Anda di halaman 1dari 12

Tuberculosis Endobronchial : sebuah review

Abstrak : Tuberkulosis endobronkial (EBTB) adalah infeksi tuberkulosis pada cabang


trakeobronkial (tracheobronchial tree) dengan adanya bukti mikroba dan histopatologis. Pasien
mungkin datang dengan gejala sekunder akibat penyakit itu sendiri atau dari komplikasi penyakit
seperti obstruksi endobronkial. Diagnosis membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi.
Computed tomography (CT) dan bronkoskopi disertai dengan pemeriksaan mikrobiologi adalah
alat diagnostik yang paling berguna untuk mengkonfirmasi serta untuk evaluasi tracheobronchial
stenosis. Tujuan pengobatan adalah pemberantasan basil tuberkulosis dengan obat anti tuberkuler
dan pencegahan stenosis jalan nafas. Tehnik bronkoskopi intervensional dan pembedahan
diperlukan untuk pasien yang mengalami stenosis trakeobronkial parah yang menyebabkan
gejala signifikan seperti dispnea, post obstructive pneumonia berulang atau bronkiektasis.

Kata kunci: Tuberkulosis endobronkial (EBTB); bronkoskopi; komplikasi; radiologi; obstruksi


endobronkial

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah masalah utama kesehatan global. Terjadi pada jutaan orang
setiap tahun dan berada di samping virus human immunodeficiency virus (HIV) sebagai
penyebab utama kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2014, menurut WHO diperkirakan ada
9,6 juta kasus TB baru dan 1,5 juta kematian di seluruh dunia. Tuberkulosis endobronkial
(EBTB) atau TB trakeobronkial adalah bentuk khusus dari TB yang didefinisikan sebagai infeksi
tuberkulosis pada pohon trakeobronkial (tracheobronchial tree) dengan bukti mikroba dan
histopatologis. Keterlibatan trakea dan bronkus oleh TB pertama kali dijelaskan oleh Richard
Morton, seorang dokter Inggris pada tahun 1698. Bentuk TB ini sulit untuk didiagnosis karena
lesi tidak terlalu sering terlihat pada foto toraks sehingga menunda pengobatan. Penyelidikan
lebih lanjut seperti CT scan dada dan bronkoskopi sering diperlukan untuk mendiagnosis dan
mengevaluasi lesi bronkial seperti stenosis atau obstruksi. Evolusi dan prognosis EBTB
bervariasi, mulai dari resolusi keseluruhan hingga residual stenosis trakeobronkial berat. Tujuan
paling penting dari pengobatan EBTB aktif adalah pemberantasan basil tuberkel. Tujuan
terpenting kedua adalah pencegahan stenosis bronkial. Karena peningkatan insidennya,
morbiditas yang signifikan dan potensi mortalitas, diagnosis dan pengobatan dini diperlukan
untuk mencegah komplikasi. Artikel ini telah meninjau pembaruan terbaru tentang patogenesis,
tanda, gejala, alat diagnostik, pengobatan, dan prognosis dari penyakit ini.

Epidemiologi
Kejadian pasti EBTB belum diketahui karena bronkoskopi tidak rutin dilakukan pada
semua kasus TB paru. Sebelum era terapi antituberkulosis, TB endobronkial relatif lebih umum.
Pada tahun 1943 sebuah penelitian yang dilakukan di sanatorium TB, EBTB diamati pada 15%
kasus melalui bronkoskopi rigid dan 40% kasus pada otopsi. Sejak ketersediaan terapi
antituberkulosis, kejadian EBTB yang dilaporkan pada pasien TB paru sangat bervariasi,
berkisar dari 6% hingga 54% dalam berbagai penelitian
EBTB ditemukan lebih umum pada wanita. Fenomena ini belum diketahui secara pasti
tetapi kemungkinan penyebabnya termasuk paparan yang lebih lama terhadap basil tuberkulum,
karena pasien wanita memiliki lebih sedikit dahak yang mengandung basil karena faktor
sosiokultural dan estetika. Kedua, juga perbedaan struktural mungkin berperan karena bronkus
wanita lebih sempit daripada pria, yang dapat membuat wanita lebih rentan terhadap EBTB.
Mayoritas pasien EBTB biasanya muncul pada usia dekade kedua atau ketiga. Puncak
kedua juga terjadi pada usia tua. Mekanisme yang mungkin terjadi kemungkinan disebabkan
oleh respon imun yang berkurang dan penyakit komorbiditas yang mengakibatkan reaktivasi atau
reinfeksi oleh MTB eksogen dan peningkatan bronkoskopi pada pasien usia lanjut.

