Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT PENGOBATAN TB PARU SEBELUMNYA

DENGAN POLA RESISTENSI OAT PADA SUBJEK TB PARU RESISTEN OAT DI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN

Victor MANUHUTU, Erlina BURHAN, Priyanti SOEPANDI


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, RSUP Persahabatan Jakarta

Abstrak

Latar belakang : Diantara subjek TB paru resisten OAT terdapat cukup banyak subjek yang
memiliki riwayat pengobatan sebelumnya, sehingga diperlukan penelitian untuk mengkaji lebih
dalam riwayat pengobatan sebelumnya pada subjek TB resisten OAT dan hubungannya dengan
pola resistensi OAT
Tujuan : Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara riwayat
pengobatan TB paru sebelumnya dengan pola resistensi OAT di RS Persahabatan. Tujuan lain
penelitian ini adalah untuk mendapatkan data mengenai riwayat pengobatan sebelumnya subjek
TB paru resisten OAT, menilai peranan subjek dalam menyebabkan terjadinya TB paru resisten
OAT dan menilai secara tidak langsung peranan tenaga kesehatan dalam menyebabkan
terjadinya TB paru resisten OAT.
Metode : Penelitian potong lintang pada bulan April 2014. Dilakukan wawancara terstruktur dan
pencatatan data penting dari 60 subjek subjek TB resisten OAT di poli MDR RSUP
Persahabatan.
Hasil : Terdapat 60 subjek yang terdiri dari 38 subjek laki – laki dan 22 subjek perempuan,
sebagian besar subjek berasal dari kelompok umur 30 – 39 tahun (33,3%) dengan rata – rata
umur 36,8 tahun. Sebanyak 81,7% mempunyai lebih dari 1 kali riwayat pengobatan TB paru
sebelumnya, 28 subjek (46,7%) mempunyai 2 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya dan
terdapat 2 subjek (3,3%) dengan 5 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya. Pada
pengobatan pertama sampai pengobatan ketiga, lalai merupakan hasil pengobatan yang
terbanyak (31,7%, 26,5% dan 33,3%) dan gagal konversi kategori II merupakan kriteria suspek
TB paru resisten OAT yang terbanyak (46,7%). Sebanyak 71,7% subjek pernah mendapatkan
pengobatan TB paru di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Dokter umum praktek swasta
merupakan fasilitas kesehatan yang paling banyak tidak melakukan pemeriksaan BTA baik
untuk diagnosis maupun untuk evaluasi pengobatan TB paru (66,7%, 60% dan 100%).
Persentase pemberian rejimen pengobatan tidak sesuai pada riwayat pengobatan kedua (32,7%)
lebih besar apabila dibandingkan dengan pengobatan pertama (10%). Pola resistensi terhadap H
– R – S – E adalah pola resistensi terbanyak (51,7%) Tidak terdapat hubungan antara jumlah
riwayat pengobatan TB paru dengan pola resistensi, odds ratio pola resistensi H-R-S-E dengan
jumlah riwayat pengobatan TB 1- 2 kali terhadap jumlah riwayat pengobatan TB 3 – 5 kali
adalah 0,731 (CI 95% 0,245 – 2,074; p = 0,533).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan antara jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan pola
resistensi di RSUP Persahabatan

Kata kunci : tuberkulosis, riwayat, resisten, pola

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 1
RELATIONSHIP BETWEEN PRIOR HISTORY OF PULMONARY TB TREATMENT
AND RESISTANCE PATTERNS IN ANTI TUBERCULOSIS DRUG RESISTANT
PATIENTS AT PERSAHABATAN HOSPITAL

Victor MANUHUTU, Erlina BURHAN, Priyanti SOEPANDI


Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, Universitas
Indonesia, Persahabatan Hospital Jakarta.

Abstract

Background : Most of anti tuberculosis drug resistant patients had prior history of pulmonary
TB treatment, so there is a need to study more details about drug resistant patient’s previous TB
treatment history and it’s relationship with resistance pattern.
Objective : Primary objective of this study is to see relationship between anti tuberculosis drug
resistant patients priorhistory of TB treatment and patient’s resistance patterns at Persahabatan
hospital. Secondary objectives of this study are to collect patient’s prior history of TB treatment,
to see patient’s role in ATD resistancy and to see health worker’s role in ATD resistancy
Methods :. A cross-sectional study performed on April 2014. Structural interview and data
collecting from patient’s medical record from 60 subjects on MDR – TB clinic Persahabatan
hospital.
Results : From 60 subjects there are 38 male subjects and 22 female subjects, most of subjects
are from 30 – 39 age group (33,3%) and age mean 36,8 years. 81,7% subjects had more than 1
priorhistory of pulmonary Tb treatment, 28 subjects (46,7%) had 2 prior TB treatment history
and there was 2 subjects (3,3%) with 5 times prior history of pulmonary Tb treatment. Default
from treatment was the most frequent result from 1 st until 3rd prior TB treatment history
(31,7%, 26,5% dan 33,3%) and failed category II is the most frequent drug resistant suspect
criteria (46,7%). 71,7% subjects had tgreated at goverment healthcare facilities. Private clinic
was the most frequent healthcare facility that did not perform sputum smear before ATD
treatment and for evaluation (66,7%, 60% dan 100%). There was higher percentation of wrong
ATD regiment on 2nd treatment (32,7%) than 1st treatment (10%). Resistancy to isoniazid,
rifampicin, ethambutol and streptomycin was the most frequent resistancy patterns (51,7%).
There is no correlation between numbers of previous TB treatment history and resistance
patterns at Persahabatan hospital, odds ratio resistance patterns H-R-S-E of 1 – 2 times prior
history of TB treatments to 3 – 5 times prior history of TB treatments is 0,731 (CI 95% 0,245 –
2,074; p = 0,533).

Conclusion : There is no correlation between numbers of previous TB treatment history and


resistance patterns at Persahabatan hospital in this study.

