Anda di halaman 1dari 33

MIKOSIS

PARU

PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia


2011
MIKOSIS PARU
PEDOMAN NASIONAL UNTUK DIAGNOSIS &
PENATALAKSANAAN DI INDONESIA
2011

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Penyusun

Anna Rozaliyani
Anwar Jusuf
Ahmad Hudoyo
Arifin Nawas
Elisna Syahruddin
Erlina Burhan
Heidy Agustin
Priyanti Z. Soepandi
MIKOSIS PARU
PEDOMAN NASIONAL UNTUK DIAGNOSIS &
PENATALAKSANAAN DI INDONESIA
2011

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

TIM KELOMPOK KERJA MIKOSIS PARU

Anna Rozaliyani, Anwar Jusuf, Priyanti Z. Soepandi, Ahmad


Hudoyo, Arifin Nawas, Erlina Burhan, Elisna Syahruddin,
Heidy Agustin, Benyamin P. Margono, Chairil Aibar Siregar,
Hadisubroto Wiryokusumo, Masrul Basyar, Ida Bagus Suta,
Laksmi Wulandari, Setia Putera Tarigan, Teguh Rahayu
Sartono, Yusrizal Jam’an Saleh, Zubaedah
Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagain atau


seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin
penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Jakarta, 2011

ISBN : 978-602-97308-1-4
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di


Indonesia, termasuk infeksi jamur atau mikosis. Mikosis paru adalah
gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh
infeksi/kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.
Frekuensi mikosis paru semakin meningkat dalam beberapa tahun
terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang
mengalami gangguan sistem imun misalnya pasien keganasan,
transplantasi organ, infeksi HIV/AIDS, penyakit kronik sistemik,
maupun terdapatnya faktor risiko misalnya penggunaan jangka
panjang antibiotika, kortikosteroid, serta alat-alat medis invasif
(ventilator mekanik, kateter vena sentral, dll).

Secara umum mikosis paru terjadi pada dua keadaan yaitu


menyertai kelainan paru kronik yang sudah ada dan keadaan
imunokompromis. Penyakit paru yang berisiko menimbulkan
mikosis paru adalah keganasan rongga toraks, TB paru dengan
kerusakan paru luas misalnya kavitas, bronkiektasis, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan asma, serta keadaan imunokompromis
pascakemoterapi atau penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
Epidemi AIDS merupakan salah satu faktor penting yang berperan
pada peningkatan kejadian mikosis paru.

Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah aspergilosis,


pneumonia pneumositis (Pneumocystis pneumonia, PCP), kandidosis,
kriptokokosis dan histoplasmosis. Perlu diketahui juga infeksi jamur
yang ditemukan pada daerah atau kondisi geografis tertentu (mikosis
endemik), meliputi: histoplasmosis, blastomikosis,
koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, serta penisiliosis.

Frekuensi aspergilosis invasif dilaporkan semakin meningkat


dari tahun ke tahun, terutama pada pasien penerima transplantasi
organ dan pasien leukemia mieloid akut yang menerima kemoterapi.
Prevalensi kandidosis sistemik hampir tidak berubah dari waktu ke
waktu, terutama pada pasien di ruang perawatan intensif (intensive
care unit, ICU). Pneumonia pneumosistis dan mikosis endemik yang
prevalensinya sempat menurun dalam dekade terakhir, dilaporkan
meningkat kembali karena meluasnya penggunaan obat-obat
imunosupresan tertentu.

Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga


penatalaksanaan sering terlambat. Perkembangan pengetahuan
tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang ditimbulkan
bakteri atau virus. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak, gejala klinis
dan hasil pemeriksaan tidak khas serta faktor risiko yang luput dari
perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai epidemiologi,
patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru diharapkan
membantu klinisi menegakkan diagnosis serta menentukan strategi
penatalaksanaan yang lebih baik.
BAB II
FAKTOR RISIKO

Faktor risiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang


mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Identifikasi faktor
risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan penyakit
tersebut. Beberapa faktor risiko yang sering dilaporkan antara lain:
kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang antimikroba
berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika, serta
alat-alat kesehatan invasif.
Kolonisasi jamur merupakan faktor risiko penting dalam
timbulnya mikosis sistemik/invasif termasuk mikosis paru.
Kolonisasi jamur adalah terdapatnya jamur pada organ yang normal
tidak steril misalnya saluran napas dan saluran cerna. Kolonisasi
Candida spp pada pasien keganasan atau pasien ICU berperan
penting dalam timbulnya kandidosis sistemik, sementara itu
kolonisasi Aspergillus sp pada pasien keganasan darah atau pasien
ICU merupakan faktor risiko timbulnya aspergilosis invasif.
Penggunaan antimikroba jangka panjang mengakibatkan
terganggunya keseimbangan flora normal dalam tubuh dan akan
memicu pertumbuhan jamur secara berlebihan. Pemberian
antimikroba profilaksis secara luas (misalnya antivirus,
fluorokuinolon untuk bakteri gram negatif, antijamur profilaksis)
pada pasien imunokompromis telah meningkatkan risiko kolonisasi
spesies jamur resisten serta meningkatnya kemungkinan infeksi
jamur sistemik yang lebih sulit diatasi. Penggunaan kortikosteroid
sistemik jangka panjang serta obat-obat sitostatika juga menjadi
faktor risiko terjadinya mikosis sistemik/invasif.
Penggunaan alat-alat medis invasif misalnya ventilator
mekanik, kateter vena sentral, kateter urin, selang lambung, dll. juga
merupakan faktor risiko timbulnya mikosis sistemik/invasif. Selain
risiko kontaminasi oleh jamur di lingkungan sekitar pasien,
penggunaan alat-alat tersebut dalam jangka lama dapat
menyebabkan terbentuknya biofilm khususnya pada Candida spp,
yang akan menjadi sumber infeksi jamur bagi pasien. Penjagaan
sterilitas dan penggantian alat-alat tersebut secara berkala
dilaporkan menurunkan potensi timbulnya mikosis sistemik/invasif.
Perlu diperhatikan juga meningkatnya risiko mikosis
paru karena penyakit yang diderita pasien (underlying disease).
Faktor risiko dan penyakit yang diderita pasien merupakan
faktor pejamu (host factor) yang berperan penting dalam
penentuan kriteria diagnosis mikosis paru. Beberapa penyakit
yang diderita pasien dikaitkan dengan risiko timbulnya mikosis
paru dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Penyakit yang diderita dikaitkan dengan mikosis paru
yang berisiko dialami pasien.
Penyakit yang diderita Mikosis paru yang
berisiko dialami

