Anda di halaman 1dari 6

Sanggiani

| Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

Penatalaksanaan Pneumotoraks Spontan Sinistra pada Lanjut Usia



Sanggiani Diah Aulia
Faculty of Medicine, Universitas Lampung

Abstrak
Pneumotoraks spontan adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura yang dapat menyebabkan paru
kolaps baik total maupun sebagian tanpa didahului adanya trauma sebelumnya. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi
primer dan sekunder berdasarkan adanya penyakit paru yang mendasari, pneumotoraks spontan primer jika tidak terdapat
latar belakang penyakit paru yang mendasari dan disebut pneumotoraks spontan sekunder bila terdapat latar belakang
penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks spontan primer merupakan masalah global, dimana dilaporkan terdapat 1828/100.000 per tahun pada pria dan 1,2-6/100.000 per tahun pada wanita.Pada kasus penderita mengeluh sesak nafas,
nyeri dada, dan batuk non produktif. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan retraksi otot interkostal, dengan sela iga yang
melebar, vesikuler yang melemah dan suara hipersonor pada paru yang kolaps. Dilakukan foto rontgen dada posisi PA,
dimana diagnosis pneumotoraks akan tegak karenadidapatkan daerah yang hiperlusen dibandingkan daerah yang sehat.
Penatalaksanaan yang dilakukan sesuai dengan luas permukaan paru yang kolaps, yaitu pemasangan WSD karena luas paru
yang kolaps lebih dari 2 cm.

Kata kunci: pneumotoraks, pneumotoraks spontan, underlying disease

Management of Spontaneous Pneumothorax Sinistra in Elderly


Abstract
Spontaneous pneumothorax is defined as presence of air in the pleural cavity with secondary lung collapse, even it is total
or partial without trauma before. Spontaneous pneumothorax is divided into primer and secondary based in the underlying
disease of the lung, primarly spontaneous pneumothorax if it does not have the underlying disease of the lung, and
secondary spontaneous pneumothorax is if it has underlying disease of the lung.Primary spontaneous pneumothorax
remains a significant global problem, occurring in healthy subjects with a reported incidence of 18-28/100.000 per year for
men and 1,2-6/100.000 per year for women. In the case, patient had complaints, such as heavy breathing, chest pain, and
dry chough. Intercostal muscle retraction, increasing size of intercostal space, the weakness of vesiculer soundsand
hypersonor sounds on the collaps lung were found. Chest radiograph in PA positionshowed the hiperluscent area, so the
diagnosis of the pneumothorax is true. The management of pneumothoraxwas based on the area from the collapse lung, it
was having an WSD in the collapse lung because the area was more than 2 cm.

Keywords: pneumothorax, spontaneous pneumothorax, underlying disease

Korespondensi: Sanggiani Diah Aulia, S.Ked, Jln. Bumi Manti 3, Asrama Danyca, 085789618441,
sanggianidiahaulia28@gmail.com

Pendahuluan
Pneumotoraks spontan adalah keadaan
terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura yang dapat menyeb abkan paru kolaps
baik total maupun sebagian tanpa didahului
adanya trauma pada dada sebelumnya.1-3
Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer
dan sekunder berdasarkan adanya penyakit
paru yang mendasari, pneumotoraks spontan
primer jika tidak terdapat latar belakang
penyakit paru yang mendasari dan disebut
pneumotoraks spontan sekunder bila terdapat
latar belakang penyakit paru yang
mendasari.3-5
Berdasarkan
penyebabnya,
pneumothorakas
dibagi
menjadi
pneumotoraks spontan, traumatik, dan
iatrogenik.4,6
Pneumotoraks
spontan

merupakan jenis pneumotoraks yang paling


banyak ditemukan dengan kecenderungan
semakin
meningkat
dan
merupakan
kegawatdaruratan paru.7,8 Angka kejadian
primary spontaneous pneumothorax (PSP) di
Inggris adalah 24 per 100.000 penduduk untuk
laki-laki dan 9,8 per 100.000 penduduk per
tahun untuk perempuan.8
Kasus pneumotoraks lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan.8-10
Pada penelitian di Pakistan didapatkan kasus
pneumotoraks pada laki-laki sebanyak 63,58%
dan perempuan sebanyak 36,42%, sesuai
penelitian dapatkan kasus pneumotoraks lakilaki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan
rerata umur 49,13 tahun pada penelitian
Khan.10
Sedangkan
angka
kejadian
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015 | 155