Keywords: tuberculosis, history, resistant, patterns

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 2
PENDAHULUAN TB dengan riwayat pengobatan sebelumnya
sehingga diperlukan penelitian untuk
Berdasarkan tuberculosis global report 2012 mengkaji lebih dalam riwayat pengobatan
insidens tuberkulosis (TB) pada tahun 2011 sebelumnya pada subjek TB resisten OAT
di seluruh dunia diperkirakan sebesar 8,7 dan hubungannya dengan pola resistensi
juta.1 Berdasarkan tuberculosis global OAT.
report 2013 insidens TB pada tahun 2012 di
seluruh dunia tidak jauh berbeda Tujuan Umum
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu
diperkirakan sebesar 8,6 juta. 2 Dampak Mengidentifikasi hubungan antara riwayat
akibat penyakit TB ini diperberat dengan pengobatan TB paru sebelumnya dengan
masalah TB dengan human pola resistensi OAT pada subjek resisten
immunodificiency virus (TB – HIV) dan TB OAT di RSUP Persahabatan
resisten obat anti tuberkulosis (OAT). 1,2
Pada tahun 2011 diperkirakan terdapat Tujuan Khusus
310.00 kasus baru Tb resisten ganda (TB
MDR) dari seluruh kasus TB di seluruh Mendapatkan data mengenai riwayat
dunia.1 Tuberculosis global report 2013 pengobatan sebelumnya subjek TB paru
melaporkan bahwa diperkirakan terdapat resisten OAT, menilai peranan subjek dalam
450.00 kasus baru TB MDR di seluruh dunia menyebabkan terjadinya TB paru resisten
pada tahun 2012.2 Tuberkulosis paru resisten OAT, menilai secara tidak langsung peranan
OAT menjadi beban tersendiri bagi negara tenaga kesehatan dalam menyebabkan
berkembang seperti Indonesia mengingat terjadinya TB paru resisten OAT,
tingginya biaya yang diperlukan dalam identifikasi besar peranan riwayat
pengobatan, khususnya pengobatan TB paru pengobatan TB paru sebagai faktor risiko
MDR.3 Data terbaru menunjukkan bahwa resistensi terhadap OAT.
TB MDR terdapat pada 3,7% kasus yang
belum pernah diobati (kasus baru) dan pada Manfaat Penelitian
20% kasus dengan riwayat pengobatan.1,2
Proporsi TB MDR pada kasus baru berkisar Bagi peneliti
antara 0% - 32% di seluruh dunia. 1. Sebagai sarana untuk melatih cara
Di Indonesia pada tahun 2011 terdapat total berpikir dan membuat penelitian
383 kasus TB MDR baru yang berhasil berdasarkan metode penelitian yang baik
didiagnosis, 380 kasus merupakan kasus dan benar
dengan riwayat pengobatan TB sedangkan 3 2. Sebagai sarana menerapkan dan
kasus lainnya adalah TB MDR pada kasus memanfaatkan ilmu yang didapat selama
baru.1 Di Indonesia diperkirakan TB MDR pendidikan.
terdapat pada 1,9% kasus baru dan 12% Bagi Subjek
pada kasus dengan riwayat pengobatan.1,2 1. Meningkatkan pemahaman subjek
Jumlah subjek TB MDR di RSUP mengenai hubungan antara riwayat
Persahabatan pada tahun 2009 adalah Pengobatan TB sebelumnya dengan
sebanyak 14 kasus dan semakin meningkat kejadian TB paru resisten OAT.
pada bulan Februari 2013 terdapat sebanyak 2. Meningkatkan ketaatan subjek TB paru
976 kasus.4 Berdasarkan data – data dalam mengikuti pengobatan TB paru.
tersebut dapat dilihat bahwa TB paru
resisten OAT lebih sering terjadi pada kasus
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 3
METODE PENELITIAN Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian menggunakan desain penelitian Jumlah subjek berjenis kelamin laki – laki
potong lintang (cross sectional), dilakukan adalah sebanyak 38 orang (63,3%) dan
di poli Penelitian akan dilakukan di poli jumlah subjek berjenis kelamin perempuan
MDR RSUP Persahabatan, waktu penelitian adalah sebanyak 22 orang (36,7%). Sebaran
dilakukan pada bulan April 2014. Kriteria subjek berdasarkan kelompok umur yang
inklusi adalah Subjek TB paru resisten OAT terbanyak berasal dari kelompok umur 30 –
di poli MDR dan poli paru RSUP yang 39 tahun sebanyak 20 orang (33,3%) dengan
bersedia ikut dalam penelitian ini dengan rata – rata umur 36,8 tahun. Sebaran subjek
menandatangani persetujuan tertulis. berdasar jenis pekerjaan yang terbanyak
Kriteria eksklusi adalah Subjek TB paru adalah tidak bekerja sebanyak 35 orang
resisten OAT primer, subjek TB resisten (58,3%), sebaran subjek berdasar pendidikan
OAT dengan komorbid yang merupakan yang terbanyak adalah SMA sebanyak 27
faktor risiko untuk TB paru resisten OAT orang (45%). Hanya 1 subjek (1,7%) yang
seperti HIV dan DM tipe II, subjek dalam memiliki kontak serumah dengan subjek TB
pengobatan steroid dan imunosupresan resisten OAT. Penjelasan lebih jelas pada
seperti sitotoksik. tabel 1.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan consecutive sampling.
Pencatatan data – data yang diperlukan dari
rekam medis dan dengan cara wawancara
terstruktur (pengisian kuisioner dengan
dibimbing oleh peneliti) pada subjek –
subjek TB paru resisten OAT yang berobat
di poli paru dan poli MDR RSUP
Persahabatan. Cara kerja penelitian
ditunjukkan pada gambar 1.

HASIL PENELITIAN

Jumlah total subjek TB paru resisten OAT


yang berobat di poli paru dan poli TB -
MDR RSUP Persahabatan sampai dengan
waktu penelitian berakhir adalah sebanyak
127 subjek. Sebanyak 22 subjek menderita
DM tipe II, 3 subjek menderita HIV, 10
subjek baru yang tidak memiliki data kultur
resistensi OAT, 21 subjek tidak memiliki
data kultur resistensi OAT, 2 subjek
menderita resistensi primer, 1 subjek
menderita TB - MDR ekstra paru dan 8 .
subjek menolak berpartisipasi dalam Gambar 1. Alur penelitian
penelitian sehingga didapatkan total sebesar
60 subjek penelitian

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 4
Tabel 1. Karakteristik subjek PUKESMAS, 8 subjek (13,3%) yang
berobat di dokter umum praktek swasta, 10
subjek berobat di RS swasta (16,7%), 10
subjek (16,7%) berobat di RS pemerintah, 6
subjek (10%) dalam kelompok lain - lain
dengan perincian 5 subjek (8,3%) berobat di
fasilitas kesehatan lain dan 1 subjek (1,7%)
mengobati diri sendiri. Terdapat 36 subjek
(60%) berobat di fasilitas kesehatan
pemerintah dan 23 subjek (38,3%) berobat
di fasilitas kesehatan swasta.
Dari seluruh subjek 2 orang mendapatkan
obat selain rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, etambutol yaitu levofloxacin.
Satu subjek diobati spesialis paru dan satu
subjek diobati spesialis penyakit dalam.
Jumlah riwayat pengobatan TB
sebelumnya Tabel 3. Karakteristik di fasilitas kesehatan
pengobatan pertama
Jumlah subjek yang memiliki riwayat lebih
dari 1 kali riwayat pengobatan TB paru
sebelum didiagnosis TB paru resisten OAT
adalah sebanyak 81,7%. Jumlah terbanyak
terdapat pada kelompok yang memiliki 2
kali riwayat pengobatan TB paru sebelum
didiagnosis TB paru resisten OAT sebanyak
28 orang (46,7%), jumlah riwayat
pengobatan TB paru terbanyak sebelum
didagnosis TB paru resisten OAT subjek
adalah 5 kali pengobatan TB yang terdapat
pada 2 orang (3,3%).

