokrit 45.1 37-47 %
Eritrosit 54.4 4.2-5.4 106/mm3
Leukosit 14.97 4.510.5 103/mm3
Trombosit 245 150-450 103/mm3
MCV 82.9 80-100 fL
MCH 30 27-31 pg
MCHC 36.1 32-36 %
Hitung Jenis:
Netrofil 82.7 50-70 %
Limfosit 10 25-50 %
Monosit 6 1-6 %
Eosinofil 0.2 1-4 %
Basofil 0.5 0-1 %
IMUNOLOGI
HBsAg Kualitatif Negatif Negatif
Anti HIV Non-Reaktif Non-Reaktif
KIMIA KLINIK
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 102 < 200 Mg/dL
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 24 10-50 mg/dL
Kreatinin 0.9 0.6—1.10 mg/dL
LIVER
SGOT 49 <37 U/L
SGPT 20 <37 U/L
ELEKTROLIT - Serum
Natrium (Na) 143 132-146 mmol/L
Kalium (K) 3.6 3.7-5.4 mmol/L
Klorida (Cl) 106 98-106 mmol/L
Calcium ion (Ca) 1.1 1.1-1.9

b) Foto Thorax
05 April 2020

17
Ekspertise:
Kontras foto cukup
Terdapat simple fraktur pada costae posterior sinistra 5 dan 6
Trakea di tengah, cor tidak membesar, sinus dan diafragma normal
Corakan bronkovaskuler normal,
Tampak area hiperlusen pada hemithorax kiri,
Sudut costopherinicus kiri dan kanan tajam

Kesan:
Pneumothorax sinistra + fraktur costae 4 dan 5

18
c) Foto Abdomen

Ekspertise :
Preperitoneal fat dalam batas normal
Psoas line jelas
Kontur ginjal licin
Distribusi udara intestinal dalam batas normal

Kesan :
Foto abdomen dalam batas normal

2.7 Diagnosis
Pneumothorax sinistra + fraktur costae 4 dan 5 e.c trauma

2.8 Tatalaksana
 IVFD Ringer Laktat 20tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam
 Pemasangan WSD

19
2.9 Prognosis
Dubia ad bonam.

Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian
Tanggal/hari
Catatan Instruksi
rawat
Selasa S/ Sesak (-),nyeri di tempat pemasangan Th/
07/04/2020 WSD (+), nyeri punggung (+) saat  IVFD RL 20 gtt/menit
H2 digerakkan  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
O/ VS: TD : 110/70 mmHg  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
HR : 87 x/menit
RR : 20 x/menit Planning:
T : 36,5 C - Terapi lanjut
SpO2 : 99% nasal cannule 2 lpm
Paru
I: Bentuk dan Gerak : Simetris
P: TF (+/+)
P: sonor/sonor
A VBS kanan=kiri, Rh (-/-), Wh (-/-)

Terpasang WSD : Air bubble (+),


Undulasi (+), Produksi: Initial blood 3ml

A/ Pneumothorax Sinistra + fraktur


costae 4 dan 5 e.c trauma H+1 WSD
Rabu S/ Sesak (-), nyeri di tempat pemasangan Th/
08/04/2020 WSD (+), nyeri punggung (+) saat  IVFD RL 20 gtt/menit
H3 digerakkan  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
O/ VS: TD : 110/70 mmHg  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit Planning:
T : 36,5 C - Besok boleh pulang jika
SpO2 : 98% room air tidak ada cairan yang
I: Bentuk dan Gerak : Simetris keluar dari WSD
P: TF (+/+) - Terapi lain lanjut
P: sonor/sonor
A VBS kanan=kiri, Rh (-/-), Wh (-/-)

Terpasang WSD : Air bubble (+),


Undulasi (+), Produksi (-)

A/ Pneumothorax Sinistra + fraktur


costae 4 dan 5 e.c trauma H+2 WSD
Kamis S/ Sesak (-), nyeri di tempat pemasangan Th/
09/04/2020 WSD (+), nyeri punggung minimal saat  IVFD RL 20 gtt/menit
H4 digerakkan  Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
 Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
O/ VS: TD : 110/70 mmHg  Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit Planning:
T : 37 C - Lepas WSD
SpO2 : 98% room air - Pasien diperbolehkan

