Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

Endobronkial Tuberculosis (EBTB)

Oleh :

Asriani Chania (1310070100051)

Retno Puspita Sari (1310070100056)

Habibi Al-Afghani (1310070100053)

Jehan Riyadi (13100701000__)

Preseptor :

dr. Taufiq Hidayat,Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PARU

RUMAH SAKIT DR AHMAD MUCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2018
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium


tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat
TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari
pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.1
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.2
Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.2
Endobronkial tuberculosis (EBTB) adalah sebagai infeksi tuberculosis pada trakeobronkial
dengan ditemukannya microba dan histopatologi tuberculosis, ini terlihat pada 10-40% pasien
dengan tuberculosis pulmonal aktif. Lebih dari 90% pasien dengan EBTB mempunyai beberapa
derajat stenosis bronchial. 10 sampai 20% memiliki rontgen thorax yang normal, oleh karena itu
rontgen thorax normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis EBTB. Bronkoskopi menjadi gold
standar untuk menegakkan diagnosis EBTB selain dari kultur kuman tuberculosis. Bronkoskopi
dan komputerisasi tomografi adalah metode pilihan untuk diagnosis yang akurat tentang

1
keterlibatan bronkial dan penilaian terhadap intervensi bedah. Diagnosis dini dan terapi segera
sebelum berkembang menjadi bronkostenosis.3
EBTB biasanya ditemukan pada kelompok usia muda dengan lebih dari setengah kasus
yang terlihat dalam 35 tahun.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Paru

Gambar 1. Bentuk anatomis paru

Dikutip dari (4)

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-
gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah
terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya
gelembung paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah (paru-paru kiri dan kanan).4
Paru-paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni 4:
1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru)
a. Lobus pulmo dekstra superior
b. Lobus medial
c. Lobus inferior
Tiap lobus tersusun oleh lobulus.

3
2. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinister lobus superior dan lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil yang disebut segmen.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 4:
- 4 buah segmen pada lobus superior (segmen apicoposterior, segmen anterius,
segmen linguale inferius, dan segmen linguale superius), dan
- 5 buah segmen pada inferior (segmen apicale, segmen mediobasale, segmen
laterobasale, segmen anterobasale, dan segmen posterobasale).
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yakni 4:
- 5 buah segmen pada lobus inferior (segmen apicale, segmen anterobasal, segmen
posterobasal, segmen mediobasal, dan segmen laterobasal),
- 2 buah segmen pada lobus medialis (segmen laterale,dan segmen mediale), dan
- 3 buah segmen pada lobus superior (segmen apicale, segmen posterius, dan segmen
anterius).
Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang disebut lobulus.
Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-
pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.
Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut
duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3
mm.4
Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum
mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum
depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput-selaput yang disebut pleura.4
Pleura dibagi menjadi dua 4:
- Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus
paru-paru.
- Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam dinding dada.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan
normal kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan
juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura,
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu bernafas.4
Batas-batas paru sebagai berikut 4:

4
 Atas : Melalui incisura jugularis sternii dan clavicula.
 Bawah : Linea mammilaris iga VI, Linea axillaries iga VIII, Linea scapularis iga X, 2cm
lateral linea mediana posterior corpus vertebra thoracalis X.
Dinding pulmo terdiri atas 4:
 Fascies costalis : Pada bagian ventral, dorsal, lateral
 Acies mediastinalis : Pada bagian medial

Tabel 1. Pembagian mediastinal kanan dan kiri


Fascies mediastinalis paru kanan terdapat Fascies mediastinal paru kiri terdapat

 Hillus pulmonus  Hillus pulmonis


 Impression cardiaca  Impression cardiaca
 Sulcus VCS  Sulcus arcus aorta
 Sulcus A. Subclavia  Sulcus aorta descendens
 Sulcus V. Azygos

Dikutip dari (4)