Patologi dan patogenesis


EBTB dapat meliputi pohon bronkial (bronkial tree) bagian manapun. Bronkus primer,
bronkus lobar superior bilateral, dan bronkus lobar tengah kanan adalah tempat yang sering
terkena. Jung dkk mengklasifikasikan EBTB berdasarkan jumlah level yang terlibat. Single-level
EBTB ditentukan ketika hanya satu sisi trakea, bronkus utama atau bronkus lobar yang terlibat.
EBTB yang melibatkan dua atau lebih bronkial level didefinisikan sebagai multiple-level EBTB,
sedangkan yang terjadi di proksimal lobar bronkus didefinisikan sebagai EBTB sentral yang
berpotensi untuk mengalami gejala stenosis.
Secara patologis EBTB dapat meliputi setiap lapisan dinding trakeobronkial termasuk
lamina muskularis dan tulang rawan. Perubahan patologis terutama meliputi infiltrasi
tuberkulosis mukosa dan submukosa, ulkus, granuloma, fibroplasia, dan stenosis trakeobronkial.
Awalnya hiperemia mukosa dan submukosa muncul akibat infiltrasi sel inflamasi, terutama
limfosit. Kemudian Nodul tuberkular terbentuk di daerah yang sakit diikuti oleh nekrosis kaseosa
pada nodul dan ulserasi mukosa.
Ulkus ini dapat berkembang ke dinding trakeobronkial dan menjadi ulkus bagian
dalam, atau dapat menjadi polip hiperplastik inflamasi yang menonjol ke lumen trakeobronkial
seperti tumor. Pada stadium lanjut, hiperplasia fibrosa dan kontraktur berkembang dan
menyebabkan stenosis trakeobronkial. Pada stadium lanjut, hiperplasia fibrosa dan kontraktur
berkembang dan menyebabkan stenosis trakeobronkial yang insidensinya dapat mencapai hingga
68% dalam 4–6 bulan awal dan meningkat seiring dengan perjalanan penyakit.
Patogenesis pasti dari EBTB belum sepenuhnya dipahami, lima mekanisme infeksi
yang dijelaskan dalam literatur antara lain :
1. perluasan langsung dari fokus parenkim yang berdekatan;
2. implantasi organisme dari sputum yang terinfeksi;
3. penyebaran hematogenus; (IV)
4. erosi kelenjar getah bening ke bronkus;
5. penyebaran infeksi melalui limfatik

Perkembangan EBTB merupakan fenomena yang kompleks dan berbagai sitokin juga
dapat memainkan peran penting dalam patogenesis selain dari faktor lokal. Peningkatan kadar
interferon gamma dan TGF-beta dalam cairan lavage bronkial mungkin terkait dengan
patogenesis dan perkembangan EBTB. Perubahan tingkat TGF-beta dalam serum setelah
pengobatan terjadi dalam perkembangan stenosis bronkial selama perjalanan penyakit.

Gambaran klinis
Manifestasi klinis EBTB sangat bervariasi tergantung pada sisi (area), tingkat
keterlibatan, atau tahap penyakit, dan mungkin onsetnya akut atau berbahaya. Gejala dapat
sekunder dari penyakit itu sendiri atau dari komplikasi penyakit seperti obstruksi endobronkial.
Gejala sistemik TB seperti anoreksia, lemah secara umum dan penurunan berat badan biasanya
dilaporkan lebih dari 50% pasien. Batuk adalah gejala paling umum pada 70-80% pasien. Batuk
bisa kering atau dengan bronkorea terutama bila EBTB cavitory TB. Demam biasanya ringan
tetapi dapat menjadi berat akibat cavitas lanjut. Hemoptisis dapat terjadi pada 15-40% pasien
tetapi biasanya ringan namun kadang-kadang hemoptisis masif dapat terjadi. Wheezing lokal dan
penurunan suara nafas jika ada efek stenosing akibat lesi endobronkial. Namun gejala-gejala
tersebut dapat distimulasi oleh penyakit lain seperti keganasan, asma bronkial, benda asing dan
pneumonia berulang.

