PARU
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
Penyusun
Anna Rozaliyani
Anwar Jusuf
Ahmad Hudoyo
Arifin Nawas
Elisna Syahruddin
Erlina Burhan
Heidy Agustin
Priyanti Z. Soepandi
MIKOSIS PARU
PEDOMAN NASIONAL UNTUK DIAGNOSIS &
PENATALAKSANAAN DI INDONESIA
2011
ISBN : 978-602-97308-1-4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara
langsung maupun dengan pewarnaan harus selalu
dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan
infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun
nilai diagnostiknya sangat bervariasi (10 sampai >90%)
bergantung kepada spesies jamur yang ditemukan.
Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau
tinta India. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan
Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor,
maupun deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan
imunofluoresens yang dilaporkan lebih sensitif
dibandingkan pewarnaan biasa. Pemeriksaan langsung
sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain dapat
mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora
maupun hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal,
bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis kriptokokosis.
Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV dengan
pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas
35-60%, sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-
95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum
dilaporkan memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL.
2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung
kepada spesies jamur, asal spesimen serta derajat
penyakit yang dialami pasien. Pemeriksaan biakan
memiliki nilai diagnostik tinggi bahkan menjadi baku
emas diagnosis infeksi jamur tertentu, misalnya biakan
darah merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida
dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan
tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci
belum dapat dibiak sampai saat ini. Sensitivitas biakan
pada histoplasmosis akut hanya 15%, sedangkan pada
histoplasmosis diseminata sensitivitasnya >85%.
Pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari
sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk
identifikasi spesies secara konvensional maupun uji
kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.
3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk
mendeteksi reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-
elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan
interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan deteksi
antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini
didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang
dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain
pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus
spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat
bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis karena nilai
sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen
Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai
sensitivitas >90% dan spesivisitas >95% dalam
mendiagnosis histoplasmosis; tetapi hasil uji antigen
negatif tidak serta merta menyingkirkan diagnosis. Uji
antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan nilai
sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam
mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan
kemungkinan hasil positif palsu pada pasien yang
mendapat terapi antibiotik golongan β-laktam misalnya
piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi
Pencillium karena terdapatnya reaktivitas silang.
Perkembangan terkini menunjukkan manfaat
pemeriksaan galaktomanan Aspergillus pada spesimen
BAL pasien yang diprediksi akan mengalami aspergilosis
invasif. Komponen jamur yang juga sedang dikembangkan
untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah β-1,3-
glukan (merupakan komponen dinding sel pada hampir
semua jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih
sangat terbatas.
Biopsi
jaringan
Faktor +
Gambara
+
pejamu n klinis Mikologi = Proven
Faktor Gambara
+ +
pejamu n klinis Mikologi = Probable
Kriteria Deskripsi
Minor
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis terdapat pleural rub.
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai kriteria mayor
Hasil Pemeriksaan langsung
mikologi o Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen sputum, BAL,
bilasan bronkus, aspirat sinus
o Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan.
1. Terapi profilaksis
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, tanpa
tanda infeksi. dengan tujuan mencegah timbulnya infeksi
jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal periode
risiko tinggi terkena infeksi.
2. Terapi empirik
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai
tanda infeksi (misalnya demam persisten dengan neutropenia
biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya belum diketahui
dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat selama
3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan
diagnosis possible.
4. Terapi definitif
Pemberian OAJ kepada pasien yang terbukti (proven)
mengalami infeksi jamur sistemik.
Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma.
Pada pasien hemoptisis ringan dianjurkan bed rest, postural
drainage atau terapi simtomatik lain. Pada pasien hemoptisis
berulang atau masif, pembedahan dilakukan dengan
mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika operasi tidak
memungkinkan, dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian
OAJ transtorakal-intrakavitas.
1. Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin
dan natamisin. Cara kerjanya adalah merusak membran
sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas
selular meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang
berakibat kematian jamur (efek fungisidal). Saat ini
golongan polien yang tersedia di Indonesia adalah
amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan nistatin.
Kompleks lipid amfoterisin Infeksi jamur invasif pada pasien yang 5 mg/kg/hari
B (Abelcet) refrakter atau intoleran terhadap terapi
amfoterisin-B konvesional
2. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida,
Cryptococcus. Cara kerjanya dengan mengganggu sintesis
asam nukleat. Mudah mengalami resistensi. Absropsi oral
baik, diekskresi dalam urin. Obat ini terdistribusi baik
dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan
amfoterisin-B untuk infeksi jamur sistemik. Efek samping
meliputi: neutropenia, trombositopenia. Perlu dilakukan
pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.
3. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol
telah digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol
diklasifikasikan menjadi dua kelas yang berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan
ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan
posakonazol).
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu
sintesis ergosterol, suatu komponen penting dalam
membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui
penghambatan enzim lanosterol 14-α demetilase yang
berperan mengubah lanosterol menjadi ergosterol,
sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal
membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan
terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa
penelitian in vitro melaporkan efek fungisidal beberapa
obat golongan azol pada dosis standar.
a.Imidazol
Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam
berbagai sediaan obat topikal seperti krim, losio,
sampo, tablet vagina, tablet isap, dan solusio yang
terutama digunakan untuk terapi kandidosis vagina
dan mukokutan.
Ketokonazol merupakan antijamur golongan azol
bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi
infeksi jamur superfisial maupun sistemik. Obat ini
mempunyai aktivitas terhadap berbagai spesies
Candida, dermatofit, Malassezia furfur, dan beberapa
jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis
dan Coccidioides spp). Penyerapan ketokonazol di
saluran cerna lebih baik bila disertai minuman asam
seperti soda berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek
samping terhadap hati (hepatotoksik) serta
interaksi dengan obat-obat lain sehingga
penggunaan ketokonazol sangat dibatasi.
b. Triazol
Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama,
memiliki spektrum aktivitas lebih luas,
bioavailability hampir 100 % karena tidak
mengalami first-past metabolism, dan
penyerapannya tidak dipengaruhi asam lambung.
Flukonazol aktif terhadap hampir semua Candida
spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata), Cryptococcus
neoformans, beberapa jamur dimorfik, M.
furfur, Prototheca, serta dermatofita. Flukonazol
tersedia dalam sediaan oral maupun intravena.
Flukonazol Kandidosis orofarings Loading dose200 mg, lalu 100- CCL < 50 ml/min: Belum
(oral, intravena) 200 mg/hr, selama 7-14 hari loading dose, lalu dosis ditentukan
Kandidosis esophagus ↓ 50%
400 mg loading dose,lalu 200-
Meningitis kriptokokosis 400 mg/hr, selama 14-21 hari Hemodialisis: diberikan
dosis harian 100%
Histoplasmosis/ Terapi induksi, dilanjutkan (sesuai indikasi) setiap
blastomikosis/ dosis konsolidasi 400 mg/hr, kali selesai HD
koksidoidomikosis lalu dosis rumatan 200 mg/hr
Vorikonazol Aspergilosis invasif Loading dose (x 2 dosis): CCL < 50 ml/min: Child-Pugh
(oral atau termasuk asper-gilosis Intravena – 6 mg/kg tiap pemberian oral lebih Class A or B:
intravena) paru. 12 jam. Dilanjutkan dengan dianjurkan dosis rumatan
oral 400 mg tiap12 jam ↓ 50%
Kandidosis sistemik
(yang disebabkan galur Dosis rumatan Child-Pugh
resisten) Intravena- 3-4 mg/kg tiap 12 Class C:
jam, dilanjutkan dengan belum
Mikosis sistemik oleh oral 200 mg tiap 12 jam ditentukan
Fusarium spp,
Scedosporium,
Trichosporon
Posakonazol Profilaksis infeksi jamur 200 mg, 3x sehari Belum diketahui Belum
(oral) invasif ditentukan
Kandidosis orofarings 100 mg 2x sehari( x 2 dosis),
lalu 100 mg/hr selama 13 hr
Kandidosis oro-farings
refrakter thd obat azol 400 mg 2x sehari (lama
lain pemberian bervariasi
tergantung respons pasien)
Posakonazol, memiliki aktivitas antijamur luas,
termasuk terhadap Candida spp yang resisten terhadap
golongan azol sebelumnya, maupun zygomycetes.
Posakonazol hanya tersedia dalam sediaan oral yang
memiliki bioavailability rendah, tetapi bila diberikan
bersamaan dengan makanan berkadar lemak tinggi,
bioavailability posakonazol akan meningkat 400%. Efek
samping yang paling sering ditemukan adalah gangguan
saluran cerna dan peningkatan kadar enzim hati.
4. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara
kerjanya melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-β-D
dan 1,6-β-D-glucan synthase. Enzim itu penting dalam
produksi glukan (komponen penting dinding sel jamur)
yang mengakibatkan ketidakstabilan osmotik sehingga sel
jamur tidak dapat mempertahankan bentuknya dan
berujung pada kematian jamur. Glukan tidak ditemukan
pada dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit. Dinding
sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3-α atau 1,6-α-
glucan, sehingga jamur ini lebih resisten terhadap
ekinokandin. Terdapat beberapa kelas ekinokandin
yaitu: kaspofungin, mikafungin, dan anidulafungin.
Semua golongan ekinokandin memiliki keterbatasan
bioavailabilitas oral dan hanya tersedia dalam sediaan
intravena.
1. Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennett JE,
Catanzaro A, et al. An official American Thoracic Society
statement: Treatment of fungal infections in adult pulmonary
and critical care patients. Am J Respir Crit Care Med
2011;183:96–128.
2. Limper AH. The changing spectrum of fungal infections in
pulmonary and critical care practice: clinical approach to
diagnosis. Proc Am Thorac Soc 2010;7:163–8.
3. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis
DP, Marr KA. et al. Treatment of aspergillosis: clinical practice
guidelines of the Infectious Diseases Society of America. Clin
Infect Dis 2008; 46:327–60.
4. Pappas PG, Kauffman CA, Andes D, Benjamin DK, Calandra TF,
Edwards JE, et al. Clinical practice guidelines for the
management of candidiasis: update by the Infectious Diseases
Society of America. Clin Infect Dis 2009;48:503–35.
5. Budimulya U, Bramono K, Menaldi SL. Konsensus FKUI dan
PMKI tentang tatalaksana mikosis sistemik. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2001.
6. Cordonnier C, Pautas C, Maury S, Vekhoff A, Farhat H, Suarez F,
et al. Empirical versus preemptive antifungal therapy for high-
risk, febrile, neutropenic patients: a randomized, controlled
trial. Clin Infect Dis 2009;48:1042–51.
7. Dutkiewicz R dan Hage CA. Aspergillus infections in the
critically ill. Proc Am Thorac Soc 2010;7:204-9.
8. Evan SE. Coping with Candida infection. Proc Am Thorac Soc
2010;7:197-203.
9. De Pauw B, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens DA, Edwards E,
Calandra T, et al. Revised definitions of invasive fungal disease
from the European Organization for Research and Treatment of
Cancer/Invasive Fungal Infections Cooperative Group and the
National Institute of Allergy and Infectious Diseases Mycoses
Study Group (EORTC/MSG) Consensus Group. Clin Infect Dis
2008;46:1813–21.
10. Arnold TM, Dotson E, Sarosi GA, Hage CA. Traditional and
emerging antifungal therapy. Proc Am Thorac Soc 2010;7:222-
8.
11. Lashof AML, Donnelly JP, Meis JFGM, Meer JWM, Kullberg BJ.
Duration of antifungal treatment and development of delayed
complications in patients with candidaemia. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis 2003;22:43–8.
12. Johnson MD, Perfect. Use of antifungal combination therapy:
agents, order, and timing. Curr Fungal Infect Rep
2010;4(2):87–95.
13. Chen SA, Playford EG, Sorell TC. Antifungal therapy in invasive
fungal infections. Curr Opin Pharmacol 2010;10:1–9.
14. Verweig PE, Maertens J. Moulds: diagnosis and treatment. J
Antimicro Chemo 2009;63(Suppl. 1): i31–5.
15. Richardson M, Jones B, Rautemaa R. Therapeutic guidelines in
systemic fungal infections. London: Remedica Medical
Education and Publishing; 2007.