Pembuluh darah paru terdiri dari4 :
 Aa. Dan Vv. Pulmonales  Berhubungan dengan faal pernafasan.
 Aa. Dan Vv. Bronchiales  Berhubungan dengan pertukaran zat di jaringan paru.
Aliran-aliran getah bening paru4 :
 Bagian bawah dan tengah  Menuju nn.ll. trakheobronkialis inferior.
 Bagian atas dan tengah  Menuju nn.ll.trakheobronkialis superior dekstra dan sinistra.
 Apex pulmo
- Pulmo kiri  Menuju nn.ll. cervicalis inferior profunda.
- Pulmo kanan  Menuju angulus venosus atau berhubungan dengan nn.ll. cervicalis
inferior profunda.
Persarafan paru4 :
 Simpatis : Trunkus simpatikus (Th III, IV, V)
 Parasimpatis : N. Vagus
II.2 Fisiologi Paru

5
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara
atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding toraks
berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat
sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar
dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.5
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane
alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan
ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir
pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg.
Penurunan tekanan parsial ini terjdai berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan
udara dalma ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan
karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida
berdifusi ke dalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.5
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah
paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada
beberapa penyakit misal; fibrosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai
faktor utama.6
II.3 Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan
terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh. Sebagaimana mekanisme tubuh
pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan humoral.6

6
Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru dibagi atas6 :
1) Filtrasi Udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
- Yang berdiameter 5-7 µ akan tertahan di orofaring.
- Yang berdiameter 0,5-5 µ akan masuk sampai ke paru-paru.
- Yang berdiameter 0,5 µ dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat pula di
keluarkan bersama sekresi.
2) Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan oleh silia
keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada
kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia yang mungkin terganggu
oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia.
3) Sekresi Humoral Lokal
Zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
- Lisozim, dimana dapat melisis bakteri.
- Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik.
- Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam
membunuh virus.
- Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi
virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru berulang.
4) Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian
menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai
fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.

Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :


- Gerakan mukosiliar.
- Faktor humoral lokal
- Reaksi sel.
- Virulensi dari kuman yang masuk.

7
- Reaksi imunologis yang terjadi.
- Berbagia faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti
alkohol, stress, udara dingin, kortikosteroid, dan sitostatik.

II.4 Konsep Penyakit Endobronkial Tuberculosis


II.4.1 Definisi Tuberculosis dan Endobronkial Tuberculosis
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex.7 Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.2
Endobronkial tuberculosis (EBTB) adalah sebagai infeksi tuberculosis pada trakeobronkial
dengan ditemukannya microba dan histopatologi tuberculosis, ini terlihat pada 10-40% pasien
dengan tuberculosis pulmonal aktif.3

II.4.2 Etiologi Tuberculosis


Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding
M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama
dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomaman. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol.7
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul
14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifiti yang
bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam

8
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain-lain.7

Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin
(G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan
penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok I gen yang merupakan sikuen DNA
mikobakteria yang selalu ada (conversed) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen
DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti
elemen sisipan.7
Gen pab dan Gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.7
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikrobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.7

II.4.3 Epidemiologi Tuberculosis


Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
“Global Emergency”. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.

9
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia :

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberculosis di Seluruh Dunia

II.4.4 Cara Penularan Tuberculosis


 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
10
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko Penularan
 Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB
paru dengan BTA negatif.
 Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1% berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun.
 ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
 Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.2,8

Risiko menjadi sakit TB


 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
 Dengan ARTI 1% diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi
TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50
diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
 HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberculosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.3,10

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan :


 50% meninggal.
 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi.

11
 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular1,3.