Sanggiani | Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

pneumotoraks di Indonesia sulit diketahui


karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, terjadi spontan dan tiba-tiba. Pria
mempunyai risiko lebih besar terkena
pneumotoraks spontan daripada wanita
dengan perbandingan kurang lebih 5:1. Pada
suatu penelitian yang dilakukan oleh Nugroho
tahun 2007, di RS dr. Karyadi Semarang
ditemukan 79 kasus pneumotoraks spontan
tipe primer dan 59 kasus pneumotoraks
spontan tipe sekunder.9,11
Pneumotoraks spontan dijumpai pada
rentang usia yang bervariasi. Pneumotoraks
familial
sering
juga
menimbulkan
pneumotoraks spontan, diduga berhubungan
dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)
haplotipe A2, B40 dan alfa-1 antitripsin
fenotip M1M2, namun menurut penelitian,
pneumotoraks familial ini justru lebih banyak
terjadi pada wanita daripada pria.11-13
Terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi timbulnya pneumotoraks
spontan, diantaranya usia, jenis kelamin,
pneumonia, sarkoidosis, penyakit membran
hialin pada neonatus, abses paru, tumor paru,
asma, kistik fibrosis, benda asing, dan adanya
bula paru.5,11,13
Gejala klinis yang timbul dapat
bervariasi, mulai dari yang paling ringan
sampai yang paling berat, tergantung dari
masing-masing individu. Penderita mengeluh
sesak nafas, nyeri dada, batuk non produktif,
bahkan sampai batuk darah. Oleh karena itu
diperlukan terapi yang bervariasi, mulai dari
observasi sampai tindakan bedah.5,7,11,14

Kasus
Pasien laki-laki 36 tahun datang ke UGD
RSUD Abdoel Moeloek pada tanggal 27 Maret
2015. Pasien ditemani oleh istrinya
menceritakan bahwa sejak 6 hari yang lalu
mengeluhkan adanya sesak napas dan
memburuk 3 hari sejak masuk rumah sakit
(SMRS), sesak napas tidak dipengaruhi oleh
udara, aktivitas, namun dipengaruhi oleh
posisi tidur, pasien mengaku kesulitan
bernapas saat posisi tidur menghadap ke
sebelah kiri, namun akan terasa tidak sesak
bila bernapas kesebelah kanan atau dalam
keadaan terlentang. Kesulitan bernapas tidak
diperburuk apabila menaiki tangga. Selain
keluhan ini pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri pada dada sejak 6 hari yang lalu
bersamaan dengan adanya sesak pada dada,
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|156

nyeri dada dirasakan seperti tertusuk dan


seperti tertindih, nyeri dada tidak menjalar ke
bahu sebelah kiri, ke dagu, maupun tidak
menembus ke punggung. Nyeri pada dada
dirasakan memberat saat pasien batuk, pasien
mengaku mengalami batuk sejak 3 hari yang
lalu, batuk dirasakan jarang-jarang dan batuk
merupakan batuk kering, tidak ada dahak,
tidak ada darah. Pasien menceritakan bahwa
tanggal 27 Maret 2015 pasien sudah
melakukan pengobatan ke praktik dokter
umum, lalu disarankan untuk dilakukan
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan foto
rontgen, kemudian pada tanggal 28 Maret
2015 pasien melakukan pengobatan ke Rumah
Sakit Umum (RSU) Kota Bandar Lampung, dan
dilakukan EKG dan foto rontgen, kemudian
pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Abdoel Moeloek. Di RSUD Abdoel
Moeloek, pasien dirawat di ruang paru. Pasien
menceritakan tidak pernah dirawat di ruang
paru sebelumnya, pasien juga tidak pernah
mengalami hal ini sebelumnya, tidak pernah
menderita batuk yang lama, batuk darah, dan
batuk berdahak, pasien juga mengaku tidak
pernah melakukan pengobatan TB, selain itu
pasien mengaku tidak ada penurunan berat
badan dan tidak pernah berkeringat pada
malam hari. Pasien mengaku seorang perokok
aktif sejak usia 15 tahun, dan menghabiskan
rata-rata 1 bungkus rokok perhari.
Pasien mengaku dalam keluarga tidak
ada menderita penyakit yang sama, tidak ada
dikeluarga yang melakukan pengobatan
tuberkulosis (TB), dan mengalami batuk lama.
Selain itu pasien mengaku tidak ada penyakit
hipertensi dan diabetes melitus dalam
keluarga, namun pasien mengaku adanya
riwayat hiperkolesterol dalam keluarga.
Pasien merupakan wiraswasta dan
mengaku 3 bulan yang lalu dadanya pernah
tertimpa oleh balok kayu ketika sedang
bekerja, saat itu kayu menimpa pada bagian
dada kiri, dan hanya meninggalkan memar
saja, namun tidak ada keluhan saat itu, oleh
karena itu tidak melakukan pengobatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaaan umum tampak sakit sedang, terlihat
sesak, tekanan darah 120/70 mmHg, suhu
36,6oC, nadi teraba kuat, isi dan tegangan
cukup, reguler, equal kanan dan kiri, frekuensi
100x/menit,
tipe
pernapasan
abdominothorakal dengan bantuan otot
pernapasan dengan frekuensi 28x/menit,

