Oleh :
Preseptor :
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1
keterlibatan bronkial dan penilaian terhadap intervensi bedah. Diagnosis dini dan terapi segera
sebelum berkembang menjadi bronkostenosis.3
EBTB biasanya ditemukan pada kelompok usia muda dengan lebih dari setengah kasus
yang terlihat dalam 35 tahun.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-
gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah
terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya
gelembung paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah (paru-paru kiri dan kanan).4
Paru-paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni 4:
1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru)
a. Lobus pulmo dekstra superior
b. Lobus medial
c. Lobus inferior
Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
3
2. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinister lobus superior dan lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil yang disebut segmen.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 4:
- 4 buah segmen pada lobus superior (segmen apicoposterior, segmen anterius,
segmen linguale inferius, dan segmen linguale superius), dan
- 5 buah segmen pada inferior (segmen apicale, segmen mediobasale, segmen
laterobasale, segmen anterobasale, dan segmen posterobasale).
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yakni 4:
- 5 buah segmen pada lobus inferior (segmen apicale, segmen anterobasal, segmen
posterobasal, segmen mediobasal, dan segmen laterobasal),
- 2 buah segmen pada lobus medialis (segmen laterale,dan segmen mediale), dan
- 3 buah segmen pada lobus superior (segmen apicale, segmen posterius, dan segmen
anterius).
Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang disebut lobulus.
Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-
pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.
Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut
duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3
mm.4
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum
mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum
depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput-selaput yang disebut pleura.4
Pleura dibagi menjadi dua 4:
- Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus
paru-paru.
- Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan
juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura,
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu bernafas.4
Batas-batas paru sebagai berikut 4:
4
Atas : Melalui incisura jugularis sternii dan clavicula.
Bawah : Linea mammilaris iga VI, Linea axillaries iga VIII, Linea scapularis iga X, 2cm
lateral linea mediana posterior corpus vertebra thoracalis X.
Dinding pulmo terdiri atas 4:
Fascies costalis : Pada bagian ventral, dorsal, lateral
Acies mediastinalis : Pada bagian medial
5
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara
atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks
berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat
sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar
dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.5
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane
alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan
ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir
pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjdai berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan
udara dalma ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan
karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida
berdifusi ke dalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.5
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah
paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada
beberapa penyakit misal; fibrosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai
faktor utama.6
II.3 Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan
terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh. Sebagaimana mekanisme tubuh
pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan humoral.6
6
Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru dibagi atas6 :
1) Filtrasi Udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
- Yang berdiameter 5-7 µ akan tertahan di orofaring.
- Yang berdiameter 0,5-5 µ akan masuk sampai ke paru-paru.
- Yang berdiameter 0,5 µ dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat pula di
keluarkan bersama sekresi.
2) Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan oleh silia
keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada
kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia yang mungkin terganggu
oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia.
3) Sekresi Humoral Lokal
Zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
- Lisozim, dimana dapat melisis bakteri.
- Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik.
- Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam
membunuh virus.
- Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi
virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru berulang.
4) Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian
menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai
fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
7
- Reaksi imunologis yang terjadi.
- Berbagia faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti
alkohol, stress, udara dingin, kortikosteroid, dan sitostatik.
8
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain-lain.7
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin
(G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan
penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok I gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conversed) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen
DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti
elemen sisipan.7
Gen pab dan Gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.7
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikrobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.7
9
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia :
Risiko Penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1% berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.2,8
11
25% menjadi kasus kronis yang tetap menular1,3.
12
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut.8
Lima mekanisme yang mungkin untuk patogenesis dari endobronkial tuberculosis9 :
1) Perluasan dari infeksi parenkim disekitarnya;
2) Implantasi organisme dari sputum yang mengandung kuman mycobacterium tuberculosis;
3) Penyebaran melalui hematogenous;
4) Nodus limpa yang mengalami erosi ke dalam bronkus;
5) Melalui drainase limfatik yang berasal dari parenkim ke daerah peribronkial.
Pendapat dari Myerson mengatakan suatu mekanisme retrograde tuberkel basilus melalui
limfatik bronkus dan subsegmental bronkus. Perforasi nodus limfatik tuberculous ke dalam
bronkus, pertama terbentuk masa yang menonjol kearah dalam dinding bronkial dan dapat
menyumbat lumen bronkial, nodus terlihat kuning keabu-abuan pada mucosa dinding bronkus, dan
dinding lumen terlihat hiperemis dan jaringan granulasi. Fiatula pada dinding bronkus bisa terjadi
karena terjadi erosi oleh bahan perkijauan. Secara bertahap, perforasi/fistula ditutup dan tidak ada
indurasi berikutnya dari node. Akhirnya, fibrosis berkembang dengan penyembuhan dinding
bronkial. Dalam beberapa kasus, bronchostenosis dengan distorsi anatomi bronkial.9
EBTB pada anak biasanya dari komplikasi TB primer disebabkan oleh pembesaran nodus
limfatik di bronkus, nodus limfatik menjadi terfiksasi /menetap di daerah dinding bronkus oleh
karena inflamasi dinding bronkus dan infeksi berlangsung di daerah mucosa dinding bronkus, hal
ini menyebabkan ulcerasi atau jaringan granulasi, nodus limfatik pada bronkus lah yang
menyebabkan erosi/ulcer pada dinding bronkial. EBTB biasanya diawali sebagai submucosal
tubercel lalu berkembang menjadi ulkus. Jaringan granulasi biasanya terlihat seperti masa polip.
Penyembuhan ulkus menjadi fibrosis. Derajat fibrostenosis tergantung dari dalamnya ulkus.
Beberapa ulkus sisa tetap akan ada walaupun sudah dalam pengobatan. Dalam 90% kasus, terdapat
bukti dalam foto radiologi terjadi atelektasis segmental ini menandakan terjadinya sumbatan. Yang
terjadi lebih sering pada lobus kanan dan setengah bagian depan dari kanan, atas lobus.9
13
B. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA
negatif;
C. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat;
D. Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1) Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya
resistensi;
2) Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost-effective);
3) Mengurangi efek samping.
14
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
II.4.6.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru:
1) Tuberculosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
15
b. TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
Catatan:
o Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
o Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
16
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
EBTB dapat memiliki gejala seperti bronkogenik karsinoma atau akut seperti gejala
asma, aspirasi benda asing dan pneumonia. EBTB sering terjadi pada jenis kelamin
wanita, 15% pada geriatri. Gejala EBTB dapat berupa batuk yang tidak respon
dengan antitusive, bronkohorrea dapat terjadi pada aktif EBTB, produksi sputum
sangat bervariasi, hemoptisis jarang terjadi.12
Ruptur nodus limfa dapat menyebabkan nyeri dada rasa tajam atau tumpul pada
sternal atau regio parasternal, dyspneu berhubungan dengan atelektasisnya. Pada
pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan suara napas dan terlokalisir suara
wheezing atau ronki. Pada 25-35% kasus didapat gambaran klinis kolaps paru.
Klasik monophonik wheezing mungkin terdengar pada 15% kasus. Gejala lainnya
17
dapat berupa demam, penurunan berat badan, anorexia, dan keringat malam tidak
terlalu dominan.3,10,13
18
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
o P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
o S (Sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB
paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.
19
obstruksi pneumoni dan mukoid impaksi. Gambaran rontgen paru dengan kehilangan volume paru
indikasi dari bronkial stenosis, dan fiberoptik bronkoskopi harus segera dipertimbangkan.
Bronkolitiasis dan bronkoektasis adalah komplikasi dari bronkostenosis tuberkulosis.12
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).12
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif7:
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
20
Luluh paru (destroyed lung)7 :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto torak untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif)7 :
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari
iga kedua depan dan prosessus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
21
Dikutip dari (10)
22
Dikutip dari (14)
23
v. Granular EBTB
Pada tipe ini terlihat seperti ada butiran-butiran gandum, dan pada lumen bronkus terjadi
inflamasi.
Contoh foto dari gambaran bronkoskopi dari seorang pasien penderita EBTB sebelum dan
sesudah terapi.15
24
II.5.9 Komplikasi Endobronkial Tuberculosis
Bronkial stenosis adalah yang paling sering komplikasi dari EBTB, striktur irreversible
adalah komplikasi yang dapat terjadi walaupun sudah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Bronkostenosis dapat terjadi pada 60-90% kasus dan dapat mengenai cabang bronkus utama.
Keadaan yang buruk dapat mengenai trakea dan menyebabkan obstruksi saluran napas.
Bronkoektasis juga komplikasi yang paling sering dari EBTB, destruksi paru dan fibrosis juga
dapat terjadi. Bronkoektasis biasanya asimptomatik dan terjadi pada lobus bagian atas, batuk darah
adalah gejala yang paling sering dari bronkoektasis.12
25
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang tadinya
menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant,
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Dari hasil percobaan pada binatang dan
pengobatan pada manusia ternyata hampir semua obat antituberculosis mempunyai sifat
bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih
berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin
menempati urutan yang lebih bawah.
26
2) Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan
gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil
yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya
inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan
kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Regimen
pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan
menjadi sembuh. Dengan cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang
menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien TB berhasil disembuhkan
secara baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan
suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.
27
(RHZE) (RHZ) (RHZ) (RH) (RH)
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Dikutip dari (7)
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1) Penatalaksaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2) Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja.
3) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4) Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5) Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi7.
28
Gagal 2 HRZE
Putus obat /1 HRZE
Kasus baru BTA (-), Ro (+), Sakit 2 HRZE* 4 H3R3*
III ringan 6 HE
Kasus TB ekstraparu ringan 2 HRZE 4 HR
Kasus kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) + obat
IV lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2
atau H seumur hidup
Dikutip dari (7,11)
Catatan:
* Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB.
*) Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin.
29
- Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas
- Penderita TB ekstra paru berat
30
Bila setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat dimulai
Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan pengobatan menjadi kategori II.
Fase lanjutan 4 RH / 4 R3H3 / 6 HE
Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan atau di akhir
pengobatan
RIFAMPISIN
Ikterus, Flu like syndrome, Syndrome Redman (akibat dosis yang berlebihan, terdapat
kerusakan hati yang berat, warna merah terang pada urin, air mata, ludah, dan kulit), nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, supresi imunitas.
ETAMBUTOL
Neuritis optic, Gout (pirai), gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik, nyeri perut, malaise, sakit
kepala, sempoyongan, linglung, halusinasi, bingung.
31
PYRAZINAMID
Gangguan hati, Gout (pirai).
STREPTOMISIN
Bila dilakukan peningkatan dosis dapat terjadi telinga berdenging (tinitus), pusing, dan
kehilangan keseimbangan. Reaksi hipersensitivitas, demam (timbul tiba-tiba), sakit kepala,
muntah, dan eritema pada kulit, serta kadang terjadi kesemutan sekitar mulut segera setelah
suntikan.7
KESIMPULAN
EBTB adalah suatu manifestasi yang jarang pada penyakit TB paru. Diagnosis dari EBTB
biasanya terlambat sampai terjadi onset serius bronkial stenosis dengan komplikasi berupa
32
atelektasis dan bronkoektasis. Simtomp dan gejala adalah karena perkembangan dari progresifitas
TB paru. Inflamasi mukosa adalah yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan bronkoskopik.
Patogenesis dari EBTB sendiri belum diketahui secara pasti dan secara penuh dimengerti dan
EBTB terbagi dalam klasifikasi tergantung dari tipe-nya. Walaupun adekuat treatment, bronkial
stenosis tetap akan dapat terjadi.14
Daftar Pustaka
33
1. Price. A, Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta : EGC, 2004 : 852-64.
2. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 998-1005,1045-9.
3. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
4. Anatomi Paru-paru. Diakses dari:
http://ajunkdoank.wordpress.com/2009/07/14/anatomiparu-paru/
5. Price, S.A., Wilson, L. M. 1994. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes.
Jakarta : EGC.
6. Rab, Tabrani. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates. Hal : 20, 581
7. Aditama, Yoga Tjandra, dkk. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
8. Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
9. Smart J. Endobronchial tuberculosis. Br J Dis chest 1951 ; 45 : 61-68
10. Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from
http://www.tbcindonesia_Or_Id.html
11. Kabo P. Pengobatan TBC. 17 Juli 2009. Available from
http://www.medicastore.com/med/index.php
12. Ip MS, So Sy, Lam WK, Mok CK. Endobronchial tuberculosis revisited. Chest; 1986; 89;
273-30.
13. Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Merupakan Masalah
Dalam Masyarakat. 17 Juli 2009. Available from
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf
14. Lee JH, Park SS, Lee DH, Yang SC, Yoo BM. Endobronchial tuberculosis : Clinical and
bronchoscopic features in 121 cases. Chest 1992; 102 : 990-94.
15. Subagyo. Pemeriksaan Bronkoskopi Pada Pasien TB di Rumah Sakit Pasar Rebo. Jakarta.
34