II.4.5 Patogenesis Endobronkial Tuberculosis


Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni ditempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar
melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi
tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respon imunitas seluler. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberculin.1
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijauan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus

12
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut.8
Lima mekanisme yang mungkin untuk patogenesis dari endobronkial tuberculosis9 :
1) Perluasan dari infeksi parenkim disekitarnya;
2) Implantasi organisme dari sputum yang mengandung kuman mycobacterium tuberculosis;
3) Penyebaran melalui hematogenous;
4) Nodus limpa yang mengalami erosi ke dalam bronkus;
5) Melalui drainase limfatik yang berasal dari parenkim ke daerah peribronkial.
Pendapat dari Myerson mengatakan suatu mekanisme retrograde tuberkel basilus melalui
limfatik bronkus dan subsegmental bronkus. Perforasi nodus limfatik tuberculous ke dalam
bronkus, pertama terbentuk masa yang menonjol kearah dalam dinding bronkial dan dapat
menyumbat lumen bronkial, nodus terlihat kuning keabu-abuan pada mucosa dinding bronkus, dan
dinding lumen terlihat hiperemis dan jaringan granulasi. Fiatula pada dinding bronkus bisa terjadi
karena terjadi erosi oleh bahan perkijauan. Secara bertahap, perforasi/fistula ditutup dan tidak ada
indurasi berikutnya dari node. Akhirnya, fibrosis berkembang dengan penyembuhan dinding
bronkial. Dalam beberapa kasus, bronchostenosis dengan distorsi anatomi bronkial.9
EBTB pada anak biasanya dari komplikasi TB primer disebabkan oleh pembesaran nodus
limfatik di bronkus, nodus limfatik menjadi terfiksasi /menetap di daerah dinding bronkus oleh
karena inflamasi dinding bronkus dan infeksi berlangsung di daerah mucosa dinding bronkus, hal
ini menyebabkan ulcerasi atau jaringan granulasi, nodus limfatik pada bronkus lah yang
menyebabkan erosi/ulcer pada dinding bronkial. EBTB biasanya diawali sebagai submucosal
tubercel lalu berkembang menjadi ulkus. Jaringan granulasi biasanya terlihat seperti masa polip.
Penyembuhan ulkus menjadi fibrosis. Derajat fibrostenosis tergantung dari dalamnya ulkus.
Beberapa ulkus sisa tetap akan ada walaupun sudah dalam pengobatan. Dalam 90% kasus, terdapat
bukti dalam foto radiologi terjadi atelektasis segmental ini menandakan terjadinya sumbatan. Yang
terjadi lebih sering pada lobus kanan dan setengah bagian depan dari kanan, atas lobus.9

II.4.6 Klasifikasi Tuberkulosis


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal9,10,11, yaitu:
A. Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru;

13
B. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA
negatif;
C. Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat;
D. Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati.

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:


1) Menentukan paduan pengobatan yang sesuai,
2) Registrasi kasus secara besar,
3) Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif,
4) Analisis kohort hasil pengobatan.

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1) Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh
dokter.
2) Kasus TB pasti (definitif) : Pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis
atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1) Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya
resistensi;
2) Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan
pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost-effective);
3) Mengurangi efek samping.

II.4.6.1 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:1,8,12,11


1) Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

14
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

II.4.6.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru:
1) Tuberculosis paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

II.4.6.3 Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

15
b. TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
Catatan:
o Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
o Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

II.4.6.4 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu :
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4) Kasus Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap postif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain

16
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.

II.4.7 Gejala Klinis Penyakit Tuberculosis


Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus
baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
 Gejala sistemik/umum:
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.8,9

 Gejala khusus:
 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
 EBTB dapat memiliki gejala seperti bronkogenik karsinoma atau akut seperti gejala
asma, aspirasi benda asing dan pneumonia. EBTB sering terjadi pada jenis kelamin
wanita, 15% pada geriatri. Gejala EBTB dapat berupa batuk yang tidak respon
dengan antitusive, bronkohorrea dapat terjadi pada aktif EBTB, produksi sputum
sangat bervariasi, hemoptisis jarang terjadi.12
 Ruptur nodus limfa dapat menyebabkan nyeri dada rasa tajam atau tumpul pada
sternal atau regio parasternal, dyspneu berhubungan dengan atelektasisnya. Pada
pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan suara napas dan terlokalisir suara
wheezing atau ronki. Pada 25-35% kasus didapat gambaran klinis kolaps paru.
Klasik monophonik wheezing mungkin terdengar pada 15% kasus. Gejala lainnya