20
I: Bentuk dan Gerak : Simetris pulang, edukasi untuk
P: TF (+/+) kontrol 1 minggu lagi ke
P: sonor/sonor poli terkait fraktur costae
A VBS kanan=kiri, Rh (-/-), Wh (-/-) - Obat pulang:
Cefixime 2x500mg
Terpasang WSD : Air bubble (+), Asam mefenamat 2x500mg
Undulasi (+), Produksi (-) Vit B Complex 1x1tab

A/ Pneumothorax Sinistra + fraktur


costae 4 dan 5 e.c trauma, H+3WSD

21
BAB IV
DISKUSI

Telah diperiksa pasien laki-laki dengan inisial Tn. JS usia 25 tahun datang
ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Brebes dengan keluhan sesak napas. Sesak
dirasakan sejak 1 hari yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien
kecelakaan saat mengendarai motor dalam keadaan mabuk kemudian oleng dan
ditabrak dari belakang oleh mobil. Pasien juga mengeluhkan nyeri dada kiri dan
punggung kiri yang memberat saat pasien bergerak dan berkurang saat pasien
istirahat. Pingsan, pusing, mual, muntah proyektil, maupun nyeri di bagian tubuh
lain disangkal, BAB dan BAK pasien normal.
Dari hasil anamnesa pasien dicurigai menderita pneumothorax e.c trauma.
Diagnosis pneumothorax dibuat berdasarkan adanya sesak napas, nyeri dada, dan
riwayat kecelakaan pasien. Pada pemeriksaan fisik dada kiri tambang lebih
cembung, fremitus taktil melemah, hipersonor, dan suara napas menjauh pada sisi
dada yang sakit. Pada saat diperkusi terdengar suara hipersonor yang disebabkan
oleh udara yang berada pada rongga pleura. Udara yang terperangkap dalam
rongga pleura dapat menyebabkan paru kolaps sehingga ketika diperiksa suara
napas terdengar menjauh dan fremitus taktil melemah (4). Pasien juga dicurigai
mengalami fraktur pada costae posterior karena ada keluhan nyeri saat
menggerakkan punggung. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya
deformitas dan jejas serta krepitasi pada punggung kiri.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini meliputi foto
thorax, foto polos abdomen dan laboratorium. Hasil foto thorax didapatkan
adanya area hiperlusen pada hemithorax kiri dan paru kiri kolaps. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil peningkatan leukosit (14.97) dan
peningkatan neutrophil pada hitung jenis (82.7) yang mengindikasikan adanya
infeksi sekunder.
Tujuan utama penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Tindakan dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumothorax yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura

22
dengan udara luar(6), (8)
. Penatalaksanaan pada kasus ini sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan pneumothorax, pasien dilakukan tindakan dekompresi
menggunakan pipa water seal drainage (WSD).
Pada pasien ini diberikan juga antibiotic untuk infeksi sekunder dan juga
profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk
mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema dan infeksi (3). Pada pasien ini
diberikan injeksi ceftriaxon 1 gr/12 jam.
Selain itu, pasien juga diberikan injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam yang
merupakan golongan antihistamin (H2-antagonist) Ranitidine diberikan pada
pasien untuk menekan stress metabolic yang terjadi pada pasien. Stress metabolic
sering terjaid pada pasien akibat kegagalan organ dan menurunkan prostaglandin
hingga pada akhirnya akan meningkatkan produksi asam lambung. Pasien dengan
posisi tirah baring rentan akan terjadinya refluks asam lambung ke esophagus
akibat gravitasi. Pasien juga diberikan ketorolac 1amp/8jam untuk meredakan
nyeri.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC; 2012. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed
Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press; 2007. p. 56
7. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.
8. Prabowo, A.Y.(2010, Desember 20). Water Seal Drainage Pada
Pneumothorax Post Trauma Dinding Thorax. Bagian Ilmu Penykit Dalam.
RSUD Panembahan Senopati Bantul; 2010.
9. Schwartz's Principles Of Surgery: ABSITE And Board Review. New York :
McGraw-Hill Medical, 2011.
10. Clancy K, dkk. Blunt cardiac injury: an Eastern Association for the Surgery
of Trauma Practice management guideline

24

Anda mungkin juga menyukai