- Pasien yang menderita keganasan darah


- Pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang
- Pasien yang menjalani transplantasi organ solid terutama Aspergilosis
transplantasi paru
- Pasien yang menjalani perawatan ICU
o memiliki risiko sedang
 pasien penerima terapi kortikosteroid jangka panjang
(> 4 minggu) sebelum masuk ICU,
 pasien PPOK penerima kortikosteroid sistemik
 pasien sirosis hati yang menjalani masa rawat lama
 pasien terinfeksi HIV tahap lanjut/AIDS
 pasien dengan penyakit inflamasi sistemik yang
memerlukan terapi kortikosteroid jangka panjang,
 pasien penerima obat sitostatika
o memiliki risiko rendah
 pasien luka bakar luas
 pasien malnutrisi
 pasien transplantasi organ solid selain paru
 pasien dengan masa rawat lama di ICU (>21 hari)
 pasien penerima kortikosteroid sistemik > 7 hari
 pasien pascabedah jantung
- Pasien gagal ginjal
- Pasien diabetes mellitus,
- Pasien near-drowning (hampir tenggelam)
Pasien terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4+ <200 sel/mm3 PCP,
kriptokokosis
Pasien transplantasi hati Aspergilosis,
kriptokokosis
Pasien transplantasi ginjal Aspergilosis,
mukormikosis
Pasien transplantasi jantung Aspergilosis,
kandidosis
Pasien menjalani perawatan ICU, menggunakan kateter vena Kandidosis
sentral, menerima nutrisi parenteral, neutropenia, menggunakan alat
prostetik implan, menerima terapi imunosupresif (termasuk
kortikosteroid, kemoterapi dan imunomodulator)
BAB III
DIAGNOSIS

Prosedur diagnosis mikosis paru masih menjadi tantangan


sampai saat ini. Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat
merupakan langkah penting dalam prosedur diagnosis mikosis paru.
Langkah tersebut harus diikuti pemeriksaan penunjang yang tepat,
meliputi: pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan mikologi.
Meningkatnya kewaspadaan klinisi terhadap kemungkinan infeksi
jamur paru dan pemilihan modalitas diagnosis yang tepat, akan
membuat penatalaksanaan lebih baik.
Keluhan pasien mikosis paru mirip dengan keluhan
penyakit paru pada umumnya, tidak ada keluhan
patognomonik. Keluhan demam, batuk, sesak, dll perlu
diwaspadai sebagai gejala mikosis paru pada pasien dengan
keadaan sebagai berikut:
 Pasien yang memiliki kondisi imunosupresi (neutropenia
berat, keganasan darah, transplantasi organ atau
kemoterapi)
 Penggunaan jangka panjang alat-alat kesehatan invasif
(ventilator mekanik, kateter vena sentral dan perifer, kateter
urin, kateter lambung, water sealed drainage, dll).
 Pasien dengan kondisi imunokompromis akibat
penggunaan jangka panjang antibiotika berspektrum luas,
kortikosteroid, obat imunosupresi.
 Penyakit kronik seperti keganasan rongga toraks, PPOK,
bronkiektasis, luluh paru, sirosis hati, insufisiensi renal,
diabetes.
 Gambaran infiltrat di paru dengan demam yang tidak
membaik setelah pemberian antibiotika adekuat dengan
atau tanpa adenopati.
 Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi
eritema. nodosum pada ekstremitas bawah terutama di
daerah endemik jamur tertentu.
 Pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah
endemik jamur tertentu.

Pada pemeriksaan fisis, mikosis paru sulit dibedakan


dengan penyakit paru lain, tergantung pada kelainan anatomi
yang terjadi pada paru. Pemeriksaan penunjang untuk
mendiagnosis mikosis paru antara lain pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan laboratorium klinik tertentu, serta pemeriksaan
mikologi. Gambaran foto toraks pada sebagian besar mikosis
paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat
interstisial, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi pleura.
Gambaran yang khas dapat terlihat pada aspergiloma yaitu
fungus ball di dalam kavitas pada pemeriksaan foto toraks.
Hasil yang lebih baik didapat dari pemeriksaan CT-scan toraks.
Hasil laboratorium rutin yang mungkin berkaitan dengan
mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel eosinofil.