17
dapat berupa demam, penurunan berat badan, anorexia, dan keringat malam tidak
terlalu dominan.3,10,13

II.5.7 Diagnosis Endobronkial Tuberkulosis


Walaupun pemeriksaan sputum yang terpenting dan langkah pertama untuk mendiagnosis
EBTB, bronkoskopi dan CT-scan adalah metode yang akurat dan pilihan untuk kasus yang
memerlukan intervensi pembedahan. Fiber optik bronkoskopi di indikasikan pada pasien yang
memiliki foto rontgen, gejala, dan pada pemeriksaan fisik mengarah kepada endobronkial
tuberculosis. Pada kasus EBTB pemberian obat antituberculosis dan kortikosteroid dapat
mengurangi pembengkakan nodus limfatikus dan pembekakan mukosa, maka pemberian kedua
obat ini harus disegerakan.14
Gambaran bronkoskopi yang biasanya ditemukan adalah jaringan granulasi dengan
gelatinosa berwarna putih, mukosa bernodul, merah, kadang berulkus. Gambaran ini mirip dengan
karsinoma brongkogenik.12
Asam nukleus amplifikasi tes seperti PCR, pada tes ini sangat cepat mendeteksi M.
tuberculosis pada saluran respiratori.12

II.5.7.1 Pemeriksaan Sputum


Semua pasien dengan suspek EBTB harus melakukan pemeriksaan sputum dan kultur M.
tuberculosis. Hasil dari pemeriksaan sputum pada pasien dengan EBTB hasil dari BTA tidak
terlalu tinggi dibandingkan penyakit TB yang hanya mengenai jaringan parenkim saja. Dalam
penelitian baru-baru ini sputum positif (BTA +) pada EBTB hanya 16 sampai 53.3 persen.12
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis
pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)7 :
o S (Sewaktu):

18
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
o P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
o S (Sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB
paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila7 :


 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif  BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif  Ulang BTA 3 kali, kemudian
 Bila 1 kali positif, 2 kali negatif  BTA positif
 Bila 3 kali negatif  BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Union


Against Tuberculosis and Lung Disease) (rekomendasi WHO)7 :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (+2).
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (+3).

II.5.7.2 Foto Torak


Sepuluh sampai 20 persen pasien dengan EBTB dapat memiliki foto torak yang normal.
Jadi, foto torak yang normal tidak menyingkirkan diagnosis endobronkial tuberculosis. Bronkial
stenosis terjadi pada 10-40 persen pasien dengan TB aktif. Gambaran radiologi dengan
bronkostenosis tuberculosis ialah persisten kolaps paru segmental atau lobaris, hiperinflasi lobaris,

19
obstruksi pneumoni dan mukoid impaksi. Gambaran rontgen paru dengan kehilangan volume paru
indikasi dari bronkial stenosis, dan fiberoptik bronkoskopi harus segera dipertimbangkan.
Bronkolitiasis dan bronkoektasis adalah komplikasi dari bronkostenosis tuberkulosis.12

Dikutip dari (9)

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).12
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif7:
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif7:


 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

20
Luluh paru (destroyed lung)7 :
 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto torak untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif)7 :
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari
iga kedua depan dan prosessus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

II.5.7.3 Computed Tomography (CT) Scan


Dengan menggunakan pemeriksaan CT Scan torak kita dapat melihat paru secara
multiplanar dan tiga dimensi, dengan cara ini kita dapat dengan pasti diagnosis dan evaluasi
luasnya penyakit yang mengenai saluran udara. Multiplanar dan gambaran 3-D sangat berguna
untuk mengetahui secara keseluruhan status saluran udara, cabang trakeobronkial, terutama untuk
evaluasi lokus/fokal stenosis air way. CT-Scan dapat juga membantu dalam visualisasi endoskopi.
CT-Scan tingkat keakuratan dalam mendiagnosis abnormalitas bronkial sekitar 93-100%. CT-Scan
dapat mendeteksi penebalan segmental bronkial sekitar (41%-43%), komplit endobronkial
obstruksi (32%).14