Diagnosa
Diagnosis dini mengarah pada manajemen yang tepat dan menguntungkan. Diagnosa
EBTB lebih sulit dibandingkan dengan TB paru karena manifestasi klinis yang bervariasi dan
tidak khas. Meskipun pemeriksaan dahak adalah langkah utama dan penting menuju diagnosis
EBTB, bronkoskopi dan CT adalah metode pilihan untuk diagnosis yang akurat untuk melihat
keterlibatan bronkial dan komplikasinya.

Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan bakteriologis apusan dahak seperti pewarnaan BTA adalah pemeriksaan
paling penting dan paling umum untuk mendiagnosis EBTB, namun hasil diagnostiknya rendah.
Sputum yang baru keluar harus diambil untuk pewarnaan BTA agar meningkatkan keberhasilan
diagnostik. Positivitas BTA pada EBTB bervariasi di berbagai studi dengan range mulai dari
16% dan 53% tetapi hasil apusan dahak negatif tidak mengeksklusikan diagnosis EBTB. Salah
satu alasan rendah nya hasil ini adalah jebakan lendir oleh jaringan granulasi bronkus proksimal.
EBTB dengan ulserasi dan keterlibatan mukosa memiliki hasil positif kutur yang lebih tinggi.
Tes amplifikasi nuklear yang lebih baru seperti Xpert MTB / RIF assay dan line probe
assay (Geno Type MTBDR Plus) menunjukkan hasil yang lebih baik dari smear BTA dan
direkomendasikan dalam kasus yang dicurigai tetapi data mengenai kegunaan tes ini untuk
EBTB masih terbatas.

Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah metode paling berharga untuk menegakkan diagnosis dini dan
menilai prognosis EBTB. Prosedur bronkoskopi seperti biopsi, brushings, needle aspirasi,
bronchoalveolar lavage (BAL) dan endobronkial ultrasonografi dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. Bronkoskopi juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain yang mendasari atau bersamaan seperti keganasan.
Tampilan bronkoskopi EBTB sangat terkait dengan perubahan patologis dan telah
diklasifikasikan menjadi tujuh subtipe oleh Chung dkk, tetapi tidak ada yang cukup eksklusif
untuk menegakkan diagnosis hanya dengan penampilan saja.
1. bronkitis nonspesifik (mukosa trakeobronkial hanya bengkak ringan dan / atau hiperemia)
2. hiperemik edematus (mukosa trakeobronkial sangat bengkak dan hiperemik)
3. kaseasi aktif (mukosa trakeobronkial bengkak, hiperemik dan ditutupi oleh material putih
seperti keju (whitish cheese-like) yang berjumlah banyak
4. granular (mukosa trakeobronkial tampak sangat meradang dan tersebar dengan nodul-
nodul seperti nasi)
5. ulseratif (ulserasi mukosa trakeobronkial);
6. tumor (bentuk jaringan hiperplastik focal, massa intraluminal seperti tumor)
7. fibrostenotik (lumen trakeobronkial menyempit karena hiperplasia fibrosa dan
kontraktur).

Setiap subtipe EBTB memiliki tampilan karakteristiknya masing-masing dan terkait


erat dengan luasnya perkembangan penyakit. Kelenjar getah bening yang menonjol terlihat
selama bronkoskopi berupa massa kuning keabu-abuan yang melalui mukosa bronkial.
Perdarahan, jaringan granulasi formasi fistul dan material caseous mengalir ke bronkus juga bisa
terlihat.
Biopsi bronkoskopi adalah metode yang paling divalidasi untuk mengkonfirmasikan
diagnosis. Dalam berbagai penelitian, hasil biopsi bronkial mendiagnosis EBTB sebesar 30%
hingga 84% pasien. Sebuah studi yang dilakukan oleh Ozkaya dkk menunjukkan pada
pemeriksaan mikrobiologis dan smear cairan BAL ditemukan positif BTA pada 26% pasien
dengan angka tertinggi ditemukan pada kasus tipe granular (75%). Sedangkan kultur cairan BAL
untuk Mycobacterium TB positif pada 39,1% pasien, kepositifan tertinggi pada kasus tipe
granular (75%) secara histologis menunjukkan apusan sputum kasus negatif.

Radiografi dada
Radiografi dada mungkin normal pada sekitar 10-20% pasien EBTB. Tidak ada temuan
radiografi dada spesifik untuk diagnosis EPTB. Kelainan paling umum pada rontgen dada adalah
infiltrat parenkim yang tidak merata pada lobus yang terkena. Temuan rontgen dada lainnya
tergantung pada tingkat keparahan bronkostenosis dan mungkin terlihat berupa kolaps segmental
atau lobar persisten, lobar hiperinflasi, pneumonia obstruktif, dan impaksi mukoid. Erosi nodus
hilar yang terkalsifikasi pada bronkus yang berdekatan, dikenal sebagai bronkolitiasis, bisa juga
mengakibatkan segmental colaps. Temuan radiologi lainnya seperti focus calcific dan fibrotic,
cavitas, bronkiektasis, intratoraks limfadenitis dan efusi pleura. Tanda radiologis berbeda sering
terlihat pada pasien yang sama

CT scan
Dalam beberapa tahun terakhir, karena kekuatan resolusi tinggi dan efek volume parsial
minimal, computed tomografi resolusi tinggi (HRCT) terbukti lebih unggul untuk radiografi
dada konvensional dan CT standar untuk lokalisasi penyakit di lobulus paru dan untuk evaluasi
penyakit parenkim paru. Keterlibatan endobronkial pada TB paru dilaporkan setinggi 95% dan
97% dengan pemindaian HRCT dalam berbagai penelitian. Temuan awal termasuk nodul
sentrilobular atau struktur linier berupa lesi dengan tebal 1–4 mm, terpisal lebih dari 2 mm dari
permukaan pleura atau septa interlobular. Selanjutnya beberapa stuktur percabang linear dari
kaliber serupa yang berasal dari satu tangkai (gambaran “tree-in-bud”) umumnya terlihat pada
pasien dengan penyebaran bronkogenik yang luas. Temuan CT lainnya termasuk penyempitan
bronkial segmental dengan penebalan dinding konsentris, obstruksi endobronkial complete,
obstruksi ekstrinsik oleh adenopati dan jaringan parut yang berdekatan. Bahkan dengan suspek
CT dada yang tinggi, bronkoskopi dengan konfirmasi histopatologis atau mikrobiologis masih
diperlukan untuk diagnosis EBTB yang pasti.

Komplikasi
Komplikasi EBTB yang paling umum adalah bronkial stenosis dan formasi striktur
yang mungkin terjadi pada lebih dari dua pertiga pasien meskipun dengan penanganan medis
adekuat. Pasien juga bisa mengalami obstruksi jalan napas yang parah dan gagal nafas jika
keterlibatan jalan nafas yang lebih besar. Komplikasi umum lainnya adalah post obstruktif
bronkiektasis yang sering menyebabkan pneumonia dan hemoptisis. Sekelompok pasien juga
mengalami penyakit saluran napas obstruktif persisten sebagai sekuel dari EBTB.
Pengobatan
Tujuan utama pengobatan EBTB adalah pemberantasan infeksi MTB dan mencegah
stenosis trakeobronkial. Pengobatan dan prognosis terutama berhubungan dengan derajat, luas
dan durasi lesi sebelum pengobatan. Jadi, diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat
diperlukan untuk mencegah komplikasi.
Pengobatan EBTB mirip dengan TB paru. Lima obat lini dasar standar digunakan
untuk pengobatan EBTB yang meliputi Isoniazid (H), Rifampicin (R), Etambutol (E),
Pyrazinamide (Z) dan Streptomycin (S).
Obat antituberkulosis lokal juga telah digunakan dalam pengobatan EBTB dengan hasil
yang bervariasi. Diantaranya inhalasi obat-obatan antituberkulosis nebulisasi, lavage daerah yang
sakit dengan obat antituberkulosis dan injeksi submukosa obat antituberkulosis. Obat anti-
tuberkulosis yang umum digunakan secara lokal termasuk isoniazid atau streptomisin.
Kortikosteroid telah digunakan sebagai terapi tambahan dalam pengobatan EBTB tetapi
perannya masih kontroversial. Kortikosteroid mungkin berguna pada tahap awal EBTB ketika
hipersensitivitas adalah mekanisme utama tetapi pada tahap-tahap selanjutnya mereka cenderung
tidak membantu, tetapi dapat menyebabkan efek yang merugikan. Kortikosteroid menunjukkan
peningkatan hasil klinis saat digunakan pada anak-anak. Peran bermanfaat pada anak-anak
mungkin dikontribusi oleh respon anti-inflamasi dengan demikian mencegah kompresi bronkus
akibat erosi kelenjar getah bening ke lumen bronkial namun ini belum terbukti mencegah
bronkostenosis pada orang dewasa.
Kortikosteroid juga telah dicoba secara lokal. Rikimaru menunjukkan bahwa waktu
penyembuhan lesi ulserosa lebih pendek dan stenosis bronkial lebih ringan, pada pasien yang
dirawat dengan terapi aerosol, yang terdiri dari streptomisin 100 mg, Deksametason 0,5 mg dan
naphazoline 0,1 mg diberikan dua kali sehari bersama dengan terapi oral konvensional. Di studi
lain injeksi metilprednisolon submukosa juga menunjukkan resolusi EBTB. Peran kortikosteroid
perlu dievaluasi lebih lanjut dalam uji prospektif yang lebih besar sebelum digunakan secara
reguler pada pasien dewasa.
Stenosis bronkial atau striktur adalah sekuel yang paling umum dan biasanya
irreversibel meskipun terapi antituberkulosis yang adekuat telah dilakukan dan karena itu
membutuhkan pemulihan patensi jalan napas baik dengan bronkoskopi atau intervensi bedah.
Ada bermacam-macam intervensi bronkoskopi untuk perawatan stenosis saluran napas termasuk
balon dilatasi, insersi stent, laser dan cryosurgery. Fibrostenosis adalah indikasi untuk dilatasi
balon yang bisa dicapai melalui bronkoskop rigid atau fleksibel. Ruptur dinding bronkial
merupakan salah satu komplikasi dari dilatasi balon dan harus dihindari inflasi yang berlebihan.
Stenosis jalan nafas persisten setelah dilatasi balon terjadi terutama jika adanya peradangan aktif,
kalsifikasi dan malasia. Insiden restenosis sekitar 37,5% sebulan setelah dilatasi balon.
Pasien yang membutuhkan lebih dari satu sesi balon dilatasi membutuhkan stenting
atau prosedur ablatif. Baik logam dan silikon yang dapat dilepas telah digunakan, namun
removable stent lebih disukai untuk menghindari komplikasi jangka panjang terkait stent. Kedua
jenis stent memiliki komplikasi seperti migrasi, fraktur stent, retensi sekresi, kolonisasi material
stent, dan pembentukan jaringan granulasi dan perlu follow up rutin.
Dalam penanganan untuk mengurangi obstruksi jalan napas sentral, reseksi laser,
kauter elektro, dan koagulasi argon plasma dapat memberikan bantuan segera. Laser reseksi
adalah aplikasi energi laser yang disalurkan melalui bronkoskop rigid atau fleksibel untuk
menangani lesi endobronkial yang berbeda. Neodymium: yttrium aluminum garnet (Nd-YAG)
paling banyak digunakan untuk Intervensi bronkoskopi. Indikasi utama untuk laser bronkoskopi
terdiri dari lesi obstruktif pada trakea, bronkus utama dan lobar orifis dengan ventilasi dan
menghasilkan gejala yang parah seperti dispnea, stridor, batuk keras, dan hemoptisis.
Cryosurgery adalah pilihan lain dan lebih aman daripada balon dilatasi atau laser.
kemungkinan terjadi perforasi dinding bronkial lebih kecil tetapi membutuhkan prosedur dan
waktu yang berulang.
Stenosis trakeobronkial yang parah, yang menyebabkan Bronkiektasis parah, kolaps
paru, infeksi paru berulang atau hemoptisis yang sering mungkin memerlukan pembedahan
toraks seperti pneumonektomi atau lobektom. Tehnik bedah baru juga muncul untuk
memulihkan patensi jalan napas pada stenosis endobronkial.

Kesimpulan
EBTB adalah bentuk khusus dari TB yang diasosiasikan dengan Morbiditas signifikan
dan potensi mortalitas. Diagnosis dini dan pengobatan agresif dengan antituberkulosis
kemoterapi diperlukan dalam pengelolaan EBTB untuk mencegah komplikasi seperti stenosis
trakeobronkial. Peran kortikosteroid masih kontroversial tetapi dapat digunakan pada pasien
tertentu. Untuk diagnosis awal dan akurat, bronkoskopi awal harus dilakukan pada kasus yang
dicurigai. Jika penatalaksanaan dengan pengobatan medis tidak cukup, berbagai bronkoskopi dan
tehnik bedah harus digunakan untuk mempertahankan fungsi paru-paru. Penelitian selanjutnya
diperlukan untuk mengetahui patogenesis yang tepat dan perjalanan penyakit. Selain itu, upaya
harus dilakukan untuk mengendalikan penularan entitas penyakit ini dengan tindakan
pengendalian infeksi.
.
.

Anda mungkin juga menyukai