Tabel 2. Jumlah riwayat pengobatan


sebelumnya

Karakteristik pada pengobatan kedua


terdapat 12 subjek (42,8%) yang berobat di
PUKESMAS, 5 subjek (17,8%) yang
berobat di dokter umum praktek swasta, 11
subjek (39,3%) berobat di RS swasta, 15
Karakteristik di fasilitas kesehatan dan subjek (53,6%) berobat di RS pemerintah
asal rujukan dan 6 subjek (21,4%) berobat di fasilitas
kesehatan lain. Dari seluruh subjek, 1 orang
Karakteristik pada pengobatan pertama mendapatkan obat selain rifampisin,
terdapat 26 subjek (43,3%) yang berobat di isoniazid, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin yaitu ofloxacin. Subjek tersebut
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 5
berobat pada spesialis paru, kemudian Tabel 5. Karakteristik di fasilitas kesehatan
berhenti berobat dan membeli ofloxacin pengobatan ketiga
sendiri.
Karakteristik pada pengobatan ketiga
terdapat 5 subjek (23,8%) yang berobat di
PUKESMAS, 3 subjek (14,3%) yang
berobat di dokter umum praktek swasta , 6
subjek (28,6%) berobat di RS swasta, 4
subjek (19%) berobat di RS pemerintah dan
3 subjek (14,3%) berobat di fasilitas
kesehatan lain. Dari seluruh subjek 3 orang
mendapatkan obat selain rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin yaitu 2 subjek mendapatkan
levofloxacin dan 1 subjek mendapatkan
azitromisin. Dua subjek yang mendapatkan
levofloxacin berobat pada spesialis paru dan
spesialis penyakit dalam, subjek yang
mendapatkan azitromisin berobat pada
spesialis paru.

Tabel 4. Karakteristik di fasilitas kesehatan Karakteristik pada pengobatan keempat


pengobatan kedua terdapat 1 subjek (11,1%) yang berobat di
dokter umum praktek swasta , 1 subjek
(11,1%) berobat di RS swasta, 5 subjek
(55,6%) berobat di RS pemerintah dan 2
subjek (14,3%) berobat di fasilitas kesehatan
lain – lain.
Dari seluruh subjek 2 orang mendapatkan
obat selain rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, etambutol dan streptomisin
yaitu mendapatkan levofloxacin. Dua subjek
yang mendapatkan levofloxacin tersebut
berobat pada spesialis paru.
Karakteristik pada pengobatan kelima
terdapat 1 subjek (50%) yang berobat di RS
pemerintah, 1 subjek (50%) berobat di
fasilitas kesehatan lain yaitu klinik spesialis.
Subjek yang berobat di RS pemerintah harus
mendapatkan pengobatan cuma – cuma,
subjek yang berobat di klinik spesialis harus
membayar. Subjek yang berobat di RS
pemerintah diobati oleh dokter umum
sedangkan subjek yang berobat di klinik

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 6
spesialis diobati oleh spesialis penyakit
dalam. Subjek yang berobat di RS Tabel 7. Asal rujukan
pemerintah mendapat kombinasi dosis tetap,
sedangkan subjek yang berobat ke klinik
spesialis mendapatkan obat lepasan. Seluruh
subjek tidak mendapatkan obat selain
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol
dan streptomisin. Subjek yang berobat di RS
pemerintah mendapatkan pengobatan selama
3 bulan kemudian pengobatan dihentikan Pemeriksaan dahak
karena hasil kultur MDR, subjek yang
berobat di klinik spesialis mendapatkan Pada pengobatan pertama pada sebanyak 43
pengobatan selama 18 bulan kemudian subjek dilakukan pemeriksaan dahak BTA
pengobatan dihentikan karena hasil kultur sebelum memulai terapi TB paru, pada
MDR. sebanyak 14 subjek tidak dilakukan
pemeriksaan dahak BTA dan pada 3 subjek
Tabel 6. Jenis fasilitas kesehatan lain lupa apakah dilakukan pemeriksaan
dahak BTA atau tidak. Pada sebanyak 35
subjek dilakukan pemeriksaan dahak BTA
evaluasi sampai pasien dinyatakan sembuh,
gagal atau lalai dan 8 subjek hanya
dilakukan pemeriksaan dahak BTA pada
sebelum awal pengobatan TB paru. Pada
kelompok yang dilakukan pemeriksaan
dahak BTA pada sebelum terapi TB paru
dan evaluasi sampai pasien dinyatakan
Berdasarkan data tersebut di atas sebanyak sembuh, gagal atau lalai (35 subjek)
43 subjek (71,7%) pernah berobat di fasilitas sebanyak 19 subjek (54,3%) berobat di
pelayanan kesehatan pemerintah baik PUSKESMAS, 6 subjek (17,1%) berobat di
PUSKESMAS maupun RS. pemerintah . RS swasta, 6 subjek (17,1%) berobat di RS
Apabila fasilitas pelayanan kesehatan dibagi pemerintah, 3 subjek (8,6%) berobat di
menjadi 2 kelompok besar yaitu fasilitas fasilitas kesehatan lain dan 1 subjek (2,8%)
pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, berobat di dokter umum praktek swasta .
pada pengobatan pertama, kedua dan ke Pada kelompok yang hanya dilakukan
empat, lebih banyak subjek yang berobat di pemeriksaan dahak BTA pada sebelum awal
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. pengobatan TB paru sebanyak 4 subjek
Asal rujukan pasien TB paru resisten OAT (50%) berobat di PUSKESMAS dan 2
adalah 28 subjek (46,7%) dari RS subjek (25%) berobat di RS swasta, 1 subjek
pemerintah, 12 subjek (20%) dari berobat di dokter umum praktek swasta dan
PUSKESMAS, 10 subjek (16,7%) dari RS 1 subjek berobat di RS pemerintah. Pada
swasta, 9 subjek (15%) dari fasilitas kelompok yang tidak pernah dilakukan
pelayanan kesehatan lain dan 1 subjek pemeriksaan dahak BTA sebanyak 6 subjek
(1,7%) dari dokter umum praktek swasta. (42,8%) berobat di dokter umum praktek
swasta , 2 subjek (14,3%) berobat di
PUSKEMAS, 2 subjek (14,3%) berobat di
RS swasta, 2 subjek (14,3%) berobat di RS