Pemeriksaan laboratorium mikologi merupakan prosedur


diagnosis mikosis paru yang sangat penting. Kualitas
pemeriksaan ini ditentukan oleh pemilihan, pengumpulan serta
cara pengiriman bahan klinik (spesimen) yang baik.
Penanganan spesimen yang tidak memadai dapat
mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis. Spesimen dapat
diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan bronkoalveolar
(BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus, dll.
Pengiriman spesimen harus disertai keterangan klinis
memadai dan permintaan yang jelas. Hal itu akan
mempermudah staf laboratorium mengarahkan pemeriksaan
yang diperlukan dan menghindari kesalahan interpetasi hasil
pemeriksaan. Spesimen harus diletakkan dalam wadah steril
yang tertutup rapat, tanpa bahan pengawet dan dilabel dengan
baik. Selanjutnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam
waktu paling lama dua jam setelah prosedur pengambilan. Bila
tidak memungkinkan segera diproses dalam dua jam, spesimen
disimpan dalam suhu 40C. Bila spesimen disimpan terlalu lama,
keberhasilan pemeriksaan dapat menurun.
Sputum sebaiknya diambil pagi hari sebelum makan,
dilakukan tiga hari berturut-turut. Pasien harus berkumur 2-3
kali dengan air matang, lalu mengeluarkan sputum dengan
membatukkannya. Induksi sputum lebih dianjurkan karena
lebih merepresentasikan spesimen saluran napas bawah/paru.
Jumlah sputum yang diperlukan sekitar 10-15 ml. Bilasan
bronkus maupun BAL memiliki arti klinik lebih tinggi
dibandingkan sputum. Spesimen tersebut dikirim dalam
semprit steril tanpa bahan pengawet atau diberi sedikit larutan
garam faal bila jumlahnya sangat sedikit. Spesimen yang
berasal dari cairan pleura, pus maupun eksudat dapat diambil
dengan semprit steril dan langsung dikirim tanpa penambahan
cairan atau bahan pengawet.

Jaringan hasil biopsi memiliki arti klinik paling tinggi


karena penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan
diagnosis mikosis. Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari
tengah dan tepi lesi, selanjutnya diletakkan di antara kasa steril
yang sedikit dibasahi dengan larutan garam faal untuk
mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena
akan mematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak dapat
dilakukan proses pembiakan serta uji kepekaan jamur
terhadap obat antijamur. Spesimen darah untuk pemeriksaan
serologi sebanyak 2,5-5 ml diambil dengan semprit steril tanpa
bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke laboratorium.
Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan
sebaiknya diberi antikoagulan.

Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru


dilakukan melalui tiga pendekatan penting yaitu: pemeriksaan
mikroskopik, isolasi dan identifikasi jamur pada biakan serta
deteksi respons serologis terhadap jamur atau penandanya.
Prosedur diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid
(DNA) jamur saat ini sedang dikembangkan. Biakan spesimen
maupun hasil biopsi jaringan masih menjadi baku emas
diagnosis mikosis paru. Pemeriksaan uji kepekaan jamur
terhadap obat perlu dilakukan untuk menentukan pemilihan
obat antijamur yang tepat atau evaluasi terapi.

1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara
langsung maupun dengan pewarnaan harus selalu
dilakukan karena dapat mendiagnosis kemungkinan
infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun
nilai diagnostiknya sangat bervariasi (10 sampai >90%)
bergantung kepada spesies jamur yang ditemukan.
Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau
tinta India. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan
Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor,
maupun deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan
imunofluoresens yang dilaporkan lebih sensitif
dibandingkan pewarnaan biasa. Pemeriksaan langsung
sputum, bilasan bronkus, BAL atau spesimen lain dapat
mendeteksi elemen jamur secara umum berupa spora
maupun hifa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal,
bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis kriptokokosis.
Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV dengan
pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas
35-60%, sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-
95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum
dilaporkan memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL.

2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung
kepada spesies jamur, asal spesimen serta derajat
penyakit yang dialami pasien. Pemeriksaan biakan
memiliki nilai diagnostik tinggi bahkan menjadi baku
emas diagnosis infeksi jamur tertentu, misalnya biakan
darah merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida
dalam darah (kandidemia), tetapi pemeriksaan biakan
tidak bermakna untuk diagnosis PCP karena P. jiroveci
belum dapat dibiak sampai saat ini. Sensitivitas biakan
pada histoplasmosis akut hanya 15%, sedangkan pada
histoplasmosis diseminata sensitivitasnya >85%.
Pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari
sampai minggu, tetapi penting dilakukan untuk
identifikasi spesies secara konvensional maupun uji
kepekaan jamur terhadap obat-obat antijamur.

3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk
mendeteksi reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-
elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan
interpretasi hasil. Dewasa ini telah dikembangkan deteksi
antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji ini
didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang
dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh lain
pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus
spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat
bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis karena nilai
sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen
Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai
sensitivitas >90% dan spesivisitas >95% dalam
mendiagnosis histoplasmosis; tetapi hasil uji antigen
negatif tidak serta merta menyingkirkan diagnosis. Uji
antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan nilai
sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam
mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu diperhatikan
kemungkinan hasil positif palsu pada pasien yang
mendapat terapi antibiotik golongan β-laktam misalnya
piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi
Pencillium karena terdapatnya reaktivitas silang.
Perkembangan terkini menunjukkan manfaat
pemeriksaan galaktomanan Aspergillus pada spesimen
BAL pasien yang diprediksi akan mengalami aspergilosis
invasif. Komponen jamur yang juga sedang dikembangkan
untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah β-1,3-
glukan (merupakan komponen dinding sel pada hampir
semua jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih
sangat terbatas.

4. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang
dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas
karena belum terdapatnya standarisasi dan validasi.

Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis


optimal. Keterlambatan diagnosis akan mengakibatkan
keterlambatan penatalaksanaan yang dapat meningkatkan mortalitas
dan morbiditas. Dalam penegakan diagnosis mikosis sistemik/invasif
dikenal beberapa istilah yang menentukan derajat diagnostik, yaitu:
1. proven
2. probable
3. possible.

Biopsi
jaringan
Faktor +
Gambara
+
pejamu n klinis Mikologi = Proven

Faktor Gambara
+ +
pejamu n klinis Mikologi = Probable

Faktor Gambara Mikologi


+ +
pejamu n klinis negatif/ tdk =
dilakukan Possible

Gambar 1. Skema diagnosis mikosis paru


Gambar 1 menunjukkan derajat diagnostik mikosis paru/ sistemik
yang ditentukan oleh tiga kriteria yaitu:
 faktor pejamu meliputi: faktor risiko (misalnya pemberian
antibiotika jangka panjang, kemoterapi, kortikosteroid jangka
panjang) serta penyakit yang diderita pasien (misalnya
diabetes melitus, keganasan, penyakit paru kronik).
 gambaran klinis (gejala klinis, pemeriksaan radiologi)
 hasil pemeriksaan mikologi.

Kriteria diagnosis proven


 Ditemukan faktor pejamu dan gambaran klinis
 dan hasil pemeriksaan mikologi positif sebagai berikut:
- pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen
jamur positif dari hasil biopsi atau aspirasi disertai bukti
kerusakan jaringan (secara mikroskopik atau radiologi).
- atau biakan positif dari spesimen yang berasal dari tempat
steril serta secara klinis dan radiologi menunjukkan
kelainan/ lesi yang sesuai dengan infeksi.
- atau pemeriksaan mikroskopik/antigen Cryptococcus dari
likuor serebrospinal (LSS).

Kriteria diagnosis probable


 Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
 dan satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor
pada lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis atau radiologi.
 dan satu kriteria mikologi.

Kriteria diagnosis possible


 Paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu
 dan satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis minor
dari lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi
secara klinis atau radiologi
 tanpa kriteria mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi
negatif.

Tabel 2. Kriteria faktor pejamu, gambaran klinis dan hasil


pemeriksaan mikologi untuk menentukan diagnosis
mikosis sistemik/invasif

Kriteria Deskripsi

 Neutropenia (neutrofil <500/mm3 selama >10 hari).


Faktor  Menerima transplantasi sumsum tulang alogenik
pejamu  Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata dosis
minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3 minggu.
 Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin,
penyekat TNF-α, antibodik monoklonal spesifik (misalnya
alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam 90 hari terakhir.
 Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit
granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya).
Gambaran Mayor
klinis Terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut pada CT-scan: lesi padat
dengan atau tanpa halo sign, air-crescent sign atau kavitas.

Minor
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis terdapat pleural rub.
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai kriteria mayor
Hasil  Pemeriksaan langsung
mikologi o Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen sputum, BAL,
bilasan bronkus, aspirat sinus
o Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan.

 Pemeriksaan tidak langsung


o Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteksi dalam plasma,
serum, BAL atau LSS
o Penyakit jamur invasif selain kriptokokosis & zigomikosis: β-d-
glucan terdeteksi dalam serum
BAB IV
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan: jenis


jamur, status imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap
obat, terapi antijamur sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan
faktor risiko. Penatalaksanaan ini terdiri atas medikamentosa dan
bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat
antijamur (OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat: polien,
flusitosin, azol, dan ekinokandin. Obat antijamur dapat diberikan
sebagai: terapi profilaksis, empirik, pre-emptive (targeted
prophylaxis), dan definitif.

1. Terapi profilaksis
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, tanpa
tanda infeksi. dengan tujuan mencegah timbulnya infeksi
jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal periode
risiko tinggi terkena infeksi.

2. Terapi empirik
Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai
tanda infeksi (misalnya demam persisten dengan neutropenia
biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya belum diketahui
dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat selama
3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan
diagnosis possible.

3. Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis)


Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai
gejala klinis, dan hasil pemeriksaan radiologi dan atau
laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur. Terapi pre-
emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable.

4. Terapi definitif
Pemberian OAJ kepada pasien yang terbukti (proven)
mengalami infeksi jamur sistemik.
Pembedahan merupakan terapi definitif aspergiloma.
Pada pasien hemoptisis ringan dianjurkan bed rest, postural
drainage atau terapi simtomatik lain. Pada pasien hemoptisis
berulang atau masif, pembedahan dilakukan dengan
mempertimbangkan risiko/toleransi operasi. Jika operasi tidak
memungkinkan, dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian
OAJ transtorakal-intrakavitas.