21
Dikutip dari (10)

II.5.7.4 Fiberoptik Bronkoskopi


Bronkoskopi adalah kunci untuk mendiagnosis EBTB, bronkoskopi dapat 90% positif
culture pada M. tuberculosis. Bronkoskopi biopsi adalah pemeriksaan yang paling realible untuk
mendiagnosis EBTB, karena pada bronkoskopi biopsi terdapat jarum yang meng-aspirasi jaringan
yang dapat mendiagnosis secara sitologi.12 Sebaiknya pasien dengan EBTB dilakukan
pemeriksaan bronkoskopi secara serial setiap 3 bulan, untuk mengetahui perkembangan dari tipe
EBTB.14
Terdapat tujuh klasifikasi EBTB yang dilihat dari pemeriksaan bronkoskopi ; (i) perkijauan
aktif, (ii) edematous-hiperemis, (iii) fibrostenosis, (iv) tumor, (v) granular, (vi) ulceratif, dan (vii)
non spesifik bronkitis.14

22
Dikutip dari (14)

i. Perkijauan aktif EBTB


Pada tipe ini terlihat/terjadi mukosa bronkus membengkak, hiperemis dan difus diselimuti
perkijauan berwarna putih, biasanya tipe ini dibarengi oleh penyempitan bronkus.

ii. Edematous-hiperemis EBTB


Pada tipe ini lumen bronkial selalu menyempit oleh karena mukosa bronkial yang
membengkak dan hiperemis. Jaringan perkijauan pada tipe ini tidak ada.

iii. Fibrostenosis EBTB


Pada tipe ini terjadi fibrosis pada lumen bronkus, pada tipe ini dapat terjadi oklusi dari lumen
bronkus.

iv. Tumor EBTB


Pada tipe ini semua lumen bronkus tertutup oleh jaringan perkijauan dan total oklusi terjadi
pada bronkus. Pada kasus ini sering pasien didiagnosis dengan tumor paru, selain gejala mirip
dengan tumor paru pada pemeriksaan brongkoskopi dan CT-Scan mirip dengan tumor paru.

23
v. Granular EBTB
Pada tipe ini terlihat seperti ada butiran-butiran gandum, dan pada lumen bronkus terjadi
inflamasi.

vi. Ulceratif EBTB


Pada tipe ini terlihat ada ulkus di bronkus.

vii. Nonspesifik bronkitis EBTB


Pada tipe ini terjadi mild inflamation pada mukosa bronkus. Dan terlihat mild swelling pada
bronkoskopi. Pada tipe ini prognosis penyakit yang paling bagus.

Contoh foto dari gambaran bronkoskopi dari seorang pasien penderita EBTB sebelum dan
sesudah terapi.15

Gambar sebelum diterapi Gambar sesudah diterapi


(13-4-2013) (22-4-2013)

Dikutip dari (15)


II.5.8 Diagnosis Banding Endobronkial Tuberculosis
Kanker paru adalah diagnosis banding utama pada kasus ini, walaupun ada beberapa
diagnosis banding pada penyakit EBTB seperti sarcodosis, asthma bronkial, atelektasis, aspirasi
benda asing, pneumonia, dan endobronkial actinomycosis. Pada penyakit sarcoidosis juga
melibatkan endobronkial dan bermanifest inflamasi pada endobronkial.14