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 7
pemerintah, 1 subjek (7,1%) mengobati diri dan 1 subjek (50%) berobat di fasilitas
sendiri dan 1 subjek (7,1%) berobat di kesehatan lain. Pada kelompok yang tidak
fasilitas kesehatan lain. pernah dilakukan pemeriksaan dahak BTA
Pada pengobatan kedua sebanyak 42 subjek sebanyak 4 subjek (52,7%) berobat di RS
dilakukan pemeriksaan dahak BTA sebelum swasta, 3 subjek (42,8%) berobat di dokter
memulai terapi TB paru pada sebanyak 7 umum praktek swasta .
subjek tidak dilakukan pemeriksaan dahak Pada pengobatan ketiga sebanyak 17 subjek
BTA. dilakukan pemeriksaan dahak BTA sebelum
memulai terapi TB paru pada sebanyak 4
subjek tidak dilakukan pemeriksaan dahak
Tabel 8. Pemeriksaan dahak BTA. Pada sebanyak 16 subjek dilakukan
pemeriksaan dahak BTA evaluasi sampai
pasien dinyatakan sembuh, gagal atau lalai.
Pada sebanyak 1 subjek hanya dilakukan
pemeriksaan dahak BTA pada sebelum awal
pengobatan TB paru. Pada kelompok yang
dilakukan pemeriksaan dahak BTA evaluasi
sampai pasien dinyatakan sembuh, gagal
atau lalai sebanyak 4 subjek (25%) berobat
di PUSKESMAS, 5 subjek (31,3%) berobat
di RS swasta, 4 subjek (25%) berobat di RS
pemerintah dan 3 subjek (18,7%) berobat di
fasilitas kesehatan lain. Pada kelompok yang
tidak dilakukan pemeriksaan dahak BTA
evaluasi sebanyak 1 subjek berobat di
PUSKESMAS dan diobati oleh dokter
umum. Pada kelompok yang tidak diperiksa
dahak BTA 3 subjek (75%) berobat di
Pada sebanyak 40 subjek dilakukan dokter umum praktek swasta dan 1 subjek
pemeriksaan dahak BTA evaluasi sampai (25%) berobat di RS swasta.
pasien dinyatakan sembuh, gagal atau lalai. Pada pengobatan keempat sebanyak 7
Pada sebanyak 2 subjek hanya dilakukan subjek dilakukan pemeriksaan dahak BTA
pemeriksaan dahak BTA pada sebelum awal sebelum memulai pengobatan TB paru dan
pengobatan TB paru. Pada kelompok yang evaluasi sampai pasien dinyatakan sembuh,
dilakukan pemeriksaan dahak BTA sejak gagal atau lalai. Pada sebanyak 2 subjek
sebelum terapi TB paru dan evaluasi sampai tidak dilakukan pemeriksaan dahak BTA
pasien dinyatakan sembuh, gagal atau lalai sebelum memulai pengobatan TB paru,
sebanyak 15 subjek (37,5%) berobat di RS namun pada satu subjek pada bulan ke 15
pemerintah, 11 subjek (27,5%) berobat di pengobatan TB paru baru dilakukan
PUSKESMAS, 7 subjek (17,5%) berobat di pemeriksaan dahak BTA dengan hasil MDR.
RS swasta, 5 subjek (12,8%) berobat di Pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan
fasilitas kesehatan lain dan 2 subjek (5,1%) dahak BTA sebanyak 4 subjek (57,1%)
berobat di dokter umum praktek swasta. berobat di RS pemerintah, 2 subjek (28,6%)
Pada kelompok yang tidak dilakukan berobat di fasilitas kesehatan lain, 1 subjek
pemeriksaan dahak BTA evaluasi sebanyak (14,3%) berobat di RS swasta. Pada
1 subjek (50%) berobat di PUSKESMAS kelompok yang tidak diperiksa dahak BTA 1
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 8
subjek (50%) berobat di dokter umum sebanyak 13 subjek (26,5%), gagal konversi
praktek swasta dan 1 subjek (50%) berobat kategori II sebanyak 11 subjek (22,4%),
di RS pemerintah. gagal kategori II sebanyak 10 subjek
Pada pengobatan kelima pada 1 subjek tidak (20,4%), lengkap sebanyak 7 subjek
dilakukan pemeriksaan dahak BTA sebelum (14,3%), sembuh sebanyak 5 subjek
memulai pengobatan TB paru, pemeriksaan (10,2%), gagal rejimen lain sebanyak 2
dahak BTA dan kultur resistensi dilakukan subjek (4%) dan gagal konversi kategori I
pada bulan ke 18 pengobatan dengan hasil sebanyak 1 subjek (2%).
MDR, subjek tersebut berobat di fasilitas Hasil pengobatan ketiga adalah lalai
kesehatan lain dan diobati oleh spesialis sebanyak 7 subjek (33,3%), pengobatan
lain. Satu subjek lain dilakukan pemeriksaan lengkap sebanyak 4 subjek (19%), gagal
dahak BTA sebelum memulai pengobatan rejimen lain sebanyak 4 subjek (19%), gagal
TB paru dan dilakukan pemeriksaan dahak kategori II sebanyak 3 subjek (14,4%) gagal
BTA evaluasi, subjek tersebut berobat di RS konversi kategori I sebanyak 2 subjek
pemerintah dan diobati oleh dokter umum. (9,5%), dan gagal kategori I sebanyak 1
subjek (4,8%).
Hasil pengobatan sebelumnya dan Hasil pengobatan keempat adalah gagal
kriteria suspek TB paru resisten OAT kategori 2 sebanyak 2 subjek (22,2%), lalai
sebanyak 2 subjek (22,2%), gagal rejimen
Tabel 9. Hasil pengobatan lain sebanyak 2 subjek (22,2%), gagal
konversi kategori I sebanyak 1 subjek
(11,2%) dan gagal konversi kategori II
sebanyak 2 subjek (22,2%).
Hasil pengobatan kelima adalah gagal
konversi kategori II sebanyak 1 subjek
(50%) dan gagal rejimen lain sebanyak 1
subjek (50%).
Kriteria suspek TB paru resisten OAT pada
penelitian ini adalah gagal konversi kategori
II 15 subjek (25%), gagal kategori II 11
subjek (18,3%), lalai 9 subjek (15%),
riwayat pengobatan di fasilitas non DOTS 8
subjek (13,3%), gagal kategori I 7 subjek
(11,7%), gagal konversi kategori I 5 subjek
(8,3%) dan kambuh 5 subjek (8,3%).

Hasil pengobatan pada pengobatan pertama Tabel 10. Kriteria suspek


adalah lalai sebanyak 19 subjek (31,7%),
lengkap sebanyak 14 subjek (23,3%),
sembuh sebanyak 12 subjek (20%), gagal
kategori I sebanyak 10 subjek (16,7%),
gagal konversi kategori I sebanyak 2 subjek
(3,3%), lain – lain sebanyak 2 subjek (3,3%)
dan gagal rejimen lain 1 subjek (1,6%).
Hasil pengobatan kedua adalah lalai