Lama terapi OAJ bersifat individual, tergantung kepada


jenis penyakit/infeksi jamur yang diderita pasien, berat-
ringannya penyakit, perkembangan penyakit selama terapi,
serta jenis OAJ yang diberikan. Evaluasi pengobatan harus
dilakukan untuk melihat respons terapi dan toksisitas yang
ditimbulkan OAJ. Tabel 3 menunjukkan respons terapi OAJ
yang dinilai berdasarkan perkembangan klinis, radiologi serta
laboratorium mikologi. Evaluasi radiologi dilakukan setelah
pemberian OAJ 2 minggu. Evaluasi toksisitas obat dilakukan
dengan melihat gejala klinis (mual, muntah, ikterus, dll) dan
pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.

Tabel 3. Respons terapi OAJ


Luaran klinis, Kriteria
respons
Sukses
Respons Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala klinis
komplit dan kelainan radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur).
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis dan
parsial kelainan radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan
beban/jumlah jamur yang ditentukan secara kuantitatif dengan
petanda laboratorium.
Gagal
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau tanpa
menetap perbaikan dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti progresif
(stable) berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris.
Progresif Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis
dan laboratoris.
Kematian Kematian dalam periode pengamatan, oleh sebab apapun.
BAB V
OBAT ANTIJAMUR

Harus diperhatikan pemberian obat antijamur (OAJ)


yang adekuat, dalam waktu dan dosis tepat sehingga dapat
mencegah toksisitas.

1. Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin
dan natamisin. Cara kerjanya adalah merusak membran
sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas
selular meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang
berakibat kematian jamur (efek fungisidal). Saat ini
golongan polien yang tersedia di Indonesia adalah
amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan nistatin.

Amfoterisin-B memiliki aktivitas terhadap hampir semua


infeksi jamur invasif, termasuk Candida spp, Aspergillus
spp, Cryptococcus, Histoplasma, dan Zygomyces. Perlu
diperhatikan bahwa Candida lusitaniae, Scedosporium
prolificans dan Aspergillus terreus memiliki resistensi
primer terhadap Am-B. Dosis standar Am-B deoksikolat
adalah 0,7-1 mg/kgBB/hari. Am-B dalam formulasi lain
yang memiliki spektrum aktivitas luas dan toksisitas lebih
kecil, yaitu: amfoterisin-B liposomal (Ambisome) dan
kompleks lipid amfoterisin-B (Abelcet). Dosis standar Am-
B formula lipid adalah 3-6 mg/kgBB/hari. Toksisitas yang
dapat terjadi pada pemberian Am-B meliputi
nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal akut, toksisitas
hematologi, reaksi terkait infus (misalnya demam,
menggigil, sakit kepala, mual, muntah) dan gangguan
elektrolit (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia,
hipernatremia, asidosis metabolik). Pemberian infus
lambat (biasanya lebih dari 4 jam) dan premedikasi
dengan antipiretik, antihistamin dapat dilakukan untuk
mencegah reaksi terkait-infus. Pemberian infus garam
fisiologis sebelum terapi dapat menurunkan
nefrotoksisitas yang diinduksi obat. Untuk meminimalkan
nefrotoksisitas, dapat dipilih Am-B formula lipid, serta
mengoreksi kelainan elektrolit.

Tabel 4. Indikasi dan dosis amfoterisin-B

Sediaan Indikasi Dosis

Amfoterisin B deoksikolat Aspergilosis invasif, blastomikosis, 0.25–1 mg/kg/hari


(Fungizone) kandidosis, koksidioidomikosis,
mukcormikosis, basidiobolus,
conidiobolus

Histoplasmosis, sporotrikosis 0.7–1 mg/kg/hari

Kriptokokus ringan-sedang atau non- 0.5–1 mg/kg/hari


SSP

Kriptokokosis berat atau SSP 0.7–1 mg/kg/hari

Meningitis kriptokokal (+HIV) 0.7 mg/kg/hari

Kompleks lipid amfoterisin Infeksi jamur invasif pada pasien yang 5 mg/kg/hari
B (Abelcet) refrakter atau intoleran terhadap terapi
amfoterisin-B konvesional

Amfoterisin B liposomal Terapi empiris pada pasien demam, 3 mg/kg/hari


(Ambisome) neutropenia, dan diduga mengalami
infeksi jamur

Meningitis kriptokokal (+ HIV) 6 mg/kg/hari


Infeksi Aspergillus sp., Candida sp.,
dan atau Cryptococcus sp.

Amfoterisin B colloidal Aspergilosis invasif pada pasien


3–5 mg/kg/hari
dispersion (Amphotec) gangguan ginjal atau tidak dapat
mengatasi toksisitas amfoteri-sin-B
konvensional dalam dosis efektif dan
pasien aspergilosis invasif yang
mengalami kegagalan terapi
amfoterisin-B konvesional
sebelumnya.

Nistatin, secara struktural mirip dengan amfoterisin B,


namun tidak diberikan parenteral karena toksisitasnya.
Nistatin biasanya bersifat fungistatik secara in vivo tetapi
dapat juga bersifat fungisida pada konsentrasi tinggi atau
terhadap organisme yang sangat peka. Obat itu tersedia
dalam bentuk oral maupun topikal, dan tidak memiliki
interaksi obat yang signifikan karena hampir tidak
diserap dalam usus. Efek samping jarang terjadi, tetapi
dalam dosis yang besar dapat menimbulkan mual,
muntah, diare, dan nyeri perut.

2. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida,
Cryptococcus. Cara kerjanya dengan mengganggu sintesis
asam nukleat. Mudah mengalami resistensi. Absropsi oral
baik, diekskresi dalam urin. Obat ini terdistribusi baik
dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan
amfoterisin-B untuk infeksi jamur sistemik. Efek samping
meliputi: neutropenia, trombositopenia. Perlu dilakukan
pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
fungsi ginjal. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.

3. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol
telah digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol
diklasifikasikan menjadi dua kelas yang berbeda:
a. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan
ketokonazol)
b. triazol (flukonazol, itrakonazol, vorikonazol dan
posakonazol).
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu
sintesis ergosterol, suatu komponen penting dalam
membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui
penghambatan enzim lanosterol 14-α demetilase yang
berperan mengubah lanosterol menjadi ergosterol,
sehingga terjadi gangguan struktur dan fungsi normal
membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur akan
terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa
penelitian in vitro melaporkan efek fungisidal beberapa
obat golongan azol pada dosis standar.

Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh


tubuh. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah
gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare),
hepatotoksisitas (transaminitis sampai hepatitis,
kolestasis). Obat golongan azol tidak boleh diberikan
pada perempuan hamil (kategori C). Obat ini
dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P450,
sekaligus merupakan inhibitor poten sitokrom P-450
yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan
berbagai obat, misalnya rifampisin, barbiturat,
karbamazepin, statin, dll.

a.Imidazol
Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam
berbagai sediaan obat topikal seperti krim, losio,
sampo, tablet vagina, tablet isap, dan solusio yang
terutama digunakan untuk terapi kandidosis vagina
dan mukokutan.
Ketokonazol merupakan antijamur golongan azol
bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi
infeksi jamur superfisial maupun sistemik. Obat ini
mempunyai aktivitas terhadap berbagai spesies
Candida, dermatofit, Malassezia furfur, dan beberapa
jamur dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis
dan Coccidioides spp). Penyerapan ketokonazol di
saluran cerna lebih baik bila disertai minuman asam
seperti soda berkarbonasi. Perlu diperhatikan efek
samping terhadap hati (hepatotoksik) serta
interaksi dengan obat-obat lain sehingga
penggunaan ketokonazol sangat dibatasi.

b. Triazol
Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama,
memiliki spektrum aktivitas lebih luas,
bioavailability hampir 100 % karena tidak
mengalami first-past metabolism, dan
penyerapannya tidak dipengaruhi asam lambung.
Flukonazol aktif terhadap hampir semua Candida
spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata), Cryptococcus
neoformans, beberapa jamur dimorfik, M.
furfur, Prototheca, serta dermatofita. Flukonazol
tersedia dalam sediaan oral maupun intravena.

Itrakonazol, spektrum aktivitasnya mirip dengan


flukonazol, tetapi juga memiliki aktivitas terhadap
Aspergillus spp, golongan dematiaceae (misalnya
Alternaria, Bipolaris, Curvularia) serta Sporothrix
schenckii. Itrakonazol tidak efektif terhadap
Zygomycetes dan Fusarium spp. Pemberian obat ini
harus dihindari pada pasien gagal jantung karena
efek inotropiknya, terutama pada pasien yang
menerima dosis oral harian total 400 mg.
Pemberian kapsul oral itrakonazol harus diminum
bersama makanan/minuman asam (ber-karbonasi)
untuk meningkatkan penyerapannya. Sediaan
intravena tidak tersedia di Indonesia.

Vorikonazol, memiliki spektrum aktivitas luas


terhadap Aspergillus spp termasuk Aspergillus
terreus yang resisten terhadap amfoterisin-B, galur
resisten Candida spp, Fusarium spp, Scedosporium
apiospermum, Trichosporon spp, serta berbagai
golongan kapang. Vorikonazol direkomendasikan
sebagai obat pilihan utama pada aspergilosis invasif.
Aktivitas vorikonazol dilaporkan tidak efektif
terhadap jamur golongan Zygomycetes. Vorikonazol
tidak memerlukan lingkungan asam untuk
penyerapannya sehingga bioavailability-nya lebih
baik dibandingkan dengan ketokonazol atau
itrakonazol. Vorikonazol tersedia dalam bentuk oral
maupun cairan intravena. Vorikonazol sebaiknya
diminum 1 jam sebelum atau 1-2 jam setelah makan
karena makanan tinggi lemak dapat menurunkan
absorpsinya. Efek samping yang dapat ditemukan
misalnya gangguan pengihatan sementara
(fotofobia, penglihatan kabur, atau perubahan
warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol tidak
terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi
sediaan parenteral memerlukan dosis penyesuaian
pada kasus kerusakan ginjal, dan tidak boleh
diberikan pada pasien dengan bersihan kreatinin
(CrCl) <50 ml/menit.

Tabel 3. Indikasi dan dosis obat golongan azol


Obat Indikasi Dosis standar Dosis penye-suaian Dosis
ginjal penyesuaian
hati

Flukonazol Kandidosis orofarings Loading dose200 mg, lalu 100- CCL < 50 ml/min: Belum
(oral, intravena) 200 mg/hr, selama 7-14 hari loading dose, lalu dosis ditentukan
Kandidosis esophagus ↓ 50%
400 mg loading dose,lalu 200-
Meningitis kriptokokosis 400 mg/hr, selama 14-21 hari Hemodialisis: diberikan
dosis harian 100%
Histoplasmosis/ Terapi induksi, dilanjutkan (sesuai indikasi) setiap
blastomikosis/ dosis konsolidasi 400 mg/hr, kali selesai HD
koksidoidomikosis lalu dosis rumatan 200 mg/hr

Kandidosis 400-800 mg/hr


invasif/kandidemia Loading dose 800 mg, lalu
400 mg/hr
Itrakonazol Kandidosis oro-farings/ 200 mg/hr CCL < 10 ml/min: ↓ Belum
(hanya oral) esofagus dosis 50% ditentukan
Histoplasmosis / 200-400 mg/hr (dalam dosis HD: 100 mg tiap 12-24
blastomikosis terbagi bila > 200 mg/hr) jam

Koksidioidomikosis 400-600 mg/hr dalam 2 dosis

Vorikonazol Aspergilosis invasif Loading dose (x 2 dosis): CCL < 50 ml/min: Child-Pugh
(oral atau termasuk asper-gilosis Intravena – 6 mg/kg tiap pemberian oral lebih Class A or B:
intravena) paru. 12 jam. Dilanjutkan dengan dianjurkan dosis rumatan
oral 400 mg tiap12 jam ↓ 50%
Kandidosis sistemik
(yang disebabkan galur Dosis rumatan Child-Pugh
resisten) Intravena- 3-4 mg/kg tiap 12 Class C:
jam, dilanjutkan dengan belum
Mikosis sistemik oleh oral 200 mg tiap 12 jam ditentukan
Fusarium spp,
Scedosporium,
Trichosporon
Posakonazol Profilaksis infeksi jamur 200 mg, 3x sehari Belum diketahui Belum
(oral) invasif ditentukan
Kandidosis orofarings 100 mg 2x sehari( x 2 dosis),
lalu 100 mg/hr selama 13 hr
Kandidosis oro-farings
refrakter thd obat azol 400 mg 2x sehari (lama
lain pemberian bervariasi
tergantung respons pasien)
Posakonazol, memiliki aktivitas antijamur luas,
termasuk terhadap Candida spp yang resisten terhadap
golongan azol sebelumnya, maupun zygomycetes.
Posakonazol hanya tersedia dalam sediaan oral yang
memiliki bioavailability rendah, tetapi bila diberikan
bersamaan dengan makanan berkadar lemak tinggi,
bioavailability posakonazol akan meningkat 400%. Efek
samping yang paling sering ditemukan adalah gangguan
saluran cerna dan peningkatan kadar enzim hati.

4. Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara
kerjanya melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-β-D
dan 1,6-β-D-glucan synthase. Enzim itu penting dalam
produksi glukan (komponen penting dinding sel jamur)
yang mengakibatkan ketidakstabilan osmotik sehingga sel
jamur tidak dapat mempertahankan bentuknya dan
berujung pada kematian jamur. Glukan tidak ditemukan
pada dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit. Dinding
sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3-α atau 1,6-α-
glucan, sehingga jamur ini lebih resisten terhadap
ekinokandin. Terdapat beberapa kelas ekinokandin
yaitu: kaspofungin, mikafungin, dan anidulafungin.
Semua golongan ekinokandin memiliki keterbatasan
bioavailabilitas oral dan hanya tersedia dalam sediaan
intravena.

Kaspofungin digunakan untuk terapi kandidosis


esofagus, abses intra-abdomen, peritonitis, dan infeksi
rongga pleura yang disebabkan Candida spp. Secara
empiris, obat ini digunakan pada pasien neutropenia
dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya serta
pasien aspergilosis invasif yang refrakter atau tidak dapat
menolerasi terapi lain. Kaspofungin tidak mengganggu
sistem enzim CYP450, tetapi dapat mengalami
metabolisme hepatik signifikan. Pada pasien dengan
penyakit hati, diperlukan penyesuaian dosis obat.

Mikafungin digunakan untuk terapi kandidemia,


kandidosis esofagus, abses dan peritonitis oleh Candida
serta profilaksis pada pasien yang menjalani transplantasi
sel induk (stem cell). Obat ini juga direkomendasikan
dalam terapi aspergilosis invasif. Mikafungin
dimetabolisme melalui hati dan sangat sedikit (< 1%)
bentuk obat tidak berubah yang ditemukan dalam urin.
Obat ini diekskresi dalam bentuk inaktif ke dalam
empedu serta tidak mengganti pengikatan bilirubin
terhadap albumin secara kompetitif, sehingga tidak
menyebabkan kernicterus. Tidak diperlukan penyesuaian
dosis pada gangguan fungsi hati ringan-sedang maupun
gangguan fungsi ginjal. Mikafungin merupakan inhibitor
CYP-450 yang lemah sehingga sedikit berinteraksi dengan
obat-obat lain.

Anidulafungin digunakan untuk terapi kandidosis


esofagus, kandidemia, peritonitis, dan abses intra-
abdomen akibat Candida spp. Anidulafungin tidak
mengalami metabolisme di hati dan bukan merupakan
substrat, inducer, atau inhibitor enzim CYP450. Hasil
degradasi dikeluarkan dalam tinja melalui saluran
empedu dan jumlah yang sangat kecil juga ditemukan di
urin, sehingga pasien yang memiliki insufisiensi ginjal
atau hati tidak memerlukan dosis penyesuaian.