24
II.5.9 Komplikasi Endobronkial Tuberculosis
Bronkial stenosis adalah yang paling sering komplikasi dari EBTB, striktur irreversible
adalah komplikasi yang dapat terjadi walaupun sudah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Bronkostenosis dapat terjadi pada 60-90% kasus dan dapat mengenai cabang bronkus utama.
Keadaan yang buruk dapat mengenai trakea dan menyebabkan obstruksi saluran napas.
Bronkoektasis juga komplikasi yang paling sering dari EBTB, destruksi paru dan fibrosis juga
dapat terjadi. Bronkoektasis biasanya asimptomatik dan terjadi pada lobus bagian atas, batuk darah
adalah gejala yang paling sering dari bronkoektasis.12

II.5.10 Pentalaksanaan Endobronkial Tuberculosis


Diagnosis dini dan pengobatan secara dini dapat menurunkan tingkat morbiditas pasien.
Bronkoskopi adalah sangat penting untuk diagnosis dan rencana pengobatan. Dengan pemberian
OAT secara dini dapat mengkontrol progres dari penyakit EBTB. Durasi dan regimen adalah sama
untuk standar kemoterapi dan pada beberapa penelitian dianjurkan diberikan OAT selama 6-9
bulan. Jenis modalitas lain untuk pengobatan EBTB ialah kortikosteroid, ballon dilatasi, self
expanding metalic stent, bronkoplasti. Balon dilatasi dan self expanding stent insertion sangat
efektif untuk pengobatan bronkial stenosis.
Penggunaan steroid untuk mencegah atau mengobati bronkostenosis tidak begitu jelas.
Walaupun, EBTB biasanya dengan komplikasi bronchial stenosis tidak ada obat yang spesifik
dapat mencegah squele dari penyakit ini. Walaupun penggunaan kortikosteroid kontroversial tapi
terkadang mendapatkan hasil yang bagus pada penggunaan obat ini, beberapa alam mengapa ini
bisa terjadi pertama, obat ini dapat mengurangi penyempitan pada bronkial. Kedua, obat ini dapat
mengurangi bronkial stenosis secara lama.
Terapi pembedahan secara bronkoplasti diindikasikan pada pasien dengan respon buruk
pengobatan OAT.
II.5.10.1 Cara Pemberian OAT dengan DOTS
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu2,8,13,11 :
1. Tahap Intensif

25
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila
pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang tadinya
menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant,
sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Dari hasil percobaan pada binatang dan
pengobatan pada manusia ternyata hampir semua obat antituberculosis mempunyai sifat
bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih
berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin
menempati urutan yang lebih bawah.

II.5.10.2 Prinsip Pengobatan Tuberculosis


Pengobatan TB memiliki 2 prinsip dasar, yaitu1,2,10 :
1) Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka
terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus bakterisid. Karena suatu resistensi obat
dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisid yang
terkuat pun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan
basil yang resisten. Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil
yang besar, misalnya pada TB paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1 basil
resisten dari 106 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan terhadap 2
macam obat merupakan hasil probabilitas masing-masing obat, sehingga penggunaan 2
macam obat yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder. Obat
anti TB mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi
terhadap obat lainnya. Obat rifampisin dan INH merupakan obat yang paling efektif,
etambutol dan streptomisin dengan kemampuan menengah, sedangkan pirazinamid adalah
yang efektifitasnya terkecil.

26
2) Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan
gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil
yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya
inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan
kekambuhan, beberapa bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Regimen
pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan untuk jaminan
menjadi sembuh. Dengan cara pengobatan pada masa kini (metode DOTS) yang
menggunakan paduan beberapa obat, pada umumnya pasien TB berhasil disembuhkan
secara baik dalam waktu 6 bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan
suatu kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.

II.5.10.3 Dosis OAT


Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Dosis (mg) / berat
Dosis yang dianjurkan Dosis
Dosis badan (kg)
Obat Maks
(mg/KgBB/hari) Harian Intermitten 40-
(mg) <40 >60
(mg/KgBB/hari (mg/KgBB/kali) 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB

Dikutip dari (7)

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap


Fase intensif Fase lanjutan
BB 2 bulan 4 bulan
Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

27
(RHZE) (RHZ) (RHZ) (RH) (RH)
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Dikutip dari (7)
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1) Penatalaksaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2) Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang
tidak disengaja.
3) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.
4) Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5) Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal MDR akibat penurunan penggunaan
monoterapi7.