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI


Jakarta 2014 9
Kesesuaian rejimen Riwayat pengobatan dan dan pola
resistensi
Pada pengobatan pertama didapatkan
sebanyak 51 subjek (85%) dengan Pada penelitian ini pola resistensi dilihat dari
pengobatan yang sesuai, 6 subjek (10%) jumlah riwayat pengobatan TB sebelumnya
dengan pengobatan yang tidak sesuai dan 3 dan jenis resistensi. Pada penelitian ini jenis
subjek (5%) tidak tau rejimen pengobatan resistensi dibagi menjadi 2 kelompok besar
yang diberikan. Pada pengobatan kedua yaitu kelompok yang resisten terhadap
didapatkan sebanyak 32 subjek (65,3%) kombinasi H-R-S-E dan kelompok yang
dengan pengobatan sesuai dan 16 subjek resisten terhadap kombinasi selain H-R-S-E.
(32,7%) dengan pengobatan tidak sesuai dan Apabila variabel bebas berdasarkan jumlah
1 subjek (2%) tidak tau rejimen pengobatan riwayat pengobatan TB sebelumnya dibagi
yang diberikan. menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 – 2
kali berobat dan kelompok 3 – 5 kali
Tabel 11. Kesesuaian rejimen berobat, maka dari 31 subjek yang resisten
terhadap kombinasi H-R-S-E terdapat 19
subjek dalam kelompok 1 – 2 kali berobat
dan 12 subjek dalam kelompok 3 – 5 kali
berobat. Tidak terdapat hubungan antara
jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan
pola resistensi, odds ratio pola resistensi H-
R-S-E dengan jumlah riwayat pengobatan
TB 1- 2 kali terhadap jumlah riwayat
Pola resistensi
pengobatan TB 3 – 5 kali adalah 0,731 (CI
Pada penelitian ini ditemukan 2 subjek 95% 0,245 – 2,074; p = 0,533).
dengan monoresisten terhadap rifampisin 2
orang (3,3%), TB - MDR 57 orang (95%) PEMBAHASAN
dan poliresisten terhadap R - E 1 orang
(1,7%). Perincian resistensi subjek dengan Karakteristik demografik
MDR adalah sebagai berikut, resisten
terhadap kombinasi H - R 10 orang (16,7%), Pada penelitian ini didapatkan jumlah subjek
H – R - E 11 orang (18,3%), H – R - S 4 berjenis kelamin laki – laki lebih banyak
orang (6,7%), H – R – E - S 31 orang dibandingkan subjek berjenis kelamin
(51,7%) dan pre XDR yaitu resisten perempuan. Penelitian Nofizar dkk5
terhadap kombinasi H – R – E – S - Ofl 1 menunjukkan hasil serupa bahwa TB - MDR
orang (1,7%). terdapat pada laki – laki sebanyak 32 orang
(64%) dan perempuan sebanyak 18 orang
Tabel 12. Pola resistensi (36%). Penelitian Munir dkk6 juga
menunjukkan hasil serupa bahwa TB - MDR
terdapat pada laki – laki sebanyak 53 orang
(52,3%) dan perempuan sebanyak 48 orang
(47,5%). Hasil yang berbeda ditunjukkan
oleh penelitian Sinaga dkk7 perempuan
sebanyak 9 orang (64,28%) dan laki – laki
sebanyak 5 orang (35,72%), pada penelitian
Sinaga dkk jumlah sampel didapat sedikit
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 10
apabila dibandingkan dengan penelitian ini, menunjukkan rata – rata umur pasien TB -
penelitian Nofizar dan Munir. Sebuah ulasan MDR adalah 36,46 tahun, serupa dengan
sistematik oleh Faustini dkk8 menunjukkan hasil penelitian Munir dkk6 yang
bahwa OR jenis kelamin laki – laki terhadap menunjukkan rata – rata umur pasien TB -
terjadinya TB - MDR adalah 1,38 (95% CI MDR adalah 37 tahun dan serupa dengan
1.16 - 1.65). Penyebab laki – laki lebih penelitian Erhamza dkk11 yang
sering menderita TB paru resisten OAT menunjukkan umur rata – rata pasien TB
karena tingkat ketaatan berobat perempuan paru resisten OAT adalah 37,5 tahun.
lebih baik dibandingkan laki – laki dan Sebuah review sistematik oleh Faustini
karena laki – laki lebih sering beraktivitas di dkk30 menunjukkan bahwa OR umur
luar rumah maka lebih mudah terpapar dibawah 45 tahun terhadap terjadinya TB -
kuman M. tb resisten OAT.8 Penyebab lain MDR adalah 1.52 (95% CI 1.13 - 2.03).
jumlah kasus TB paru resisten OAT yang Jumlah kasus banyak didapatkan pada usia
lebih banyak pada laki - laki adalah karena produktif disebabkan karena pada usia tua
di negara berkembang akses perempuan TB mempunyai tanda dan gejala yang tidak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan spesifik sehingga sulit terdiagnosis.12
lebih sukar dibandingkan laki – laki dan Kontak erat satu rumah hanya didapatkan
terdapat stigma sosial yang lebih berat pada hanya pada 1 subjek (1,7%). Hasil ini serupa
penderita TB perempuan dibandingkan dengan penelitian Attamna dkk13 yang
penderita TB laki – laki.9 Sebuah ulasan menunjukkan bahwa dari 476 orang yang
oleh Holmes dkk menunjukkan bahwa di kontak erat dengan 71 pasien TB - MDR
negara berkembang jumlah kasus TB pada pada follow up selama 6 tahun tidak
laki – laki di atas umur 15 tahun lebih didapatkan kontak erat yang menderita TB -
banyak apabila dibandingkan dengan jumlah MDR. Penelitian Nofizar dkk5 yang tidak
kasus TB pada perempuan. Hal tersebut menemukan subjek dengan kontak erat
disebabkan karena setelah umur 15 tahun dengan pasien TB - MDR, perbedaan antara
laki – laki yang mulai lebih sering hasil penelitian ini dengan hasil penelitian
beraktivitas di luar rumah sehingga Nofizar dkk dapat terjadi karena prevalens
mendapatkan kontak TB lebih banyak, pasien TB - MDR yang mempunyai kontak
selain itu dapat juga disebabkan karena erat rendah, sehingga dengan jumlah sampel
pelaporan jumlah kasus TB perempuan yang penelitian Nofizar dkk yang tidak terlalu
lebih rendah apabila dibandingkan dengan besar tidak ditemukan subjek dengan kontak
jumlah pelaporan kasus TB pada laki – erat. Penelitian Burgos dkk14 menunjukkan
laki.10 bahwa secondary relative case ratio (SR)
Pada penelitian ini didapatkan subjek galur M. tb yang resisten terhadap OAT
terbanyak berasal dari kelompok umur 30 – lebih rendah apabila dibandingkan dengan
39 tahun. Hasil tersebut menunjukkan SR M. tb yang sensitif terhadap OAT.
bahwa TB paru resisten OAT terjadi paling Penelitian Kritski dkk15 menunjukkan bahwa
banyak pada kelompok umur produktif. dari 218 subjek yang kontak erat dengan 64
Hasil ini serupa dengan penelitan Sinaga penderita TB - MDR, terdapat 6 subjek yang
dkk7 yang menunjukkan bahwa subjek menderita TB - MDR dengan galur M. tb
terbanyak berasal dari kelompok umur 35 – yang sama dengan galur M. tb pasien TB -
44 tahun sebanyak 42,86% namun dalam MDR kontaknya.
penelitian Sinaga dkk ini jumlah sampel
sedikit. Hasil penelitian ini juga serupa
dengan penelitian Nofizar dkk5 yang
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 11
Jumlah riwayat pengobatan TB dokter umum praktek swasta (1,7%). Hasil
sebelumnya ini serupa dengan penelitian Munir dkk6
yang menunjukkan bahwa asal rujukan TB
Pada penelitian ini sebagian besar subjek MDR yang terbanyak adalah berasal dari RS
memiliki riwayat pengobatan lebih dari 1 pemerintah sebanyak 71% diikuti oleh
kali sebanyak 81,7%. Jumlah pengobatan PUSKESMAS sebanyak 13,9% dan serupa
TB paru dengan jumlah subjek yang paling dengan penelitian Nofizar dkk5 yang
banyak adalah 2 kali pengobatan. Hasil ini menunjukkan bahwa asal rujukan TB MDR
serupa dengan hasil penelitian Nofizar dkk5 yang terbanyak adalah berasal dari RS
yang menunjukkan hasil bahwa 92% subjek pemerintah sebanyak 60% diikuti oleh
mempunyai riwayat lebih dari 1 kali PUSKESMAS sebanyak 16%. Hasil
pengobatan, 32% subjek mendapatkan 2 kali penelitian ini menunjukkan bahwa
pengobatan TB paru, 3 kali pengobatan PUSKESMAS dan RS pemerintah
sebanyak 26%, 4 kali pengobatan 24%, 5 merupakan ujung tombak dalam
kali pengobatan 8%, 1 kali pengobatan 8% penatalaksanaan TB paru sesuai dengan
dan pada penelitian Nofizar dkk5 didapatkan strategi pemerintah yang terdapat di dalam
subjek dengan 6 kali pengobatan sebanyak strategi nasional pengendalian TB 2010 –
2%. Berbeda dengan penelitian Nofizar dkk, 2014.17 Dari penelitian ini juga terlihat
pada penelitian ini jumlah pengobatan bahwa kewaspadaan terhadap terjadinya TB
paling banyak adalah 5 kali, perbedaan paru resisten OAT pada pasien dengan
jumlah riwayat pengobatan dapat terjadi riwayat pengobatan sebelumnya sudah
diantara sampel penelitian yang berbeda. cukup baik di RS. Pemerintah dan
Penelitian Sharma dkk23 di India PUSKESMAS sedangkan kewaspadaan
menunjukkan bahwa dari 196 subjek BTA terhadap terjadinya TB paru resisten OAT
postif dalam OAT kategori II terdapat 40 pada pasien dengan riwayat pengobatan
subjek yang menderita TB - MDR. Riwayat sebelumnya sangat rendah di dokter umum
pengobatan TB paru sebelumnya merupakan praktek swasta.
faktor risiko terjadinya resistensi terhadap Pada pengobatan pertama, kedua dan ketiga
OAT.1,2 Rejimen OAT yang tidak tepat dan tenaga kesehatan yang paling banyak
ketaatan berobat yang buruk pada mengobati TB paru adalah dokter umum dan
pengobatan TB sebelumnya merupakan diikuti oleh spesialis paru. Pada pengobatan
faktor risiko terjadinya resistensi terhadap keempat tenaga kesehatan yang paling
OAT.16 banyak mengobati TB adalah spesialis paru.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa terdapat
Karakteristik di fasilitas kesehatan dan kecenderungan dokter umum merujuk ke
asal rujukan spesialis paru setelah tiga kali pengobatan
TB. Sampai saat ini penulis belum
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menemukan penelitian pembanding yang
PUSKESMAS dan RS pemerintah adalah meneliti hal serupa.
fasilitas kesehatan terbanyak yang Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
memberikan pengobatan TB paru dan asal untuk masalah pembayaran obat, sebagian
rujukan TB paru resisten OAT terbanyak besar subjek yang berobat di PUSKESMAS
berasal dari RS pemerintah (46,7%) diikuti dan RS pemerintah mendapatkan
dengan PUSKESMAS (20%), sedangkan pengobatan cuma – cuma, seluruh subjek
fasilitas kesehatan asal rujukan TB paru yang berobat di dokter umum praktek swasta
resisten OAT yang paling sedikit adalah harus membayar untuk pengobatan dan
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 12
sebagian besar subjek yang berobat di RS melakukan pemeriksaan dahak BTA
swasta membayar untuk pengobatan. Pada sebelum mulai pengobatan TB paru dan
penelitian ini hanya terdapat 3 subjek yang untuk evaluasi. Penelitian Gidado dkk19 di
pernah berhenti pengobatan karena masalah Nigeria menunjukkan bahwa 82,4% fasilitas
biaya. Satu subjek berobat di dokter umum kesehatan swasta sudah melakukan
praktek swasta berhenti berobat karena pemeriksaan dahak BTA untuk diagnosis
harus tidak mempunyai biaya untuk TB dan hanya 17,6% fasilitas kesehatan
membeli obat, 1 subjek berobat di swasta yang hanya melakukan foto toraks
PUSKESMAS berhenti berobat karena tidak untuk diagnosis TB. Banyaknya dokter
mempunyai biaya untuk pemeriksaan umum praktek swasta yang tidak
penunjuang dan 1 subjek berobat di RS melakukan pemeriksaan dahak BTA untuk
Pemerintah berhenti berobat karena tidak diagnosis dan evaluasi disebabkan karena
mempunyai biaya untuk pemeriksaan tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan
penunjuang. Hasil ini serupa dengan hasil dahak BTA di dokter umum praktek swasta
penelitian Nofizar dkk5 bahwa hanya 6% tersebut dan belum ada suatu sistem jejaring
subjek yang mengatakan mempunyai kerjasama antara dokter umum praktek
masalah biaya pada pengobatan TB swasta dengan PUSKESMAS untuk
sebelumnya. Penelitian Muture dkk18 di pemeriksaan dahak BTA. Di Nigeria sejak
Kenya menunjukkan bahwa masalah tahun 2002 dilakukan suatu program
ekonomi merupakan faktor risiko lalai kemitraan fasilitas kesehatan swasta dan
pengobatan TB dengan OR 5.57 (95% CI pemerintah dalam pengendalian TB yang
1.07-30.0). Berbeda dengan penelitian berjalan dengan baik.19
Muture, pada penelitian ini tidak dapat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dicari nilai OR biaya berobat sebagai faktor pada pengobatan pertama sampai
risiko putus berobat karena jumlah subjek pengobatan ketiga sebagian besar dokter
yang putus berobat karena masalah biaya umum dan spesialis paru sudah melakukan
sangat kecil. Pada penelitian Muture dkk18 pemeriksaan dahak BTA sebelum mulai
didapatkan OR masalah ekonomi yang besar pengobatan TB paru dan sudah melakukan
sebagai faktor risiko putus berobat, karena pemeriksaan dahak BTA evaluasi, namun
tingkat kemiskinan yang masih tinggi di belum optimal karena masih cukup banyak
Kenya. jumlah subjek yang tidak dilakukan evaluasi
dahak dan tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan dahak dahak sama sekali. Penelitian Rahmayanti
dkk41 menunjukkan bahwa sebagian besar
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dokter spesialis paru praktik swasta sudah
pada pengobatan pertama sampai ketiga RS melakukan pemeriksaan dahak BTA sesuai
pemerintah dan PUSKESMAS adalah international stadard of tuberculosis care
fasilitas kesehatan yang paling banyak untuk menegakkan diagnosis TB paru.
melakukan pemeriksaan dahak BTA
sebelum mulai pengobatan TB paru dan Hasil pengobatan
untuk evaluasi. Rumah sakit swasta sudah
cukup banyak melakukan pemeriksaan Hasil pengobatan yang paling banyak terjadi
dahak BTA sebelum mulai pengobatan TB pada pengobatan pertama sampai
paru dan untuk evaluasi. Dokter umum pengobatan ketiga adalah lalai. Penelitian
praktek swasta merupakan fasilitas Kimerling dkk20 menunjukkan bahwa faktor
kesehatan yang paling banyak tidak risiko yang berkaitan dengan TB-MDR
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 13
adalah lalai pada pengobatan sebelumnya Kesesuaian terapi
dengan OR 6,7. Pada penelitian ini lalai
terjadi karena faktor subjek itu sendiri yang Hasil penelitian ini menunjukkan hasil
menghentikan pengobatan sebelum bahwa jumlah subjek yang mendapatkan
waktunya karena merasa sudah lebih baik, pengobatan sesuai pada pengobatan pertama
namun tidak dicari lebih jauh apakah menurun pada pengobatan kedua, sedangkan
penyebab subjek yang sudah merasa lebih jumlah subjek yang mendapatkan
baik tersebut menghentikan pengobatan, pengobatan tidak sesuai pada pengobatan
misalnya apakah karena subjek tidak pernah pertama meningkat pada pengobatan kedua.
diedukasi oleh dokter mengenai lama Pada pengobatan ketiga, empat dan lima
pengobatan atau subjek tidak mengerti menurut penulis kemungkinan diberikan
edukasi yang diberikan dokter, karena sukar pengobatan yang tidak sesuai karena tidak
bagi subjek yang memiliki beberapa kali dilakukan pemeriksaan kultur resistensi dan
riwayat pengobatan untuk mengingat meskipun pemeriksaan kultur resistensi
mengenai edukasi yang pernah diberikan dilakukan pengobatan yang diberikan belum
oleh dokter. Pada penelitian ini tidak dapat tentu sesuai mengingat OAT lini II tidak
ditarik kesimpulan bahwa lalai merupakan tersedia diluar fasilitas pelayanan kesehatan
faktor risiko TB paru resisten OAT, karena pengobatan TB - MDR. Tidak terdapat
tidak ada pembanding dari kelompok subjek kecenderungan tertentu mengenai fasilitas
yang masih sensitif OAT dengan riwayat kesehatan terbanyak yang memberikan
lalai pengobatan. Kriteria suspek TB paru rejimen OAT tidak sesuai dan tidak terdapat
resisten OAT yang paling banyak adalah kecenderungan tertentu mengenai dokter
gagal konversi kategori II (25%) diikuti oleh yang memberikan rejimen OAT tidak sesuai.
gagal kategori II (18,3%), berbeda dengan Sebuah meta analisis oleh Van der Werf
penelitian Nofizar dkk20 yang menunjukkan dkk23 menunjukkan bahwa risiko TB - MDR
bahwa kasus gagal kategori II merupakan meningkat 27 kali pada pasien dengan
kriteria suspek TB - MDR yang terbanyak riwayat pernah gagal terapi dengan rejimen
36%. Pada penelitian Nofizar dkk tidak OAT yang tidak sesuai apabila
dibahas lebih lanjut mengapa gagal kategori dibandingkan dengan pasien yang
II merupakan kriteria suspek TB - MDR mendapatkan OAT dengan rejimen yang
terbanyak. Penelitian Kritzki dkk19 sesuai.
menunjukkan hasil bahwa risiko terjadinya
TB-MDR pada kelompok gagal kategori II Pola resistensi
adalah 10 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan kelompok lalai atau kambuh dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
risiko terjadinya TB-MDR pada kelompok pola resistensi terbanyak adalah resisten
gagal kategori II adalah 2 kali lebih besar terhadap kombinasi H – R – S – E, diikuti
bila dibandingkan dengan kelompok gagal oleh resisten terhadap H – R – E dan resisten
kategori I. Penelitian Sharma dkk22 terhadap kombinasi H - R. Hasil ini serupa
menunjukkan bahwa dari 40 subjek TB dengan hasil penelitian Nofizar dkk5 yang
MDR yang mempunyai 1 kali riwayat menunjukkan bahwa pola resistensi
pengobatan sebelumnya 29 subjek kambuh, terbanyak kombinasi H – R – S – E, diikuti
3 subjek gagal pengobatan dan 8 subjek oleh resisten terhadap kombinasi H - R dan
lalai. Hasil pengobatan dapat berbeda di resisten terhadap kombinasi H – R - E
antara pusat penelitian yang berbeda. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh
penelitian Erhamza dkk11, pola resistensi
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 14
terbanyak adalah kombinasi H - R diikuti terdapat kesukaran bagi subjek untuk
oleh resisten terhadap kombinasi H – R – S - mengingat jawaban pertanyaan riwayat
E. Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh pengobatan yang banyak dan dalam waktu
penelitian Munir dkk6, pola resistensi yang sudah lama. Kelemahan lain dalam
terbanyak adalah kombinasi H - R diikuti penelitian ini adalah jumlah sampel yang
oleh resisten terhadap kombinasi H – R - S. sedikit dan data pasien TB paru resisten
Penelitian Paramasivan dkk24 di India OAT yang tidak lengkap, terutama data
menunjukkan pola resistensi terbanyak mengenai pola resistensi.
adalah kombinasi H – R – S - E. Hasil
resistensi dapat berbeda di antara pusat KESIMPULAN
penelitian yang berbeda atau bahkan pada
pusat penelitian sama namun dilakukan pada 1. Tidak terdapat hubungan antara
waktu yang berbeda. jumlah riwayat pengobatan TB paru
dengan pola resistensi di RSUP
Riwayat pengobatan dan pola resistensi Persahabatan
2. Hasil pengobatan pertama sampai
Tidak terdapatnya hubungan antara jumlah pengobatan ketiga yang terbanyak
riwayat pengobatan TB paru dengan pola adalah lalai (31,7%, 26,5% dan
resistensi dapat terjadi karena jumlah subjek 33,3%).
pada kelompok 1 - 2 kali pengobatan lebih 3. Alasan terbanyak pasien lalai
banyak dibandingkan dengan jumlah subjek pengobatan adalah karena merasa
pada kelompok 3 – 5 kali pengobatan, selain sudah lebih baik meskipun belum
itu jumlah subjek dengan pola resistensi H- dinyatakan sembuh
R-S-E pada kelompok 1 - 2 kali pengobatan 4. Pada pengobatan pertama sampai
juga lebih banyak dibandingkan dengan pengobatan ketiga dokter umum
jumlah subjek pada kelompok 3 – 5 kali adalah tenaga kesehatan terbanyak
pengobatan. Hasil tersebut menunjukkan yang memberikan pengobatan TB
bahwa tidak terdapat peningkatan risiko paru sebelumnya pada pasien TB
terjadinya pola resistensi H-R-S-E dengan paru resisten OAT (65%, 49% dan
peningkatan jumlah pengobatan TB paru 42,8%)
sebelumnya. Resistensi H-R-S-E dapat 5. Pada pengobatan pertama sampai
terjadi pada jumlah riwayat pengobatan ketiga dokter umum praktek swasta
berapapun. Untuk mendapatkan hasil merupakan fasilitas kesehatan yang
analisis yang baik, dibutuhkan data yang paling banyak tidak melakukan
lebih baik,terutama jumlah data pada pemeriksaan dahak BTA baik untuk
kelompok dengan pengobatan lebih dari dua diagnosis maupun untuk evaluasi
kali. pengobatan TB paru (66,7%, 60%
dan 100%)
Keterbatasan penelitian 6. Rumah sakit pemerintah adalah asal
rujukan TB paru resisten OAT
Salah satu alat yang digunakan untuk terbanyak (46,7%), sedangkan dokter
mengumpulkan data dalam penelitian ini umum praktek swasta merupakan
adalah kuisioner. Kelemahan penelitian asal rujukan TB paru resisten OAT
dengan menggunakan kuisioner adalah paling sedikit (1,7%).