Sanggiani | Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

berat badan 62 kg, tinggi badan 172cm, status


gizi baik.
Kepala bentuk normochepal, hitam,
rambut tersebar merata, mengkilat, dan tidak
mudah tercabut. Mata tak tampak konjungtiva
pucat, sklera anikterik. Telinga dan hidung dan
mulut dalam batas normal. Leher tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan toraks, pada inspeksi
didapatkan pergerakan tidak simetris antara
paru kanan dan paru kiri dimana didapatkan
paru kiri tampak tertinggal dan terlihat tidak
dapat mengembang, tampak adanya retraksi
dari otot-otot pernapasan, yaitu otot
interkostal. Pada palpasi didapatkan fremitus
taktil kanan normal, sedangkan fremitus taktil
kiri menurun. Pada perkusi didapatkan pada
toraks sebelah kanan didapatkan suara sonor,
sedangkan pada paru sebelah kiri didapatkan
hipersonor. Suara paru dasar vesikular kanan
terdengar kuat dan suara paru dasar vesikuler
pulmo kiri menurun. Pada jantung ictus cordis

tidak terlihat dan tidak teraba, batas jantung


normal, bunyi jantung pada pemeriksaan
auskultasi reguler, tidak terdengar bunyi
jantung melemah, ataupun tidak terdengar
bunyi jantung tambahan. Abdomen dalam
batas normal. Ekstremitas superior dan
inferior dalam batas normal, tidak edema, dan
akral hangat. Status neurologis, refleks
fisiologis normal, refleks patologis negatif.

Lalu dilakukan pemeriksaan foto
rontgen toraks posterior anterior (PA) dan
didapatkan hasil yaitu pada paru kiri terlihat
sela iga melebar dibandingkan paru sebelah
kanan, pada paru kiri terlihat daerah yang
lebih lusen dari paru kanan, dimana corakan
vaskuler pada paru sebelah kiri menghilang,
dan didapatkan daerah paru yang kolaps
mendekati hilus, dan ketika dihitung luas paru
yang kolaps lebih dari 2 cm, jantung dalam
batas normal. Hasil pemeriksaan EKG dalam
batas normal.

Gambar 1. Foto Rontgen Toraks Posterior Anterior


Pasien
didiagnosis
sebagai
pneumotoraks spontan kiri, dan kemudian
dilakukan pemasangan water seal drainage
(WSD).
Pemasangan WSD dilakukan pada sela
iga 5 di depan garis midaksila, kemudian
dilihat apakah terdapat adanya undulasi
ataupun
darah
yang
menandakan
15-17
keberhasilan WSD.
Kemudian dilakukan
terapi yaitu berupa meniup balon untuk
latihan mengembangkan paru yang kolaps.18,19
Pada pasien diberikan tindakan
fisioterapi
meniup
balon
untuk
mengembangkan paru, dan juga sebagai
terapi suportif diberikan pemberian antibiotik

ceftriakson 1 gram/12 jam dan analgetik asam


mefenamat 500 mg per oral saat terasa nyeri.

Pembahasan
Diagnosis penyakit pada pasien ini
adalahpneumotoraks spontan kiri. Dasar
diagnosissecara teori ditegakkan berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
15
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis kita akan menemukan
bahwa gejala yang ditimbulkan dan ada atau
tidaknya penyakit paru yang mendasari,
sedangkan pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan pergerakan napas yang tertinggal
pada paru yang sakit, kemudian akan terlihat
adanya retraksi, suara napas dasar vesikuler
akan melemah pada sisi yang sakit, dan akan
didapatkan fremitus taktil yang juga akan
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|157

Sanggiani | Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

menghilang, pada perkusi akan ditemukan


suara hipersonor pada paru yang kolaps.14-16
Pada pasien didapatkan keluhan sesak
napas sejak 6 hari SMRS yang makin lama
makin memberat, tidak dipengaruhi oleh
aktivitas dan cuaca, disertai adanya nyeri dada
sejak 6 hari yang sama dan makin memberat
sejak 3 hari ini, nyeri dada dirasakan seperti
tertusuk dan tertekan namun tidak menjalar
ke bahu sebelah kiri dan tidak menjalar ke
bahu dan tidak menembus ke punggung yang
menggugurkan
diagnosis
pembanding
penyakit jantung, keluhan nyeri pada dada
diperberat dengan adanya batuk, batuk
dirasakan sejak 3 hari SMRS tidak ada dahak,
ataupun darah sehingga hal ini akan
menyingkirkan diagnosis pneumotoraks akibat
penyakit paru seperti TB.
Pemeriksaan fisik toraks, pada
inspeksi didapatkan pergerakan tidak simetris
antara paru kanan dan paru kiri, paru kiri
tertinggal dari paru kanan dan terlihat tidak
dapat mengembang. Pada palpasi diadapatkan
fremitus taktil kanan normal, sedangkan
fremitus taktil kiri menurun. Pada perkusi
didapatkan pada toraks sebelah kanan
didapatkan suara sonor sedangkan pada paru
sebelah kiri didapatkan hipersonor. Suara paru
dasar vesikular kanan terdengar kuat dan
suara paru dasar vesikuler pulmo kiri
menurun.

Pemeriksaan
penunjang
yang
dilakukan adalah pemeriksaan rontgen dada
PA, akan didapatkan daerah yang lebih lusen
pada paru yang kolaps.20 Kemudian dari hasil
rontgen dapat dihitung luas paru yang kolaps
untuk menentukan adanya tindakan yang
akan dilakukan selanjutnya apakah akan
dilakukan tindakan observasi dan pemasangan
WSD atau needle decompression.14,15 Pada
kasus, foto rontgen didapatkan adanya
gambaran hiperlusen pada paru sebelah kiri,
gambaran corakan bronkovaskuler yang
menghilang dan adanya paru sebelah kiri yang
kolaps mendekati hilus pada paru sebelah kiri.
Pemeriksaan lain yang dianjurkan
adalah pemeriksaan basil tahan asam (BTA)
sputum sewaktu pagi sewaktu, untuk
mengeliminasi
apakah
penumotoraks
merupakan pneumotoraks sekunder yang
disebabkan karena adanya TB.20,21
Manajemen
penatalaksanaan
pneumotoraks adalah dengan melakukan
aspirasi untuk tindakan awal bila didapatkan
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|158

luas pneumotoraks >2 cm, yaitu dengan cara


menghitung antara jarak apeks dan kupula14,22
dan jarak antara dinding toraks dengan tepi
paru yang kolaps.14,23 Aspirasi dilakukan
dengan melakukan needle decompression
pada ICS 2 midklavikula pada dinding toraks
yang mengalami kolaps pada paru kemudian
untuk menstabilkan supaya paru tidak kembali
kolaps dilakukan pemasangan WSD pada paru
yang kolaps.24 Pemasangan WSD dilakukan
dengan menusukkan aboket 8,14,24 Fr pada
ICS 5 depan garis midaksila paru yang kolaps,
pemasangan WSD ini bertujuan untuk
membuat tekanan negatif pada cavum pleura
(normalnya 7 mmHg) sehingga paru dapat
mengembang.11,22-25 Pada pasien ini dilakukan
pemasangan aboket nomor 24 pada paru
sebelah kiri ICS 5 depan garis midaksila
sinistra. Kemudian terapi suportif lainnya
adalah dengan menggunakan obat anti nyeri
dan juga menggunakan antibiotik untuk
mencegah adanya infeksi sekunder pada
pneumotoraks yang telah dilakukan WSD.
Pada pasien ini diberikan antibiotik ceftriakson
1 gram/12 jam. Pemberian antibiotik pada
kasus pemasangan WSD pada pneumotoraks
tidak terdapat dalam guideline pneumotoraks
menurut British Guideline of Pneumotoraks
2010, namun pemberian antibiotik yang
dilakukan pada setiap rumah sakit berfungsi
untuk mencegah adanya suatu infeksi
nosokomial
sehingga
pemberian
ini
diperbolehkan. Pemberian analgetik juga tidak
terdapat pada guideline, pemberian ini hanya
ditujukan untuk kenyamanan pasien.
Kemudian dilakukan terapi batuk dan tiup
balon untuk menjaga agar paru dapat
mengembang.25 Pada guideline, terapi batuk
dianjurkan
untuk
mengembalikan
pengembangan paru, dengan cara membuat
tekanan negatif pada cavum pleura.9,11,24,25,27
Terapi tiup balon merupakan salah satu
aplikasi dari terapi pursed lip breathing, yaitu
latihan pernapasan dengan menghirup udara
melalui hidung dan mengeluarkan udara
dengan cara bibir lebih dirapatkan atau
dimonyongkan dengan waktu ekshalasi lebih
diperpanjang, dengan tujuan membantu
pasien memperbaiki transpor oksigen,
menginduksi pola napas lambat dan dalam,
membantu pasien untuk memperpanjang
ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan
napas selama ekspirasi, dan mengurangi
jumlah udara yang terjebak.27 Pada pasien ini

Sanggiani | Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

juga dilakukan terapi tiup balon untuk


pengembangan paru dilakukan selama
setidaknya 1 minggu, untuk mencegah
terjadinya paru kembali kolaps.

Simpulan
Pneumotoraks merupakan salah satu
kegawat daruratan dalam system respirasi.
Diagnosis pada kasus sudah sesuai dengan
beberapa yang ada. Peumotoraks terjadi
akibat factor risiko internal dan eksternal yang
memicu terjadinya pneumotoraks dan hal ini
telah dinyatakan oleh beberapa teori yang
menjadi sumber acuan. Manajemen
pneumotoraks dilakukan dengan tatalaksana
medikamentosa dan non-medikamentosa.

Daftar Pustaka
1. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks
spontan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Edisi
ke-4.
Jakarta:
Pusat
Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia; 2006. hlm. 1073-8.
2. Stewart M, Scott, Takaro T. The pleura
and empyema. Dalam: Sabiston DC,
editor. Sabiston textbook of surgery the
biological basis of modern surgical
practice: disorder of the lungs, pleura,
and chest wall. Edisi ke-15. Philadelphia:
WB Saunders Company; 1997. hlm. 18308.
3. Klaran HR. Pneumotoraks spontan.
Dalam: Kumpulan karya ilmiah residen
bagian bedah sub bagian toraks vaskuler
rumah sakit dr. Kariadi Semarang; 2006.
4. Chang AK, Barton ED. Pneumothorax
iatrogenic, spontaneous, and pneumo
mediastinum [internet]. USA: Chang and
Associates; 2012 [diakses tanggal 12 Mei
2015].
Tersedia
dari:
http://www.emedicine.com/.
5. Butler KF, Dubose JJ, Otten EJ, Bennet DR,
Gerhardt RT, Kheirabadi BS, et al.
Management of open pneumothorax in
tactical combat casualty caare TCCC
Guideline Change 13-02. J Spec Oper
Med. 2012; 13(3):81-86.
6. Bascom R, Alam S. Pneumothorax
[internet]. USA: Bascom and Associates;
2010 [diakses tanggal 12 Mei 2015].

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

Tersedia
dari:
http://www.emedicine.com/.
Bauman MH, Strange C, Heffner JE, Light
R, Kirby TJ, Klein J, et al. Management of
spontaneous pneumothorax: an american
college of chest physicians delphi
consensus statement. Chest [internet].
2001 [diakses tanggal 12 Mei 2015];
119(2):590-602.
Tersedia
dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T,
Ayres JG, Strachan D. Epidemiology of
pneumotoraks in england. Thorax. 2000;
55(1):666-71.
Weissberg D, Refaely Y. Pneumothorax
experience with 1,199 patients. Chest J.
2000; 117(1):1279-85.
Khan N, Jadoon H, Zaman M, Subhani A,
Khan AR, Ihsanullah M. Frequency and
management outcome of pneumotoraks
patients. J Ayub Med Coll Abbottabad.
2009; 21(1):122-424.
Nugroho APA. Pengelolaan penderita
pneumotoraks spontan yang dirawat inap
di rumah sakit di Semarang selama
periode 2000-2006. Artikel Karya Ilmiah.
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro. 2007.
Light RW, Lee YCG. Pneumothorax,
chylothorax,
hemothorax,
and
fibrothorax. Dalam: Mason RJ, Broaddus
VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Murray
and Nadels textbook of respiratory
medicine. Edisi ke-4. Pennsylvania:
Elsevier Saunders; 2005. hlm. 1961-82.
Wilson LM. Penyakit pernafasan restriktif.
Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
konsep klinis perjalanan penyakit volume
2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006. hlm.
800-1.
Wiedemann K, Tuengerthal SJ. Iatrogenic
chest injuries. Dalam: Webb WR, Besson
A, editors. International trends in general
thoracic surgery volume 7th. Toronto: CV
Mosby Company; 1991. hlm. 480-2.
Henry M, Arnold T, Harvey J. British
thoracic society guidelines for the
management
of
spountaneous
pneumothorax [internet]. UK; 2003
[diakses tanggal 12 Februari 2015].
Tersedia dari: www.thorax.bmj.com.
Colavita PD, Sing RF. Prehospital needle
decompression for suspected tension

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|159

Sanggiani | Penatalaksanaan Peumotoraks Spontan pada Lanjut Usia

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

pneumothorax. USA: Metrolina Trauma


Advisory Committee. 2011.
Tschopp JM, Porta RR, Noppen M, Astoul
P. Management of spontaneous
pneumotoraks: state of the art. Eur
Respir J. 2006; 28:637-50.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous
pneumothorax.
NEJM.
2000;
342(12):868-74.
Hesham A. Thoracic trauma. Robert
Wood Johnshon University Hospital;
2012.
Rachmatullah P. Buku ajar ilmu penyakit
paru. Semarang: Bagian Ilmu Penyakit
Fakultas Kedokteran Diponegoro, 1997.
Health consequences of smoking
[internet]. 2015 [diakses tanggal 12 Mei
2015]. Tersedia dari: http://sprojects.
mmi.mcgill.ca/.
Pneumothorax
pleural
disorders
[internet]. Merck Manual Home Edition;
2015 [diakses tanggal 12 Mei 2015].
Tersedia dari: http://www.merck.com/.
Eijgelaar A. Intrathoracic gas collections.
Dalam: Webb WR, Besson A, editors.

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015|160



24.

25.

26.

27.

International trends in general thoracic


surgery volume 7th. Toronto: CV Mosby
Company; 1991. hlm. 34-9.
Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly
JM, Fischer JE, Galloway AC. Principles of
surgery volume 1. Edisi ke-7. Singapore:
McGrawHill Company; 1999.
Karnadiharja W, Djojosugito MA, Lukitto
P, Rachmad KB, Manuaba TW, editor.
Dinding toraks dan pleura. Dalam:
Sjamsuhidajat R, de Jong W, editors. Buku
ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC,
2005.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI,
Setiowulan W, editors. Kapita selekta
kedokteran jilid 2. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.
hlm. 295-6.
Fregonezi GA, VR Resqueti, Rous RG.
Pursed lips breathing [internet]. 2004.
[diakses tanggal 12 Mei 2015]. Tersedia
dari: http://www.archbroconeumol.org.

Anda mungkin juga menyukai