II.5.10.4 Panduan Pemberian Obat


Tabel 1. Cara pemberian OAT dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu:
Panduan Obat Alternatif
Kategori
Fase Intensif (tiap
Pengobatan Klasifikasi dan Tipe Penderita TB Fase
hari atau 3x
TB Lanjutan
seminggu)
Kasus baru BTA (+) 2 HRZE* 4 H3R3*
Kasus baru BTA (-), Ro (+) dengan 2 HRZE 4HR
kelainan parenkim paru yang luas/sakit
I
berat
Kasus baru pada TB ekstra paru yg 2 HRZE 6 HE
berat
Pasien: 2 HRZES* 5 H3R3E3*
II
Kambuh (relaps) /1 HRZE* 5 HRE

28
Gagal 2 HRZE
Putus obat /1 HRZE
Kasus baru BTA (-), Ro (+), Sakit 2 HRZE* 4 H3R3*
III ringan 6 HE
Kasus TB ekstraparu ringan 2 HRZE 4 HR
Kasus kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) + obat
IV lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2
atau H seumur hidup
Dikutip dari (7,11)
Catatan:
* Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB.
*) Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin.

A. Panduan Obat untuk Kategori I


 Fase Intensif 2 RHZE.
 Bila setelah 2 bulan dahak menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai.
 Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu
lagi, apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai. Namun
bila masih positif, dilanjutkan ke kategori I.
 Fase lanjutan 4 RH / 4 R3H3.
 Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik,
fase lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan.
 Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE.
 Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada
akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan
diganti dengan kategori II.

Obat ini diberikan untuk:


- Penderita baru TB paru BTA positif

29
- Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas
- Penderita TB ekstra paru berat

B. Panduan Obat untuk Kategori II


 Fase Intensif 2 RHZE / 1 RHZE
 Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan dengan fase
lanjutan.
 Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+), fase intensif diperpanjang 1 bulan
lagi dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan dahak masih tetap (+), pengobatan
dihentikan 2-3 hari, lalu diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase
lanjutan diteruskan tanpa menunggu hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan
resistensi terhadap H dan R ini menunjukkan MDR, bila memungkinkan
penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik untuk dipertimbangkan
pengobatan dengan obat sekunder.
 Bila pasien mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih
sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi (-), fase
lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan yang ketat.
 Fase Lanjutan 5 R3H3E3 / 5 RHE
 Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir bulan
pengobatan (bulan ketujuh), bila (-) teruskan pengobatan. Bila (+) menjadi
kasus kronik.
 Pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan bila (-) penderita sembuh, bila
(+) menjadi kasus kronik.

Obat ini diberikan untuk:


- Kasus kambuh
- Kasus gagal obat
- Kasus putus obat

C. Panduan Obat untuk Kategori III


 Fase Intensif 2 RHZE.

30
 Bila setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat dimulai
 Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan pengobatan menjadi kategori II.
 Fase lanjutan 4 RH / 4 R3H3 / 6 HE
 Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan atau di akhir
pengobatan

Obat ini diberikan untuk:


- Penderita baru BTA negatif, Rontgen positif, lesi minimal
- TB ekstra paru ringan

D. Panduan Obat untuk Kategori IV


Obat ini diberikan pada penderita TB kronik dan TB multiresisten.
 Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil
sekali
 Untuk pasien yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur hidup
 Untuk pasien yang mampu, pemberian obat dicoba berdasarkan hasil uji resistensinya
dan obat-obat sekunder

II.5.10.5 Efek Samping Obat


 ISONIAZID (INH)
Neuritis perifer (kejang, atropi, ataksia, kesemutan, ensephalopati toksik dan kematian),
ikterus, hipersensitivitas, mulut kering, nyeri epigastrik, mathemoglobinemia, tinitus,
retensi urin.