recall bias. 81,7% subjek mempunyai 7. Persentase pemberian rejimen
riwayat lebih dari 1 kali pengobatan, pengobatan tidak sesuai pada riwayat
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 15
pengobatan kedua (32,7%) lebih 3. Tenaga kesehatan perlu untuk
besar apabila dibandingkan dengan memberikan edukasi pada pasien TB
pengobatan pertama (10%). paru mengenai ketaatan berobat TB
Persentase pengobatan sesuai pada dan risiko terjadinya resistensi OAT
riwayat pengobatan kedua (65,3%) akibat lalai berobat TB paru.
lebih kecil apabila dibandingkan 4. Perlu dilakukan pemantauan yang
dengan pengobatan pertama (85%). lebih ketat oleh dinas kesehatan
8. Sebanyak 71,7% subjek pernah mengenai pemeriksaan BTA pada
mendapatkan pengobatan TB paru di setiap fasilitas kesehatan yang
fasilitas pelayanan kesehatan memberikan pengobatan TB paru.
pemerintah. 5. Perlu ditingkatkan jejaring
9. Jumlah riwayat pengobatan laboratorium antara klinik umum
terbanyak sebelum diagnosis TB dengan fasilitas layanan kesehatan
paru resisten OAT ditegakkan adalah pemerintah agar pasien yang dilayani
2 kali pengobatan sebanyak 28 di klinik umum bisa mendapatkan
subjek (46,7%). akses pemeriksaan dahak dengan
10. Pola resistensi terbanyak adalah mudah.
resisten terhadap kombinasi isoniazid
- rifampisin - etambutol – DAFTAR PUSTAKA
streptomisin (51,7%).
11. Kriteria suspek TB paru resisten 1. World Health Organization. Global
OAT terbanyak adalah gagal tuberculosis report 2012 : The burden of the
konversi kategori II (25%). disease caused by TB. Geneva WHO
Press;2012.p.8-27.
2. World Health Organization. Global
tuberculosis report 2013 : The burden of the
disease caused by TB. Geneva WHO
SARAN Press;2013.p.8-27.
3. Soepandi PZ. Hasil pengobatan dan variasi
1. Perlu dilakukan pelatihan dan biaya TB-MDR/XDR dengan strategi
sertifikasi ISTC pada tenaga programmatic management of drug resistant
kesehatan yang memberikan tuberculosis (PMDT) di RSUP
pengobatan TB paru. Persahabatan. Tesis Manajemen Rumah
2. Tenaga kesehatan khusunya dokter Sakit FKMUI. Jakarta;2013.
umum praktek swasta yang 4. Slamet. Drugs resistant TB in Indonesia,
menemukan pasien dengan riwayat where are we now? simposium hari TB
pengobatan TB paru sebelumnya sedunia. Jakarta 2013.
harus lebih berhati – hati terhadap 5. Nofizar D, Nawas A, Burhan E. Identifikasi
kemungkinan terjadinya TB paru faktor risiko tuberkulosis multidrug
resisten OAT pada pasien tersebut, resistant. Maj Kedokt Indon
melakukan pemeriksaan kultur 2010;60(12):537-45.
resistensi dan sebaiknya merujuk 6. Munir SM, Nawas A, Sutoyo DK.
pada spesialis paru di fasilitas Pengamatan pasien tuberkulosis paru dengan
pelayanan kesehatan rujukan yang multidrug resistant (TB-MDR) di poliklinik
dapat menangani TB paru resisten paru RSUP Persahabatan. J Respir Indo
OAT. 2010;30(2):92 – 104.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 16
7. Sinaga BYM. Karakteristik penderita previously treated tuberculosis patients in
multidrug resistant tuberculosis yang India. J Int Tuberc Lung Dis
mengikuti programmatic management of 2010;14(2):243-6.
drug resistant tuberculosis di rumah sakit 17. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
umum pusat H. Adam Malik, Medan. J Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
Respir Indo 2013;33:221-9. dan Penyehatan Lingkungan. Strategi
8. Faustini A, Hall AJ, Perucci CA. The risk Nasional Pengendalian TB 2010 -
factors for multidrug resistant tuberculosis 2014;2011.p.1-71.
in Europe : a systematic review. Thorax 18. Muture BN, Keraka BN, Kimuu PK, Kabiru
2006; 61:158-63. WE, Ombeka VO, Oguya F. Factors
9. Rhines AS. The role of sex differences in associated with default from
the prevalence and transmission of treatmentamong tuberculosis patients in
tuberculosis. Tuberculosis 2013;93:104-7 Nairobi province, Kenya : a case control
10. Holmes CB, Hausler H, Nunn P. A review study. BMC Public Health 2011; 11:1-10.
of sex differences in the epidemiology of 19. Gidado M, Ejembi CL. Tuberculosis case
Tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis management and treatment outcome:
1998;2(2):96-104. assesment of the effectiveness of public –
11. Erhamza MN. Prevalens resistensi primer private mix of tuberculosis programme in
dan sekunder Mycobacterium tuberculosis Kaduna state, Nigeria. Ann Afr Med
terhadap obat anti tuberkulosis pada 2009;8(1):25-31.
penderita tuberkulosis paru di poliklinik 20. Kimerling ME, Slavuckij A, Chavers S,
paru non MDR di rumah sakit Persahabatan. Peremtin GG, Tonkel T, Sirotkina O. The
Tesis Departemen Pulmonologi dan Ilmu risk of MDR-TB and polyresistant
Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta;2012. tuberculosisamong the civilian populationof
12. Masniari L, Soepandi PZ. Faktor – faktor Tomsk city, Siberia. Int J Tuberc Lung Dis
yang mempengaruhi kesembuhan penderita 1999;7(9):866–72.
TB paru. J Respir Indo 2007;27(3):176-85. 21. Kritski AL, de Jesus LSR, Andrade MK,
13. Attamna A, Chemtob D, Attamna S, Fraser Barosso EW, Vieira MAMS, Haffner A, et
A, Rorman E, Paul M, et al. Risk of al. Retreatment tuberculosis cases. Chest
tuberculosis in close contacts of patients 1997;111:1162-7.
with multidrug resistant tuberculosis : a 22. Sharma SK, Kumar S, Saha PK, George N,
nationwide cohort. Thorax 2009;64:271. Arora SK, Gupta D, et al. Prevalence of
14. Burgos M, DeRiemer K, Small PM, multidrug resistant tuberculosis among
Hopewell PC, Daley CL. Effect of drug category II pulmonary tuberculosis patients.
resistance on the generation of secondary Indian J Med res 2011; 133: 312-5.
cases of tuberculosis. J Infect Dis 2003; 23. Khoharo HK, Shaikh IA. Drug resistance
188:1878–84. patterns in pulmonary tuberculosis. J Pak
15. Kritski AL, Marques MJ, Rabahi MF, Vieira Med Assoc 2011;61:229-32.
MA, Barroso EW, Carvalho CE et al. 24. Paramasivan CN, Rehman F, Wares F,
Transmision of tuberculosis to close Mohan NS, Sundar S, Devi S, et al. First and
contacts of patients with multidrug resistant second line drug resistance patterns among
tuberculosis. Am J Crit Care Med previously treated tuberculosis patients in
1996;153(1):331-5. India. J Int Tuberc Lung Dis
16. Paramasivan CN, Rehman F, Wares F, 2010;14(2):243-6.
Mohan NS, Sundar S, Devi S, et al. First and
second line drug resistance patterns among
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 17
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 18
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI
Jakarta 2014 19

Anda mungkin juga menyukai