Tabel 4. Obat antijamur golongan ekinokandin


OAJ Spektrum Dosis Adverse Interaksi Obat Keterangan
Aktivitas Reactions
Kaspofungin Candida , IV: 35-70 mg/hari Gangguan Siklosporin, Penurunan
Aspergillus saluran cerna, , rifampin dosis
hipotensi, rash, diperlukan
demam, pada kasus
menggigil, sakit gangguan hati
kepala, sedang
hipokalemia,
anemia,
peningkatan
kadar enzim hati,
flebitis
Mikafungin Candida,  Kandidosis esofagus Gangguan sal. Sirolimus, Tidak
Aspergillus IV:150 mg/hari. cerna, demam, nifedipin diperlukan
 Profilaksis HSCT sakit kepala, dosis
IV: 50 mg/hari. hipokalemia, penyesuaian
 Kandidemia atau hipomagnesemia,
kandidosis invasif netropenia
IV: 100mg/hari
Anidulafungin Candida, Kandidosis esofagus IV: Jarang terjadi Tidak ada Tidak
Aspergillus 100 mg hari ke-1, adverse reactions interaksi obat diperlukan
dilanjutkan 50 mg/ hari utama dosis
Kandidemia penyesuaian
IV: 200 mg hari ke-1,
dilanjutkan 100mg/ hari
LAMPIRAN
ALGORITMA PENATALAKSANAAN MIKOSIS PARU

Gejala, faktor risiko (FR)

Fungus Ball FOTO TORAKS Lesi Lain

CT-Scan, Operasi (bila CT-Scan, induksi sputum, bronkoskopi


pemeriksaan mungkin) + OAJ (BAL), biopsi, TTNA, pemeriksaan mikologi
lain termasuk
pemeriksaan
mikologi (konfir-
masi jamur) Bila operasi FR (+), Possi- Proba- Proven
tidak mungkin infeksi (-) ble ble

Evaluasi respons OAJ Profi- Terapi Terapi


Terapi
laksis empirik pre- definitif
emptive
(+) (-) Usahakan
tatalaksana
invasif minimal
(kavernostomi,
Teruskan OAJ kavernoplasti)
OAJ sesuai jenis jamur

Evaluasi toksisitas &


respons terapi

OAJ sampai faktor risiko teratasi OAJ dilanjutkan 2 minggu setelah


 3-4 minggu perbaikan klinis, radiologi &
mikologi
DAFTAR PUSTAKA

1. Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennett JE,
Catanzaro A, et al. An official American Thoracic Society
statement: Treatment of fungal infections in adult pulmonary
and critical care patients. Am J Respir Crit Care Med
2011;183:96–128.
2. Limper AH. The changing spectrum of fungal infections in
pulmonary and critical care practice: clinical approach to
diagnosis. Proc Am Thorac Soc 2010;7:163–8.
3. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis
DP, Marr KA. et al. Treatment of aspergillosis: clinical practice
guidelines of the Infectious Diseases Society of America. Clin
Infect Dis 2008; 46:327–60.
4. Pappas PG, Kauffman CA, Andes D, Benjamin DK, Calandra TF,
Edwards JE, et al. Clinical practice guidelines for the
management of candidiasis: update by the Infectious Diseases
Society of America. Clin Infect Dis 2009;48:503–35.
5. Budimulya U, Bramono K, Menaldi SL. Konsensus FKUI dan
PMKI tentang tatalaksana mikosis sistemik. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2001.
6. Cordonnier C, Pautas C, Maury S, Vekhoff A, Farhat H, Suarez F,
et al. Empirical versus preemptive antifungal therapy for high-
risk, febrile, neutropenic patients: a randomized, controlled
trial. Clin Infect Dis 2009;48:1042–51.
7. Dutkiewicz R dan Hage CA. Aspergillus infections in the
critically ill. Proc Am Thorac Soc 2010;7:204-9.
8. Evan SE. Coping with Candida infection. Proc Am Thorac Soc
2010;7:197-203.
9. De Pauw B, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens DA, Edwards E,
Calandra T, et al. Revised definitions of invasive fungal disease
from the European Organization for Research and Treatment of
Cancer/Invasive Fungal Infections Cooperative Group and the
National Institute of Allergy and Infectious Diseases Mycoses
Study Group (EORTC/MSG) Consensus Group. Clin Infect Dis
2008;46:1813–21.
10. Arnold TM, Dotson E, Sarosi GA, Hage CA. Traditional and
emerging antifungal therapy. Proc Am Thorac Soc 2010;7:222-
8.
11. Lashof AML, Donnelly JP, Meis JFGM, Meer JWM, Kullberg BJ.
Duration of antifungal treatment and development of delayed
complications in patients with candidaemia. Eur J Clin
Microbiol Infect Dis 2003;22:43–8.
12. Johnson MD, Perfect. Use of antifungal combination therapy:
agents, order, and timing. Curr Fungal Infect Rep
2010;4(2):87–95.
13. Chen SA, Playford EG, Sorell TC. Antifungal therapy in invasive
fungal infections. Curr Opin Pharmacol 2010;10:1–9.
14. Verweig PE, Maertens J. Moulds: diagnosis and treatment. J
Antimicro Chemo 2009;63(Suppl. 1): i31–5.
15. Richardson M, Jones B, Rautemaa R. Therapeutic guidelines in
systemic fungal infections. London: Remedica Medical
Education and Publishing; 2007.

Anda mungkin juga menyukai