 RIFAMPISIN
Ikterus, Flu like syndrome, Syndrome Redman (akibat dosis yang berlebihan, terdapat
kerusakan hati yang berat, warna merah terang pada urin, air mata, ludah, dan kulit), nyeri
epigastrik, reaksi hipersensitivitas, supresi imunitas.
 ETAMBUTOL
Neuritis optic, Gout (pirai), gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik, nyeri perut, malaise, sakit
kepala, sempoyongan, linglung, halusinasi, bingung.

31
 PYRAZINAMID
Gangguan hati, Gout (pirai).

 STREPTOMISIN
Bila dilakukan peningkatan dosis dapat terjadi telinga berdenging (tinitus), pusing, dan
kehilangan keseimbangan. Reaksi hipersensitivitas, demam (timbul tiba-tiba), sakit kepala,
muntah, dan eritema pada kulit, serta kadang terjadi kesemutan sekitar mulut segera setelah
suntikan.7

II.5.11 Prognosis Endobronkial Tuberculosis


Prognosis pada penyakit ini tergantung pada tipe EBTB, pada tipe edematous-hyperemic
ialah buruk dapat menyebabkan fibrostenosis, prognosis baik pada tipe granular dan non-spesifik
bronkitik EBTB, pada tipe tumor prognosisnya buruk biasanya dapat menyebabkan bronkial
stenosis walupun dengan adekuat pengobatan.14

II.5.12 Pencegahan Endobronkial Tuberculosis


 Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin.
 Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air sabun).
 Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
 Menghindari udara dingin.
 Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.
 Menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
 Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak
boleh digunakan oleh orang lain.
 Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

KESIMPULAN
EBTB adalah suatu manifestasi yang jarang pada penyakit TB paru. Diagnosis dari EBTB
biasanya terlambat sampai terjadi onset serius bronkial stenosis dengan komplikasi berupa

32
atelektasis dan bronkoektasis. Simtomp dan gejala adalah karena perkembangan dari progresifitas
TB paru. Inflamasi mukosa adalah yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan bronkoskopik.
Patogenesis dari EBTB sendiri belum diketahui secara pasti dan secara penuh dimengerti dan
EBTB terbagi dalam klasifikasi tergantung dari tipe-nya. Walaupun adekuat treatment, bronkial
stenosis tetap akan dapat terjadi.14

Daftar Pustaka

33
1. Price. A, Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta : EGC, 2004 : 852-64.
2. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 998-1005,1045-9.
3. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
4. Anatomi Paru-paru. Diakses dari:
http://ajunkdoank.wordpress.com/2009/07/14/anatomiparu-paru/
5. Price, S.A., Wilson, L. M. 1994. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes.
Jakarta : EGC.
6. Rab, Tabrani. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates. Hal : 20, 581
7. Aditama, Yoga Tjandra, dkk. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
8. Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
9. Smart J. Endobronchial tuberculosis. Br J Dis chest 1951 ; 45 : 61-68
10. Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from
http://www.tbcindonesia_Or_Id.html
11. Kabo P. Pengobatan TBC. 17 Juli 2009. Available from
http://www.medicastore.com/med/index.php
12. Ip MS, So Sy, Lam WK, Mok CK. Endobronchial tuberculosis revisited. Chest; 1986; 89;
273-30.
13. Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Merupakan Masalah
Dalam Masyarakat. 17 Juli 2009. Available from
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf
14. Lee JH, Park SS, Lee DH, Yang SC, Yoo BM. Endobronchial tuberculosis : Clinical and
bronchoscopic features in 121 cases. Chest 1992; 102 : 990-94.
15. Subagyo. Pemeriksaan Bronkoskopi Pada Pasien TB di Rumah Sakit Pasar Rebo. Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai